Ilmu Badi' علم البديع
oleh Dr. L. Supriadi
Definisi Ilmu Badī‘
Kata badī‘ berasal dari bahasa Arab yang terambil dari kata bada‘a – yabda‘u – bad‘an, artinya menciptakan sesuatu yang belum ada. Kemudian muncul kata al-badī‘ semakna dengan al-‘ajīb, artinya sangat indah/mengagumkan.
Ilmu badī‘ adalah ilmu yang mempelajari tentang keindahan lafaz dan makna ketika dirangkai dan disusun dalam suatu kalimat.
Definisi Ilmu Badī‘
Kata badī‘ berasal dari bahasa Arab yang terambil dari kata bada‘a – yabda‘u – bad‘an, artinya menciptakan sesuatu yang belum ada. Kemudian muncul kata al-badī‘ semakna dengan al-‘ajīb, artinya sangat indah/mengagumkan.
Ilmu badī‘ adalah ilmu yang mempelajari tentang keindahan lafaz dan makna ketika dirangkai dan disusun dalam suatu kalimat.
Aspek-aspek Ilmu Badī‘
Ilmu badī‘ mengkaji tentang keindahan bahasa yang mencakup dua aspek, yaitu Pertama, aspek lafaz (المحسنات اللفظية) dan aspek makna (المحسنات المعنوية). Masing-masing dari kedua aspek bahasa ini mempunyai bahasan tersendiri sebagaimana akan dibahas satu persatu di bawah ini.
1. Aspek Lafaz (المحسنات اللفظية)
Ada tiga tema penting yang membahas mengenai keindahan susunan lafaz, yaitu al-jinās (الجناس), al-iqtibās (الاقتباس) dan as-saja‘ (السجع)
a. Al-Jinās (الجناس)
Al-Jinās adalah dua lafaz (kata) yang sama ucapannya tetapi berbeda maknanya. Ia juga terbagi menjadi dua macam, yaitu:
Pertama, al-Jinās at-Tām (الجناس التام), yaitu dua lafaz yang sama pengucapannya dalam empat segi, yaitu: jenis huruf, baris (harakat) huruf, jumlah huruf dan tertib urutan huruf.
Contohnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; ‘mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (pada waktu tertentu)’…” (QS. ar-Rūm [30]: 55)
Contoh lain dalam sebuah syair yang mengenang kematian seorang anak kecil bernama Yahya:
وَسَمَّيْتُهُ يَحْيَى لِيَحْيَا فَلَمْ يَكُنْ # إِلَى رَدِّ أَمْرِ اللهِ فِيْهِ سَبِيْل
Aku menamakan anak itu Yahya supaya ia hidup terus tetapi # Tidak ada jalan untuk menolak urusan Allah (kematian)
Pada contoh pertama, lafaz الساعة disebut dua kali dan jenis pengucapannya persis sama tetapi maknanya berbeda. الساعة pertama bermakna "hari kiamat" sedangkan الساعة yang kedua maknanya "waktu atau masa tertentu".
Pada contoh kedua, lafaz يحيى disebut dua kali dan jenis pengucapannya persis sama tetapi maknanya berbeda. يحيى pertama berbentuk isim yang artinya "seorang yang bernama Yahya", sedangkan يحيى yang kedua berbentuk fi‘il mudhāri‘ yang berarti "hidup".
Kedua, al-Jinās Ghair at-Tām (الجناس غير التام), yaitu dua lafaz yang mirip pengucapannya tetapi tidak sama pada salah satu dari empat segi, yaitu: jenis huruf, baris (harakat) huruf, jumlah huruf dan tertib urutan huruf.
Contohnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
• •
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.” (QS. adh-Dhuha [93]: 9-10)
Pada contoh di atas, lafaz تَقْهَرْ dan تَنْهَرْ persis sama baris hurufnya, jumlah huruf dan tertib urutan huruf, tetapi yang berbeda adalah jenis hurufnya di mana pada lafaz تقهر menggunakan huruf القاف yang berada di antara hurufالهاء danالتاء sedangkan lafaz تنهر menggunakan huruf النون yang berada di antara huruf التاء dan الهاء.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
اَلدَّيْنُ يَهْدِمُ الدِّيْنَ
Hutang terkadang merusak agama
Pada contoh di atas, lafaz اَلدَّيْنُ persis sama jenis hurufnya, jumlah huruf dan tertib urutan hurufnya, tetapi yang berbeda adalah baris (harakat) huruf, di mana pada lafaz الدين yang pertama huruf الدال berharakat fathah (berbaris atas), sedangkan pada الدين yang kedua huruf الدال berharakat kasrah (berbaris bawah).
Ilmu badī‘ mengkaji tentang keindahan bahasa yang mencakup dua aspek, yaitu Pertama, aspek lafaz (المحسنات اللفظية) dan aspek makna (المحسنات المعنوية). Masing-masing dari kedua aspek bahasa ini mempunyai bahasan tersendiri sebagaimana akan dibahas satu persatu di bawah ini.
1. Aspek Lafaz (المحسنات اللفظية)
Ada tiga tema penting yang membahas mengenai keindahan susunan lafaz, yaitu al-jinās (الجناس), al-iqtibās (الاقتباس) dan as-saja‘ (السجع)
a. Al-Jinās (الجناس)
Al-Jinās adalah dua lafaz (kata) yang sama ucapannya tetapi berbeda maknanya. Ia juga terbagi menjadi dua macam, yaitu:
Pertama, al-Jinās at-Tām (الجناس التام), yaitu dua lafaz yang sama pengucapannya dalam empat segi, yaitu: jenis huruf, baris (harakat) huruf, jumlah huruf dan tertib urutan huruf.
Contohnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; ‘mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (pada waktu tertentu)’…” (QS. ar-Rūm [30]: 55)
Contoh lain dalam sebuah syair yang mengenang kematian seorang anak kecil bernama Yahya:
وَسَمَّيْتُهُ يَحْيَى لِيَحْيَا فَلَمْ يَكُنْ # إِلَى رَدِّ أَمْرِ اللهِ فِيْهِ سَبِيْل
Aku menamakan anak itu Yahya supaya ia hidup terus tetapi # Tidak ada jalan untuk menolak urusan Allah (kematian)
Pada contoh pertama, lafaz الساعة disebut dua kali dan jenis pengucapannya persis sama tetapi maknanya berbeda. الساعة pertama bermakna "hari kiamat" sedangkan الساعة yang kedua maknanya "waktu atau masa tertentu".
Pada contoh kedua, lafaz يحيى disebut dua kali dan jenis pengucapannya persis sama tetapi maknanya berbeda. يحيى pertama berbentuk isim yang artinya "seorang yang bernama Yahya", sedangkan يحيى yang kedua berbentuk fi‘il mudhāri‘ yang berarti "hidup".
Kedua, al-Jinās Ghair at-Tām (الجناس غير التام), yaitu dua lafaz yang mirip pengucapannya tetapi tidak sama pada salah satu dari empat segi, yaitu: jenis huruf, baris (harakat) huruf, jumlah huruf dan tertib urutan huruf.
Contohnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
• •
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.” (QS. adh-Dhuha [93]: 9-10)
Pada contoh di atas, lafaz تَقْهَرْ dan تَنْهَرْ persis sama baris hurufnya, jumlah huruf dan tertib urutan huruf, tetapi yang berbeda adalah jenis hurufnya di mana pada lafaz تقهر menggunakan huruf القاف yang berada di antara hurufالهاء danالتاء sedangkan lafaz تنهر menggunakan huruf النون yang berada di antara huruf التاء dan الهاء.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
اَلدَّيْنُ يَهْدِمُ الدِّيْنَ
Hutang terkadang merusak agama
Pada contoh di atas, lafaz اَلدَّيْنُ persis sama jenis hurufnya, jumlah huruf dan tertib urutan hurufnya, tetapi yang berbeda adalah baris (harakat) huruf, di mana pada lafaz الدين yang pertama huruf الدال berharakat fathah (berbaris atas), sedangkan pada الدين yang kedua huruf الدال berharakat kasrah (berbaris bawah).
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan mereka melarang (orang lain) mendengarkan Al-Quran dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya….” (QS. al-An‘ām [6]: 26)
Pada contoh di atas, lafaz ينهون dan ينأون persis sama baris hurufnya, jumlah huruf dan tertib urutan huruf, tetapi yang berbeda adalah jenis hurufnya, di mana pada lafaz ينهون menggunakan huruf الهاء yang berada di antara hurufالنون danالواو sedangkan lafaz ينأون menggunakan huruf الهمزة yang berada di antara huruf النون dan الواو.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam suatu ungkapan:
لَهُمْ فِي السَّيْرِ جَرْيُ السَّيْلِ وَإِلَى الْخَيْرِ جَرْيُ الخَيْلِ
“Mereka kalau berjalan seperti larinya air bah (banjir) dan kalau diajak kepada kebaikan bagaikan kuda yang berlari”.
Pada contoh di atas, lafaz السير dan الخير persis sama baris hurufnya, jumlah huruf dan tertib urutan huruf, tetapi yang berbeda adalah jenis hurufnya, di mana pada lafaz السير menggunakan huruf السين yang berada di antara hurufاللام danالياء sedangkan lafaz الخير menggunakan hurup الخاء yang berada di antara huruf اللام dan الياء.
Demikian juga lafaz السيل dan الخيل persis sama baris hurufnya, jumlah hurup dan tertib urutan huruf, tetapi yang berbeda adalah jenis hurufnya di mana pada lafaz السيل menggunakan huruf السين yang berada di antara hurufاللام danالياء sedangkan lafaz الخيل menggunakan huruf الخاء yang berada di antara huruf اللام dan الياء.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
•
“Harun menjawab, ‘Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku’; Sesungguhnya Aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), ‘Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku’.” (QS. Thāhā [20]: 94)
Pada contoh di atas, lafaz بَيْنَ dan بَنِيْ persis sama baris hurufnya, jumlah huruf dan jenis hurup, tetapi yang berbeda adalah tertib urutan huruf, di mana huruf النون pada lafaz بَيْنَ terletak di akhir kata sementara pada lafaz بَنِيْ huruf النون terletak di tengah kata.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya….”(QS. an-Nisā’ [4]: 83)
Pada contoh di atas, lafaz الأمن dan الخوف persis sama baris hurufnya, jumlah huruf dan tertib urutan huruf, tetapi yang berbeda adalah jenis hurufnya, di mana lafaz الأمن tersusun dari huruf الهمزة, الميم dan النون sedangkan lafaz الخوف tersusun dari huruf الخاء, الواو dan الفاء.
“Dan mereka melarang (orang lain) mendengarkan Al-Quran dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya….” (QS. al-An‘ām [6]: 26)
Pada contoh di atas, lafaz ينهون dan ينأون persis sama baris hurufnya, jumlah huruf dan tertib urutan huruf, tetapi yang berbeda adalah jenis hurufnya, di mana pada lafaz ينهون menggunakan huruf الهاء yang berada di antara hurufالنون danالواو sedangkan lafaz ينأون menggunakan huruf الهمزة yang berada di antara huruf النون dan الواو.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam suatu ungkapan:
لَهُمْ فِي السَّيْرِ جَرْيُ السَّيْلِ وَإِلَى الْخَيْرِ جَرْيُ الخَيْلِ
“Mereka kalau berjalan seperti larinya air bah (banjir) dan kalau diajak kepada kebaikan bagaikan kuda yang berlari”.
Pada contoh di atas, lafaz السير dan الخير persis sama baris hurufnya, jumlah huruf dan tertib urutan huruf, tetapi yang berbeda adalah jenis hurufnya, di mana pada lafaz السير menggunakan huruf السين yang berada di antara hurufاللام danالياء sedangkan lafaz الخير menggunakan hurup الخاء yang berada di antara huruf اللام dan الياء.
Demikian juga lafaz السيل dan الخيل persis sama baris hurufnya, jumlah hurup dan tertib urutan huruf, tetapi yang berbeda adalah jenis hurufnya di mana pada lafaz السيل menggunakan huruf السين yang berada di antara hurufاللام danالياء sedangkan lafaz الخيل menggunakan huruf الخاء yang berada di antara huruf اللام dan الياء.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
•
“Harun menjawab, ‘Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku’; Sesungguhnya Aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), ‘Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku’.” (QS. Thāhā [20]: 94)
Pada contoh di atas, lafaz بَيْنَ dan بَنِيْ persis sama baris hurufnya, jumlah huruf dan jenis hurup, tetapi yang berbeda adalah tertib urutan huruf, di mana huruf النون pada lafaz بَيْنَ terletak di akhir kata sementara pada lafaz بَنِيْ huruf النون terletak di tengah kata.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya….”(QS. an-Nisā’ [4]: 83)
Pada contoh di atas, lafaz الأمن dan الخوف persis sama baris hurufnya, jumlah huruf dan tertib urutan huruf, tetapi yang berbeda adalah jenis hurufnya, di mana lafaz الأمن tersusun dari huruf الهمزة, الميم dan النون sedangkan lafaz الخوف tersusun dari huruf الخاء, الواو dan الفاء.
b. Al-Iqtibās (الاقتباس)
Al-iqtibās adalah pengutipan ayat al-Qur’an atau hadis Nabi, baik dalam kalimat yang berbentuk prosa atau syair tanpa memberi petunjuk bahwa itu adalah al-Qur’an atau hadis.
Dalam al-Iqtibās dibolehkan terjadinya perubahan sedikit dari teks aslinya baik dalam susunan ayat atau hadis.
Contohnya terdapat dalam perkataan Abdul Mukmin al-Ashfahani:
لاَ تَغُرَّنَّكَ مِن الظَّلَمَةِ كَثْرَةُ الْجُيُوْشِ وَالْأَنْصَارِ: (إِنَّمَا نُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيْهِ الْأَبْصَارُ)
Jangan engkau tertipu daya dalam kezaliman dengan banyaknya balatentara dan pengikut, sesungguhnya kami tangguhkan (azab mereka) pada hari di mana mata terbelalak.
Pada ungkapan di atas, terjadi pengutipan ayat al-Qur’an. Teks ayat al-Qur’an yang dikutip adalah kalimat إنما نؤخرهم ليوم تشخص فيه الأبصار yang terdapat dalam QS. Ibrāhīm [14]: 42.
Contoh lain perkataan Abu Ja‘far al-Andalusy:
لاَ تُعَاوِدِ النَّاسَ فِيْ أَوْطَانِهِمْ # قَلَّمَا يَرْعَبُ غَرِيْبُ الْوَطَنِ
وَإِذَا مَا شِئْتَ عَيْشًا فِيْهِمْ # (خَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ)
Jangan engkau bertentangan dengan orang-orang yang berada di negeri mereka # Sedikit orang yang takut terhadap orang asing
Jika engkau ingin hidup dengan mereka # Pergaulilah orang lain dengan akhlak yang baik
Pada bait syair di atas terjadi pengutipan hadis Rasulullah. Teks hadis yang dikutip adalah kalimat خالق الناس بخلق حسن.
Al-iqtibās ini berfungsi memberi penekanan pada suatu kalimat dan menunjukkan kecakapan pembicara atau penulis dalam menghubungkan perkataannya dengan ayat atau hadits yang dikutip.
Al-iqtibās adalah pengutipan ayat al-Qur’an atau hadis Nabi, baik dalam kalimat yang berbentuk prosa atau syair tanpa memberi petunjuk bahwa itu adalah al-Qur’an atau hadis.
Dalam al-Iqtibās dibolehkan terjadinya perubahan sedikit dari teks aslinya baik dalam susunan ayat atau hadis.
Contohnya terdapat dalam perkataan Abdul Mukmin al-Ashfahani:
لاَ تَغُرَّنَّكَ مِن الظَّلَمَةِ كَثْرَةُ الْجُيُوْشِ وَالْأَنْصَارِ: (إِنَّمَا نُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيْهِ الْأَبْصَارُ)
Jangan engkau tertipu daya dalam kezaliman dengan banyaknya balatentara dan pengikut, sesungguhnya kami tangguhkan (azab mereka) pada hari di mana mata terbelalak.
Pada ungkapan di atas, terjadi pengutipan ayat al-Qur’an. Teks ayat al-Qur’an yang dikutip adalah kalimat إنما نؤخرهم ليوم تشخص فيه الأبصار yang terdapat dalam QS. Ibrāhīm [14]: 42.
Contoh lain perkataan Abu Ja‘far al-Andalusy:
لاَ تُعَاوِدِ النَّاسَ فِيْ أَوْطَانِهِمْ # قَلَّمَا يَرْعَبُ غَرِيْبُ الْوَطَنِ
وَإِذَا مَا شِئْتَ عَيْشًا فِيْهِمْ # (خَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ)
Jangan engkau bertentangan dengan orang-orang yang berada di negeri mereka # Sedikit orang yang takut terhadap orang asing
Jika engkau ingin hidup dengan mereka # Pergaulilah orang lain dengan akhlak yang baik
Pada bait syair di atas terjadi pengutipan hadis Rasulullah. Teks hadis yang dikutip adalah kalimat خالق الناس بخلق حسن.
Al-iqtibās ini berfungsi memberi penekanan pada suatu kalimat dan menunjukkan kecakapan pembicara atau penulis dalam menghubungkan perkataannya dengan ayat atau hadits yang dikutip.
c. As-Saja‘ (السجع)
As-saja‘ adalah kesamaan huruf akhir pada dua susunan kalimat atau lebih sehingga membentuk bunyi dan nada huruf yang indah dan berirama. Susunan lafaz/kata akhir pada suatu kalimat dinamakan fāshilah.
Contohnya terdapat dalam hadist Rasulullah saw.:
اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَأَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
Ya Allah berikanlah orang yang berinfak itu pengganti harta bendanya dan berikanlah orang yang menahan (tidak berinfak) itu kerusakan harta bendanya.
Fāshilah pada kalimat di atas adalah خلفا dan تلفا.
Contoh lain:
الحُرُّ إِذَا وَعَدَ وَفَى وَإِذَا أَعَانَ كَفَى وَإِذَا مَلَكَ عَفَا
Orang yang merdeka jika ia berjanji ia menepati janjinya, jika ia memberi pertolongan ia melepaskan orang yang dibantunya dari keusahan, jika ia memiliki ia menjaganya.
Fāshilah pada kalimat di atas adalah وفى dan كفى serta عفا.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
رَحِمَ اللهُ عَبْدًا إِذَا قَالَ خَيْرًا فَغَنِمَ أَوْ سَكَتَ فَسَلِمَ
Semoga Allah memberi kasih sayang terhadap hamba yang jika berkata bermanfaat dan jika diam memberikan kedamaian.
Fāshilah pada kalimat ini adalah غنم dan سلم
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
الإِنْسَانُ بِآدَابِهِ لَا بِمَظْهَرِهِ وَثِيَابِهِ
Manusia itu diukur dari budi pekertinya bukan tampilan dan bajunya
Fāshilah pada kalimat tersebut adalah مظهره dan ثيابه .
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
• •
“Di dalamnya (surga) ada tahta-tahta yang ditinggikan, dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya). (QS. al Ghāsyiah [88]: 13-14)
Fāshilah pada kalimat di atas adalah مرفوعة dan موضوعة .
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
مَنْ عَاشَ مَاتَ، وَمَنْ مَاتَ فَاتَ، وَكُلُّ مَا هُوَ آتٍ آتٍ
Orang yang hidup pasti mati, orang yang mati pasti hilang, dan semua yang datang (ketentuan) pasti datang.
Fāshilah pada kalimat di atas adalah مات dan فات dan آت .
Ciri-ciri as-saja‘ yang baik adalah susunan kalimat yang pertama, kedua dan ketiganya sama jumlah hurufnya; susunan kalimatnya bagus; tidak dibuat-buat (berlebihan); dan tidak ada pengulangan kata-kata yang tidak bermanfaat.
2. Aspek Makna ((المحسنات المعنوية
Ada empat tema penting yang membahas mengenai keindahan makna, yaitu: at-tauriyah (التورية), husnu at-ta‘līl (حسن التعليل), ta’kid al-madh bimā yusybih adz-dzam (تأكيد المدح بما يشبه الذم), ta’kīd adz-dzam bimā yusybih al-madh ((تأكيد الذم بما يشبه المدح.
Di bawah ini kita akan bahas masing-masing dari empat tema tersebut di atas dengan rinci.
a. At-Tauriyah (التورية)
At-tauriyah adalah mengungkapkan suatu lafaz yang mempunyai dua makna: pertama; makna dekat dan jelas yang mudah dipahami (ditangkap oleh akal); kedua; makna jauh dan samar yang tidak mudah dipahami oleh akal, tetapi yang dimaksudkan oleh lafaz tersebut adalah makna jauh atau makna kedua.
Contohnya pada peristiwa hijrah ketika Rasulullah saw. dan Abu Bakar melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah. Di tengah perjalanan keduanya bertemu dengan seorang Arab Badui. Orang tersebut tidak mengenal Rasulullah, ia hanya mengenal Abu Bakar lalu ia bertanya kepada Abu Bakar: "Siapa orang yang ada di sampingnya?" Demi menjaga keamanan dan keselamatan jiwa Rasulullah agar tidak terbongkar dan diketahui oleh orang-orang kafir Quraisy, Abu Bakar menjawab dengan menggunakan uslūb at-tauriyah:
هَادٍ يَهْدِيْنِي السَّبِيْلَ
"Penunjuk yang menunjuki saya jalan"
Lafaz هاد pada konteks ini mengandung uslūb at-Tauriyah di mana makna pertama adalah makna dekat yang mudah dipahami, yaitu penunjuk jalan dari suatu tempat ke tempat lain. Adapun makna kedua yang jauh, yaitu orang yang menunjuki jalan kebenaran dari kafir menjadi Islam. Tetapi yang dimaksudkan oleh lafaz tersebut adalah makna jauh atau makna kedua. Kata tersebut sengaja di ucapkan Abu Bakar agar identitas Nabi tidak terbongkar.
Contoh lain pada kisah Nabi Ibrahim ketika beliau dalam perjalanan dengan istrinya Siti Hajar. Di tengah perjalanan keduanya di tangkap oleh penguasa yang sangat kejam dan bengis. Untuk menyelamatkan istrinya dari kebengisan sang penguasa, Nabi Ibrahim menjawab dengan menggunakan uslūb at-tauriyah ketika di introgasi oleh sang penguasa, “Siapa perempuan ini?” Nabi Ibrahim menjawab, هذه أختي (Dia adalah saudariku).
Kata أختي dalam konteks kalimat ini mengandung at-tauriyah yang mempunyai dua makna: pertama, makna dekat yang mudah dipahami, yaitu saudariku أختي في النسب sedangkan makna kedua, yaitu saudariku seagama (istriku)أختي في الله . Tetapi yang dimaksudkan oleh lafaz tersebut adalah makna jauh atau makna kedua. Kata tersebut sengaja diucapkan Nabi Ibrahim untuk menjaga identitas istrinya. Seandainya beliau menjawab Siti Hajar adalah istrinya bisa jadi dia akan dibunuh.
As-saja‘ adalah kesamaan huruf akhir pada dua susunan kalimat atau lebih sehingga membentuk bunyi dan nada huruf yang indah dan berirama. Susunan lafaz/kata akhir pada suatu kalimat dinamakan fāshilah.
Contohnya terdapat dalam hadist Rasulullah saw.:
اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَأَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
Ya Allah berikanlah orang yang berinfak itu pengganti harta bendanya dan berikanlah orang yang menahan (tidak berinfak) itu kerusakan harta bendanya.
Fāshilah pada kalimat di atas adalah خلفا dan تلفا.
Contoh lain:
الحُرُّ إِذَا وَعَدَ وَفَى وَإِذَا أَعَانَ كَفَى وَإِذَا مَلَكَ عَفَا
Orang yang merdeka jika ia berjanji ia menepati janjinya, jika ia memberi pertolongan ia melepaskan orang yang dibantunya dari keusahan, jika ia memiliki ia menjaganya.
