AKAL DI HATI ATAU KAH DI KEPALA


Hilman Fitri
Pendidik Hadis dan Tilawah Tahfizh Alquran di SDIT Uswatun Hasanah
Pendidik Ilmu Balaghah dan Mantiq di MA Persis 85 Banjar
Dalam struktur manusia, terdapat satu potensi yang dinyatakan dengan beberapa kata, yaitu ratio (Latin), reason (Inggris dan Perancis), nous (Yunani), verstand (Belanda), vernunft (Jerman), al-‘aql (Arab), buddhi (Sansekerta), dan akal budi (satu perkataan yang tersusun dari bahasa Arab dan bahasa Sansekerta).[1]
Secara bahasa atau lughowi, akal merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab ’aqala yang berarti mengikat atau menahan, namun kata akal sebagai kata benda (mashdar) dari ‘aqala tidak terdapat dari Al-Qur’an, akan tetapi kata akal sendiri terdapat dalam bentuk lain yaitu kata kerja (f’il mudhorik). Hal itu terdapat dalam Alquran sebanyak empat puluh sembilan, antara lain ialah ta’qilun dalam surat al-Baqaroh ayat 49; ya’qilun sural al-Furqan ayat 44 dan surah yasin ayat 68; na’qilu surat al-Mulk ayat 10; ya’qiluha surat al-Ankabut ayat 43; dan aqiluha surat al-Baqrah ayat 75.disisi lain dalam Alquran selain kata ‘aqala yang menunjukan arti berfikir adalah nazhara yang berarti melihat secara abstrack. Sebanyak 120 ayat; tafakara yang berarti berfikir terdapat pada 18 ayat; faqiha yang berarti memahami sebanyak 20 ayat; tadabara sebanyak 8 ayat dan tadzakara yang berarti mengingat sebanyak 100 ayat. Semua kata tersebut sejatinya masih berkaitan dengan pengertian dari kata akal tersebut.[2]
Dalam kamus bahasa Arab kata ‘aqala berarti mengikat atau menahan. Maka tali pengikat serban, yang di pakai di Arab Saudi memiliki warna beragam yakni hitam dan terkadang emas, disebut ‘iqala; dan menahan orang di dalam penjara i’taqala dan tempat tahanan mu’taqal. Dalam komunikasi atau lisan orang Arab. Dijelaskan bahwa kata al’aqal berati menahan dan al-‘âqil ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Banyak makna yang diartikan tentang ‘aqala . sejatinya asli kata ‘aqala ialah mengikat dan menahan dan orang ‘âqil di zaman Jahiliyah dikenal dengan hamiyah atau darah panas, maksudnya ialah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah.[3]
Lain halnya bagi Izutzu. ‘aqal di zaman Jahiliyah diartikan kecerdasan praktis. Bahwa orang yang berakal mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah dan di setiap saat dihadapkan dengan masalah ia dapat melepaskan diri dari bahaya yang dihadapinya.[4]
Dengan demikian makna dari ‘aqala ialah mengerti, memahami dan berfikir. Secara comon sense kata-kata mengerti, memahami dan berfikir, semua hal tersebut berpusat di kepala. Hal ini berbeda dari apa yang terdapat dalam Alquran dalam surat al-Hajj, bahwa pemikiran, pemahaman dan pengertian bukan berpusat di kepala tetapi di dada.
Bagi Izutzu kata al-‘aqal masuk ke dalam wilayah flsafat Islam dan mengalami perubahan dalam arti. Dan dengan pengaruh masuknya filsafat Yunani kedalam pemikiran Islam, maka kata al-‘aqal mengandung arti yang sama dengan kata yunani, nous. Falsafat Yunani mengartikan nous sebagai daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dalam perkembangan zaman modern pengertian tersebut diyakini bahwa pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui al-qalb di dada tetapi melalui al-‘aql di kepala.[5]
Adapun secara istilah akal dapat didefinisikan sebagai
ما يكون به التفكير والاستدلال وتركيب التصورات والتصديقات ، ويتميز به الحَمَنْ من القبيح، والخير من الشر، والحق من الباطل. أن العقل يطلق على القوة المتهيئة لقبول العالم . كما يقال للعلم الذي يستفيده الإنسان بتلك القوة.[6]
“Akal adalah sesuatu yang dengannya terdapat aktifitas berfikir, mencari dalil-dalil, menyusun gambaran-gambaran dan fakta-fakta kebenaran. Akal mampu membedakan yang bagus dari yang jelek, yang baik dari yang buruk dan yang benar dari yang salah. Akal dalam Islam adalah kekuatan (potensi) yang dipersiapkan untuk menerima ilmu atau yang dengan potensi tersebut memberifaidah (berguna) bagi kehidupan manusia.”
Akal memiliki arti daya berfikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan salah satu dari jiwa yang mengandung arti berpikir, mencari dalil-dalil, menyusun gambaran-gambaran dan fakta-fakta kebenaran. Bagi Al-Ghazali akal memiliki beberapa pengertian; pertama, sebagai potensi yang membedakan dari binatang dan menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan teoritis. Kedua, pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman yang dilaluinya dan akan memperhalus budinya. Ketiga, akal merupakan kekuatan instink yang menjadikan seseorang mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya sehingga dapat mengendalikan hawa nafsunya.[7]


[1] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Cet. 1, h. 15.
[2] Hafizh Dazuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtar Baru Van Hoeve, 1994), h. 98
[3] Harun Nasution. Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h. 6
[4] Thosihiko Izutzu, God and Man in the Qur’an, (Tokyo: Keio University, 1986), h. 65
[5] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 8
[6] Ali Abdul Halim Mahmud, Al-Tarbiyah Al-Aqliyah, (Qahirah: TP, 1996) h. 24.
[7] Qurish Shihab, Logika Agama, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 87

Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

المشاكلة في البلاغة

Shalawat Istri Nu Bakti