TERAPI KEMUNAFIKAN DALAM SURAH AN NISA 146


Hilman Fitri

إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (146)
Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.
Ayat ini mengecualikan ketentuan umum yang ditegaskan di atas bahwa orang-orang munafik dalam tingkat yang paling bawah dari neraka. Yang dikecualikan itu adalah yang telah bertaubat dengan menyesali dan meninggalkan kemunafikan mereka dan telah mengadakan perbaikan menyangkut amal-amal mereka, antara lain shalat yang selama ini mereka lakukan dengan malas dan pamrih serta telah berpegang teguh pada agama Allah, yakni bersungguh-sungguh menghubungkan diri dengan Allah swt. Dan tulus ikhlas mengerjakan ajaran agama mereka karena Allah. Bukan karena riya. Jika mereka lakukan hal-hal tersebut, maka mereka itu bersama orang-orang mukmin yang mantap pula iman mereka, dan pasti kelak Allah akan memberikan orang-orang mukmin pahala yang besar, dan karena itu,bekas orang-orang munafik yang telah bertaubat akan memeroleh pula hal yang serupa.[1]  
Allah Ta’ala menginformasikan syarat diterimanya taubat orang-orang munafik yang benar-benar ingin bertaubat melalui ayat ini yakni menyesal atas apa yang telah diperbuatnya, bersungguh-sungguh mengerjakan amal kebaikan yang mampu membersihkan kotoran-kotoran kemunafikan, berpegang teguh dan berpedoman kepada kitab Allah dan sunnah Rasul, serta dengan tujuan mengharap ridho Allah Ta’ala. Adapun yang dimaksud dengan ikhlas karena Allah yakni di mana seorang hamba hanya beribadah kepada-Nya, memiliki niat yang tulus, tidak mengharapkan sesuatu pun selain-Nya, tidak meminta perlindungan untuk menghindari kemudaratan dan memperoleh kemaslahatan kepada selain-Nya. Demikianlah syarat-syarat diterima taubatnya orang munafik.[2]
Lafal وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ menurut Ibn ‘Abbas ialah mereka tidak berbuat riya baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan.[3] Sedangkan Khâzin menafsirkannya dengan berkata “Hendaklah mereka mengikhlaskan keta’atan dan amal mereka dengan cara beramal karena Allah Ta’ala, mengharap ridho-Nya, serta tidak menginginkan berbuat riya serta sum’ah. Dengan demikian empat perkara ini jika dilaksanakan niscaya sempurnalah imannya.[4] Selain sependapat dengan Khâzin yang berpendapat demikian, ath Thabari menambahkan bahwa mereka tidak meragukan lagi urusan agama mereka yakni bahwa Allah Ta’ala akan memperhitungkan segala perbuatan mereka, maka balasan bagi orang muhsin ialah karena kebaikan yang telah diperbuatnya begitupun balasan bagi orang jahat ialah karena tindak kejahatannya. Oleh sebab itu, mereka beramal dengan penuh keyakinan bahwa balasan bagi orang muhsin ialah karena kebaikan yang telah diperbuatnya begitupun balasan bagi orang jahat ialah karena tindak kejahatannya, dan Allah Ta’ala akan memberikan keutamaan kepada mereka dengan menjadikan mereka termasuk golongan al muqorrobin (orang-orang yang didekatkan) dengan Allah.[5]
Berdasarkan penafsiran makna ikhlas dari surah an Nisa ayat 146, maka dapat dipahami bahwa lafal ikhlas karena Allah yakni di mana seorang hamba hanya beribadah kepada-Nya, memiliki niat yang tulus, tidak mengharapkan sesuatu pun selain-Nya, tidak meminta perlindungan untuk menghindari kemudaratan dan memperoleh kemaslahatan kepada selain-Nya.  Serta tidak menginginkan berbuat riya dan sum’ah sehingga sempurnalah imannya.



[1] M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah  vol 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 774
[2] Wahbah Ibn Musthafa al Zuhaili, at Tafsirul Munir fil ‘Aqidah was Syari’ah wal Manhaj Juz 5, (Damaskus: Darul Fikr al Mu’ashir, 1418 H), h. 331.
[3] Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Abu Mansur al Maturidi, Tafsir al Maturidi Juz 3, (Beirut: Darul Kutubil Ilmiyyah, 2005), h. 401
[4] ‘Alauddin ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Ibrahim Ibn ‘Umar asy Syaihi Abul Hasan al Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, (Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiyyah, 1415 H), h. 441  
[5] Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Katsir Ibn Ghalib al Amily Abu Ja’far ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran Juz 9, (BeirutMuassasah ar-Risalah, 2000), h. 341

Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

المشاكلة في البلاغة

Shalawat Istri Nu Bakti