Fāshilah pada kalimat di atas adalah وفى dan كفى serta عفا.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
رَحِمَ اللهُ عَبْدًا إِذَا قَالَ خَيْرًا فَغَنِمَ أَوْ سَكَتَ فَسَلِمَ
Semoga Allah memberi kasih sayang terhadap hamba yang jika berkata bermanfaat dan jika diam memberikan kedamaian.
Fāshilah pada kalimat ini adalah غنم dan سلم
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
الإِنْسَانُ بِآدَابِهِ لَا بِمَظْهَرِهِ وَثِيَابِهِ
Manusia itu diukur dari budi pekertinya bukan tampilan dan bajunya
Fāshilah pada kalimat tersebut adalah مظهره dan ثيابه .
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
• •
“Di dalamnya (surga) ada tahta-tahta yang ditinggikan, dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya). (QS. al Ghāsyiah [88]: 13-14)
Fāshilah pada kalimat di atas adalah مرفوعة dan موضوعة .
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
مَنْ عَاشَ مَاتَ، وَمَنْ مَاتَ فَاتَ، وَكُلُّ مَا هُوَ آتٍ آتٍ
Orang yang hidup pasti mati, orang yang mati pasti hilang, dan semua yang datang (ketentuan) pasti datang.
Fāshilah pada kalimat di atas adalah مات dan فات dan آت .
Ciri-ciri as-saja‘ yang baik adalah susunan kalimat yang pertama, kedua dan ketiganya sama jumlah hurufnya; susunan kalimatnya bagus; tidak dibuat-buat (berlebihan); dan tidak ada pengulangan kata-kata yang tidak bermanfaat.
2. Aspek Makna ((المحسنات المعنوية
Ada empat tema penting yang membahas mengenai keindahan makna, yaitu: at-tauriyah (التورية), husnu at-ta‘līl (حسن التعليل), ta’kid al-madh bimā yusybih adz-dzam (تأكيد المدح بما يشبه الذم), ta’kīd adz-dzam bimā yusybih al-madh ((تأكيد الذم بما يشبه المدح.
Di bawah ini kita akan bahas masing-masing dari empat tema tersebut di atas dengan rinci.
a. At-Tauriyah (التورية)
At-tauriyah adalah mengungkapkan suatu lafaz yang mempunyai dua makna: pertama; makna dekat dan jelas yang mudah dipahami (ditangkap oleh akal); kedua; makna jauh dan samar yang tidak mudah dipahami oleh akal, tetapi yang dimaksudkan oleh lafaz tersebut adalah makna jauh atau makna kedua.
Contohnya pada peristiwa hijrah ketika Rasulullah saw. dan Abu Bakar melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah. Di tengah perjalanan keduanya bertemu dengan seorang Arab Badui. Orang tersebut tidak mengenal Rasulullah, ia hanya mengenal Abu Bakar lalu ia bertanya kepada Abu Bakar: "Siapa orang yang ada di sampingnya?" Demi menjaga keamanan dan keselamatan jiwa Rasulullah agar tidak terbongkar dan diketahui oleh orang-orang kafir Quraisy, Abu Bakar menjawab dengan menggunakan uslūb at-tauriyah:
هَادٍ يَهْدِيْنِي السَّبِيْلَ
"Penunjuk yang menunjuki saya jalan"
Lafaz هاد pada konteks ini mengandung uslūb at-Tauriyah di mana makna pertama adalah makna dekat yang mudah dipahami, yaitu penunjuk jalan dari suatu tempat ke tempat lain. Adapun makna kedua yang jauh, yaitu orang yang menunjuki jalan kebenaran dari kafir menjadi Islam. Tetapi yang dimaksudkan oleh lafaz tersebut adalah makna jauh atau makna kedua. Kata tersebut sengaja di ucapkan Abu Bakar agar identitas Nabi tidak terbongkar.
Contoh lain pada kisah Nabi Ibrahim ketika beliau dalam perjalanan dengan istrinya Siti Hajar. Di tengah perjalanan keduanya di tangkap oleh penguasa yang sangat kejam dan bengis. Untuk menyelamatkan istrinya dari kebengisan sang penguasa, Nabi Ibrahim menjawab dengan menggunakan uslūb at-tauriyah ketika di introgasi oleh sang penguasa, “Siapa perempuan ini?” Nabi Ibrahim menjawab, هذه أختي (Dia adalah saudariku).
Kata أختي dalam konteks kalimat ini mengandung at-tauriyah yang mempunyai dua makna: pertama, makna dekat yang mudah dipahami, yaitu saudariku أختي في النسب sedangkan makna kedua, yaitu saudariku seagama (istriku)أختي في الله . Tetapi yang dimaksudkan oleh lafaz tersebut adalah makna jauh atau makna kedua. Kata tersebut sengaja diucapkan Nabi Ibrahim untuk menjaga identitas istrinya. Seandainya beliau menjawab Siti Hajar adalah istrinya bisa jadi dia akan dibunuh.
b. Husnu at-Ta‘līl (حسن التعليل)
Yaitu seorang sastrawan baik secara jelas atau tidak jelas mengingkari (tidak mengakui) penyebab terjadinya suatu peristiwa yang sebenarnya tetapi ia menyebutkan alasan lain yan lucu dan sesuai dengan kondisi.
Contohnya ketika gempa bumi melanda (menggoncang) negeri Mesir, seorang sastrawan bernama Muhammad bin al-Qasim bin ‘Ashim memuji penguasa saat itu dan menyebutkan alasan penyebab terjadinya gempa bumi:
مَا زُلْزِلَتْ مِصْرُ مِنْ كَيْدٍ يُرَادُ بِهَا # لَكِنَّهَا رَقَصَتْ مِنْ عَدْلِكُمْ طَرَبًا
Gempa bumi yang mengguncang Mesir bukan disebabkan oleh tipu daya # Tetapi bumi Mesir menari karena keadilan penguasanya
Contoh lain disebutkan dalam syair:
مَا قَصَّرَ الْغَيْثُ عَنْ مِصْرَ وَتُرْبَتِهَا # طَبْعًا وَلَكِنْ تَعَدَّاكُمْ مِنَ الْخَجَلِ
Mesir dan tanahnya menjadi tandus bukan disebabkan oleh keengganan air hujan untuk turun # Tetapi karena ia malu melebihi (menandingi) kemurahan kalian (orang-orang yang dipuji penyair).
Contoh lain:
كَانَ احْتِرَاقُ الدَّارِ حُزْنًا عَلَى غِيَابِ أَهْلِهَا
Terbakarnya rumah itu karena ia sedih ditinggalkan penghuninya
Contoh lain:
مَا طَلَعَ الْبَدْرُ إِلاَّ فَرْحًا بِعَوْدَتِكَ
Rembulan itu terbit karena gembira dengan kepulanganmu
Contoh lain:
مَا احْمَرَّ لَوْنُ الْوَرْدِ إِلاَّ خَجَلاَ مِنْكَ
Warna bunga mawar itu menjadi merah karena malu terhadapmu.
Yaitu seorang sastrawan baik secara jelas atau tidak jelas mengingkari (tidak mengakui) penyebab terjadinya suatu peristiwa yang sebenarnya tetapi ia menyebutkan alasan lain yan lucu dan sesuai dengan kondisi.
Contohnya ketika gempa bumi melanda (menggoncang) negeri Mesir, seorang sastrawan bernama Muhammad bin al-Qasim bin ‘Ashim memuji penguasa saat itu dan menyebutkan alasan penyebab terjadinya gempa bumi:
مَا زُلْزِلَتْ مِصْرُ مِنْ كَيْدٍ يُرَادُ بِهَا # لَكِنَّهَا رَقَصَتْ مِنْ عَدْلِكُمْ طَرَبًا
Gempa bumi yang mengguncang Mesir bukan disebabkan oleh tipu daya # Tetapi bumi Mesir menari karena keadilan penguasanya
Contoh lain disebutkan dalam syair:
مَا قَصَّرَ الْغَيْثُ عَنْ مِصْرَ وَتُرْبَتِهَا # طَبْعًا وَلَكِنْ تَعَدَّاكُمْ مِنَ الْخَجَلِ
Mesir dan tanahnya menjadi tandus bukan disebabkan oleh keengganan air hujan untuk turun # Tetapi karena ia malu melebihi (menandingi) kemurahan kalian (orang-orang yang dipuji penyair).
Contoh lain:
كَانَ احْتِرَاقُ الدَّارِ حُزْنًا عَلَى غِيَابِ أَهْلِهَا
Terbakarnya rumah itu karena ia sedih ditinggalkan penghuninya
Contoh lain:
مَا طَلَعَ الْبَدْرُ إِلاَّ فَرْحًا بِعَوْدَتِكَ
Rembulan itu terbit karena gembira dengan kepulanganmu
Contoh lain:
مَا احْمَرَّ لَوْنُ الْوَرْدِ إِلاَّ خَجَلاَ مِنْكَ
Warna bunga mawar itu menjadi merah karena malu terhadapmu.
c. Ta’kīd al-Madh bimā Yusybih adz-Dzam
(تأكيد المدح بما يشبه الذم)
Yaitu pengungkapan kata-kata dengan menekankan makna al-madh (pujian) menggunakan kalimat yang mirip (serupa) dengan celaan tetapi yang dimaksudkan adalah pujian.
Uslūb ini terbentuk dari dua susunan:
1) Menafikan (meniadakan) sifat celaan lalu diikuti setelah itu adat istitsnā’ yang diikuti sifat pujian juga.
Contoh sebagaimana disebutkan dalam sebuah syair:
وَلاَ عَيْبَ فِيْكُمْ غَيْرَ أَنَّ ضُيُوْفَكُمْ # تُعَابُ بِنِسْيَانِ الْأَحِبَّةِ وَالوَطَنِ
Kalian tidak mempunyai aib (cela), kecuali tamu-tamu kalian # Dicela (karena kalau berada di tempatmu) mereka lupa kekasih dan negerinya
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam sebuah syair:
وَلَا عَيْبَ فِيْ مَعْرُوْفِهِمْ غَيْرَ أَنَّهُ # يُبَيِّنُ عَجْزَ الشَّاكِرِيْنَ عَنِ الشُّكْرِ
Tidak ada cela pada kebaikan mereka kecuali dia # Menjelaskan ketidakmampuan orang-orang untuk berterima kasih
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam sebuah syair:
وَلَا عَيْبَ فِيْهِ غَيْرَ أَنِّي قَصَدْتُهُ # فَأَنْسَتْنِيَ الْأَيَّامُ أَهْلاً وَمَوْطِنًا
Dia tidak mempunyai aib (cela), kecuali kapan saja saya mengunjunginya # Hari-hari (di rumahnya) membuat aku lupa dengan sanak famili dan negeri
2) Menetapkan sifat pujian kepada sesuatu lalu diikuti setelah itu adat istitsnā’ yang diikuti sifat pujian juga.
Contoh sebagaimana disebutkan dalam ungkapan Rasulullah saw.
أَنَا أَفْصَحُ الْعَرَبِ بَيْدَ أَنِّيْ مِنْ قُرَيْشٍ
Aku orang yang paling fasih berbahasa arab kecuali aku dari suku Quraisy
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
هَمْ فُرْسَانُ الْكَلَامِ إِلَّا أَنَّهُمْ سَادَةٌ أَمْجَادٌ
Mereka adalah singa podium kecuali mereka juga orang-orang yang mulia
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam syair:
فَتًى كَمُلَتْ أَخْلاَقُهُ غَيْرَ أَنَّهُ # جَوَادٌ فَمَا يُبْقِى عَلَى المَالِ بَاقِيًا
Dia adalah pemuda yang sempurna akhlaknya kecuali dia # Pemurah, tidak ada hartanya yang tertinggal sedikitpun
d. Ta’kīd adz-Dzam bimā Yusybih al-Madh
(تأكيد الذم بما يشبه المدح)
Yaitu pengungkapan kata-kata dengan menekankan makna adz-dzam (celaan) menggunakan kalimat yang mirip (serupa) dengan pujian tetapi yang dimaksudkan adalah celaan.
Uslub ini terbentuk dari dua susunan:
1) Menafikan (meniadakan) sifat pujian lalu diikuti setelah itu adat istitsnā’ yang diikuti sifat celaan juga.
Contoh sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
لَا فَضْلَ لِلْقَوْمِ إِلَّا أَنَّهُمْ لَا يَعْرِفُوْنَ لِلْجَارِ حَقَّهُ
Tidak ada keutamaan bagi kaum itu, kecuali mereka tidak mengetahui (menghormati) hak-hak bertetangga.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam syair:
لَا عِزَّةَ لَهُمْ بَيْنَ العَشَائِرِ غَيْرَ أَنَّ جَارَهُمْ ذَلِيْلٌ
Tidak ada kejayaan mereka antar sesama suku, kecuali tetangga mereka menjadi hina
2) Menetapkan sifat celaan kepada sesuatu lalu diikuti setelah itu adat istitsnā’ yang diikuti sifat celaan juga.
Contoh sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
لَئِيْمُ الطِّبَاعِ سِوَى أَنَّهُ جَبَانٌ يَهُوْنُ عَلَيْهِ الهَوَانُ
Tercela Perangainya kecuali dia penakut menganggap enteng (mudah) sesuatu.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
الْجَاهِلُ عَدُوُّ نَفْسِهِ لَكِنَّهُ صَدِيْقُ السُّفَهَاءِ
Orang bodoh adalah musuh dirinya sendiri kecuali ia menjadi teman orang-orang yang dungu.
(تأكيد المدح بما يشبه الذم)
Yaitu pengungkapan kata-kata dengan menekankan makna al-madh (pujian) menggunakan kalimat yang mirip (serupa) dengan celaan tetapi yang dimaksudkan adalah pujian.
Uslūb ini terbentuk dari dua susunan:
1) Menafikan (meniadakan) sifat celaan lalu diikuti setelah itu adat istitsnā’ yang diikuti sifat pujian juga.
Contoh sebagaimana disebutkan dalam sebuah syair:
وَلاَ عَيْبَ فِيْكُمْ غَيْرَ أَنَّ ضُيُوْفَكُمْ # تُعَابُ بِنِسْيَانِ الْأَحِبَّةِ وَالوَطَنِ
Kalian tidak mempunyai aib (cela), kecuali tamu-tamu kalian # Dicela (karena kalau berada di tempatmu) mereka lupa kekasih dan negerinya
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam sebuah syair:
وَلَا عَيْبَ فِيْ مَعْرُوْفِهِمْ غَيْرَ أَنَّهُ # يُبَيِّنُ عَجْزَ الشَّاكِرِيْنَ عَنِ الشُّكْرِ
Tidak ada cela pada kebaikan mereka kecuali dia # Menjelaskan ketidakmampuan orang-orang untuk berterima kasih
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam sebuah syair:
وَلَا عَيْبَ فِيْهِ غَيْرَ أَنِّي قَصَدْتُهُ # فَأَنْسَتْنِيَ الْأَيَّامُ أَهْلاً وَمَوْطِنًا
Dia tidak mempunyai aib (cela), kecuali kapan saja saya mengunjunginya # Hari-hari (di rumahnya) membuat aku lupa dengan sanak famili dan negeri
2) Menetapkan sifat pujian kepada sesuatu lalu diikuti setelah itu adat istitsnā’ yang diikuti sifat pujian juga.
Contoh sebagaimana disebutkan dalam ungkapan Rasulullah saw.
أَنَا أَفْصَحُ الْعَرَبِ بَيْدَ أَنِّيْ مِنْ قُرَيْشٍ
Aku orang yang paling fasih berbahasa arab kecuali aku dari suku Quraisy
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
هَمْ فُرْسَانُ الْكَلَامِ إِلَّا أَنَّهُمْ سَادَةٌ أَمْجَادٌ
Mereka adalah singa podium kecuali mereka juga orang-orang yang mulia
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam syair:
فَتًى كَمُلَتْ أَخْلاَقُهُ غَيْرَ أَنَّهُ # جَوَادٌ فَمَا يُبْقِى عَلَى المَالِ بَاقِيًا
Dia adalah pemuda yang sempurna akhlaknya kecuali dia # Pemurah, tidak ada hartanya yang tertinggal sedikitpun
d. Ta’kīd adz-Dzam bimā Yusybih al-Madh
(تأكيد الذم بما يشبه المدح)
Yaitu pengungkapan kata-kata dengan menekankan makna adz-dzam (celaan) menggunakan kalimat yang mirip (serupa) dengan pujian tetapi yang dimaksudkan adalah celaan.
Uslub ini terbentuk dari dua susunan:
1) Menafikan (meniadakan) sifat pujian lalu diikuti setelah itu adat istitsnā’ yang diikuti sifat celaan juga.
Contoh sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
لَا فَضْلَ لِلْقَوْمِ إِلَّا أَنَّهُمْ لَا يَعْرِفُوْنَ لِلْجَارِ حَقَّهُ
Tidak ada keutamaan bagi kaum itu, kecuali mereka tidak mengetahui (menghormati) hak-hak bertetangga.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam syair:
لَا عِزَّةَ لَهُمْ بَيْنَ العَشَائِرِ غَيْرَ أَنَّ جَارَهُمْ ذَلِيْلٌ
Tidak ada kejayaan mereka antar sesama suku, kecuali tetangga mereka menjadi hina
2) Menetapkan sifat celaan kepada sesuatu lalu diikuti setelah itu adat istitsnā’ yang diikuti sifat celaan juga.
Contoh sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
لَئِيْمُ الطِّبَاعِ سِوَى أَنَّهُ جَبَانٌ يَهُوْنُ عَلَيْهِ الهَوَانُ
Tercela Perangainya kecuali dia penakut menganggap enteng (mudah) sesuatu.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
الْجَاهِلُ عَدُوُّ نَفْسِهِ لَكِنَّهُ صَدِيْقُ السُّفَهَاءِ
Orang bodoh adalah musuh dirinya sendiri kecuali ia menjadi teman orang-orang yang dungu.
Selain empat tema penting di atas yang membahas mengenai keindahan makna, ada dua lagi yang perlu diketahui, yaitu al-Thibaq dan al-Muqabalah.
a. Ath-Thibāq (الطباق)
Yaitu mengungkapkan suatu lafaz dengan anonim (lawan katanya) dalam suatu kalimat.
Ath-thibāq terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
Pertama, Thibāq al-Ijāb (طباق الإيجاب), yaitu pengungkapan suatu lafaz dengan anonimnya dalam suatu kalimat dan keduanya disusun dari kalimat yang tidak didahului nafy atau nahy.
Contoh:
هَلْ يَسْتَوِى البَخِيْلُ وَالكَرِيْمُ
Apakah sama orang yang bakhil (kikir) dengan orang yang pemurah?
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur….” (QS. al-Kahfi [18]: 18)
Contoh lain sabda Rasulullah:
خَيْرُ الْمَالِ عَيْنٌ سَاهِرَةٌ لِعَيْنٍ نَائِمَةٍ
Sebaik-baik harta benda adalah mata air yang mengalir bagi mata yang tertidur
Dari contoh bentuk pertama ditemukan beberapa lafaz yang disebutkan dengan anonimnya (lawan katanya) dalam suatu kalimat: lafaz البخيل dengan الكريم, lafaz أيقاظا dengan رقود, lafaz ساهرة dengan نائمة.
Kedua, Thibāq al-Salb (طباق السلب), yaitu pengungkapan suatu lafaz dengan anonimnya dalam suatu kalimat sekalipun keduanya terbentuk dari susunan lafaz fi‘il yang sama tetapi salah satu dari kedua fi‘il didahului nafy atau nahy.
Contoh:
••
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS. an-Nisā’ [4]: 108)
Contoh lain:
“… Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az Zumar [39]: 9)
Contoh lain terdapat dalam firman Allah:
“Mereka Hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. ar-Rūm [30]: 7)
Dari contoh bentuk kedua ditemukan beberapa lafaz yang disebutkan dengan anonimnya (lawan katanya) di mana keduanya terbentuk dari susunan lafaz fi‘il yang sama tetapi fi‘il yang satunya tidak didahului nafy atau nahy dan yang satunya lagi didahului nafy atau nahy: lafaz يَسْتَخْفُوْنَ dengan لا يَسْتَخْفُوْن, lafaz يعلمون dengan لا يعلمون, lafaz لا يعلمون dengan يعلمون.
a. Ath-Thibāq (الطباق)
Yaitu mengungkapkan suatu lafaz dengan anonim (lawan katanya) dalam suatu kalimat.
Ath-thibāq terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
Pertama, Thibāq al-Ijāb (طباق الإيجاب), yaitu pengungkapan suatu lafaz dengan anonimnya dalam suatu kalimat dan keduanya disusun dari kalimat yang tidak didahului nafy atau nahy.
Contoh:
هَلْ يَسْتَوِى البَخِيْلُ وَالكَرِيْمُ
Apakah sama orang yang bakhil (kikir) dengan orang yang pemurah?
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur….” (QS. al-Kahfi [18]: 18)
Contoh lain sabda Rasulullah:
خَيْرُ الْمَالِ عَيْنٌ سَاهِرَةٌ لِعَيْنٍ نَائِمَةٍ
Sebaik-baik harta benda adalah mata air yang mengalir bagi mata yang tertidur
Dari contoh bentuk pertama ditemukan beberapa lafaz yang disebutkan dengan anonimnya (lawan katanya) dalam suatu kalimat: lafaz البخيل dengan الكريم, lafaz أيقاظا dengan رقود, lafaz ساهرة dengan نائمة.
Kedua, Thibāq al-Salb (طباق السلب), yaitu pengungkapan suatu lafaz dengan anonimnya dalam suatu kalimat sekalipun keduanya terbentuk dari susunan lafaz fi‘il yang sama tetapi salah satu dari kedua fi‘il didahului nafy atau nahy.
Contoh:
••
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS. an-Nisā’ [4]: 108)
Contoh lain:
“… Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az Zumar [39]: 9)
Contoh lain terdapat dalam firman Allah:
“Mereka Hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. ar-Rūm [30]: 7)
Dari contoh bentuk kedua ditemukan beberapa lafaz yang disebutkan dengan anonimnya (lawan katanya) di mana keduanya terbentuk dari susunan lafaz fi‘il yang sama tetapi fi‘il yang satunya tidak didahului nafy atau nahy dan yang satunya lagi didahului nafy atau nahy: lafaz يَسْتَخْفُوْنَ dengan لا يَسْتَخْفُوْن, lafaz يعلمون dengan لا يعلمون, lafaz لا يعلمون dengan يعلمون.
b. Al-Muqābalah (المقابلة)
Yaitu mengungkapkan dua lafaz atau lebih dalam suatu kalimat lalu diiringi (diikuti) dua lafaz lain yang merupakan anonim (lawan kata) dari dua lafaz pertama yang disebutkan secara beriringan.
Contohnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“(Allah) menghalalkan kepada mereka ath-thayyibāt (makan-makanan yang baik) dan mengharamkan kepada mereka al-khabā’its (makan-makanan yang buruk)”. (QS. al-A‘rāf [7]: 157)
Lafaz يُحِلُّ dan الطَّيِّبَات adalah anonim (lawan kata) dari lafaz يُحَرِّمُ dan الخبائث.
Contoh lain disebutkan dalam sya'ir al-Buhtury:
فَإِذَا حَارَبُوْا أَذَلُّوْا عَزِيْزًا # وَإِذَا سَالَمُوْا أَعَزُّوْا ذَلِيْلاً
Jika berperang, mereka membuat orang-orang yang dulunya mulia menjadi hina dina # Jika berdamai mereka membuat orang-orang yang dulunya hina dina menjadi mulia.
Lafaz حَارَبُوْا, أَذَلُّوْا dan عَزِيْزًا adalah anonim (lawan kata) dari lafaz سَالَمُوْا, أَعَزُّوْا dan ذَلِيْلاً
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
إِنَّكَ تَكْرَهُ الجِدَّ وَتُحِبُّ اللَّهْوَ
Engkau membenci kesungguhan dan mencintai senda gurau.
