AKAL: ANUGERAH ILAHI YANG PALING MENAKJUBKAN


Hilman Fitri
Pendidik Hadis dan Alquran di SDIT Uswatun Hasanah Banjar
Pendidik Ilmu Balaghah dan Mantiq di MA Persis 85 Banjar 

Akal merupakan salah satu anugerah luar biasa yang dimiliki manusia. Akal pula yang dapat mengarahkan pemiliknya untuk dapat menyingkap rahasia-rahasia atau hikmah-hikmah yang tersirat dalam fenomena yang terjadi pada makhluk-Nya, yang pada akhirnya mengarahkan manusia tersebut pada keyakinan dan ketaatan kepada Allah s.w.t.
Akal diibaratkan sebagai cahaya yang menyusup ke dalam hati manusia dan menolongnya memahami sesuatu. Al Ghazali berpendapat bahwa akal adalah suatu “sifat” yang membedakan manusia dan binatang. Hal ini dapat dipahami dengan mengingat bahwa manusia dan hewan memiliki banyak kesamaan, namun akallah yang menjadi pembeda. Keduanya sama-sama memiliki potensi dan kebutuhan tertentu, seperti sama-sama mampu bergerak, bernafas, berkembang biak, memerlukan makan, ekresi, dan lain-lain. Namun akal yang menjadi pembeda antara keduanya membuat peradaban manusia berkembang dari waktu ke waktu, sementara hewan selalu tetap dan tidak berubah.[1]
Akal menjadi alat utama dan dominan dalam perkembangan dan kemajuan dalam berbagai hal di setiap generasi. Di satu sisi, kehebatan akal memang mendukung perkembangan kehidupan manusia dalam berbagai aspek menuju lebih baik, serba mudah, cepat dan efektif. Namun di sisi lain, tidak jarang pemanfaatan akal oleh manusia menjadi destruktif. Manusia merugikan diri mereka sendiri, merugikan satu sama lain, juga merusak alam (bumi) yang pada hakikatnya adalah titipan Allah kepada manusia untuk diurusi dengan baik.
Contoh kerusakan alam yang diperbuat manusia di antaranya berkurangnya luas hutan di bumi karena ulah mereka, padahal hutan merupakan “paru-paru dunia”, yang menjadi sentral produksi oksigen untuk kelangsungan hidup manusia. Di Indonesia sendiri, website Departemen Kehutanan mengabarkan bahwa antara tahun 1990-2005, Negara Indonesia telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan karena penebangan hutan secara liar, perkebunan agrikultur dalam skala besar, kolonisasi dll. Tindakan ini tentu mengganggu keseimbangan ekosistem alam. Suplay oksigen kian berkurang, global warming (pemanasan global) semakin terpacu, hingga suhu udara kian memanas. Banjir dan tanah longsor pun tidak dapat dihindari, Dikabarkan juga dalam website tersebut bahwa tindakan-tindakan ini telah menurunkan populasi dari beberapa spesie, diantaranya orang utan (terancam), harimau Jawa dan Bali (punah), serta badak Jawa dan Sumatera (hampir punah).[2]
Contoh tersebut merupakan perbuatan manusia yang secara langsung merusak bumi, juga secara tidak langsung merugikan menusia sendiri. Sedangkan contoh perilaku manusia yang merugikan sesamanya, yaitu para pelaku korupsi. Salah satu kabar harian online, Detik News (Ratya, 2010) mengabarkan bahwa hampir semua koruptor merupakan lulusan sarjana. Mereka pernah meraih puluhan penghargaan baik di dalam maupun luar negeri. Dalam riwayat organisasi pun, mereka banyak meduduki posisi ketua. Ini berarti para pelaku korupsi tersebut adalah orang-orang hebat yang telah memanfaatkan potensi akalnya dengan maksimal.[3]
Dilihat dari kaca mata sejarah filsafat, diketahui bahwa dahulu terdapat dua masa (Protagoras dan Francis Bacon) di mana akal mendominasi berlebihan hingga menggoyahkan keyakinan adanya kebenaran yang objektif. Manusia pada masa itu menjadi bingung tanpa pegangan karena sendi-sendi agama telah digoyahkan. Begitulah contoh keadaan ketika akal mendominasi tanpa memperhatikan rambu-rambu keyakinan agama.[4]
Di antara kedua masa dominasi akal tersebut, terdapat pula suatu fase yang begitu berbeda, seperti yang dijelaskan oleh Tafsir, di mana akal dikekang dan dikungkung, sedangkan pengetahuan didominasi oleh doktrin gereja. Pada masa itu pengetahuan tidak berkembang, maka peradaban manusia pun tidak dapat berkembang. Begitulah keadaan ketika akal dikekang keberfungsiannya.[5]
Dua jenis dampak dari pemanfaatan akal oleh manusia seperti yang digambarkan di atas tidak terlepas dari bagaimana manusia memahami akal dalam kehidupannya. Untuk sementara dari contoh-contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa secara praktis manusia memahami—dilihat dari cara mereka menggunakan—akal sebagai alat untuk berpikir dan menemukan jalan atau cara untuk mendapatkan tujuan atau keinginannya, baik itu positif maupun negatif.
