ANALISIS PRAGMATIK


Tindak Tutur Interogratif  dan Prohibitatif 
Pada Percakapan Musa dan Khidr dalam surah al Kahfi”
Alquran merupakan kalamullah yang diturunkan kepada penutup para nabi a.s yakni Muhammad s.a.w. Berkaitan dengan hal tersebut, ash Shabuni (2003: 8) mendefinisikan al Quran, dengan berkata:
Alquran  adalah kalam Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w dengan perantaraan Malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah, dimulai dari surah al Fatihah dan ditutup dengan surah an Nȃs.
Dalam definisi itu, terlihat bahwa ash Shabuni mengintegrasikan segi kemukjizatan Alquran dengan segi penurunannya kepada Nabi s.a.w, penulisannya dalam mushaf-mushaf, penyampaiannya secara mutawatir, beserta pembacaannya yang bernilai ibadah.
Selain itu, dari segi hubungan Allah Ta’ala dengan hamba-Nya, Alquran merupakan salah satu sarana komunikasi antara Allah Ta’ala dengan hamba-hamba-Nya. Seorang ulama menyebutkan bahwa “Jika kita ingin berbicara kepada Allah solatlah. Dan jika kita ingin mendengar Allah maka bacalah Alquran.”
Bila ditinjau dari segi kemukjizatan  balaghah-nya, diungkapkan oleh ar Rafi’I (2005: 146) bahwa:
Satu huruf dalam tempatnya di dalam Alquran adalah mukjizat. Huruf itu memegang kata tempat ia berada, dan melalui kata itu pula huruf itu memegang ayat, kemudian melalui ayat memegang ayat-ayat lain. Itulah kemukjizatan kalimatnya yang bersifat abadi, berada di atas kemampuan dan hasil usaha manusia; benar-benar menyerupai makhluk hidup; dan tidaklah diturunkan melainkan oleh Yang Maha Mengetahui segala rahasia di langit dan bumi.
Sehingga Mukram (1978: 2) mengatakan bahwa “ Tidak ada satu pun kitab suci yang mencapai puncak tertinggi keontetikannya sebagaimana al Quran. Dan inilah rahasia keagungannya berikut kunci kekekalannya.”
Sebagaimana yang telah diketahui bahwasannya lafal Alquran termasuk lafal-lafal bahasa Arab yang gaya pengungkapannya indah, fasih, serta memiliki pengaruh yang sangat kuat pada hati seseorang baik itu muslim maupun non muslim. Di dalamnya pun tidak didapati suatu kalimat  yang menyalahi kaidah bahasa Arab. Keindahan struktur  lafal Alquran merupakan salah satu mukjizat yang dimilikinya, karena struktur tersebut dengan berbagai tujuan dan gaya pengungkapannya yang berbeda dengan gaya pengungkapan dan penyusunan ungkapan pada umumnya di masyarakat Arab.
 Di dalam Alquran tertulis kata-kata yang sangat banyak, baik itu berupa kata benda, kata kerja (fi’il) beserta derivasinya, serta harf. Di antaranya ialah kalimat interogratif (istifham) dan prohibitatif (nahyi) yang disebutkan beberapa kali. Karena sebagaimana yang diungkapkan oleh al Maraghi (1981: 5) bahwa:
Alquran merupakan kitabullah sekaligus undang-undang (dustur) syari’at dan sumber hukum yang menghendaki umat muslim mengetahuinya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai yang halal dan haram, perintah dan larangan. Ia pun sebagai penentu tingkah laku dan akhlak seseorang, sehingga mereka diperintahkan untuk berpegang teguh kepada undang-undang tersebut karena ia merupakan sumber kebahagiaan mereka, sumber petunjuk mereka serta derajat kedudukan di sisi tuhan mereka di syurga. Ia juga merupakan wasilah (perantara) untuk memperbaiki keadaan masyarakat muslim jikalau mereka mengambilnya (sebagai aturan) serta tidak menyimpang dari sunnahnya (ketetapannya).
Interogratif  adalah “Meminta  informasi mengenai sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya” (al Hasyimi, 1999: 78) . Sedangkan prohibitatif  (nahyi)  ialah “Tuntutan ditinggalkannya suatu perbuatan yang disampaikan oleh seorang atasan kepada orang yang martabatnya lebih rendah darinya” (Jarim dan Musthafa Amin, tt: 187).