Lafaz تَكْرَهُ dan الجِدَّ adalah anonim (lawan kata) dari lafaz تُحِبُّ dan اللَّهْو
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
عَلَى الْمُؤْمِنِ أَنْ يَأْمُرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ
Hendaklah seorang mukmin memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang yang munkar.
Lafaz يأمر dan المعروف adalah anonim (lawan kata) dari lafaz ينهى dan المنكر
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan :
فَلْيَسْهَرُوْا كَثِيْرًا وَلْيَنَامُوْا قَلِيْلاً
Hendaklah mereka sering terbangun (malam hari) dan sedikit tidur.
Lafaz يَسْهَرُوْا dan كَثِيْرًا adalah anonim (lawan kata) dari lafaz يَنَامُوْا dan قليلا
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan sesungguhnya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis serta Dialah yang mematikan dan menghidupkan.” (QS. an-Najm [53]: 43-44)
Lafaz أَضْحَكَ dan أَبْكَى adalah anonim (lawan kata) dari lafaz أَمَاتَ dan أحيا
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
لَا تَخْرُجُوْا مِنْ عِزِّ الطَّاعَةِ إِلَى ذُلِّ المَعْصِيَةِ
Janganlah keluar dari kemuliaan ta’at menuju kepada kehinaan maksiat.
Lafaz عِزِّ dan الطاعة adalah anonim (lawan kata) dari lafaz ذُلِّ dan المَعْصِيَة
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….” (QS. al-Baqarah [2]: 185)
Lafaz يريد dan اليسرى adalah anonim (lawan kata) dari lafaz لا يريد dan العسر
Contoh lain:
إِنَّكَ تُحِبُّ النَّوْمَ مُبَكِّرًا وَتَكْرَهُ السَّهْرَ
Sesungguhnya engkau senang tidur cepat (dini) dan benci bergadang.
Lafaz تحب dan النوم adalah anonim (lawan kata) dari تكره dan السَّهْر
Yaitu mengungkapkan dua lafaz atau lebih dalam suatu kalimat lalu diiringi (diikuti) dua lafaz lain yang merupakan anonim (lawan kata) dari dua lafaz pertama yang disebutkan secara beriringan.
Contohnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“(Allah) menghalalkan kepada mereka ath-thayyibāt (makan-makanan yang baik) dan mengharamkan kepada mereka al-khabā’its (makan-makanan yang buruk)”. (QS. al-A‘rāf [7]: 157)
Lafaz يُحِلُّ dan الطَّيِّبَات adalah anonim (lawan kata) dari lafaz يُحَرِّمُ dan الخبائث.
Contoh lain disebutkan dalam sya'ir al-Buhtury:
فَإِذَا حَارَبُوْا أَذَلُّوْا عَزِيْزًا # وَإِذَا سَالَمُوْا أَعَزُّوْا ذَلِيْلاً
Jika berperang, mereka membuat orang-orang yang dulunya mulia menjadi hina dina # Jika berdamai mereka membuat orang-orang yang dulunya hina dina menjadi mulia.
Lafaz حَارَبُوْا, أَذَلُّوْا dan عَزِيْزًا adalah anonim (lawan kata) dari lafaz سَالَمُوْا, أَعَزُّوْا dan ذَلِيْلاً
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
إِنَّكَ تَكْرَهُ الجِدَّ وَتُحِبُّ اللَّهْوَ
Engkau membenci kesungguhan dan mencintai senda gurau.
Lafaz تَكْرَهُ dan الجِدَّ adalah anonim (lawan kata) dari lafaz تُحِبُّ dan اللَّهْو
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
عَلَى الْمُؤْمِنِ أَنْ يَأْمُرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ
Hendaklah seorang mukmin memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang yang munkar.
Lafaz يأمر dan المعروف adalah anonim (lawan kata) dari lafaz ينهى dan المنكر
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan :
فَلْيَسْهَرُوْا كَثِيْرًا وَلْيَنَامُوْا قَلِيْلاً
Hendaklah mereka sering terbangun (malam hari) dan sedikit tidur.
Lafaz يَسْهَرُوْا dan كَثِيْرًا adalah anonim (lawan kata) dari lafaz يَنَامُوْا dan قليلا
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan sesungguhnya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis serta Dialah yang mematikan dan menghidupkan.” (QS. an-Najm [53]: 43-44)
Lafaz أَضْحَكَ dan أَبْكَى adalah anonim (lawan kata) dari lafaz أَمَاتَ dan أحيا
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:
لَا تَخْرُجُوْا مِنْ عِزِّ الطَّاعَةِ إِلَى ذُلِّ المَعْصِيَةِ
Janganlah keluar dari kemuliaan ta’at menuju kepada kehinaan maksiat.
Lafaz عِزِّ dan الطاعة adalah anonim (lawan kata) dari lafaz ذُلِّ dan المَعْصِيَة
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….” (QS. al-Baqarah [2]: 185)
Lafaz يريد dan اليسرى adalah anonim (lawan kata) dari lafaz لا يريد dan العسر
Contoh lain:
إِنَّكَ تُحِبُّ النَّوْمَ مُبَكِّرًا وَتَكْرَهُ السَّهْرَ
Sesungguhnya engkau senang tidur cepat (dini) dan benci bergadang.
Lafaz تحب dan النوم adalah anonim (lawan kata) dari تكره dan السَّهْر
BAB IV
ILMU MA‘ĀNĪ
ILMU MA‘ĀNĪ
A. Definisi Ilmu Ma‘ānī
Yaitu ilmu yang mempelajari kesesuaian antara konteks pembicaraan dengan situasi dan kondisi sehingga maksud dan tujuan bisa tersampaikan secara jelas dan gamblang.
Berdasarkan definisi di atas, dalam ilmu Ma‘ānī terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan, yaitu kondisi audien (pendengar) dan obyek (topik pembicaraan).
1. Kondisi Audien (pendengar)
Pembicaraan harus disesuaikan dengan kapasitas intelektual audien. Bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang yang tingkat intelektualnya tinggi, tentu berbeda dengan orang yang tingkat intelektualnya rendah. Misalnya penggunaan cara berbahasa dengan seorang mahasiswa di perguruan tinggi berbeda dengan seorang murid Sekolah Dasar atau orang yang pernah mengenyam pendidikan dengan orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan.
Kalau berbicara dengan orang terdidik kita cukup menggunakan kalimat yang singkat dan padat bukan bertele-tele. Dengan cara itu mereka sudah bisa memahami dan menangkap maksud dan tujuan sang pembicara, tetapi sebaliknya kalau kita berbicara di hadapan orang yang tidak terdidik maka dibutuhkan penggunaan kata-kata yang panjang dan bertele-tele sekalipun maksud dan tujuan yang ingin disampaikan hanya sedikit.
2. Obyek/Topik Pembicaraan
Obyek pembicaraan memegang peranan penting dan substansial dalam ilmu ma’ani. Obyek pembicaraan juga harus disesuaikan dengan kadar intelektual audien. Karena ada obyek pembicaraan yang bisa dijangkau oleh audien dan sebaliknya ada obyek-obyek pembicaraan yang tidak bisa terjangkau oleh akal dan kadar keilmuannya. Kemampuan menganalisa dan problem solving (memecahkan masalah) tentu tidak akan mampu dilakukan oleh anak-anak yang masih belajar di bangku sekolah tingkat dasar.
Yaitu ilmu yang mempelajari kesesuaian antara konteks pembicaraan dengan situasi dan kondisi sehingga maksud dan tujuan bisa tersampaikan secara jelas dan gamblang.
Berdasarkan definisi di atas, dalam ilmu Ma‘ānī terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan, yaitu kondisi audien (pendengar) dan obyek (topik pembicaraan).
1. Kondisi Audien (pendengar)
Pembicaraan harus disesuaikan dengan kapasitas intelektual audien. Bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang yang tingkat intelektualnya tinggi, tentu berbeda dengan orang yang tingkat intelektualnya rendah. Misalnya penggunaan cara berbahasa dengan seorang mahasiswa di perguruan tinggi berbeda dengan seorang murid Sekolah Dasar atau orang yang pernah mengenyam pendidikan dengan orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan.
Kalau berbicara dengan orang terdidik kita cukup menggunakan kalimat yang singkat dan padat bukan bertele-tele. Dengan cara itu mereka sudah bisa memahami dan menangkap maksud dan tujuan sang pembicara, tetapi sebaliknya kalau kita berbicara di hadapan orang yang tidak terdidik maka dibutuhkan penggunaan kata-kata yang panjang dan bertele-tele sekalipun maksud dan tujuan yang ingin disampaikan hanya sedikit.
2. Obyek/Topik Pembicaraan
Obyek pembicaraan memegang peranan penting dan substansial dalam ilmu ma’ani. Obyek pembicaraan juga harus disesuaikan dengan kadar intelektual audien. Karena ada obyek pembicaraan yang bisa dijangkau oleh audien dan sebaliknya ada obyek-obyek pembicaraan yang tidak bisa terjangkau oleh akal dan kadar keilmuannya. Kemampuan menganalisa dan problem solving (memecahkan masalah) tentu tidak akan mampu dilakukan oleh anak-anak yang masih belajar di bangku sekolah tingkat dasar.
B. Topik Inti Bahasan Ilmu Ma‘ānī
Ada beberapa topik inti yang menjadi pembahasan para ulama Balāghah dalam ilmu Ma‘ānī, yaitu: al-Khabar dan al-Insyā’, al-Musnad dan al-Musnad Ilaih, al-Ījaz, al-Ithnāb dan al-Musāwat, al-Qashr, al-Washlu dan al-Fashlu. Di bawah ini akan dipaparkan dengan rinci kelima topik tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Al-Khabar dan al-Insyā’
Kalimat berbahasa Arab dilihat dari kesesuaian antara berita dengan realita (benar atau tidaknya suatu berita dengan kenyataan) dibagi menjadi dua, yaitu al-Khabar dan al-Insyā’.
a. Al-Khabar (الخبر)
1) Definisi al-Khabar
Yaitu berita (kata-kata) yang bisa jadi sesuai (benar) atau tidak sesuai (bohong) dengan fakta dan realita di lapangan pada dirinya, tanpa memandang dan mempertimbangkan subyek yang berbicara.
Jika suatu pembicaraan sesuai dengan kenyataan, maka berita tersebut mengandung kebenaran. Tetapi sebaliknya jika suatu berita tidak sesuai dengan kenyataan, maka berita tersebut mengandung kebohongan.
Pada definisi di atas disebutkan ”tanpa memandang dan mempertimbangkan subyek yang berbicara,” karena umat Islam berkeyakinan bahwa berita-berita yang bersumber dari Allah dalam al-Qur’an dan Rasulullah dalam hadisnya pasti mengandung kebenaran (sesuai antara berita dengan realita).
Contoh khabar: jika tersebar berita bahwa si fulan meninggal dunia lalu kita pergi ke rumahnya dan melihat keluarganya menangis dan orang-orang berkumpul sambil bersiap-siap untuk memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan jenazahnya, maka kita berkeyakinan bahwa berita mengenai kematian si fulan mengandung kebenaran karena sesuai dengan fakta dan realita, dan begitu juga sebaliknya.
2) Pola Kalimat Khabar (الجملة الخبرية)
Al-jumlah al-khabariyah (pola kalimat khabar) dilihat dari sisi pembentuknya dibuat dengan memakai dua pola, yaitu:
(a) Pola yang terbuat dari mubtada’ dan khabar atau dikenal dengan nama al-jumlah al-ismiyah, contohnya: محمد قادم (Muhammad berdiri)
(b) Pola yang terbuat dari fi‘il dan fā‘il atau dikenal dengan nama al-jumlah al-fi‘liyah, contohnya: قام محمد (Telah berdiri Muhammad)
3) Uslūb al-Khabar (أسلوب الخبر)
Karena ruang lingkup bahasan ilmu Ma‘ānī berkaitan dengan efektivitas suatu pembicaraan (berita) sesuai dengan situasi dan kondisi audien, maka ada tiga bentuk uslūb khabar yang dipergunakan pembicara untuk meyakinkan audien (lawan bicara):
(a) Al-Uslūb al-Ibtidā’ī (ألأسلوب الابتدائي)
Jika audien tidak memiliki berita sama sekali mengenai suatu peristiwa, maka berita yang disampaikan tidak perlu menggunakan taukīd (penguat/penegas), contohnya: زيد جالس
(b) Al-Uslūb al-Thalabī (الأسلوب الطلبي)
Jika audien ragu-ragu atau bimbang mengenai kebenaran suatu berita, maka untuk meyakinkannya kita cukup menggunakan satu taukid (penegas), contohnya: إن زيدا جالس
(c) Al-Uslūb al-Inkārī (الأسلوب الإنكاري)
Jika audien mengingkari kebenaran suatu berita atau tidak percaya dengan kandungannya, maka untuk meyakinkannya kita menggunakan dua taukīd atau lebih, contohnya: إن زيدا لجالس atau والله إن زيدا لجالس dimana pada kalimat pertama menggunakan dua taukīd yaitu إن dan لام التوكيد sedangkan pada kalimat kedua menggunakan tiga taukīd yaitu القسم (sumpah) dan إن serta لام التوكيد
4) Huruf Taukīd (أحرف التوكيد)
Ada beberapa huruf taukīd yang dipergunakan untuk memperkuat suatu berita sehingga audien mengakui kebenaran sesuatu yang disampaikan, yaitu:
إِنَّ، أَنَّ، القَسَمُ، لَامُ الْاِبْتِدَاءِ، نُوْنُ التَّوْكِيْدِ الْخَفِيْفَةُ، نُوْنُ التَّوْكِيْدِ الثَّقِيْلَةُ، أَحْرُفُ التَّنْبِيْهِ، قَدْ، أَمَّا الشَّرْطِيَّةِ
5) Tujuan Khabar (أغراض الخبر)
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai (dimaksudkan) dari penyampaian suatu berita dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi audien:
(a) Fā’idah al-Khabar (فائدة الخبر)
Yaitu menyampaikan berita mengenai hukum yang terkandung dalam suatu berita. Contohnya: حضر رئيس الجمهورية (telah hadir presiden) اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ (berbakti adalah akhlak yang baik)
(b) Lāzim al-Fā’idah (لازم الفائدة)
Yaitu menyampaikan berita bahwa pembicara mengetahui berita yang disampaikan, seperti seseorang yang mengetahui temannya lulus ujian tetapi berita tersebut masih disembunyikan oleh yang bersangkutan. Disebutkan أَنْتَ نَجَحْتَ في الاخْتِبَار (engkau lulus ujian) atau contoh lainnya pembicara mengetahui audien menyampaikan ceramah yang bagus kemarin, lalu ia berkata: أَلْقَيْتَ مُحَاضَرَةً جَيِّدَةً بِالأَمْسِ (engkau telah menyampaikan ceramah yang bagus kemarin)
(c) Al-Fakhr (الفخر)
Yaitu menyampaikan berita untuk menunjukkan kebanggaan (prestise). Contohnya sebagaimana sabda Rasulullah:
أَنَا أَفْصَحُ العَرَبِ بَيْدَ أَنِّي مِنْ قُرَيْشٍ
Saya orang yang paling fasih berbahasa Arab selain itu saya berasal dari keturunan Quraisy.
(d) Izhhār al-Dha‘f(إظهار الضعف)
Yaitu menyampaikan berita untuk menunjukkan atau menampakkan kelemahan.
Contohnya sebagaiman disebutkan dalam al-Qur’an yang mengisahkan tentang kondisi Nabi Zakariya:
•
“Ia (Nabi Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban….” (Q.S.Maryam [19]:4).
(e) Al-Istirhām dan al-Isti‘thāf
(الاسترحام والاستعطاف)
Yaitu menyampaikan berita untuk menunjukkan kasih sayang dan belas kasihan. Contohnya:
إِنِّيْ فَقِيْرٌ إِلَى عَفْوِ اللهِ وَغُفْرَانِهِ
Saya sangat mengharapkan ampunan dan magfirah dari Allah.
(f) Izhhār al-Tahassur ‘alā Syai’in Mahbub
إظهار التحسر على شيء محبوب) )
Yaitu menyampaikan berita untuk menunjukkan penyesalan terhadap sesuatu yang dicintai.
Contohnya sebagaiman disebutkan dalam al-Qur’an yang mengisahkan tentang isteri Imran yang melahirkan anak perempuan bernama Maryam:
Contohnya:
“Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata, “Ya Tuhanku, Sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan….” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 36).
Ada beberapa topik inti yang menjadi pembahasan para ulama Balāghah dalam ilmu Ma‘ānī, yaitu: al-Khabar dan al-Insyā’, al-Musnad dan al-Musnad Ilaih, al-Ījaz, al-Ithnāb dan al-Musāwat, al-Qashr, al-Washlu dan al-Fashlu. Di bawah ini akan dipaparkan dengan rinci kelima topik tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Al-Khabar dan al-Insyā’
Kalimat berbahasa Arab dilihat dari kesesuaian antara berita dengan realita (benar atau tidaknya suatu berita dengan kenyataan) dibagi menjadi dua, yaitu al-Khabar dan al-Insyā’.
a. Al-Khabar (الخبر)
1) Definisi al-Khabar
Yaitu berita (kata-kata) yang bisa jadi sesuai (benar) atau tidak sesuai (bohong) dengan fakta dan realita di lapangan pada dirinya, tanpa memandang dan mempertimbangkan subyek yang berbicara.
Jika suatu pembicaraan sesuai dengan kenyataan, maka berita tersebut mengandung kebenaran. Tetapi sebaliknya jika suatu berita tidak sesuai dengan kenyataan, maka berita tersebut mengandung kebohongan.
Pada definisi di atas disebutkan ”tanpa memandang dan mempertimbangkan subyek yang berbicara,” karena umat Islam berkeyakinan bahwa berita-berita yang bersumber dari Allah dalam al-Qur’an dan Rasulullah dalam hadisnya pasti mengandung kebenaran (sesuai antara berita dengan realita).
Contoh khabar: jika tersebar berita bahwa si fulan meninggal dunia lalu kita pergi ke rumahnya dan melihat keluarganya menangis dan orang-orang berkumpul sambil bersiap-siap untuk memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan jenazahnya, maka kita berkeyakinan bahwa berita mengenai kematian si fulan mengandung kebenaran karena sesuai dengan fakta dan realita, dan begitu juga sebaliknya.
2) Pola Kalimat Khabar (الجملة الخبرية)
Al-jumlah al-khabariyah (pola kalimat khabar) dilihat dari sisi pembentuknya dibuat dengan memakai dua pola, yaitu:
(a) Pola yang terbuat dari mubtada’ dan khabar atau dikenal dengan nama al-jumlah al-ismiyah, contohnya: محمد قادم (Muhammad berdiri)
(b) Pola yang terbuat dari fi‘il dan fā‘il atau dikenal dengan nama al-jumlah al-fi‘liyah, contohnya: قام محمد (Telah berdiri Muhammad)
3) Uslūb al-Khabar (أسلوب الخبر)
Karena ruang lingkup bahasan ilmu Ma‘ānī berkaitan dengan efektivitas suatu pembicaraan (berita) sesuai dengan situasi dan kondisi audien, maka ada tiga bentuk uslūb khabar yang dipergunakan pembicara untuk meyakinkan audien (lawan bicara):
(a) Al-Uslūb al-Ibtidā’ī (ألأسلوب الابتدائي)
Jika audien tidak memiliki berita sama sekali mengenai suatu peristiwa, maka berita yang disampaikan tidak perlu menggunakan taukīd (penguat/penegas), contohnya: زيد جالس
(b) Al-Uslūb al-Thalabī (الأسلوب الطلبي)
Jika audien ragu-ragu atau bimbang mengenai kebenaran suatu berita, maka untuk meyakinkannya kita cukup menggunakan satu taukid (penegas), contohnya: إن زيدا جالس
(c) Al-Uslūb al-Inkārī (الأسلوب الإنكاري)
Jika audien mengingkari kebenaran suatu berita atau tidak percaya dengan kandungannya, maka untuk meyakinkannya kita menggunakan dua taukīd atau lebih, contohnya: إن زيدا لجالس atau والله إن زيدا لجالس dimana pada kalimat pertama menggunakan dua taukīd yaitu إن dan لام التوكيد sedangkan pada kalimat kedua menggunakan tiga taukīd yaitu القسم (sumpah) dan إن serta لام التوكيد
4) Huruf Taukīd (أحرف التوكيد)
Ada beberapa huruf taukīd yang dipergunakan untuk memperkuat suatu berita sehingga audien mengakui kebenaran sesuatu yang disampaikan, yaitu:
إِنَّ، أَنَّ، القَسَمُ، لَامُ الْاِبْتِدَاءِ، نُوْنُ التَّوْكِيْدِ الْخَفِيْفَةُ، نُوْنُ التَّوْكِيْدِ الثَّقِيْلَةُ، أَحْرُفُ التَّنْبِيْهِ، قَدْ، أَمَّا الشَّرْطِيَّةِ
5) Tujuan Khabar (أغراض الخبر)
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai (dimaksudkan) dari penyampaian suatu berita dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi audien:
(a) Fā’idah al-Khabar (فائدة الخبر)
Yaitu menyampaikan berita mengenai hukum yang terkandung dalam suatu berita. Contohnya: حضر رئيس الجمهورية (telah hadir presiden) اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ (berbakti adalah akhlak yang baik)
(b) Lāzim al-Fā’idah (لازم الفائدة)
Yaitu menyampaikan berita bahwa pembicara mengetahui berita yang disampaikan, seperti seseorang yang mengetahui temannya lulus ujian tetapi berita tersebut masih disembunyikan oleh yang bersangkutan. Disebutkan أَنْتَ نَجَحْتَ في الاخْتِبَار (engkau lulus ujian) atau contoh lainnya pembicara mengetahui audien menyampaikan ceramah yang bagus kemarin, lalu ia berkata: أَلْقَيْتَ مُحَاضَرَةً جَيِّدَةً بِالأَمْسِ (engkau telah menyampaikan ceramah yang bagus kemarin)
(c) Al-Fakhr (الفخر)
Yaitu menyampaikan berita untuk menunjukkan kebanggaan (prestise). Contohnya sebagaimana sabda Rasulullah:
أَنَا أَفْصَحُ العَرَبِ بَيْدَ أَنِّي مِنْ قُرَيْشٍ
Saya orang yang paling fasih berbahasa Arab selain itu saya berasal dari keturunan Quraisy.
(d) Izhhār al-Dha‘f(إظهار الضعف)
Yaitu menyampaikan berita untuk menunjukkan atau menampakkan kelemahan.
Contohnya sebagaiman disebutkan dalam al-Qur’an yang mengisahkan tentang kondisi Nabi Zakariya:
•
“Ia (Nabi Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban….” (Q.S.Maryam [19]:4).
(e) Al-Istirhām dan al-Isti‘thāf
(الاسترحام والاستعطاف)
Yaitu menyampaikan berita untuk menunjukkan kasih sayang dan belas kasihan. Contohnya:
إِنِّيْ فَقِيْرٌ إِلَى عَفْوِ اللهِ وَغُفْرَانِهِ
Saya sangat mengharapkan ampunan dan magfirah dari Allah.
(f) Izhhār al-Tahassur ‘alā Syai’in Mahbub
إظهار التحسر على شيء محبوب) )
Yaitu menyampaikan berita untuk menunjukkan penyesalan terhadap sesuatu yang dicintai.
