TUJUAN PENDIDIKAN AKAL ATAU RASIO
Mengenai
tujuan pendidikan akal berdasarkan hadis-hadis Nabi s.a.w. di antaranya ialah
sebagai berikut:
1.
Membantu anak-anak untuk mampu
membuka kunci ilmu pengetahuan melalui kesungguhan membaca, menulis,
berinteraksi dengan angka-angka serta berbagai tanda, warna-warni, bahasa,
tumbuhan dan hewan dan lain sebagainya. Begitu juga membantu mereka
meningkatkan kematangan pemikiran serta kesempurnaan pengetahuan dan pemahaman.
Serta meningkatkan penguasaan, kemampuan, serta keterampilan yang berguna dalam
hidup mereka.
2.
Menyingkap kesiapan serta kemampuan
akal individu. Mengasahnya, melatihnya, menajamkan serta meningkatkannya sampai
pada batas kematangan serta kesempurnaan tertentu, melalui perbaikan pada
berbagai media serta berbagai ranah lingkungan yang berpengaruh pada kecerdasan
akal serta bermanfaat pula bagi individu dan masyarakat.
3.
Memungkinkan anak menerima arahan
yang bermanfaat mengenai pemilihan bidang pengetahuan serta pekerjaan yang
sesuai dengan bakat dan minatnya.[1]
4.
Terciptanya akal yang sempurna
menurut ukuran ilmu dan takwa. Dalam kaitannya dengan pendidikan akal, Islam
hadir dengan ajarannya yang antara lain menyangkut masalah tujuan pendidikan
akal. Menurut konsep Islam, tujuan pendidikan akal adalah terciptanya akal yang
sempurna menurut ukuran ilmu dan takwa. Setelah mendapatkan didikan,
diharapkan akal dapat mencapai perkembangan yang optimal, sehingga sampai pada
keseimbangan antara pikir dan dzikir atau dapat menyeimbangkan pemikiran yang
bersifat duniawi dan ukhrawi. Menurut Hamka, kesempurnaan ibadat seseorang
tergantung pada kesempurnaan budi dan otak (akal). Kesempurnaan orang terletak
dalam dua arti, yaitu keutamaan otak dan keutamaan budi. Orang yang dapat
mencapai keutamaan otak adalah mereka yang telah dapat membedakan jalan
kebahagiaan dari jalan kehinaan. Sedangkan keutamaan budi mampu menghilangkan
perangai buruk, adat istiadat yang rendah diganti dengan perangai terpuji.[2]
5.
Membentuk akal yang terbiasa
berfikir ilmiah, berdasarkan keimanan kepada Allah, tidak bertentangan dengan
ajaran-Nya, dan sesuai dengan keadaan lingkungan masyarakat.
6.
Membentuk akal berpikiran objektif,
jauh dari pengaruh hawa nafsu dan tendensi (subjektifitas), sehingga
mendapatkan kebenaran ilmiah yang benar melalui tabayyun secara detail serta
menghindari sifat ketergesa-gesaan dalam memutuskan sesuatu hukum atau ilmu.
7.
Kebebasan akal
berpikir, sehingga akal mendapat kesempatan berpikir, mengeksplorasi
dalil-dalil dan bukti-bukti secara luas untuk mencapai pada kebenaran yang haq
dan kuat.[3]
[1] Abdul Hamid al Zantani, Ususut
Tarbiyah Islamiyyah fis Sunnah an Nabawiyyah, (Libiya: Dar arabiyah lil
kitab, 1993), h. 536-537
Comments
Post a Comment