Gaya pengungkapan interogratif dan prohibitatif di dalam Alquran mempunyai struktur dan gaya pengungkapannya sendiri yang indah. Mengenai gaya pengungkapan tindak tutur interogratif sebagaimana yang diungkapkan Hidayat (tt: 20-22) ada yang merupakan pertanyaan hakiki (al istifhamul hakiki), pertanyaan penegasan (al Istifhamut Taqriri), dan ada juga pertanyaan penolakan (Al Istifhamul Inkari). Sedangkan mengenai gaya pengungkapan prohibitatif menurut Nugraha (2008: 73) ada nahyi yang menggunakan shighat fi’il mudhari’ yang disertai lam nahiyah. Walaupun begitu, selain bentuk-bentuk interogratif dan prohibitatif tersebut ada shighat yang lainnya. Misalnya ada kalimat interogratif langsung dan tidak langsung, serta literal dan tidak literal (Nadar, 2013: 18), ada juga prohibitatif dengan bentuk langsung dan tidak langsung, serta literal dan tidak literal. Sebab terkadang penutur  interogratif berkata kepada petuturnya sebagaimana dalam Alquran surah Al Maidah ayat 91 Maka tidakkah kalian mau berhenti?. Namun maknanya ini bukanlah mempertanyakan keinginan mereka, akan tetapi maknanya menurut al Hasyimi (1999: 83) ialah imperatif (perintah) yakni perintah untuk berhenti. Sehingga menurut Shihab (2002: 196) pertanyaan ini sungguh pada tempatnya, karena di sini bukan lagi pada tempatnya menggunakan redaksi perintah dan larangan yang tega, setelah sebelumnya telah dilarang dan dijelaskan keburukannya Yang perlu adalah menanyakan sampai di mana keterangan keterangan yang lalu itu berbekas pada jiwa mereka. Perintah berhenti secara langsung, hanya akan menimbulkan kesan bahwa yang diperintah adalah orang-orang yang belum mencapai tingkat kesadaran atau bahkan belum memahami larangan.
Dengan demikian kalimat interogratif dan prohibitatif tersebut terkadang tidak menunjukkan kepada maknanya yang asli akan tetapi menggunakan makna lain yang dapat diketahui melalui jalan pembicaraannya (siyȃqul kalam/ koteks) dan lingkungan fisik dimana sebuah kata dipergunakan (siyȃqul maqam/ konteks).
Teori-teori makna secara umum ialah teori referensial atau korespodensi, teori kontekstual, teori mentalisme atau konseptual, dan teori formalisme atau  teori pemakaian dari makna (Parera, 1990 : 16- 18).
Selain berbagai teori tersebut, terdapat beberapa kajian yang dapat digunakan untuk menganalisis makna tindak tutur seorang individu, maupun suatu kelompok tertentu. Di antaranya ialah sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis menelaah kalimat atau hubungan antara unsur-unsur bahasa, semantik menelaah proposisi-proposisi atau hubungan unsur bahasa dengan objeknya dan pragmatik menelaah hubungan unsur bahasa dengan para pemakainya atau tindak linguistik beserta konteks situasinya (Sudaryat, 2006: 131).
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kajian analisis pragmatik tindak tutur. Adapun pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji unsur-unsur eksternal sebuah bahasa dari segi penggunaannya untuk berkomunikasi. Levison (Tarigan, 1990: 33) mengatakan bahwa “Pragmatik adalah telaah kemampuan pemakaian bahasa dalam menghubungkan dan menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat.
Salah satu kajian ilmu pragmatik ialah tindak tutur atau speech act. Dikarenakan tindak tutur merupakan salah satu gejala kebahasaan yang dijadikan objek penelitian dengan pendekatan pragmatik.  Teori tindak tutur ini, pertama kali dikemukakan oleh John L. Austin. Menurutnya, sebagaimana yang dikutip oleh Nadar (2009: 11), pada dasarnya ketika seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Sehingga menurut Austin, tindak tutur dibedakan menjadi dua, yaitu performatif dan konstatif. Tuturan yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu disebut performatif, sedangkan tuturan yang pengutaraannya digunakan untuk mengatakan sesuatu disebut konstatif.  Dengan adanya anggapan bahwa tuturan mengandung tindakan, Searle (Nadar 2013: 12) juga membagi tindak tutur menjadi tiga macam tindakan, yaitu tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak perlokusioner. Tindak lokusioner adalah tindak tutur yang dilakukan untuk menyatakan sesuatu. Lalu tindak ilokusioner adalah apa yang ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu dan dapat merupakan tindakan, misalnya memerintah, meminta, minta maaf, dan berjanji. Kemudian tindak perlokusi adalah tindak penutur yang menimbulkan pengaruh atau akibat tertentu bagi mitra tutur.
Sehubungan dengan bermacam-macam maksud tuturan di atas, Leech (Astuti, 2001: 170) mengemukakan sejumlah aspek aspek yang harus senantiasa dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek tersebut meliputi penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tuturan sebagai aktivitas, dan tuturan sebagai produk verbal.