Contohnya sebagaiman disebutkan dalam al-Qur’an yang mengisahkan tentang isteri Imran yang melahirkan anak perempuan bernama Maryam:
Contohnya:
“Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata, “Ya Tuhanku, Sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan….” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 36).
b. Al-Insyā’ (الإنشاء)
1) Definisi al-Insyā’
Yaitu kalimat (sesuatu) yang tidak mengandung (yang tidak bisa disifati) dengan benar atau tidak benar karena ia hanya berkaitan dengan terjadinya suatu perbuatan atau tidak terjadinya. Al-Insyā’ berbentuk perintah (الأمر) dan larangan(النهي)
2) Macam-macam al-Insyā’
Al-Insyā’ dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
(a) Al-Insyā’ ath-Thalabī (الإنشاء الطلبي)
Yaitu sesuatu yang mengandung perintah yang hasilnya tidak terwujudkan secara langsung pada waktu memerintahkan. Al-Insyā’ jenis ini terbentuk dari beberapa hal, yaitu: al-amr (الأمر), an-nahyu (النهي), at-tamannī(التمني) , an-nidā’ (النداء), dan al-Istifhām(الاستفهام) . Di bawah ini akan dibahas secara rinci sebagai berikut:
- Al-Amr, Yaitu meminta (menuntut) pelaksanaan suatu perbuatan dari orang yang lebih tinggi kedudukannya (posisinya) kepada orang yang lebih rendah. Dikenal juga dengan nama perintah (instruksi). Dalam struktur keluarga misalnya dari ayah atau ibu kepada anaknya, dari kakak kepada adiknya. Dalam struktur manajemen perkantoran, dari pimpinan kepada staf atau bawahan. Dalam ibadah, dari Allah kepada hambanya, atau Rasul kepada umatnya.
• Shīgat al-Amr
Adapun shīgat (bentuk-bentuk) al-Amr ada empat, yaitu:
Pertama, berbentuk fi‘il amr. Contohnya sebagaimana perintah Allah kepada manusia:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun….” (QS. An-Nisā’ [4]: 36)
Fi‘il amr pada kalimat ini adalah lafaz اعْبُدُوْا
Contoh lain: Perintah pimpinan kepada stafnya: اجلس (Duduklah!)
Dalam sebuah syair disebutkan:
يَا لَيْلُ طُلْ يَا نَوْمُ زُلْ # يَا صُبْحُ قِفْ وَلاَ تَطْلُعِيْ
Wahai malam, panjanglah! Wahai tidur, hilanglah! # Wahai waktu Shubuh berhentilah! Dan jangan lagi engkau terbit.
Fi‘il amr pada bait syair ini adalah lafaz طُلْ, زُلْ dan قِفْ.
Dalam sebuah syair lain:
عِشْ عَزِيْزًا أَوْ مُتْ وَأَنْتَ كَرِيْمٌ # بَيْنَ طَعْنِ الْقِنَا وَخَفْقِ البُنُوْدِ
Hiduplah mulia atau matilah terhormat # Antara tusukan tombak dan kibaran bendera perang.
Fi’il amr pada bait syair ini adalah lafaz عِشْ dan مُتْ
Kedua, berbentuk fi‘il Mudhāri‘ yang disertai dengan lām al-amr. Contohnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
•
”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Āli Imrān [3]: 104)
Contoh lain:
”Kemudian, hendaklah mereka meng-hilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (QS. Al-Hajj [22]: 29)
Fi‘il mudhāri‘ yang disertai dengan lām al-amr adalah lafaz ولتكن pada ayat pertama dan وَلْيُوْفُوْا serta وَلْيَطَّوَّفُوْا pada ayat kedua.
Ketiga, berbentuk isim fi‘il al-amr. Contohnya: آمين =Kabulkanlah doa kami
Keempat, bentuk al-mashdar an-nā’ib ‘an fi‘il al-amr, yaitu mashdar yang menggantikan posisi fi‘il al-amr, contohnya:
سَعْيًا فِيْ سَبِيْلِ الْخَيْرِ
Berusahalah menuju jalan kebaikan!
Al-mashdar an-nā’ib ‘an fi‘il al-amr,al-Mashdar adalah سَعْيًا yang berasal dari fi‘il اِسْعَ سَعْيًا
• Makna-makna al-Amr
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa makna asli dari al-amr adalah perintah. Tetapi dalam beberapa konteks kalimat terkadang shīgat (bentuk) al-amr keluar dari makna aslinya yang berupa perintah yang sifatnya mengikat dan wajib dikerjakan kepada makna-makna lain. Hal tersebut diketahui dengan mengkaji konteks dan redaksi suatu kalimat. Makna-makna tersebut di antaranya:
- Al-Irsyād (mengarahkan), Contohnya pada lafaz فَاكْتُبُوْهُ sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (QS. Al Baqarah [2]: 282)
1) Definisi al-Insyā’
Yaitu kalimat (sesuatu) yang tidak mengandung (yang tidak bisa disifati) dengan benar atau tidak benar karena ia hanya berkaitan dengan terjadinya suatu perbuatan atau tidak terjadinya. Al-Insyā’ berbentuk perintah (الأمر) dan larangan(النهي)
2) Macam-macam al-Insyā’
Al-Insyā’ dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
(a) Al-Insyā’ ath-Thalabī (الإنشاء الطلبي)
Yaitu sesuatu yang mengandung perintah yang hasilnya tidak terwujudkan secara langsung pada waktu memerintahkan. Al-Insyā’ jenis ini terbentuk dari beberapa hal, yaitu: al-amr (الأمر), an-nahyu (النهي), at-tamannī(التمني) , an-nidā’ (النداء), dan al-Istifhām(الاستفهام) . Di bawah ini akan dibahas secara rinci sebagai berikut:
- Al-Amr, Yaitu meminta (menuntut) pelaksanaan suatu perbuatan dari orang yang lebih tinggi kedudukannya (posisinya) kepada orang yang lebih rendah. Dikenal juga dengan nama perintah (instruksi). Dalam struktur keluarga misalnya dari ayah atau ibu kepada anaknya, dari kakak kepada adiknya. Dalam struktur manajemen perkantoran, dari pimpinan kepada staf atau bawahan. Dalam ibadah, dari Allah kepada hambanya, atau Rasul kepada umatnya.
• Shīgat al-Amr
Adapun shīgat (bentuk-bentuk) al-Amr ada empat, yaitu:
Pertama, berbentuk fi‘il amr. Contohnya sebagaimana perintah Allah kepada manusia:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun….” (QS. An-Nisā’ [4]: 36)
Fi‘il amr pada kalimat ini adalah lafaz اعْبُدُوْا
Contoh lain: Perintah pimpinan kepada stafnya: اجلس (Duduklah!)
Dalam sebuah syair disebutkan:
يَا لَيْلُ طُلْ يَا نَوْمُ زُلْ # يَا صُبْحُ قِفْ وَلاَ تَطْلُعِيْ
Wahai malam, panjanglah! Wahai tidur, hilanglah! # Wahai waktu Shubuh berhentilah! Dan jangan lagi engkau terbit.
Fi‘il amr pada bait syair ini adalah lafaz طُلْ, زُلْ dan قِفْ.
Dalam sebuah syair lain:
عِشْ عَزِيْزًا أَوْ مُتْ وَأَنْتَ كَرِيْمٌ # بَيْنَ طَعْنِ الْقِنَا وَخَفْقِ البُنُوْدِ
Hiduplah mulia atau matilah terhormat # Antara tusukan tombak dan kibaran bendera perang.
Fi’il amr pada bait syair ini adalah lafaz عِشْ dan مُتْ
Kedua, berbentuk fi‘il Mudhāri‘ yang disertai dengan lām al-amr. Contohnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
•
”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Āli Imrān [3]: 104)
Contoh lain:
”Kemudian, hendaklah mereka meng-hilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (QS. Al-Hajj [22]: 29)
Fi‘il mudhāri‘ yang disertai dengan lām al-amr adalah lafaz ولتكن pada ayat pertama dan وَلْيُوْفُوْا serta وَلْيَطَّوَّفُوْا pada ayat kedua.
Ketiga, berbentuk isim fi‘il al-amr. Contohnya: آمين =Kabulkanlah doa kami
Keempat, bentuk al-mashdar an-nā’ib ‘an fi‘il al-amr, yaitu mashdar yang menggantikan posisi fi‘il al-amr, contohnya:
سَعْيًا فِيْ سَبِيْلِ الْخَيْرِ
Berusahalah menuju jalan kebaikan!
Al-mashdar an-nā’ib ‘an fi‘il al-amr,al-Mashdar adalah سَعْيًا yang berasal dari fi‘il اِسْعَ سَعْيًا
• Makna-makna al-Amr
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa makna asli dari al-amr adalah perintah. Tetapi dalam beberapa konteks kalimat terkadang shīgat (bentuk) al-amr keluar dari makna aslinya yang berupa perintah yang sifatnya mengikat dan wajib dikerjakan kepada makna-makna lain. Hal tersebut diketahui dengan mengkaji konteks dan redaksi suatu kalimat. Makna-makna tersebut di antaranya:
- Al-Irsyād (mengarahkan), Contohnya pada lafaz فَاكْتُبُوْهُ sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (QS. Al Baqarah [2]: 282)
- Ad-Du‘ā’ (doa). Contohnya pada lafaz أَوْزِعْنِيْ sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
Ya Allah, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku”. (QS. An-Naml [27]: 19)
- Al-Iltimās (memohon dengan penuh). Contohnya pada lafazأَعْطِنِيْ pada kalimat berikut:
أَعْطِنِيْ القَلَمَ أَيُّهَا الأَخُ
Berilah aku pena itu wahai saudara
- At-Tamannī (mengharap sesuatu yang mustahil terjadi). Contohnya pada lafaz انْجَلِيْ pada syair ini:
أَلَا أَيُّهَا اللَّيْلُ الطَّوِيْلُ أَلَا انْجَلِيْ
بِصُبْحٍ وَمَا الْإِصْبَاحُ مِنْكَ بِأَمْثَلِ
Wahai malam yang panjang! Tampakkanlah # Sinar pagimu, dan tidak ada yang menyerupai sinar pagimu
Ya Allah, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku”. (QS. An-Naml [27]: 19)
- Al-Iltimās (memohon dengan penuh). Contohnya pada lafazأَعْطِنِيْ pada kalimat berikut:
أَعْطِنِيْ القَلَمَ أَيُّهَا الأَخُ
Berilah aku pena itu wahai saudara
- At-Tamannī (mengharap sesuatu yang mustahil terjadi). Contohnya pada lafaz انْجَلِيْ pada syair ini:
أَلَا أَيُّهَا اللَّيْلُ الطَّوِيْلُ أَلَا انْجَلِيْ
بِصُبْحٍ وَمَا الْإِصْبَاحُ مِنْكَ بِأَمْثَلِ
Wahai malam yang panjang! Tampakkanlah # Sinar pagimu, dan tidak ada yang menyerupai sinar pagimu
- At-Takhyīr (memilih). Contohnya pada lafaz تَزَوَّجْ pada kalimat berikut:
تَزَوَّجْ هِنْدًا أََوْ أُخْتَهَا
Nikahilah Hindun atau saudarinya
- At-Taswiyah (persamaan). Contoh-nya pada lafaz اصبروا pada kalimat berikut:
اصْبِرُوْا أَوْ لَا تَصْبِرُوْا
Engkau bersabar atau tidak
- At-Ta‘jīz (melemahkan). Contoh-nya pada lafaz فَأْتُوْا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
•
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Quran itu (QS. Al-Baqarah [2]: 23)
- At-Tahdīd (mengancam). Contoh-nya pada lafaz اعْمَلُوْا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
•
Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Fushshilat [41]: 40)
- Al-Ibāhah (membolehkan). Contohnya pada lafaz كُلُوْا dan اشْرَبُوْا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
•
“Makanlah dan minumlah sehingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu waktu fajar”. (QS. Al Baqarah [2]: 187)
- Al-Ikrām (memuliakan). Contoh-nya pada lafaz ادخلوها sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
"Masuklah kalian ke dalamnya (surga) dengan sejahtera lagi aman". (QS. Al- Hijr [15]: 46)
- Al-Imtinān (pemberian nikmat). Contohnya pada lafaz َفكُلُوْا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu. (QS. An Nahl [16]: 114)
- Al-Ihānah (penghinaan). Contohnya pada lafaz كُوْنُوْا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
”Jadilah kalian batu atau besi.” (QS. Al-Isrā’ [17]: 50)
- Ad-Dawām (kontinyu atau berkesinambungan). Contohnya pada lafaz إهدناsebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
”Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fātihah [1]: 6)
- Al-I‘tibār (mengambil pelajaran). Contohnya pada lafaz انظروا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
”Perhatikanlah buahnya di waktu berbuah dan (perhatikan pula) kematangannya....” (QS. Al-An‘ām [6]: 99)
- Al-Idznu (mengizinkan). Contoh-nya: أدخل = masuklah!
- At-Ta’dīb (mengajarkan adab atau sopan santun). Contohnya pada lafaz كُلْ sebagaimana disebutkan pada hadis:
كُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
”Makanlah apa yang ada di depanmu”
- At-Ta‘ajjub (kagum atau heran). Contohnya pada lafaz انظر sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
”Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadap-mu....” (QS. Al-Isrā’ [17]: 48)
- An-Nahyu, yaitu meminta (menuntut) penghentian suatu perbuatan dari orang yang lebih tinggi kedudukannya (posisinya) kepada orang yang lebih rendah. Dikenal juga dengan nama larangan. Ia adalah anonim (lawan kata) dari al-amr.
Kalau al-amr memiliki beberapa shīgat, berbeda dengan an-nahyu yang hanya memiliki satu shīgat, yaitu fi‘il mudhāri‘ yang disertai dengan لاَ النَّاهِيَة.
Contohnya sebagaimana firman Allah:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya….” (QS. Al-A‘rāf [7]: 56)
• Makna-makna an-Nahyu
An-Nahyu terkadang keluar dari maknanya yang asli kepada makna-makna lain. Hal ini dapat diketahui dengan mengkaji konteks dan redaksi suatu kalimat. Di antara makna-makna yang dimaksud adalah:
- Al-Irsyād (memberi petunjuk). Contohnya pada lafaz لاَ تَسْأَلُوْا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu….” (QS. Al-Mā’idah [5]: 101)
- Ad-Du‘ā’ (doa). Contohnya pada lafaz لا تؤاخذنا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah….” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)
- Al-Iltimās (memohon dengan penuh). Contohnya terdapat pada lafaz لا تزرني pada kalimat ini:
يَا أَخِيْ لاَ تَزُرْنِيْ لَيْلاً
“Wahai saudaraku, janganlah engkau mengunjungiku pada malam hari”
- At-Tamannī (mengharap sesuatu yang mustahil terjadi). Contohnya pada lafaz لا تطلعي pada bait syair:
يَا لَيْلُ طَلَّ يَا نَوْمُ زَلَّ # يَا صُبْحُ قِفْ وَلاَ تَطْلُعِيْ
Duhai malam yang panjang, munculkanlah # sinar subuhmu, karena tidak ada yang menyerupai sinar subuhmu ini.
- At-Tai’īs (mengungkapkan rasa penyesalan). Contohnya pada lafaz لا تعتذروا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah beriman….” (QS. At-Taubah [9]: 66)
- At-Taubīkh (menjelekkan). Contoh-nya pada lafaz لا تنه pada kalimat berikut:
لاَ تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَتَأْتِ مِثْلَهُ
Jangan engkau melarang seseorang berbuat jelek sementara engkau melakukannya.
- Al-Tahdid (mengancam). Contoh-nya pada lafaz لا تطع pada kalimat berikut:
لاَ تُطِعْ أَمْرِيْ
Jangan engkau patuhi perintahku
- Al-Karāhah (membenci). Contoh-nya pada lafaz لا تلتفت pada kalimat:
لاَ تَلْتَفِتْ وَأَنْتَ فِي الصَّلَاةِ
Jangan engkau menengok dalam keadaan sholat
- Al-I’tinās (menghibur). Contohnya pada lafaz لا تحزن sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“…Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita….” (QS. At-Taubah [9]: 40)
- At-Tahqīr (menghina). Contohnya pada lafaz لا تطلب pada bait syair berikut:
لاَ تَطْلُبِ الْمَجْدَ إِنَّ الْمَجْدَ سُلَمُهُ #
صَعْبٌ وَعِشْ مُسْتَرِيْحًا نَاعِمَ البَالِ
Janganlah kalian mencari keutamaan, sesungguhnya keutamaan itu tangganya # sulit. Hiduplah dengan tenang dan hati yang damai.
Contoh lain pada lafaz لا ترحل pada bait syair:
دَعِ الْمَكَارِمَ لَا تَرْحَلْ لِبُغْيَتِهَا # وَاقْعُدْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الطَّاعِمُ الْكَاسِي
Biarkanlah kemuliaan itu datang sendiri, janganlah engkau berangkat untuk mencarinya # Duduklah karena sesungguhnya engkau adalah pemberi pangan dan sandang.
- Ad-Dawām (perbuatan yang terus menerus). Contohnya terdapat pada lafaz لا تحسبن sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim….” (QS. Ibrāhīm [14]: 42)
- Bayān al-Āqibah (menjelaskan akibat). Seperti dalam contoh lafaz لا تحسبن sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
•
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 169)
- At-Tamannī, yaitu meminta (menuntut) sesuatu yang mustahil (tidak mungkin) terjadi atau mungkin tetapi tidak bisa diharapkan.
Lafaz yang dipergunakan untuk at-tamannī yaitu لَيْتَ .Contohnya sebagaimana dalam syair:
أَلاَ لَيْتَ الشَّبَابَ يَعُوْدُ يَوْمًا # فَأُخْبِرَهُ بِمَا فَعَلَ المَشِيْبُ
Semoga masa muda itu bisa kembali lagi # Supaya saya bisa memberitahu apa yang dilakukan seseorang di masa tua.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
”...Semoga kita diberikan harta benda sebagaimana yang diberikan kepada Karun.” (QS. Al-Qashash [28]: 79)
Sedangkan untuk meminta (menuntut) sesuatu yang mungkin/bisa terjadi dinamakan at-tarajjī. Lafaz-lafaz yang dipergunakan untuk at-tarajjī adalah عَسَى dan لَعَلَّ.
Contohnya sebagaimana disebutkan dalan al-Qur’an:
”... Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya)....” (Q.S. Al-Mā’idah [5]: 52)
Contoh lain sebagaimana firman Allah:
•
”... Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS. Ath-Thalāq [65]: 1)
Namun karena faktor-faktor keindahan bahasa, terkadang dipergunakan juga lafaz ليت dengan makna at-tarajjī.
Jadi, lafaz yang dipergunakan untuk at-tamannī ada 4: satu yang asli yaitu ليت sementara yang 3, yaitu هَلْ dan لَوْ serta لَعَلَّ menjadi pengganti, dan ini dipergunakan karena memenuhi faktor-faktor keindahan bahasa.
Contoh penggunaan هل sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“… Maka adakah bagi kami pemberi syafaat yang akan memberi syafaat bagi kami….” (QS. Al-A‘rāf [7]: 53)
Contoh penggunaan لو sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
•
“Maka sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke dunia) niscaya kami menjadi orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’ [26]: 102)
Contoh penggunaan لعل sebagaimana disebutkan dalam syair:
أَسِرْبَ القَطَا هَلْ مَنْ يُعِيْرُ جَنَاحَهُ # لَعَلِّيْ إِلَى مَنْ قَدْ هَوِيْتُ أَطِيْرُ
Wahai kawanan burung qatha (mirip merpati), siapakah yang mau meminjamkan sayapnya # Agar aku bisa terbang kepada kekasihku
- An-Nidā’, yaitu meminta seseorang untuk menghadap dengan meng-gunakan huruf yang mengganti fi‘il أَدْعُوْ atau أُنَادِيْ. Dikenal juga dengan nama memanggil. Adapun huruf-huruf an-nidā’ adalah:يَا, أَيْ , آيْ , أَيَا , هَيَا , وَا , آ , الهمزة
Contohnya: يَا مُحَمَّدُ
Dari semua ādat an-nidā’ di atas ada yang digunakan untuk memanggil yang jaraknya jauh dan yang jaraknya dekat. Untuk memanggil yang jaraknya dekat, menggunakan الهمزة dan أي. Adapun huruf-huruf yang lain dipergunakan untuk memanggil yang berjarak jauh. Terkadang untuk memanggil yang jaraknya jauh juga digunakan lafaz الهمزة dan أي.
Contohnya sebagaimana disebutkan dalam syair:
أَسُكَّانُ نُعْمَانَ الْأَرَاكَ تَيَقَّنُوْا # بِأَنَّكُمْ فِيْ رُبْعِ قَلْبِيْ سُكَّانُ
Wahai penduduk Nu’mān Al-Arāk, yakinlah # Bahwa sesungguhnya kalian berada dalam hatiku
Sebaliknya lafaz-lafaz yang digunakan untuk memanggil yang dekat menggunakan adat-adat an-nidā’ yang digunakan untuk memanggil yang jauh karena kedudukannya yang tinggi contohnya أَيَا مَوْلاَيَ (wahai tuanku), atau kedudukannya yang rendah أَيَا فُلاَن (wahai fulan) atau orang yang sedang tidak berkonsentrasi أَيَا هذَا (wahai yang ini).
Terkadang an-nidā’ keluar dari makna aslinya kepada makna-makna lain yang bisa diketahui melalui konteks dan redaksi suatu kalimat. Makna-makna tersebut adalah:
- اَلإِغْرَاءُُ (menggoda). Contohnya ketika memanggil seorang yang sering berbuat zalim: يَا مَظْلُوْمُ = Wahai orang yang terzalimi
- اَلتَّحَسُّر (mengungkapkan penyesalan). يَا لَيْتَنِيْ كُنْتُ تُرَابًا = Semoga aku kembali menjadi tanah
- اَلتَّفَاخُرُ (rasa bangga). Contohnya adalah أَنَا أَكْرَمُ الضَّيْفِ أيُّهَا الرَّجُلُ = Saya tamu yang paling mulia
- اَلتَّوَاضُعُ (merendah). Contohnya adalah أنا الفقير المِسْكِيْنُ أيها الرجل = Saya orang yang fakir miskin
- اَلاسْتِغَاثَة (memohon pertolongan). Contohnya: يَا لِلّهِ لِلْمُؤْمِنِيْن = Tolonglah orang-orang yang beriman
- Al-Istifhām, yaitu meminta untuk mengetahui berita yang tidak diketahui. Dikenal juga dengan nama bertanya. Ada beberapa adat yang dipakai untuk bertanya, diantaranya:
هَلْ ، الهمزة ، مَا ، مَتَى ، أَيَّانَ ، كَيْفَ ، أَيْنَ ، أَنَّى ، كَمْ ، أَيْ
Ada 2 hal yang ingin dicapai (dimaksudkan) oleh pertanyaan, yaitu at-tasawwur dan at-tashdīq.
• At-Tasawwur, yaitu mengetahui atau menentukan sesuatu dari 2 hal atau lebih.
• At-Tashdīq, yaitu membenarkan suatu hal. Ia berfungsi untuk menghilangkan keraguan dan jawabannya berbentuk ya atau tidak
Adat الهمزة bisa dipakai untuk at–tasawwur dan at-tashdīq.
Dalam konteks at-tasawwur, adat (huruf) الهمزة diikuti oleh obyek yang ditanyakan. Biasanya disebutkan lawanannya atau penyeimbangnya yang terletak setelah hurup أم.
Contohnya:
أَمَحْمُوْدُ مُسَافِرٌ أَمْ أَحْمَدُ
Apakah si Mahmud yang bepergian atau Ahmad?
Maka jawabannya adalah Mahmud atau Ahmad
Contoh lain:
أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا أَمْ يُوْسُفُ؟
Apakah engkau yang melakukan ini atau Yusuf?
أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنِ الْأَمْرِ أَمْ رَاغِبٌ فِيْهِ؟
Apakah engkau membenci urusan ini atau menyukainya?
إِيَّايَ تَقْصِدُ أَمْ عَلِيًّا؟
Apakah aku yang engkau maksudkan atau Ali?
أَرَاكِبًا حَضَرْتَ أَمْ مَاشِيًا؟
Apakah engkau datang dengan berkendaraan atau berjalan kaki?
أَيَوْمُ الْخَمِيْسِ قَدِمْتَ أَمْ يَوْمُ الْجُمُعَةِ؟
Apakah engkau datang pada hari Kamis atau Jumat?
Sedangkan dalam konteks at-tashdīq, adat (huruf) الهمزة dimaksudkan untuk menghilangkan keraguan antara 2 hal. Jawabannya antara نعم (ya) atau لا (tidak) .
Contohnya:
أَزِيَادٌ قَادِمٌ ؟
Apakah si Ziad datang?
أَحَضَرَ رَئِيْسُ الْجُمْهُوْرِيَّةِ ؟
Apakah Presiden hadir?
Adat (hurup) هَلْ khusus dipergunakan untuk At- Tashdiq saja.
Contohnya:
هَلْ يَعْقِلُ الْحَيَوَانُ ؟
Apakah hewan itu berakal?
هَلْ يَنْمُوْ الجَمَادُ ؟
Apakah benda mati itu bisa berkembang?
Di antara adat-adat istifhām yang lain:
- مَنْ (Siapa): untuk menanyakan yang berakal seperti manusia.
مَنْ وَضَعَ عِلْمَ أُصُوْلِ الْفِقْهِ ؟
Siapa yang meletakkan disiplin ilmu ushul fiqih?
- ما (Apakah): untuk menanyakan yang tidak berakal.
مَا الِقِيَامَةُ ؟
Apa kiamat itu?
- متى(Kapan): untuk menanyakan waktu
مَتَى تَذْهَبُ إِلَى الْجَامِعَةِ ؟
Kapan engkau pergi ke Universitas?
- أيان(Kapan): untuk menanyakan waktu yang akan datang.
أَيَّانَ يُبْعَثُ النَّاسُ مِنْ قُبُوْرِهِمْ ؟
Kapan manusia dibangkitkan dari kuburnya?
- كيف(Bagaimana): untuk menanya-kan kondisi
كَيْفَ جِئْتَ إِلَى السُّوْقِ ؟
Bagaimana engkau datang ke pasar?
- أين(Di Mana): untuk menanyakan tempat
أَيْنَ بَيْتُكَ ؟
Di mana rumahmu?
- أنى. Ini sama artinya dengan من أين (Dari Mana), كيف (Bagaimana), dan متى (Kapan)
Contohnya:
تَزَوَّجْ هِنْدًا أََوْ أُخْتَهَا
Nikahilah Hindun atau saudarinya
- At-Taswiyah (persamaan). Contoh-nya pada lafaz اصبروا pada kalimat berikut:
اصْبِرُوْا أَوْ لَا تَصْبِرُوْا
Engkau bersabar atau tidak
- At-Ta‘jīz (melemahkan). Contoh-nya pada lafaz فَأْتُوْا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
•
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Quran itu (QS. Al-Baqarah [2]: 23)
- At-Tahdīd (mengancam). Contoh-nya pada lafaz اعْمَلُوْا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
•
Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Fushshilat [41]: 40)
- Al-Ibāhah (membolehkan). Contohnya pada lafaz كُلُوْا dan اشْرَبُوْا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
•
“Makanlah dan minumlah sehingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu waktu fajar”. (QS. Al Baqarah [2]: 187)
- Al-Ikrām (memuliakan). Contoh-nya pada lafaz ادخلوها sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
"Masuklah kalian ke dalamnya (surga) dengan sejahtera lagi aman". (QS. Al- Hijr [15]: 46)
- Al-Imtinān (pemberian nikmat). Contohnya pada lafaz َفكُلُوْا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu. (QS. An Nahl [16]: 114)
- Al-Ihānah (penghinaan). Contohnya pada lafaz كُوْنُوْا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
”Jadilah kalian batu atau besi.” (QS. Al-Isrā’ [17]: 50)
- Ad-Dawām (kontinyu atau berkesinambungan). Contohnya pada lafaz إهدناsebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
”Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fātihah [1]: 6)
- Al-I‘tibār (mengambil pelajaran). Contohnya pada lafaz انظروا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
”Perhatikanlah buahnya di waktu berbuah dan (perhatikan pula) kematangannya....” (QS. Al-An‘ām [6]: 99)
- Al-Idznu (mengizinkan). Contoh-nya: أدخل = masuklah!
- At-Ta’dīb (mengajarkan adab atau sopan santun). Contohnya pada lafaz كُلْ sebagaimana disebutkan pada hadis:
كُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
”Makanlah apa yang ada di depanmu”
- At-Ta‘ajjub (kagum atau heran). Contohnya pada lafaz انظر sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
”Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadap-mu....” (QS. Al-Isrā’ [17]: 48)
- An-Nahyu, yaitu meminta (menuntut) penghentian suatu perbuatan dari orang yang lebih tinggi kedudukannya (posisinya) kepada orang yang lebih rendah. Dikenal juga dengan nama larangan. Ia adalah anonim (lawan kata) dari al-amr.
Kalau al-amr memiliki beberapa shīgat, berbeda dengan an-nahyu yang hanya memiliki satu shīgat, yaitu fi‘il mudhāri‘ yang disertai dengan لاَ النَّاهِيَة.
Contohnya sebagaimana firman Allah:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya….” (QS. Al-A‘rāf [7]: 56)
• Makna-makna an-Nahyu
An-Nahyu terkadang keluar dari maknanya yang asli kepada makna-makna lain. Hal ini dapat diketahui dengan mengkaji konteks dan redaksi suatu kalimat. Di antara makna-makna yang dimaksud adalah:
- Al-Irsyād (memberi petunjuk). Contohnya pada lafaz لاَ تَسْأَلُوْا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu….” (QS. Al-Mā’idah [5]: 101)
- Ad-Du‘ā’ (doa). Contohnya pada lafaz لا تؤاخذنا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah….” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)
- Al-Iltimās (memohon dengan penuh). Contohnya terdapat pada lafaz لا تزرني pada kalimat ini:
يَا أَخِيْ لاَ تَزُرْنِيْ لَيْلاً
“Wahai saudaraku, janganlah engkau mengunjungiku pada malam hari”
- At-Tamannī (mengharap sesuatu yang mustahil terjadi). Contohnya pada lafaz لا تطلعي pada bait syair:
يَا لَيْلُ طَلَّ يَا نَوْمُ زَلَّ # يَا صُبْحُ قِفْ وَلاَ تَطْلُعِيْ
Duhai malam yang panjang, munculkanlah # sinar subuhmu, karena tidak ada yang menyerupai sinar subuhmu ini.
- At-Tai’īs (mengungkapkan rasa penyesalan). Contohnya pada lafaz لا تعتذروا sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah beriman….” (QS. At-Taubah [9]: 66)
- At-Taubīkh (menjelekkan). Contoh-nya pada lafaz لا تنه pada kalimat berikut:
لاَ تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَتَأْتِ مِثْلَهُ
Jangan engkau melarang seseorang berbuat jelek sementara engkau melakukannya.
- Al-Tahdid (mengancam). Contoh-nya pada lafaz لا تطع pada kalimat berikut:
لاَ تُطِعْ أَمْرِيْ
Jangan engkau patuhi perintahku
- Al-Karāhah (membenci). Contoh-nya pada lafaz لا تلتفت pada kalimat:
لاَ تَلْتَفِتْ وَأَنْتَ فِي الصَّلَاةِ
Jangan engkau menengok dalam keadaan sholat
- Al-I’tinās (menghibur). Contohnya pada lafaz لا تحزن sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“…Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita….” (QS. At-Taubah [9]: 40)
- At-Tahqīr (menghina). Contohnya pada lafaz لا تطلب pada bait syair berikut:
لاَ تَطْلُبِ الْمَجْدَ إِنَّ الْمَجْدَ سُلَمُهُ #
صَعْبٌ وَعِشْ مُسْتَرِيْحًا نَاعِمَ البَالِ
Janganlah kalian mencari keutamaan, sesungguhnya keutamaan itu tangganya # sulit. Hiduplah dengan tenang dan hati yang damai.
Contoh lain pada lafaz لا ترحل pada bait syair:
دَعِ الْمَكَارِمَ لَا تَرْحَلْ لِبُغْيَتِهَا # وَاقْعُدْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الطَّاعِمُ الْكَاسِي
Biarkanlah kemuliaan itu datang sendiri, janganlah engkau berangkat untuk mencarinya # Duduklah karena sesungguhnya engkau adalah pemberi pangan dan sandang.
- Ad-Dawām (perbuatan yang terus menerus). Contohnya terdapat pada lafaz لا تحسبن sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim….” (QS. Ibrāhīm [14]: 42)
- Bayān al-Āqibah (menjelaskan akibat). Seperti dalam contoh lafaz لا تحسبن sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
•
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 169)
- At-Tamannī, yaitu meminta (menuntut) sesuatu yang mustahil (tidak mungkin) terjadi atau mungkin tetapi tidak bisa diharapkan.
Lafaz yang dipergunakan untuk at-tamannī yaitu لَيْتَ .Contohnya sebagaimana dalam syair:
أَلاَ لَيْتَ الشَّبَابَ يَعُوْدُ يَوْمًا # فَأُخْبِرَهُ بِمَا فَعَلَ المَشِيْبُ
Semoga masa muda itu bisa kembali lagi # Supaya saya bisa memberitahu apa yang dilakukan seseorang di masa tua.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
”...Semoga kita diberikan harta benda sebagaimana yang diberikan kepada Karun.” (QS. Al-Qashash [28]: 79)
Sedangkan untuk meminta (menuntut) sesuatu yang mungkin/bisa terjadi dinamakan at-tarajjī. Lafaz-lafaz yang dipergunakan untuk at-tarajjī adalah عَسَى dan لَعَلَّ.
Contohnya sebagaimana disebutkan dalan al-Qur’an:
”... Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya)....” (Q.S. Al-Mā’idah [5]: 52)
Contoh lain sebagaimana firman Allah:
•
”... Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS. Ath-Thalāq [65]: 1)
Namun karena faktor-faktor keindahan bahasa, terkadang dipergunakan juga lafaz ليت dengan makna at-tarajjī.
Jadi, lafaz yang dipergunakan untuk at-tamannī ada 4: satu yang asli yaitu ليت sementara yang 3, yaitu هَلْ dan لَوْ serta لَعَلَّ menjadi pengganti, dan ini dipergunakan karena memenuhi faktor-faktor keindahan bahasa.
Contoh penggunaan هل sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
“… Maka adakah bagi kami pemberi syafaat yang akan memberi syafaat bagi kami….” (QS. Al-A‘rāf [7]: 53)
Contoh penggunaan لو sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
•
“Maka sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke dunia) niscaya kami menjadi orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’ [26]: 102)
Contoh penggunaan لعل sebagaimana disebutkan dalam syair:
أَسِرْبَ القَطَا هَلْ مَنْ يُعِيْرُ جَنَاحَهُ # لَعَلِّيْ إِلَى مَنْ قَدْ هَوِيْتُ أَطِيْرُ
Wahai kawanan burung qatha (mirip merpati), siapakah yang mau meminjamkan sayapnya # Agar aku bisa terbang kepada kekasihku
- An-Nidā’, yaitu meminta seseorang untuk menghadap dengan meng-gunakan huruf yang mengganti fi‘il أَدْعُوْ atau أُنَادِيْ. Dikenal juga dengan nama memanggil. Adapun huruf-huruf an-nidā’ adalah:يَا, أَيْ , آيْ , أَيَا , هَيَا , وَا , آ , الهمزة
Contohnya: يَا مُحَمَّدُ
Dari semua ādat an-nidā’ di atas ada yang digunakan untuk memanggil yang jaraknya jauh dan yang jaraknya dekat. Untuk memanggil yang jaraknya dekat, menggunakan الهمزة dan أي. Adapun huruf-huruf yang lain dipergunakan untuk memanggil yang berjarak jauh. Terkadang untuk memanggil yang jaraknya jauh juga digunakan lafaz الهمزة dan أي.
Contohnya sebagaimana disebutkan dalam syair:
أَسُكَّانُ نُعْمَانَ الْأَرَاكَ تَيَقَّنُوْا # بِأَنَّكُمْ فِيْ رُبْعِ قَلْبِيْ سُكَّانُ
Wahai penduduk Nu’mān Al-Arāk, yakinlah # Bahwa sesungguhnya kalian berada dalam hatiku
Sebaliknya lafaz-lafaz yang digunakan untuk memanggil yang dekat menggunakan adat-adat an-nidā’ yang digunakan untuk memanggil yang jauh karena kedudukannya yang tinggi contohnya أَيَا مَوْلاَيَ (wahai tuanku), atau kedudukannya yang rendah أَيَا فُلاَن (wahai fulan) atau orang yang sedang tidak berkonsentrasi أَيَا هذَا (wahai yang ini).
Terkadang an-nidā’ keluar dari makna aslinya kepada makna-makna lain yang bisa diketahui melalui konteks dan redaksi suatu kalimat. Makna-makna tersebut adalah:
- اَلإِغْرَاءُُ (menggoda). Contohnya ketika memanggil seorang yang sering berbuat zalim: يَا مَظْلُوْمُ = Wahai orang yang terzalimi
- اَلتَّحَسُّر (mengungkapkan penyesalan). يَا لَيْتَنِيْ كُنْتُ تُرَابًا = Semoga aku kembali menjadi tanah
- اَلتَّفَاخُرُ (rasa bangga). Contohnya adalah أَنَا أَكْرَمُ الضَّيْفِ أيُّهَا الرَّجُلُ = Saya tamu yang paling mulia
- اَلتَّوَاضُعُ (merendah). Contohnya adalah أنا الفقير المِسْكِيْنُ أيها الرجل = Saya orang yang fakir miskin
- اَلاسْتِغَاثَة (memohon pertolongan). Contohnya: يَا لِلّهِ لِلْمُؤْمِنِيْن = Tolonglah orang-orang yang beriman
- Al-Istifhām, yaitu meminta untuk mengetahui berita yang tidak diketahui. Dikenal juga dengan nama bertanya. Ada beberapa adat yang dipakai untuk bertanya, diantaranya:
هَلْ ، الهمزة ، مَا ، مَتَى ، أَيَّانَ ، كَيْفَ ، أَيْنَ ، أَنَّى ، كَمْ ، أَيْ
Ada 2 hal yang ingin dicapai (dimaksudkan) oleh pertanyaan, yaitu at-tasawwur dan at-tashdīq.
• At-Tasawwur, yaitu mengetahui atau menentukan sesuatu dari 2 hal atau lebih.
• At-Tashdīq, yaitu membenarkan suatu hal. Ia berfungsi untuk menghilangkan keraguan dan jawabannya berbentuk ya atau tidak
Adat الهمزة bisa dipakai untuk at–tasawwur dan at-tashdīq.
Dalam konteks at-tasawwur, adat (huruf) الهمزة diikuti oleh obyek yang ditanyakan. Biasanya disebutkan lawanannya atau penyeimbangnya yang terletak setelah hurup أم.
Contohnya:
أَمَحْمُوْدُ مُسَافِرٌ أَمْ أَحْمَدُ
Apakah si Mahmud yang bepergian atau Ahmad?
Maka jawabannya adalah Mahmud atau Ahmad
Contoh lain:
أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا أَمْ يُوْسُفُ؟
Apakah engkau yang melakukan ini atau Yusuf?
أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنِ الْأَمْرِ أَمْ رَاغِبٌ فِيْهِ؟
Apakah engkau membenci urusan ini atau menyukainya?
إِيَّايَ تَقْصِدُ أَمْ عَلِيًّا؟
Apakah aku yang engkau maksudkan atau Ali?
أَرَاكِبًا حَضَرْتَ أَمْ مَاشِيًا؟
Apakah engkau datang dengan berkendaraan atau berjalan kaki?
أَيَوْمُ الْخَمِيْسِ قَدِمْتَ أَمْ يَوْمُ الْجُمُعَةِ؟
Apakah engkau datang pada hari Kamis atau Jumat?
Sedangkan dalam konteks at-tashdīq, adat (huruf) الهمزة dimaksudkan untuk menghilangkan keraguan antara 2 hal. Jawabannya antara نعم (ya) atau لا (tidak) .
Contohnya:
أَزِيَادٌ قَادِمٌ ؟
Apakah si Ziad datang?
أَحَضَرَ رَئِيْسُ الْجُمْهُوْرِيَّةِ ؟
Apakah Presiden hadir?
Adat (hurup) هَلْ khusus dipergunakan untuk At- Tashdiq saja.
Contohnya:
هَلْ يَعْقِلُ الْحَيَوَانُ ؟
Apakah hewan itu berakal?
هَلْ يَنْمُوْ الجَمَادُ ؟
Apakah benda mati itu bisa berkembang?
Di antara adat-adat istifhām yang lain:
- مَنْ (Siapa): untuk menanyakan yang berakal seperti manusia.
مَنْ وَضَعَ عِلْمَ أُصُوْلِ الْفِقْهِ ؟
Siapa yang meletakkan disiplin ilmu ushul fiqih?
- ما (Apakah): untuk menanyakan yang tidak berakal.
مَا الِقِيَامَةُ ؟
Apa kiamat itu?
- متى(Kapan): untuk menanyakan waktu
مَتَى تَذْهَبُ إِلَى الْجَامِعَةِ ؟
Kapan engkau pergi ke Universitas?
- أيان(Kapan): untuk menanyakan waktu yang akan datang.
أَيَّانَ يُبْعَثُ النَّاسُ مِنْ قُبُوْرِهِمْ ؟
Kapan manusia dibangkitkan dari kuburnya?
- كيف(Bagaimana): untuk menanya-kan kondisi
كَيْفَ جِئْتَ إِلَى السُّوْقِ ؟
Bagaimana engkau datang ke pasar?
- أين(Di Mana): untuk menanyakan tempat
أَيْنَ بَيْتُكَ ؟
Di mana rumahmu?
- أنى. Ini sama artinya dengan من أين (Dari Mana), كيف (Bagaimana), dan متى (Kapan)
Contohnya:
أَنَّى لَكَ هَذَا الْمَالَ ؟
Dari mana engkau memperoleh harta benda ini?
”...Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri Ini setelah hancur?....” (QS. Al-Baqarah [2]: 259)
زُرْنِيْ أَنَّى شِئْتَ ؟
Kunjungilah saya kapan saja engkau mau
Dari mana engkau memperoleh harta benda ini?
”...Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri Ini setelah hancur?....” (QS. Al-Baqarah [2]: 259)
زُرْنِيْ أَنَّى شِئْتَ ؟
Kunjungilah saya kapan saja engkau mau
- كم(Bagaimana): untuk menanyakan bilangan
كَمْ عَدَدُ الطُلَّابِ فِيْ هَذَا الْفَصْلِ ؟
Berapa jumlah mahasiswa di kelas ini?
- أي (Yang Mana): untuk menanyakan salah seorang di antara 2 pelaku
أَيُّ الرَّجُلَيْنِ أَكْبَرُ سِنًّا ؟
Orang mana yang lebih tua umurnya?
• Makna-makna al-Istifhām
Lafaz-lafaz istifhām terkadang keluar dari makna aslinya kepada makna-makna lain yang bisa diketahui melalui konteks dan redaksi kalimat.
Makna-makna tersebut di antaranya:
- An-Nafyu (peniadaan).
Contohnya:
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahmān [55]: 60)
- An-Nahyu (larangan)
Contohnya:
”...Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. At- Taubah [9]: 13)
Maksudnya لاَ تَخْشَوْهُمْ (janganlah kalian takut kepada mereka)
- Al-Amr (perintah)
Contohnya:
”...Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al- Mā’idah [5]: 91)
Maksudnya اِنْتَهُوْا (berhentilah)
- Al-Inkār (tidak mengakui)
Contohnya:
”...Apakah kamu menyeru (Tuhan) selain Allah; jika kamu orang-orang yang benar!” (QS. Al-An’ām [6]: 40)
- At-Taqrīr (menetapkan)
Contohnya:
”Bukankah kami Telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. Alam Nasyrah [94]: 1)
- At-Ta‘zhīm (mengagungkan)
Contohnya:
“…Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya?....” (QS. Al-Baqarah [2]: 255)
- At-Tahqīr (menghina)
Contohnya:
أَهَذَا الَّذِيْ مَدَحْتَهُ كَثِيْرًا ؟
Apakah ini orang yang sering engkau puji?
- At-Ta‘ajjub (kagum/heran)
Contohnya:
“Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?....” (QS. Al-Furqān [25]: 7)
- At-Taswiyah (menyamakan)
Contohnya:
•
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” (QS. Al-Baqarah [2]: 6)
- At-Tamannī (mengharap sesuatu yang tidak mungkin terjadi)
Contohnya:
“...Maka Adakah bagi kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi kami....” (QS. Al-A‘rāf [7]: 53)
- At-Tasywīq (merindukan)
Contohnya:
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan-mu dari azab yang pedih?” (QS. Ash-Shaff [61]: 10)
- Al-Istibthā’ (memperlambat)
Contohnya:
“Apakah itu yang di tangan kananmu, Hai Musa?” (QS. Thāha [20]: 17)
- Al-Wa‘īd (mengancam)
Contohnya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ’Ād?” (QS. Al-Fajr [89]: 6)
كَمْ عَدَدُ الطُلَّابِ فِيْ هَذَا الْفَصْلِ ؟
Berapa jumlah mahasiswa di kelas ini?
- أي (Yang Mana): untuk menanyakan salah seorang di antara 2 pelaku
أَيُّ الرَّجُلَيْنِ أَكْبَرُ سِنًّا ؟
Orang mana yang lebih tua umurnya?
• Makna-makna al-Istifhām
Lafaz-lafaz istifhām terkadang keluar dari makna aslinya kepada makna-makna lain yang bisa diketahui melalui konteks dan redaksi kalimat.
Makna-makna tersebut di antaranya:
- An-Nafyu (peniadaan).
Contohnya:
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahmān [55]: 60)
- An-Nahyu (larangan)
Contohnya:
”...Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. At- Taubah [9]: 13)
Maksudnya لاَ تَخْشَوْهُمْ (janganlah kalian takut kepada mereka)
- Al-Amr (perintah)
Contohnya:
”...Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al- Mā’idah [5]: 91)
Maksudnya اِنْتَهُوْا (berhentilah)
- Al-Inkār (tidak mengakui)
Contohnya:
”...Apakah kamu menyeru (Tuhan) selain Allah; jika kamu orang-orang yang benar!” (QS. Al-An’ām [6]: 40)
- At-Taqrīr (menetapkan)
Contohnya:
”Bukankah kami Telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. Alam Nasyrah [94]: 1)
- At-Ta‘zhīm (mengagungkan)
Contohnya:
“…Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya?....” (QS. Al-Baqarah [2]: 255)
- At-Tahqīr (menghina)
Contohnya:
أَهَذَا الَّذِيْ مَدَحْتَهُ كَثِيْرًا ؟
Apakah ini orang yang sering engkau puji?
- At-Ta‘ajjub (kagum/heran)
Contohnya:
“Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?....” (QS. Al-Furqān [25]: 7)
- At-Taswiyah (menyamakan)
Contohnya:
•
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” (QS. Al-Baqarah [2]: 6)
- At-Tamannī (mengharap sesuatu yang tidak mungkin terjadi)
Contohnya:
“...Maka Adakah bagi kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi kami....” (QS. Al-A‘rāf [7]: 53)
- At-Tasywīq (merindukan)
Contohnya:
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan-mu dari azab yang pedih?” (QS. Ash-Shaff [61]: 10)
- Al-Istibthā’ (memperlambat)
Contohnya:
“Apakah itu yang di tangan kananmu, Hai Musa?” (QS. Thāha [20]: 17)
- Al-Wa‘īd (mengancam)
Contohnya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ’Ād?” (QS. Al-Fajr [89]: 6)
(b) Al-Insyā’ Ghair ath-Thalabī
(الإنشاء غير الطلبي)
Yaitu sesuatu yang tidak mengandung perintah yang hasilnya tidak terwujudkan secara langsung pada waktu memerintahkan.
Al-Insyā’ jenis ini terbentuk dari susunan-susunan kalimat berikut:
- At-Ta‘ajjub(التعجب) , yaitu menunjukkan rasa heran/kagum.