Sehubungan dengan penelitian ini, maka kajian pragmatik ini digunakan untuk menganalisis makna tindak tutur interogratif dan prohibitatif pada percakapan Musa dan Khidr dalam surah al Kahfi.
Adapun makna dasar dari interogratif adalah meminta gambaran atau informasi mengenai sesuatu yang belum diketahui, sedangkan untuk makna dasar dari prohibitatif adalah haram. Namun terdapat makna-makna lain yang menyelisihi makna dasarnya keduanya.
Makna-makna lain dari interogratif itu tersendiri ialah sebagaimana yang diungkapkan oleh al Hasyimi (1999: 71-72) bahwa terkadang kalimat interogratif itu keluar dari makna asalnya berdasarkan konteks dan koteks yang meliputi al amr, an nahyi, at taswiyah, an nafyi, al inkaari, at tasywiiq, al isti’naas, at taqriir, at tahwiil, al istib’aad, at ta’dhiim, at tahqiir,at ta’ajjub, at tahakkum, a;wa’iid, al istibthaa, at tanbih ‘alal khoto’, at tanbih ‘alal bathil, at tanbih ‘ala dholalit thoriq, dan at taktsiir. Sedangkan untuk makna-makna lain dari prohibitatif ialah ad du’ȃ, al iltimȃs, an nush, at tamanni, at tahdîd, at tahqîr, at tai’îs, dan at taubikh (al ‘Adȗs, 2006: 70-71).
Daripada itu, mengenai tindak tutur interogratif terdapat penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahman (2014) yang menganalisis istifham dari juz 1 Alquranil karim beserta pengaruhnya terhadap ilmu balaghah. Yakni terdapat makna-makna istifham yang bukan aslinya yaitu inkaari, taubikh, an nafyi, istib’aad, at taswiyah, at ta’ajjub, at taqri’, at taqriri, at tanbih ‘alal khoto’. Sedangkan Nugraha mengenai analisis struktur dan makna imperatif dan prohibitatif dalam Alquran serta pengaruhnya terhadap ilmu balaghah. Nugraha (2008: 72-73) mengatakan bahwa “Prohibitatif semuanya menggunakan shigat fi’il mudhȃri’ yang disertai lam nahiyah. Sedangkan makna-makna dari prohibitatif yang terdapat dalam surah an Nȗr dan al Furqon ialah nahyu haqiqi, irsyȃd, taubîkh, tahdîd.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis percakapan Musa dan Khidr yang terdapat pada surah al Kahfi dari segi pemaknaan tindak tutur interogratif dan prohibitatifnya. Surah ini memiliki tiga tema sentral yang dibahas di dalamnya yaitu koreksi atas akidah, koreksi atas metode berfikir dan menganalisis, serta koreksi atas nilai dengan ukuran dan timbangan akidah.
Koreksi atas akidah terlihat dari permulaan surah dan akhir surah, terlihat pula pada pembicaraan ashabul kahfi, serta kisah dua kebun (jannatain). Sehingga betapa rapi arahan surah ini dari awal hingga akhir dalam mendakwahkan tauhid, mengingkari kemusyrikan, menetapkan wahyu, dan membedakan secara mutlak antara Zat Ilahi dan hal hal yang baru.
Adapun koreksi atas metode berfikir terlihat nyata dalam pengingkaran terhadap pengakuan palsu orang orang musyrik yang mengatakan sesuatu tanpa dasar ilmu. Juga terhadap orang orang yang tidak mampu membuktikan dengan dalil kebenaran atas apa yang mereka nyatakan. Koreksi itu juga terlihat nyata dalam arahan Allah kepada manusia agar menetapkan sesuatu sesuai dengan pengetahuannya dan tidak melampauinya. Sedangkan, masalah yang tidak diketahuinya hendaknya diserahkan urusannya kepada Allah.
Sedangkan koreksi atas norma-norma dengan barometer akidah ini terdapat dalam beberapa tempat yang berbeda. Ia mengarahkan norma norma hakiki kepada iman dan amal saleh serta mengecilkan setiap norma duniawi yang menyilaukan mata. Setiap perhiasan yang terdapat di dunia adalah untuk cobaan dan ujian. Akhirnya, akan bermuara kepada kefanaan dan kehancuran.
Sehingga, berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka penulis berkeinginan meneliti mengenai “Tindak Tutur Interogratif  dan Prohibitatif pada percakapan Musa dan Khidr dalam surah al Kahfi”

Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

المشاكلة في البلاغة

Shalawat Istri Nu Bakti