Contoh:
مَا أَجْمَلَ السَّمَاءَ
Alangkah indahnya langit itu
- Al-Qasam(القسم) , yaitu bersumpah dengan menggunakan 3 huruf sumpah, yaitu الواو , الباء dan التاء. Seperti: والله ، بالله ، تالله
Contoh lain:
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari.” (QS. Asy-Syams [91]: 1)
- At-Tarajjī(الترجي) , yaitu mengharap sesuatu yang mungkin terealisasi.
Contoh:
”Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Contoh lain:
لَعَلَّ السَّاعَةَ قَرِيْبٌ
Semoga hari Kiamat itu dekat/cepat tiba.
- Fi‘il al-Madh dan adz-Dzamm, yaitu fi‘il yang dipergunakan untuk memuji dan mencela: نعم ، بئس
Contoh:
نِعْمَ الْعَبْدُ أَوَّابٌ
Sebaik-baik hamba adalah yang banyak bertobat).
Contoh lain:
بِئْسَ الْخُلُقُ الْكَذِبُ
Sejelek-jelek prilaku adalah berdusta.
(الإنشاء غير الطلبي)
Yaitu sesuatu yang tidak mengandung perintah yang hasilnya tidak terwujudkan secara langsung pada waktu memerintahkan.
Al-Insyā’ jenis ini terbentuk dari susunan-susunan kalimat berikut:
- At-Ta‘ajjub(التعجب) , yaitu menunjukkan rasa heran/kagum.
Contoh:
مَا أَجْمَلَ السَّمَاءَ
Alangkah indahnya langit itu
- Al-Qasam(القسم) , yaitu bersumpah dengan menggunakan 3 huruf sumpah, yaitu الواو , الباء dan التاء. Seperti: والله ، بالله ، تالله
Contoh lain:
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari.” (QS. Asy-Syams [91]: 1)
- At-Tarajjī(الترجي) , yaitu mengharap sesuatu yang mungkin terealisasi.
Contoh:
”Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Contoh lain:
لَعَلَّ السَّاعَةَ قَرِيْبٌ
Semoga hari Kiamat itu dekat/cepat tiba.
- Fi‘il al-Madh dan adz-Dzamm, yaitu fi‘il yang dipergunakan untuk memuji dan mencela: نعم ، بئس
Contoh:
نِعْمَ الْعَبْدُ أَوَّابٌ
Sebaik-baik hamba adalah yang banyak bertobat).
Contoh lain:
بِئْسَ الْخُلُقُ الْكَذِبُ
Sejelek-jelek prilaku adalah berdusta.
2. Al-Musnad dan Al-Musnad Ilaih
Pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa susunan kalimat berbahasa Arab dibagi menjadi dua, yaitu al-Khabar dan al-Insyā’.
Masing-masing dari kedua susunan kalimat ini terbentuk dari الجملة الاسمية (terdiri dari mubtada’ dan khabar) dan الجملة الفعلية (terdiri dari fi‘il dan fā‘il). Dalam Ilmu Balagah kedua unsur pembentuk susunan kalimat tersebut dinamakan al-Musnad (المسند) dan al-Musnad Ilaih (المسند إليه) Contohnya: محمد قائم.
Dalam kalimat ini Muhammad sebagai tempat disandarkannya perbuatan berdiri atau disebut al-Musnad Ilaih. Sedangkan القيام adalah perbuatan yang disandarkan kepada Muhammad atau disebut al-Musnad.
Begitu juga pada contoh kalimat قام محمد perbuatan yang disandarkan adalah fi‘il berdiri القيام. Adapun tempat bersandarnya perbuatan berdiri adalah fā‘il, yaitu Muhammad yang dikenal sebagai al-Musnad Ilaih.
Al-Musnad dalam ilmu Balagah dinamakan juga al-Mahkūm Bih (المحكوم به) atau al-Mukhbar Bih (المخبر به). Al-Musnad Ilaih dinamakan juga al-Mahkūm 'Alaih (المحكوم عليه) atau al-Mukhbar 'Anhu (المخبر عنه).
a. Letak Al-Musnad dan Al-Musnad Ilaih
1) Letak Al-Musnad
Al-Musnad terletak di tempat-tempat berikut:
- الفعل التام, Contohnya lafaz سافر pada kalimat: سَافَرَ سَعِيْدٌ إِلَى جاكرتا(Said berangkat ke Jakarta)
- خبر المبتدأ, Contohnya lafaz طالب pada kalimat: عُمَرُ طَالِبٌ (Umar adalah mahasiswa)
- اسم الفعل, Contohnya: آمين (Ya Allah, kabulkan doa kami)
- المصدر النائب عن فعل الأمر, Contohnya lafaz إحساناpada kalimat: وَبِاْلوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا (berbuat baiklah kepada kedua orang tua)
- خبر فعل النواسخ (khabar yang terletak pada fi‘il Nawāsikh), yaitu كان وأخواتها dan إن وأخواتها, Contohnya adalah lafaz مُهَنْدِسًا pada kalimat: كَانَ زيد مُهَنْدِسًا (adalah Zaid seorang insinyur) dan lafaz غفور pada kalimat إن الله غفور (sesungguhnya Allah Maha Pengampun)
2) Letak Al-Musnad Ilaih
Al-Musnad Ilaih terletak di tempat-tempat berikut:
- الفاعل, Contohnya lafaz عائشة pada kalimat: أَنْجَبَتْ عائشة وَلَدًا (Fatimah melahirkan anak)
- نائب الفاعل, Contohnya lafaz جُنْدِيٌّ pada kalimat: اُسْتُشْهِدَ جُنْدِيٌّ في المَعْرَكَة (Telah mati syahid tentara itu di peperangan)
- المبتدأ, Contohnya lafaz الأستاذ pada kalimat: الأستاذ غَائِبٌ (guru itu tidak hadir)
- اسم فعل النواسخ (isim yang terletak pada fi‘il Nawāsikh), yaitu كان وأخواتها dan إن وأخواتها, Contohnya lafaz زيدا pada kalimat: إن زيدا مُدَرِّسٌ (Zaid adalah seorang guru) dan pada kalimat إِنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ (Sesungguhnya kematian itu benar adanya)
b. At-Taqdīm dan at-Ta’khīr/التقديم والتأخير
Dalam kaidah bahasa Arab penyebutan dan penulisan al-Musnad Ilaih terletak di awal (di depan) kalimat karena ia berkedudukan sebagai subyek kalimat yang membutuhkan penjelasan kata-kata yang terletak setelahnya. Tetapi itu tidak bersifat wajib (harus) karena pada hal-hal tertentu al-Musnad Ilaih boleh diakhirkan penyebutannya.
Ada beberapa tempat bahwa al-Musnad Ilaih wajib disebutkan di awal, di antaranya:
1) Bersegera menyampaikan perasaan gembira.
Contohnya:
العَفْوُ صَدَرَ بِهِ اْلأَمْرُ
Pemberian maaf adalah hasil dari perkara itu.
Contoh lain:
نَجَاُحُكَ فِي اْلاِمْتِحَانِ فِيْ أَوَّلِ قَائِمَةِ النَّاجِحِيْنَ
Kelulusanmu dalam ujian berada pada daftar pertama orang-orang yang lulus.
Al-Musnad Ilaih pada kalimat ini adalahالعفو dan نجاحكwajib didahulukan penyebutannya (letaknya) agar perasaan suka cita yang disampaikan pembicara cepat sampai kepada audien.
2) Bersegera menyampaikan perasaan duka cita.
Contoh:
اَلسِّجْنُ حَكَمَ بِهِ القَاضِي
Penjara adalah hukuman yang diputuskan oleh hakim.
Al-Musnad Ilaih pada kalimat ini adalah السجن wajib didahulukan agar perasaan duka cita yang disampaikan pembicara cepat sampai kepada audien.
3) Meminta keberkahan
Contoh:
اِسْمُ اللهِ اِسْتَعَنْتُ بِهِ
Dengan menyebut nama Allah, saya memohon pertolongan )
Al-Musnad Ilaih pada kalimat ini adalah اسم الله wajib didahulukan untuk meminta keberkahan.
4) At-Takhshīsh (pengkhususan/spesial)
Contoh:
”Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. al-Fātihah [1]: 5)
Al-Musnad Ilaih pada kalimat ini adalah إياك wajib didahulukan untuk menyebut kekhususan.
Contoh lain:
مَا أَنَا قُلْتُ
Saya tidak pernah mengatakan.
Al-Musnad Ilaih pada kalimat ini adalah أنا wajib didahulukan untuk menyebut kekhususan.
5) Nash (teks) yang berfungsi:
untuk menyebut keumuman penafian (peniadaan).
Yang pertama mendahulukan huruf yang berfungsi menyebut keumuman yaitu كُلُّ baru kemudian huruf nafy (meniadakan) yaitu لَمْ . contohnya: كُلُّ ذلِكَ لَمْ يَكُنْ maksudnya sama dengan لَمْ يَقَعْ هذا ولا ذاك (semua itu tidak pernah terjadi)
untuk menyebut penafian (peniadaan) keumuman.
Mendahulukan huruf nafy (peniadaan) لم baru kemudian huruf yang berfungsi untuk menyebut keumuman yaitu كل. Contohnya adalah: لم يكن كل ذلك maksudnya sama dengan لم يقع المجموع (tidak semuanya pernah terjadi).
Pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa susunan kalimat berbahasa Arab dibagi menjadi dua, yaitu al-Khabar dan al-Insyā’.
Masing-masing dari kedua susunan kalimat ini terbentuk dari الجملة الاسمية (terdiri dari mubtada’ dan khabar) dan الجملة الفعلية (terdiri dari fi‘il dan fā‘il). Dalam Ilmu Balagah kedua unsur pembentuk susunan kalimat tersebut dinamakan al-Musnad (المسند) dan al-Musnad Ilaih (المسند إليه) Contohnya: محمد قائم.
Dalam kalimat ini Muhammad sebagai tempat disandarkannya perbuatan berdiri atau disebut al-Musnad Ilaih. Sedangkan القيام adalah perbuatan yang disandarkan kepada Muhammad atau disebut al-Musnad.
Begitu juga pada contoh kalimat قام محمد perbuatan yang disandarkan adalah fi‘il berdiri القيام. Adapun tempat bersandarnya perbuatan berdiri adalah fā‘il, yaitu Muhammad yang dikenal sebagai al-Musnad Ilaih.
Al-Musnad dalam ilmu Balagah dinamakan juga al-Mahkūm Bih (المحكوم به) atau al-Mukhbar Bih (المخبر به). Al-Musnad Ilaih dinamakan juga al-Mahkūm 'Alaih (المحكوم عليه) atau al-Mukhbar 'Anhu (المخبر عنه).
a. Letak Al-Musnad dan Al-Musnad Ilaih
1) Letak Al-Musnad
Al-Musnad terletak di tempat-tempat berikut:
- الفعل التام, Contohnya lafaz سافر pada kalimat: سَافَرَ سَعِيْدٌ إِلَى جاكرتا(Said berangkat ke Jakarta)
- خبر المبتدأ, Contohnya lafaz طالب pada kalimat: عُمَرُ طَالِبٌ (Umar adalah mahasiswa)
- اسم الفعل, Contohnya: آمين (Ya Allah, kabulkan doa kami)
- المصدر النائب عن فعل الأمر, Contohnya lafaz إحساناpada kalimat: وَبِاْلوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا (berbuat baiklah kepada kedua orang tua)
- خبر فعل النواسخ (khabar yang terletak pada fi‘il Nawāsikh), yaitu كان وأخواتها dan إن وأخواتها, Contohnya adalah lafaz مُهَنْدِسًا pada kalimat: كَانَ زيد مُهَنْدِسًا (adalah Zaid seorang insinyur) dan lafaz غفور pada kalimat إن الله غفور (sesungguhnya Allah Maha Pengampun)
2) Letak Al-Musnad Ilaih
Al-Musnad Ilaih terletak di tempat-tempat berikut:
- الفاعل, Contohnya lafaz عائشة pada kalimat: أَنْجَبَتْ عائشة وَلَدًا (Fatimah melahirkan anak)
- نائب الفاعل, Contohnya lafaz جُنْدِيٌّ pada kalimat: اُسْتُشْهِدَ جُنْدِيٌّ في المَعْرَكَة (Telah mati syahid tentara itu di peperangan)
- المبتدأ, Contohnya lafaz الأستاذ pada kalimat: الأستاذ غَائِبٌ (guru itu tidak hadir)
- اسم فعل النواسخ (isim yang terletak pada fi‘il Nawāsikh), yaitu كان وأخواتها dan إن وأخواتها, Contohnya lafaz زيدا pada kalimat: إن زيدا مُدَرِّسٌ (Zaid adalah seorang guru) dan pada kalimat إِنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ (Sesungguhnya kematian itu benar adanya)
b. At-Taqdīm dan at-Ta’khīr/التقديم والتأخير
Dalam kaidah bahasa Arab penyebutan dan penulisan al-Musnad Ilaih terletak di awal (di depan) kalimat karena ia berkedudukan sebagai subyek kalimat yang membutuhkan penjelasan kata-kata yang terletak setelahnya. Tetapi itu tidak bersifat wajib (harus) karena pada hal-hal tertentu al-Musnad Ilaih boleh diakhirkan penyebutannya.
Ada beberapa tempat bahwa al-Musnad Ilaih wajib disebutkan di awal, di antaranya:
1) Bersegera menyampaikan perasaan gembira.
Contohnya:
العَفْوُ صَدَرَ بِهِ اْلأَمْرُ
Pemberian maaf adalah hasil dari perkara itu.
Contoh lain:
نَجَاُحُكَ فِي اْلاِمْتِحَانِ فِيْ أَوَّلِ قَائِمَةِ النَّاجِحِيْنَ
Kelulusanmu dalam ujian berada pada daftar pertama orang-orang yang lulus.
Al-Musnad Ilaih pada kalimat ini adalahالعفو dan نجاحكwajib didahulukan penyebutannya (letaknya) agar perasaan suka cita yang disampaikan pembicara cepat sampai kepada audien.
2) Bersegera menyampaikan perasaan duka cita.
Contoh:
اَلسِّجْنُ حَكَمَ بِهِ القَاضِي
Penjara adalah hukuman yang diputuskan oleh hakim.
Al-Musnad Ilaih pada kalimat ini adalah السجن wajib didahulukan agar perasaan duka cita yang disampaikan pembicara cepat sampai kepada audien.
3) Meminta keberkahan
Contoh:
اِسْمُ اللهِ اِسْتَعَنْتُ بِهِ
Dengan menyebut nama Allah, saya memohon pertolongan )
Al-Musnad Ilaih pada kalimat ini adalah اسم الله wajib didahulukan untuk meminta keberkahan.
4) At-Takhshīsh (pengkhususan/spesial)
Contoh:
”Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. al-Fātihah [1]: 5)
Al-Musnad Ilaih pada kalimat ini adalah إياك wajib didahulukan untuk menyebut kekhususan.
Contoh lain:
مَا أَنَا قُلْتُ
Saya tidak pernah mengatakan.
Al-Musnad Ilaih pada kalimat ini adalah أنا wajib didahulukan untuk menyebut kekhususan.
5) Nash (teks) yang berfungsi:
untuk menyebut keumuman penafian (peniadaan).
Yang pertama mendahulukan huruf yang berfungsi menyebut keumuman yaitu كُلُّ baru kemudian huruf nafy (meniadakan) yaitu لَمْ . contohnya: كُلُّ ذلِكَ لَمْ يَكُنْ maksudnya sama dengan لَمْ يَقَعْ هذا ولا ذاك (semua itu tidak pernah terjadi)
untuk menyebut penafian (peniadaan) keumuman.
Mendahulukan huruf nafy (peniadaan) لم baru kemudian huruf yang berfungsi untuk menyebut keumuman yaitu كل. Contohnya adalah: لم يكن كل ذلك maksudnya sama dengan لم يقع المجموع (tidak semuanya pernah terjadi).
3. Al-Musāwat, Al-Ījāz dan Al-Ithnāb
Ada 3 uslūb (gaya bahasa) yang sering dipergunakan para ulama Balagah dalam mengungkapkan kata-kata sehingga relevan dengan situasi dan kondisi pembicaraan dan kapasitas intelektual audien. Ketiga uslūb tersebut adalah: al-Musāwat, al-Ījāz dan al-Ithnāb.
a. Al-Musāwat
Yaitu mengungkapkan kata-kata yang sesuai antara lafaz dan maknanya, tidak lebih dan tidak kurang. Jika salah satu dari suatu lafaz dalam kalimat tersebut dikurangi atau dibuang atau tidak disebutkan maka akan mengurangi maknanya.
Contoh:
”Barang siapa yang kafir (ingkar) maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu.” (QS. Ar-Rūm [30]: 44)
Contoh lain:
”Setiap orang tergadai (terikat) dengan apa yang diperbuatnya”. (QS. Ath-Thūr [52]: 21)
Contoh lain:
“Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa kecuali atas orang yang merencanakannya.” (QS. Fāthir [35]: 43)
Contoh lain:
“Apa yang kalian perbuat untuk diri kalian berupa kebaikan niscaya kalian akan mendapatkan pahala di sisi Allah”. (QS. Al-Baqarah [2]: 110)
Semua contoh di atas adalah al-Musāwat (persamaan susunan makna dengan kalimat) sehingga kalau salah satu dari susunan kalimat digugurkan maka akan merusak makna kalimat tersebut.
b. Al-Ījāz
Yaitu mengungkapkan kata-kata dengan lafaz yang sedikit (ringkas) tetapi memiliki makna yang luas, melebihi susunan kalimat.
Al-Ījāz terbagi menjadi dua, yaitu Ījāz al-Qashr dan Ījāz al-Hadzf.
- Ījāz al-Qashr, yaitu mengungkapkan kata-kata dengan susunan lafaz yang sedikit dan ringkas tetapi memiliki makna yang luas dan padat (maknanya lebih luas dari susunan kalimat).
Contoh:
“...Ketahuilah milik Allah segala urusan dan penciptaan....” (QS. Al-A’rāf [7]: 54)
Kata الخلق (penciptaan) dan الأمر (urusan) mengandung makna semua (segala) hal yang berkaitan dengan penciptaan makhluk dan urusannya seperti hidup, mati, senang, bahagia dan lain-lain. Itu sudah terkandung dalam makna ayat ini.
Contoh lain:
الضَّعِيْفُ أَمِيْرُ الرَّكْبِ
Orang yang lemah adalah kepala dalam rombongan.
Begitu juga kata الضعيف (orang yang lemah) adalah pemimpin/penguasa dalam suatu rombongan karena ketika kita berada dalam satu rombongan dengan orang yang lemah maka kita harus memberikan perhatian yang cukup untuknya karena ia tidak bisa bergerak dan berjalan sesuai dengan gerakan orang lain yang dalam keadaan sehat.
- Ījāz al-Hadzf, yaitu meringkas pengungkapan kata-kata dengan tidak menyebutkan suatu lafaz atau kalimat atau lebih.
Jadi dalam Ījāz al-Hadzf ada lafaz atau kalimat yang tidak disebutkan (digugurkan).
Contoh:
•
“Bertanyalah kepada desa yang pernah kami diami….” (QS. Yūsuf [12]: 82)
Contoh lain:
أَكَلْتُ فَاكِهَةً وَمَاءً
Saya makan buah-buahan dan air
Contoh lain:
وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا
Barang siapa yang bertaubat dan beramal saleh (baik)
Contoh lain:
“Maka Musa member minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku". Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami…." (QS. al-Qashash [28]:24-25)
Contoh lain:
• • ••
“Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: aku akan memberikan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena’birkan mimpi itu, maka utuslah aku kepadanya. Yusuf hai orang yang amat dipercaya”. (QS. Yūsuf [12]: 45-46)
Kalau diperhatikan, dari semua contoh di atas ada beberapa kalimat yang tidak disebutkan (digugurkan), agar susunan kalimat tersebut menjadi ringkas.
Pada contoh pertama tidak disebutkan lafazh أهل, yang asalnya واسئل أهل القرية karena seseorang tidak mungkin bertanya kepada desa. Tetapi seseorang akan bertanya kepada penduduk (orang-orang yang berada) di desa tersebut.
Contoh kedua tidak disebutkan lafaz شربت, yang asalnya أكلت فاكهة وشربت ماء, karena untuk air kata yang tepat dipergunakan adalah minum bukan makan.
Contoh ketiga tidak disebutkan lafaz عملا asalnya ومن تاب وعمل عملا صالحا karena yang dikerjakan عملا صالحا perbuatan yang salih bukan kesalihan itu sendiri. Adapun shalih adalah sifat dari suatu perbuatan.
Contoh keempat ada beberapa kalimat yang tidak disebutkan,
فَذَهَبَتَا إِلَى أَبِيْهِمَا وَقَصَّتَا عَلَيْهِ مَا كَانَ مِنْ أَمْرِ مُوْسَى فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ
Maka keduanya pergi kepada bapaknya dan menceritakan tentang perbuatan Nabi Musa.
Pada contoh kelima ada beberapa kalimat yang tidak disebutkan,
فَأَرْسِلُوْنِيْ إِلَى يُوْسُفَ ِلأَطْلُبَ مِنْهُ تَأْوِيْلَ الرُّؤْيَا فَأَرْسَلُوْهُ فَأَتَاهُ وَقَالَ لَهُ: يُوْسُفُ أَيُّهَا الصِّدِّيْقُ
Orang yang selamat itu berkata kepada para pembesar kerajaan: utuslah aku kepada Yusuf untuk menanyakan kepadanya tentang ta’wil mimpi raja. Lalu mereka mengutusnya dan ia menemui Yusuf dan bertanya: Yusuf, hai orang yang amat dipercaya.
Kalau tidak diketahui yang tidak disebutkan maka ayat itu tidak akan sempurna maknanya.
Tetapi perlu dicatat bahwa dengan adanya kaidah Ījāz dalam ilmu Balagah, bukan berarti menunjukkan ketidaksempurnaan al-Qur’an, tetapi justru sebaliknya menunjukkan kesempurnaan firman Allah karena di sana letak nilai balagahnya.
Pada jenis Ījāz al-Hadzf ini disyaratkan adanya dalil (bukti) yang menunjukkan pengguguran itu boleh (masuk akal). Kalau tidak demikian, maka pengguguran lafazh tersebut tidak diperbolehkan.
c. Al-Ithnāb
Yaitu mengungkapkan kata-kata dengan lafaz yang panjang (bertele-tele) dan banyak tetapi mengandung makna yang sedikit. Al-Ithnāb adalah anonim (lawan kata) dari al-Ījāz.
Ada beberapa uslūb yang dipergunakan para ulama Balagah dalam Al-Ithnāb, yaitu:
- ذكر الخاص بعد العام
Yaitu penyebutan lafaz yang bermakna khusus setelah disebutkan lafaz yang bermakna umum.
Contoh:
•
“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan ar-Ruh (Jibril)….” (QS. al-Qadr [97]: 4)
Contoh lain:
“Peliharalah segala shalatmu dan pelihara shalat wustho….” (QS. al-Baqarah [2]: 238)
Fungsinya untuk mengingatkan fadhilah (keutamaan) makna kalimat (lafaz) yang khusus.
Pada contoh pertama lafazh الروح disebutkan setelah disebutkannya lafazh الملائكة di mana الروح itu adalah bagian (khusus) dari malaikat (umum). Tetapi الروح sengaja disebutkan juga untuk mengingatkan fungsi makna kata الملائكة
Pada contoh kedua lafaz والصلاة الوسطى disebutkan setelah disebutkannya lafaz الصلوات di mana lafaz الصلاة الوسطى itu adalah bagian (khusus) dari as sholawat (umum).
- ذكر العام بعد الخاص
Yaitu penyebutan lafaz yang bermakna umum setelah disebutkan lafaz yang bermakna khusus.
Contoh:
“Ya Allah, ampunilah saya dan kedua orang tua saya serta orang-orang yang memasuki rumahku dalam keadaan beriman baik orang yang beriman dari laki-laki atau perempuan” (QS. Nūh [71]: 28).
Pada contoh ini disebutkan lafaz المؤمنين dan المؤمنات setelah disebutkannya lafaz مؤمنا di mana مؤمنا itu adalah bagian dari المؤمنين dan المؤمنات
Fungsinya untuk menegaskan keumuman dan menyeluruh serta perhatian pada yang khusus.
- الإيضاح بعد الإبهام
Yaitu penyebutan lafaz yang bermakna jelas setelah disebutkannya lafaz yang bermakna samar.
Contoh:
“Wahai orang-orang yang beriman maukah kalian saya tunjukkan perniagaan yang menyelamatkan kalian dari azab yang pedih; kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan jiwa kalian” (QS. ash-Shaff [61]: 10-11)
Disebutkan kalimat تؤمنون بالله ورسوله danوتجاهدون في سبيل الله بأموالكم وأنفسكم yang merupakan penjelasan الإيضاح dari lafaz تجارة yang masih samar maksudnya.
Fungsinya untuk memperkuat penjelasan suatu makna kepada audien.
- الإعتراض
Yaitu menyisipkan kata-kata di tengah susunan kalimat atau 2 kalimat yang bersambung di mana sisipan tersebut tidak memiliki kedudukan dalam I’rab.
Fungsinya untuk segera mensucikan Allah dari sifat-sifat yang lain atau bisa juga berfungsi untuk doa.
Contoh:
•
“Mereka membuat bagi Allah anak-anak perempuan Maha Suci Allah dari apa yang mereka inginkan” (QS. an-Nahl [16]: 57)
إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَطِيْفٌ بِعِبَادِهِ
”Sesungguhnya Allah Yang Mulia dan Tinggi Maha lemah lembut dengan hamba-hamba-Nya”
رُوِيَ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ
”Diriwayatkan dari Abu Hurairah semoga Allah meridhainya berkata”
Kalimat سبحانه dan تبارك وتعالى serta رضي الله عنه adalah I‘tirādh (sisipan) yang berada di antara 2 kalimat yang bersambung yang memiliki kesatuan makna. Kalimat I‘tirādh tidak memiliki kedudukan dalam i‘rāb. Contoh pertama dan kedua adalah penyucian Allah dari segala sesuatu dan ketiga dalam bentuk doa.
- التكرار
Yaitu penyebutan lafaz atau kalimat secara berulang-ulang (bersambung).
Fungsinya untuk menetapkan suatu makna. Hal tersebut terlihat dengan jelas dalam teks-teks khutbah yang menggambarkan rasa bangga, pujian, arahan, bimbingan dan mengingatkan.
Contoh:
• • •
“Sesungguhnya setelah kesulitan itu kemudahan, sesungguhnya setelah kesulitan itu kemudahan” (QS. asy-Syarh [94]: 5-6)
Pada contoh ini lafaz إن مع العسر يسرا disebutkan secara bersambung.
- التذييل
Yaitu menyertakan suatu kalimat dengan kalimat lain yang sama maknanya dan berkedudukan sebagai penguat/penegas. Di mana pada bagian pertama makna itu sudah lengkap, dilanjutkan lagi dengan makna yang kedua sebagai penguat dan penegas.
Contoh:
• • •
“Tiadalah aku melepaskan jiwaku, sesungguhnya jiwa (nafsu) itu mendorong kepada kejahatan” (QS. Yūsuf [12]: 53)
Kalimat kedua إن النفس لأمارة بالسوء adalah penguat/penegas kalimat pertama sekalipun makna yang kedua tidak jauh berbeda dengan makna kalimat yang pertama.
- احتراس
Yaitu mengungkapkan kata-kata untuk memperjelas makna suatu kalimat yang mungkin mendapatkan celaan dari pendengar.
Contoh:
•
“Mereka memberi makan makanan yang dicintainya kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan” (QS. al-Insān [76]: 8)
Pada contoh ini lafaz على حبه diungkapkan untuk memperjelas makna suatu kalimat yang mungkin dianggap oleh sebagian orang bahwa orang-orang tersebut memberi makan orang miskin, anak yatim dan tawanan kalau harta bendanya berlebihan. Tetapi lafazhعلى حبه menunjukkan bahwa dalam keadaan bagaimanapun mereka tetap memberi makan orang-orang yang berhak.
d. Al-Qashr
1) Definisi al-Qashr
Al-Qashr secara bahasa berarti menahan sebagaimana firman Allah:
•
“Hurul ’Ain (bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih tertahan di kemah-kemah”. (QS. ar-Rahmān [55]: 72)
Menurut istilah adalah mengkhususkan (menentukan) sesuatu dari yang lainnya dengan menggunakan adat al-Qashr.
Al-Qashr dibentuk dan dipergunakan untuk menafikan (meniadakan) kemungkinan yang lain.
2) Rukun-rukun al-Qashr
Rukun al-Qashr ada tiga, yaitu: al-Maqshūr (المقصور), al-Maqshur ‘Alaih (المقصور عليه), Adat al-Qashr (أداة القصر)
Contohnya:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya semua amal (perbuatan) tergantung dari niat.
Al-Maqshūr ’Alaih adalah الأَعْمَالُ sedangkan al-Maqshur adalahالنيات dan adat al-Qashr adalah ِإنما
3) Bentuk-bentuk Uslūb al-Qashr
- Al-Qashr dengan menggunakan Nafy atau Nahy yang disertai Istitsna’.
Contoh:
“…Tiadalah kehidupan di dunia ini kecuali perhiasan yang menipu daya". (QS. Āli ‘Imrān [3]: 185)
Al-Maqshūr ‘Alaih adalah الحياة الدنيا dan al-Maqshūr adalah متاع الغرور
- Al-Qashr dengan menggunakan إنما
Contoh:
“...Sesungguhnya hamba-hamba yang takut kepada Allah hanyalah para ulama....” (Q.S. Fāthir [35]: 28)
Al-Maqshūr ’Alaih adalah يخشى الله sedangkan al-Maqshūr adalah العلماء
- Al-Qashr dengan menggunakan huruf Athaf لا, بل dan لكن.
Contoh:
جَاءَ عَلِيٌّ لاَ بَكْرٌ
Telah datang si Ali bukan si Bakar
Al-Maqshūr ’Alaih adalah علي sedangkan al-Maqshūr adalah بكر
مَا اْلأَرْضُ ثَابِتَةٌ بَلْ مُتَحَرِّكَةٌ
Tiadalah bumi itu diam tetapi ia bergerak
Al-Maqshūr ‘Alaih adalah متحركة sedangkan al-Maqshūr adalah الأرض
مَا الْفَخْرُ بِالنَّسَبِ لَكِنْ بِالْعِلْمِ
Tiadalah kebanggaan itu dengan nasab (keturunan) tetapi dengan ilmu pengetahuan.
Al-Maqshūr ‘Alaih adalah بالعلم sedangkan al-Maqshūr adalah الفخر
- Al-Qashr dengan mendahulukan yang seharusnya disebut belakangan.
Contoh:
“Kepada-Mu kami menyembah dan kepada-Mu kami memohon pertolongan” (QS. al-Fātihah [1]: 5)
Al-Maqshūr ’Alaih adalah إياك sedangkan al-Maqshūr adalah نعبد
Contoh lain:
عَلَى الله تَوَكَّلْنَا
Hanya kepada Allah kami bertawakkal (berserah diri)
Al-Maqshūr ’Alaih adalah على الله sedangkan al-Maqshūr adalah توكلنا
Untuk membuat al-Qashr dengan huruf ’athaf بل dan لكن disyaratkan harus didahului Nafy atau Nahy dan pada huruf لكنtidak boleh disertai dengan الواو. Untuk membuat al-Qashr dengan huruf ’athaf لا harus didahului itsbāt.
Al-Qashr ditinjau dari segi kesesuaiannya dengan kebenaran dan kenyataan dibagi menjadi dua, yaitu:
Qashr Haqīqī
Yaitu al-Maqshūr ’Alaih ditakhshis penyebutannya sesuai dengan kebenaran dan kenyataan.
Contoh:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Tiada tuhan selain Allah
Ini adalah suatu kebenaran dan kenyataan bahwa Allah sajalah yang berhak untuk disembah. Selain-Nya tidak boleh disembah.
Qashr Idhāfī
Yaitu al-Maqshūr ‘Alaih ditakhshis penyebutannya sesuai dengan penyandaran kepada sesuatu yang tertentu tetapi tidak menutup kemungkinan bagi yang lain untuk ikut dalam penyandaran tersebut.
Contoh:
مَا خَلِيْلٌ إِلاَّ مُسَافِرٌ
Tiadalah si Khalil kecuali yang bepergian
Lafaz bepergian ditakhshis (dikhususkan) kepada Khalil, tetapi itu bukan bermaksud mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang bepergian selain dia. Karena bisa saja si Umar atau si Mahmud pergi pada waktu dan tempat yang lain.
4) Macam-macam al-Qashr
Al-Qashr dilihat dari segi penyebutan rukunnya dibagi menjadi dua, yaitu:
- Qashr Shifah ‘Alā Maushūf, yaitu ash-Shifah ditakhsis dengan Maushūfnya. Karena selain Allah tidak boleh disifati dengan sifat itu. Al-Maushūf terkadang bisa juga disifati dengan sifat-sifat yang lain.
Contoh:
لاَ رَازِقَ إِلاَّ اللهُ
Tiada yang memberi rezeki kecuali Allah
Contoh lain:
لاَ زَعِيْمَ إِلاَّ سَعِيْدٌ
Tiada yang memimpin kecuali si Said
- Qashr Maushūf ‘Alā ash-Shifah, yaitu al-Maushūf ditakhshis dengan Shifah.
Contoh:
مَا اللهُ إِلاَّ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
Tiada Allah kecuali yang menciptakan segala sesuatu
Contoh lain:
“Tiada Muhammad itu kecuali Rasul yang telah lewat sebelumnya rasul-rasul terdahulu....” (QS. Āli ’Imrān [3]: 144)
Ada 3 uslūb (gaya bahasa) yang sering dipergunakan para ulama Balagah dalam mengungkapkan kata-kata sehingga relevan dengan situasi dan kondisi pembicaraan dan kapasitas intelektual audien. Ketiga uslūb tersebut adalah: al-Musāwat, al-Ījāz dan al-Ithnāb.
a. Al-Musāwat
Yaitu mengungkapkan kata-kata yang sesuai antara lafaz dan maknanya, tidak lebih dan tidak kurang. Jika salah satu dari suatu lafaz dalam kalimat tersebut dikurangi atau dibuang atau tidak disebutkan maka akan mengurangi maknanya.
Contoh:
”Barang siapa yang kafir (ingkar) maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu.” (QS. Ar-Rūm [30]: 44)
Contoh lain:
”Setiap orang tergadai (terikat) dengan apa yang diperbuatnya”. (QS. Ath-Thūr [52]: 21)
Contoh lain:
“Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa kecuali atas orang yang merencanakannya.” (QS. Fāthir [35]: 43)
Contoh lain:
“Apa yang kalian perbuat untuk diri kalian berupa kebaikan niscaya kalian akan mendapatkan pahala di sisi Allah”. (QS. Al-Baqarah [2]: 110)
Semua contoh di atas adalah al-Musāwat (persamaan susunan makna dengan kalimat) sehingga kalau salah satu dari susunan kalimat digugurkan maka akan merusak makna kalimat tersebut.
b. Al-Ījāz
Yaitu mengungkapkan kata-kata dengan lafaz yang sedikit (ringkas) tetapi memiliki makna yang luas, melebihi susunan kalimat.
Al-Ījāz terbagi menjadi dua, yaitu Ījāz al-Qashr dan Ījāz al-Hadzf.
- Ījāz al-Qashr, yaitu mengungkapkan kata-kata dengan susunan lafaz yang sedikit dan ringkas tetapi memiliki makna yang luas dan padat (maknanya lebih luas dari susunan kalimat).
Contoh:
“...Ketahuilah milik Allah segala urusan dan penciptaan....” (QS. Al-A’rāf [7]: 54)
Kata الخلق (penciptaan) dan الأمر (urusan) mengandung makna semua (segala) hal yang berkaitan dengan penciptaan makhluk dan urusannya seperti hidup, mati, senang, bahagia dan lain-lain. Itu sudah terkandung dalam makna ayat ini.
Contoh lain:
الضَّعِيْفُ أَمِيْرُ الرَّكْبِ
Orang yang lemah adalah kepala dalam rombongan.
Begitu juga kata الضعيف (orang yang lemah) adalah pemimpin/penguasa dalam suatu rombongan karena ketika kita berada dalam satu rombongan dengan orang yang lemah maka kita harus memberikan perhatian yang cukup untuknya karena ia tidak bisa bergerak dan berjalan sesuai dengan gerakan orang lain yang dalam keadaan sehat.
- Ījāz al-Hadzf, yaitu meringkas pengungkapan kata-kata dengan tidak menyebutkan suatu lafaz atau kalimat atau lebih.
Jadi dalam Ījāz al-Hadzf ada lafaz atau kalimat yang tidak disebutkan (digugurkan).
Contoh:
•
“Bertanyalah kepada desa yang pernah kami diami….” (QS. Yūsuf [12]: 82)
Contoh lain:
أَكَلْتُ فَاكِهَةً وَمَاءً
Saya makan buah-buahan dan air
Contoh lain:
وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا
Barang siapa yang bertaubat dan beramal saleh (baik)
Contoh lain:
“Maka Musa member minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku". Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami…." (QS. al-Qashash [28]:24-25)
Contoh lain:
• • ••
“Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: aku akan memberikan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena’birkan mimpi itu, maka utuslah aku kepadanya. Yusuf hai orang yang amat dipercaya”. (QS. Yūsuf [12]: 45-46)
Kalau diperhatikan, dari semua contoh di atas ada beberapa kalimat yang tidak disebutkan (digugurkan), agar susunan kalimat tersebut menjadi ringkas.
Pada contoh pertama tidak disebutkan lafazh أهل, yang asalnya واسئل أهل القرية karena seseorang tidak mungkin bertanya kepada desa. Tetapi seseorang akan bertanya kepada penduduk (orang-orang yang berada) di desa tersebut.
Contoh kedua tidak disebutkan lafaz شربت, yang asalnya أكلت فاكهة وشربت ماء, karena untuk air kata yang tepat dipergunakan adalah minum bukan makan.
Contoh ketiga tidak disebutkan lafaz عملا asalnya ومن تاب وعمل عملا صالحا karena yang dikerjakan عملا صالحا perbuatan yang salih bukan kesalihan itu sendiri. Adapun shalih adalah sifat dari suatu perbuatan.
Contoh keempat ada beberapa kalimat yang tidak disebutkan,
فَذَهَبَتَا إِلَى أَبِيْهِمَا وَقَصَّتَا عَلَيْهِ مَا كَانَ مِنْ أَمْرِ مُوْسَى فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ
Maka keduanya pergi kepada bapaknya dan menceritakan tentang perbuatan Nabi Musa.
Pada contoh kelima ada beberapa kalimat yang tidak disebutkan,
فَأَرْسِلُوْنِيْ إِلَى يُوْسُفَ ِلأَطْلُبَ مِنْهُ تَأْوِيْلَ الرُّؤْيَا فَأَرْسَلُوْهُ فَأَتَاهُ وَقَالَ لَهُ: يُوْسُفُ أَيُّهَا الصِّدِّيْقُ
Orang yang selamat itu berkata kepada para pembesar kerajaan: utuslah aku kepada Yusuf untuk menanyakan kepadanya tentang ta’wil mimpi raja. Lalu mereka mengutusnya dan ia menemui Yusuf dan bertanya: Yusuf, hai orang yang amat dipercaya.
Kalau tidak diketahui yang tidak disebutkan maka ayat itu tidak akan sempurna maknanya.
Tetapi perlu dicatat bahwa dengan adanya kaidah Ījāz dalam ilmu Balagah, bukan berarti menunjukkan ketidaksempurnaan al-Qur’an, tetapi justru sebaliknya menunjukkan kesempurnaan firman Allah karena di sana letak nilai balagahnya.
Pada jenis Ījāz al-Hadzf ini disyaratkan adanya dalil (bukti) yang menunjukkan pengguguran itu boleh (masuk akal). Kalau tidak demikian, maka pengguguran lafazh tersebut tidak diperbolehkan.
c. Al-Ithnāb
Yaitu mengungkapkan kata-kata dengan lafaz yang panjang (bertele-tele) dan banyak tetapi mengandung makna yang sedikit. Al-Ithnāb adalah anonim (lawan kata) dari al-Ījāz.
Ada beberapa uslūb yang dipergunakan para ulama Balagah dalam Al-Ithnāb, yaitu:
- ذكر الخاص بعد العام
Yaitu penyebutan lafaz yang bermakna khusus setelah disebutkan lafaz yang bermakna umum.
Contoh:
•
“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan ar-Ruh (Jibril)….” (QS. al-Qadr [97]: 4)
Contoh lain:
“Peliharalah segala shalatmu dan pelihara shalat wustho….” (QS. al-Baqarah [2]: 238)
Fungsinya untuk mengingatkan fadhilah (keutamaan) makna kalimat (lafaz) yang khusus.
Pada contoh pertama lafazh الروح disebutkan setelah disebutkannya lafazh الملائكة di mana الروح itu adalah bagian (khusus) dari malaikat (umum). Tetapi الروح sengaja disebutkan juga untuk mengingatkan fungsi makna kata الملائكة
Pada contoh kedua lafaz والصلاة الوسطى disebutkan setelah disebutkannya lafaz الصلوات di mana lafaz الصلاة الوسطى itu adalah bagian (khusus) dari as sholawat (umum).
- ذكر العام بعد الخاص
Yaitu penyebutan lafaz yang bermakna umum setelah disebutkan lafaz yang bermakna khusus.
Contoh:
“Ya Allah, ampunilah saya dan kedua orang tua saya serta orang-orang yang memasuki rumahku dalam keadaan beriman baik orang yang beriman dari laki-laki atau perempuan” (QS. Nūh [71]: 28).
Pada contoh ini disebutkan lafaz المؤمنين dan المؤمنات setelah disebutkannya lafaz مؤمنا di mana مؤمنا itu adalah bagian dari المؤمنين dan المؤمنات
Fungsinya untuk menegaskan keumuman dan menyeluruh serta perhatian pada yang khusus.
- الإيضاح بعد الإبهام
Yaitu penyebutan lafaz yang bermakna jelas setelah disebutkannya lafaz yang bermakna samar.
Contoh:
“Wahai orang-orang yang beriman maukah kalian saya tunjukkan perniagaan yang menyelamatkan kalian dari azab yang pedih; kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan jiwa kalian” (QS. ash-Shaff [61]: 10-11)
Disebutkan kalimat تؤمنون بالله ورسوله danوتجاهدون في سبيل الله بأموالكم وأنفسكم yang merupakan penjelasan الإيضاح dari lafaz تجارة yang masih samar maksudnya.
Fungsinya untuk memperkuat penjelasan suatu makna kepada audien.
- الإعتراض
Yaitu menyisipkan kata-kata di tengah susunan kalimat atau 2 kalimat yang bersambung di mana sisipan tersebut tidak memiliki kedudukan dalam I’rab.
Fungsinya untuk segera mensucikan Allah dari sifat-sifat yang lain atau bisa juga berfungsi untuk doa.
Contoh:
•
“Mereka membuat bagi Allah anak-anak perempuan Maha Suci Allah dari apa yang mereka inginkan” (QS. an-Nahl [16]: 57)
إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَطِيْفٌ بِعِبَادِهِ
”Sesungguhnya Allah Yang Mulia dan Tinggi Maha lemah lembut dengan hamba-hamba-Nya”
رُوِيَ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ
”Diriwayatkan dari Abu Hurairah semoga Allah meridhainya berkata”
Kalimat سبحانه dan تبارك وتعالى serta رضي الله عنه adalah I‘tirādh (sisipan) yang berada di antara 2 kalimat yang bersambung yang memiliki kesatuan makna. Kalimat I‘tirādh tidak memiliki kedudukan dalam i‘rāb. Contoh pertama dan kedua adalah penyucian Allah dari segala sesuatu dan ketiga dalam bentuk doa.
- التكرار
Yaitu penyebutan lafaz atau kalimat secara berulang-ulang (bersambung).
Fungsinya untuk menetapkan suatu makna. Hal tersebut terlihat dengan jelas dalam teks-teks khutbah yang menggambarkan rasa bangga, pujian, arahan, bimbingan dan mengingatkan.
Contoh:
• • •
“Sesungguhnya setelah kesulitan itu kemudahan, sesungguhnya setelah kesulitan itu kemudahan” (QS. asy-Syarh [94]: 5-6)
Pada contoh ini lafaz إن مع العسر يسرا disebutkan secara bersambung.
- التذييل
Yaitu menyertakan suatu kalimat dengan kalimat lain yang sama maknanya dan berkedudukan sebagai penguat/penegas. Di mana pada bagian pertama makna itu sudah lengkap, dilanjutkan lagi dengan makna yang kedua sebagai penguat dan penegas.
Contoh:
• • •
“Tiadalah aku melepaskan jiwaku, sesungguhnya jiwa (nafsu) itu mendorong kepada kejahatan” (QS. Yūsuf [12]: 53)
Kalimat kedua إن النفس لأمارة بالسوء adalah penguat/penegas kalimat pertama sekalipun makna yang kedua tidak jauh berbeda dengan makna kalimat yang pertama.
- احتراس
Yaitu mengungkapkan kata-kata untuk memperjelas makna suatu kalimat yang mungkin mendapatkan celaan dari pendengar.
Contoh:
•
“Mereka memberi makan makanan yang dicintainya kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan” (QS. al-Insān [76]: 8)
Pada contoh ini lafaz على حبه diungkapkan untuk memperjelas makna suatu kalimat yang mungkin dianggap oleh sebagian orang bahwa orang-orang tersebut memberi makan orang miskin, anak yatim dan tawanan kalau harta bendanya berlebihan. Tetapi lafazhعلى حبه menunjukkan bahwa dalam keadaan bagaimanapun mereka tetap memberi makan orang-orang yang berhak.
d. Al-Qashr
1) Definisi al-Qashr
Al-Qashr secara bahasa berarti menahan sebagaimana firman Allah:
•
“Hurul ’Ain (bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih tertahan di kemah-kemah”. (QS. ar-Rahmān [55]: 72)
Menurut istilah adalah mengkhususkan (menentukan) sesuatu dari yang lainnya dengan menggunakan adat al-Qashr.
Al-Qashr dibentuk dan dipergunakan untuk menafikan (meniadakan) kemungkinan yang lain.
2) Rukun-rukun al-Qashr
Rukun al-Qashr ada tiga, yaitu: al-Maqshūr (المقصور), al-Maqshur ‘Alaih (المقصور عليه), Adat al-Qashr (أداة القصر)
Contohnya:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya semua amal (perbuatan) tergantung dari niat.
Al-Maqshūr ’Alaih adalah الأَعْمَالُ sedangkan al-Maqshur adalahالنيات dan adat al-Qashr adalah ِإنما
3) Bentuk-bentuk Uslūb al-Qashr
- Al-Qashr dengan menggunakan Nafy atau Nahy yang disertai Istitsna’.
Contoh:
“…Tiadalah kehidupan di dunia ini kecuali perhiasan yang menipu daya". (QS. Āli ‘Imrān [3]: 185)
Al-Maqshūr ‘Alaih adalah الحياة الدنيا dan al-Maqshūr adalah متاع الغرور
- Al-Qashr dengan menggunakan إنما
Contoh:
“...Sesungguhnya hamba-hamba yang takut kepada Allah hanyalah para ulama....” (Q.S. Fāthir [35]: 28)
Al-Maqshūr ’Alaih adalah يخشى الله sedangkan al-Maqshūr adalah العلماء
- Al-Qashr dengan menggunakan huruf Athaf لا, بل dan لكن.
Contoh:
جَاءَ عَلِيٌّ لاَ بَكْرٌ
Telah datang si Ali bukan si Bakar
Al-Maqshūr ’Alaih adalah علي sedangkan al-Maqshūr adalah بكر
مَا اْلأَرْضُ ثَابِتَةٌ بَلْ مُتَحَرِّكَةٌ
Tiadalah bumi itu diam tetapi ia bergerak
Al-Maqshūr ‘Alaih adalah متحركة sedangkan al-Maqshūr adalah الأرض
مَا الْفَخْرُ بِالنَّسَبِ لَكِنْ بِالْعِلْمِ
Tiadalah kebanggaan itu dengan nasab (keturunan) tetapi dengan ilmu pengetahuan.
Al-Maqshūr ‘Alaih adalah بالعلم sedangkan al-Maqshūr adalah الفخر
- Al-Qashr dengan mendahulukan yang seharusnya disebut belakangan.
Contoh:
“Kepada-Mu kami menyembah dan kepada-Mu kami memohon pertolongan” (QS. al-Fātihah [1]: 5)
Al-Maqshūr ’Alaih adalah إياك sedangkan al-Maqshūr adalah نعبد
Contoh lain:
عَلَى الله تَوَكَّلْنَا
Hanya kepada Allah kami bertawakkal (berserah diri)
Al-Maqshūr ’Alaih adalah على الله sedangkan al-Maqshūr adalah توكلنا
Untuk membuat al-Qashr dengan huruf ’athaf بل dan لكن disyaratkan harus didahului Nafy atau Nahy dan pada huruf لكنtidak boleh disertai dengan الواو. Untuk membuat al-Qashr dengan huruf ’athaf لا harus didahului itsbāt.
Al-Qashr ditinjau dari segi kesesuaiannya dengan kebenaran dan kenyataan dibagi menjadi dua, yaitu:
Qashr Haqīqī
Yaitu al-Maqshūr ’Alaih ditakhshis penyebutannya sesuai dengan kebenaran dan kenyataan.
Contoh:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Tiada tuhan selain Allah
Ini adalah suatu kebenaran dan kenyataan bahwa Allah sajalah yang berhak untuk disembah. Selain-Nya tidak boleh disembah.
Qashr Idhāfī
Yaitu al-Maqshūr ‘Alaih ditakhshis penyebutannya sesuai dengan penyandaran kepada sesuatu yang tertentu tetapi tidak menutup kemungkinan bagi yang lain untuk ikut dalam penyandaran tersebut.
Contoh:
مَا خَلِيْلٌ إِلاَّ مُسَافِرٌ
Tiadalah si Khalil kecuali yang bepergian
Lafaz bepergian ditakhshis (dikhususkan) kepada Khalil, tetapi itu bukan bermaksud mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang bepergian selain dia. Karena bisa saja si Umar atau si Mahmud pergi pada waktu dan tempat yang lain.
4) Macam-macam al-Qashr
Al-Qashr dilihat dari segi penyebutan rukunnya dibagi menjadi dua, yaitu:
- Qashr Shifah ‘Alā Maushūf, yaitu ash-Shifah ditakhsis dengan Maushūfnya. Karena selain Allah tidak boleh disifati dengan sifat itu. Al-Maushūf terkadang bisa juga disifati dengan sifat-sifat yang lain.
Contoh:
لاَ رَازِقَ إِلاَّ اللهُ
Tiada yang memberi rezeki kecuali Allah
Contoh lain:
لاَ زَعِيْمَ إِلاَّ سَعِيْدٌ
Tiada yang memimpin kecuali si Said
- Qashr Maushūf ‘Alā ash-Shifah, yaitu al-Maushūf ditakhshis dengan Shifah.
Contoh:
مَا اللهُ إِلاَّ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
Tiada Allah kecuali yang menciptakan segala sesuatu
Contoh lain:
“Tiada Muhammad itu kecuali Rasul yang telah lewat sebelumnya rasul-rasul terdahulu....” (QS. Āli ’Imrān [3]: 144)
e. Al-Washlu dan Al-Fashlu
1) Definisi dan Letak al-Washlu
Al-Washlu adalah menggabungkan (menyambung) suatu kalimat dengan lainnya dengan menggunakan huruf ‘athaf الواو .
Contoh:
جَاءَ مُحَمَّدٌ وَعَلِيٌّ
Kalimat علي di‘athafkan (dihubungkan) ke kalimat محمد dengan menggunakan huruf ‘athaf, yaitu الواو.
Adapun letak al-Washlu adalah sebagai berikut:
- Antara dua kalimat yang memiliki kedudukan I’rāb yang sama
“…Allah yang menghidupkan dan mematikan....” (QS. Āli Imrān [3]: 156)
Kalimat يحيي kedudukan I’rābnya adalah Khabar Mubtada’. Sedangkan kalimat يميت diathafkan kepada kalimat يحيي
Contoh lain:
عَلِيُّ يَقُوْلُ وَيَفْعَلُ
Si Ali berkata dan berbuat
Kalimat يقول kedudukan I’rābnya adalah Khabar Mubtada’. Sedangkan kalimat يفعل di athafkan kepada kalimat يقول
- Antara dua kalimat yang memiliki susunan yang sama baik dari segi Khabar atau Insyā’ dan keduanya memiliki hubungan kesesuaian makna.
Contoh:
• •
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat baik berada dalam kenikmatan sementara orang-orang jahat berada dalam neraka Jahim” (QS. al-Infithār [82]:13-14)
Kalimat kedua جحيم لفي وإن الفجار diathafkan (disambung) ke kalimat إن الأبرار لفي نعيم yang keduanya berbentuk Khabar.
Kesesuaian makna antara kedua kalimat bisa ditinjau dari aspek ini; ketika diceritakan bahwa orang-orang yang berbuat baik berada dalam kenikmatan maka seharusnya ada juga berita mengenai nasib orang-orang yang berbuat jahat, lalu datanglah pernyataan dalam kalimat kedua dari ayat al-Qur’an ini.
Contoh lain:
“…Janganlah engkau berkata kepada keduanya “uf” (cih) dan jangan engkau menghardiknya….” (QS. al-Isrā’ [17]: 23)
Kalimat kedua ولا تنهرهما di‘athafkan ke kalimat pertama فلا تقل لهما أف di mana keduanya berbentuk Insyā’, dan kedua kalimat sama-sama berarti larangan dan hardikan.
Contoh lain:
“Maka Karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu….” (QS. asy-Syūrā [42]: 15)
Kalimat keduaواستقم di‘athafkan (disambung) ke kalimat pertama فادع di mana keduanya berbentuk Insyā’.
Contoh lain:
“Dan sembahlah Allah serta janganlah kalian menyekutukan-Nya….” (QS. an-Nisā’ [4]: 36)
Kalimat kedua ولا تشركوا به di‘athafkan (disambung) ke kalimat pertama اعبدوا الله karena keduanya berbentuk Insyā’,
- Antara dua kalimat yang memiliki susunan yang berbeda dari segi Khabar dan Insyā’ tetapi kalau dipisahkan akan mengaburkan maknanya. oleh karena itu kalimat tersebut harus disambung dengan menggunakan huruf الواو .
Contoh:
لاَ، وَيَرْحَمُكَ اللهُ أَتَبِيْعُ هَذَا الثَّوْبَ؟
Pernah suatu ketika Abu Bakar berpapasan dengan seseorang yang membawa baju, lalu beliau bertanya kepada orang tersebut:أتبيع هذا الثوب؟ (Apakah engkau menjual baju ini)? Orang tersebut menjawab: لا, يرحمك الله Abu Bakar berkomentar: jangan berkata seperti ini tetapi katakanlah: لا, ويرحمك الله (Tidak, semoga Allah memberi rahmat kepadamu).
Kalimat pertama لا yang maksudnya لا أبيع هذا berbentuk khabar, sedangkan kalimat kedua yaitu يرحمك الله berbentuk Insyā’ (redaksinya berbentuk khabar, sedangkan maknanya berbentuk Insyā') karena maknanya doa. Dengan demikian seharusnya ia tidak disambung dengan huruf الواو. Tetapi pada konteks ini ia harus disambung dengan huruf الواو agar tidak mengaburkan maknanya dari do'a berbentuk kebaikan kepada doa berbentuk kemudaratan.
Jadi, Perbedaan antara keduanya adalah kalimat pertama ((يرحمك الله dipergunakan untuk mendoakan kepada sesuatu yang mudarat (bahaya) kepada orang lain sedangkan kalimat kedua ( (ويرحمك اللهdipergunakan untuk mendoakan kepada sesuatu yang bermanfaat.
Contoh lain:
لاَ، وَيَرْزُقُكَ اللهُ أَتَأْخُذُ هَذَا؟
Seseorang bertanya: أتأخذ هذا؟ (Apakah engkau akan mengambil ini)? Ia menjawab: لا, ويرزقك الله. (Tidak, semoga Allah memberi rezeki kepadamu).
2) Definisi dan Letak al-Fashlu
Al-Fashlu adalah memisahkan (tidak meng‘athafkan) suatu kalimat dengan yang lain.
Contoh:
“…Mereka mengatakan: sesungguhnya kami sependapat dengan kalian, kami hanya berolok-olok. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka….” (QS. al-Baqarah [2]: 14-15)
Kalimat الله يستهزؤ بهم dipisah dengan kalimat إنما نحن مستهزؤون dengan bukti tidak adanya huruf الواو.
Adapun letak al-Fashlu adalah sebagai berikut:
- Antara kalimat pertama dan kalimat kedua kamāl al-ittishāl (kesempurnaan hubungan) di mana kalimat kedua merupakan taukīd atau badal atau ’athf al-bayān dari kalimat pertama.
Contoh Taukīd:
• • •
“Sesungguhnya setelah kesulitan itu kemudahan, sesungguhnya setelah kesulitan itu kemudahan” (QS. al-Insyirāh [94]: 5-6)
Kalimat إن مع العسر يسرا yang kedua adalah Taukid dari فإن مع العسر يسرا
Contoh Badal:
“...Dia (Allah) yang mengatur urusan dan menjelaskan tanda-tanda....” (QS. ar- Ra’d [13]:2)
Kalimat يفصل الآيات adalah badal dari يدبر الأمر
Contoh ‘Athf al-Bayān:
“…Mereka menimpakan kepada kalian siksa yang kejam dan menyembelih bayi laki-laki kalian….” (QS. al-Baqarah [2]: 49)
Kalimat يذبحون أبناءكم adalah Athf Bayan dari يسومونكم سوء العذاب
- Antara kalimat pertama dan kedua kamāl al-inqithā‘ (kesempurnaan pemisahan) dimana yang satu berbentuk Insyā’ yang lainnya berbentuk Khabar atau sebaliknya atau antara kedua kalimat tidak ada kesesuaian makna.
Contoh:
حَضَرَ وَزِيْرُ الشُّؤُوْنِ الدِّيْنِيَّةِ حَفِظَهُ اللهُ
Telah hadir Menteri Agama semoga allah menjaganya.
Kalimat pertama حضر وزير الشؤون الدينية berbentuk Khabar sedangkan kalimat kedua حفظه الله berbentuk Insyā’.
Contoh lain:
“Katakanlah kepada orang-orang mukmin untuk menundukkan pandangannya....” (QS. an-Nūr [24]: 30)
Kalimat pertama قل للمؤمنين berbentuk Insya’. Kalimat kedua يغضوا من أبصارهم berbentuk Khabar.
Contoh lain:
تَكَلَّمْ إِنِّي مُسْتَمِعٌ إِلَيْكَ
Berbicaralah, saya akan mendengarkan.
Kalimat pertama تكلم berbentuk Insya’ sedangkan kalimat kedua إني مستمع إليك berbentuk Khabar.
Contoh lain:
عَلِيٌّ كَاتِبُ، الحَمَامُ طَائِرٌ
Si Ali penulis, Burung itu terbang.
Kedua kalimat ini tidak mempunyai kesesuaian makna.
- Antara kedua kalimat Syibh Kamāl al-Ittishāl (hampir sempurna hubungannya) karena adanya ikatan/kaitan makna antara keduanya di mana kalimat kedua adalah jawaban dari pertanyaan yang muncul dari kalimat pertama.
Contoh:
• • •
“Tiadalah aku melepaskan jiwaku, sesungguhnya jiwa (nafsu) itu mendorong kepada kejahatan….” (QS. Yūsuf [12]: 54)
Kalimat kedua إن النفس لأمارة بالسوء adalah jawaban pertanyaan kalimat pertama وما أبرئ نفسي
Contoh lain:
مَا كُلُّ مَا يَتَمَنَّى الْمَرْءُ يُدْرِكُهُ # تَجْرِي الرِّيَاحُ بِمَا لاَ تَشْتَهِي السُّفُنُ
Tidak semua yang dicita-citakan seseorang bisa tercapai # Karena angin itu terkadang bertiup ke arah yang tidak diinginkan oleh kapal.
Kalimat kedua:
تجري الرياح بما لا تشتهي السفن adalah jawaban dari pernyataan kalimat pertama yaitu: ما كل ما يتمنى المرء يدركه
1) Definisi dan Letak al-Washlu
Al-Washlu adalah menggabungkan (menyambung) suatu kalimat dengan lainnya dengan menggunakan huruf ‘athaf الواو .
Contoh:
جَاءَ مُحَمَّدٌ وَعَلِيٌّ
Kalimat علي di‘athafkan (dihubungkan) ke kalimat محمد dengan menggunakan huruf ‘athaf, yaitu الواو.
Adapun letak al-Washlu adalah sebagai berikut:
- Antara dua kalimat yang memiliki kedudukan I’rāb yang sama
“…Allah yang menghidupkan dan mematikan....” (QS. Āli Imrān [3]: 156)
Kalimat يحيي kedudukan I’rābnya adalah Khabar Mubtada’. Sedangkan kalimat يميت diathafkan kepada kalimat يحيي
Contoh lain:
عَلِيُّ يَقُوْلُ وَيَفْعَلُ
Si Ali berkata dan berbuat
Kalimat يقول kedudukan I’rābnya adalah Khabar Mubtada’. Sedangkan kalimat يفعل di athafkan kepada kalimat يقول
- Antara dua kalimat yang memiliki susunan yang sama baik dari segi Khabar atau Insyā’ dan keduanya memiliki hubungan kesesuaian makna.
Contoh:
• •
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat baik berada dalam kenikmatan sementara orang-orang jahat berada dalam neraka Jahim” (QS. al-Infithār [82]:13-14)
Kalimat kedua جحيم لفي وإن الفجار diathafkan (disambung) ke kalimat إن الأبرار لفي نعيم yang keduanya berbentuk Khabar.
Kesesuaian makna antara kedua kalimat bisa ditinjau dari aspek ini; ketika diceritakan bahwa orang-orang yang berbuat baik berada dalam kenikmatan maka seharusnya ada juga berita mengenai nasib orang-orang yang berbuat jahat, lalu datanglah pernyataan dalam kalimat kedua dari ayat al-Qur’an ini.
Contoh lain:
“…Janganlah engkau berkata kepada keduanya “uf” (cih) dan jangan engkau menghardiknya….” (QS. al-Isrā’ [17]: 23)
Kalimat kedua ولا تنهرهما di‘athafkan ke kalimat pertama فلا تقل لهما أف di mana keduanya berbentuk Insyā’, dan kedua kalimat sama-sama berarti larangan dan hardikan.
Contoh lain:
“Maka Karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu….” (QS. asy-Syūrā [42]: 15)
Kalimat keduaواستقم di‘athafkan (disambung) ke kalimat pertama فادع di mana keduanya berbentuk Insyā’.
Contoh lain:
“Dan sembahlah Allah serta janganlah kalian menyekutukan-Nya….” (QS. an-Nisā’ [4]: 36)
Kalimat kedua ولا تشركوا به di‘athafkan (disambung) ke kalimat pertama اعبدوا الله karena keduanya berbentuk Insyā’,
- Antara dua kalimat yang memiliki susunan yang berbeda dari segi Khabar dan Insyā’ tetapi kalau dipisahkan akan mengaburkan maknanya. oleh karena itu kalimat tersebut harus disambung dengan menggunakan huruf الواو .
Contoh:
لاَ، وَيَرْحَمُكَ اللهُ أَتَبِيْعُ هَذَا الثَّوْبَ؟
Pernah suatu ketika Abu Bakar berpapasan dengan seseorang yang membawa baju, lalu beliau bertanya kepada orang tersebut:أتبيع هذا الثوب؟ (Apakah engkau menjual baju ini)? Orang tersebut menjawab: لا, يرحمك الله Abu Bakar berkomentar: jangan berkata seperti ini tetapi katakanlah: لا, ويرحمك الله (Tidak, semoga Allah memberi rahmat kepadamu).
Kalimat pertama لا yang maksudnya لا أبيع هذا berbentuk khabar, sedangkan kalimat kedua yaitu يرحمك الله berbentuk Insyā’ (redaksinya berbentuk khabar, sedangkan maknanya berbentuk Insyā') karena maknanya doa. Dengan demikian seharusnya ia tidak disambung dengan huruf الواو. Tetapi pada konteks ini ia harus disambung dengan huruf الواو agar tidak mengaburkan maknanya dari do'a berbentuk kebaikan kepada doa berbentuk kemudaratan.
Jadi, Perbedaan antara keduanya adalah kalimat pertama ((يرحمك الله dipergunakan untuk mendoakan kepada sesuatu yang mudarat (bahaya) kepada orang lain sedangkan kalimat kedua ( (ويرحمك اللهdipergunakan untuk mendoakan kepada sesuatu yang bermanfaat.
Contoh lain:
لاَ، وَيَرْزُقُكَ اللهُ أَتَأْخُذُ هَذَا؟
Seseorang bertanya: أتأخذ هذا؟ (Apakah engkau akan mengambil ini)? Ia menjawab: لا, ويرزقك الله. (Tidak, semoga Allah memberi rezeki kepadamu).
2) Definisi dan Letak al-Fashlu
Al-Fashlu adalah memisahkan (tidak meng‘athafkan) suatu kalimat dengan yang lain.
Contoh:
“…Mereka mengatakan: sesungguhnya kami sependapat dengan kalian, kami hanya berolok-olok. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka….” (QS. al-Baqarah [2]: 14-15)
Kalimat الله يستهزؤ بهم dipisah dengan kalimat إنما نحن مستهزؤون dengan bukti tidak adanya huruf الواو.
Adapun letak al-Fashlu adalah sebagai berikut:
- Antara kalimat pertama dan kalimat kedua kamāl al-ittishāl (kesempurnaan hubungan) di mana kalimat kedua merupakan taukīd atau badal atau ’athf al-bayān dari kalimat pertama.
Contoh Taukīd:
• • •
“Sesungguhnya setelah kesulitan itu kemudahan, sesungguhnya setelah kesulitan itu kemudahan” (QS. al-Insyirāh [94]: 5-6)
Kalimat إن مع العسر يسرا yang kedua adalah Taukid dari فإن مع العسر يسرا
Contoh Badal:
“...Dia (Allah) yang mengatur urusan dan menjelaskan tanda-tanda....” (QS. ar- Ra’d [13]:2)
Kalimat يفصل الآيات adalah badal dari يدبر الأمر
Contoh ‘Athf al-Bayān:
“…Mereka menimpakan kepada kalian siksa yang kejam dan menyembelih bayi laki-laki kalian….” (QS. al-Baqarah [2]: 49)
Kalimat يذبحون أبناءكم adalah Athf Bayan dari يسومونكم سوء العذاب
- Antara kalimat pertama dan kedua kamāl al-inqithā‘ (kesempurnaan pemisahan) dimana yang satu berbentuk Insyā’ yang lainnya berbentuk Khabar atau sebaliknya atau antara kedua kalimat tidak ada kesesuaian makna.
Contoh:
حَضَرَ وَزِيْرُ الشُّؤُوْنِ الدِّيْنِيَّةِ حَفِظَهُ اللهُ
Telah hadir Menteri Agama semoga allah menjaganya.
Kalimat pertama حضر وزير الشؤون الدينية berbentuk Khabar sedangkan kalimat kedua حفظه الله berbentuk Insyā’.
Contoh lain:
“Katakanlah kepada orang-orang mukmin untuk menundukkan pandangannya....” (QS. an-Nūr [24]: 30)
Kalimat pertama قل للمؤمنين berbentuk Insya’. Kalimat kedua يغضوا من أبصارهم berbentuk Khabar.
Contoh lain:
تَكَلَّمْ إِنِّي مُسْتَمِعٌ إِلَيْكَ
Berbicaralah, saya akan mendengarkan.
Kalimat pertama تكلم berbentuk Insya’ sedangkan kalimat kedua إني مستمع إليك berbentuk Khabar.
Contoh lain:
عَلِيٌّ كَاتِبُ، الحَمَامُ طَائِرٌ
Si Ali penulis, Burung itu terbang.
Kedua kalimat ini tidak mempunyai kesesuaian makna.
- Antara kedua kalimat Syibh Kamāl al-Ittishāl (hampir sempurna hubungannya) karena adanya ikatan/kaitan makna antara keduanya di mana kalimat kedua adalah jawaban dari pertanyaan yang muncul dari kalimat pertama.
Contoh:
• • •
“Tiadalah aku melepaskan jiwaku, sesungguhnya jiwa (nafsu) itu mendorong kepada kejahatan….” (QS. Yūsuf [12]: 54)
Kalimat kedua إن النفس لأمارة بالسوء adalah jawaban pertanyaan kalimat pertama وما أبرئ نفسي
Contoh lain:
مَا كُلُّ مَا يَتَمَنَّى الْمَرْءُ يُدْرِكُهُ # تَجْرِي الرِّيَاحُ بِمَا لاَ تَشْتَهِي السُّفُنُ
Tidak semua yang dicita-citakan seseorang bisa tercapai # Karena angin itu terkadang bertiup ke arah yang tidak diinginkan oleh kapal.
Kalimat kedua:
تجري الرياح بما لا تشتهي السفن adalah jawaban dari pernyataan kalimat pertama yaitu: ما كل ما يتمنى المرء يدركه
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qāhir al-Jurjānī, Asrār al-Balāgah.
_______, Dalā’il al-I‘jaz.
Abdulllah bin Shālih al-Mas‘ūd, Muqarrar al-Bayān Li asy-Syu‘bah at-Ta‘līm at-Takmīlī, LIPIA, Jakarta.
Ahmad al-Hāsyimī, Jawāhir al-Balāgah, al-Maktabah at-Tijāriyah al-Kubrā: Mesir, 1963.
Hasan Ismā‘il Abdul Razzāq, Al-Balāgah al-Shāfiyah, al-Maktabah al-Azhariyah Li at-Turāts, 1991.
Hufni Bik, dkk., Qawā‘id al-Lugah al-‘Arabiyah, al-Maktabah al-Hidāyah: Surabaya, tt.
Muhammad Amin, Al-Balāgah al-Wādhihah.
Tim Penulis Universitas Imam Muhammad Ibn Sa’ud Arab Saudi, Al-Balāgah Wa an-Naqd (Silsilah at-Ta’līm al-Lughah al-'Arabiyah).
_______, Dalā’il al-I‘jaz.
Abdulllah bin Shālih al-Mas‘ūd, Muqarrar al-Bayān Li asy-Syu‘bah at-Ta‘līm at-Takmīlī, LIPIA, Jakarta.
Ahmad al-Hāsyimī, Jawāhir al-Balāgah, al-Maktabah at-Tijāriyah al-Kubrā: Mesir, 1963.
Hasan Ismā‘il Abdul Razzāq, Al-Balāgah al-Shāfiyah, al-Maktabah al-Azhariyah Li at-Turāts, 1991.
Hufni Bik, dkk., Qawā‘id al-Lugah al-‘Arabiyah, al-Maktabah al-Hidāyah: Surabaya, tt.
Muhammad Amin, Al-Balāgah al-Wādhihah.
Tim Penulis Universitas Imam Muhammad Ibn Sa’ud Arab Saudi, Al-Balāgah Wa an-Naqd (Silsilah at-Ta’līm al-Lughah al-'Arabiyah).
alhamdulillah, jazakumullahu khairan katsiiran,
ReplyDelete