Oleh sebab itu, untuk mendayagunakan akal dengan sebaik-baiknya diperlukan pendidikan akal. Di mana dalam konsep pendidikan, akal dan intelektual perlu dikembangkan, mendidik akal melalui kurikulum yang tersistem, agar ia mampu mengembangkan potensi akalnya ke jenjang yang lebih tinggi, yang pada gilirannya akan menjadi manusia cerdas, pintar dan kreatif.[6]
Nashih Ulwan mendefinisikan pendidikan akal dengan berkata:
المقصود بالتربية العقلية تكوين فكر الولد بكل ما هو نافع من العلوم الشرعية، والثقافة العلمية والعصرية، والتوعية الفكرية والحضارية. حتى ينضج الولد فكريا ويتكون علميا وثقافيا.[7]
Pendidikan akal (rasio) adalah membentuk pola pikir anak terhadap segala sesuatu yang bermanfaat, baik berupa ilmu syar‟i, kebudayaan, ilmu modern, kesadaran, pemikiran, dan peradaban. Sehingga akal anak menjadi matang secara pemikiran dan terbentuk secara ilmu dan kebudayaan.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah s.a.w. senantiasa merangsang pikiran sahabatnya untuk menganalisis serta menjelaskan makna-makna, isyarat-isyarat serta tanda-tanda dari sebuah pemisalan, lalu menarik kesimpulan dari makna tersebut. Misalnya sebuah hadis berkenaan pohon kurma sebagai berikut:
إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ فَحَدِّثُونِي مَا هِيَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ فَاسْتَحْيَيْتُ ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هِيَ النَّخْلَةُ.[8]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya ada diantara pepohonan, satu pohon yang tidak gugur daunnya. Pohon ini seperti seorang muslim, maka sebutkanlah kepadaku apa pohon tersebut?” Lalu orang menerka-nerka pepohonan Wadhi. Berkata Abdullah,“Lalu terbesit dalam diriku, pohon itu adalah pohon kurma, namun aku malu mengungkapkannya.” Kemudian mereka berkata,“Wahai Rasulullah, beritahulah kami pohon apa itu?” Lalu beliau menjawab,“Ia adalah pohon kurma.
Selain itu juga Rasulullah s.a.w. pernah mempersilahkan Abu Bakar ash Shidiq untuk menafsirkan mimpi yang diceritakan oleh seseorang yang datang kepada Rasulullah s.a.w. sebagaimana dalam hadis berikut ini:
أَنَّ رَجُلًا أَتَى رَسُولَ اللهِ فَقَالَ: إِنِّي رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ فِي الْمَنَامِ ظُلَّةً تَنْطُفُ السَّمْنَ وَالْعَسَلَ فَأَرَ ى النَّاسَ يَتَكَفَّفُونَ مِنْهَا فَالْمُسْتَكْثِرُ وَالْمُسْتَقِلُّ وَإِذَا سَبَبٌ وَاصِلٌ مِنَ الْأَرْضِ إِلَى السَّمَاءِ فَأَرَاكَ أَخَذْتَ بِهِ فَعَلَوْتَ ثُمَّ أَخَذَ بِهِ رَجُلٌ آخَرُ فَعَلَا بِهِ ثُمَّ أَخَذَ بِهِ رَجُلٌ آخَرُ فَعَلَا بِهِ ثُمَّ أَخَذَ بِهِ رَجُلٌ آخَرُ فَانْقَطَعَ ثُمَّ وُصِلَ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: يَا رَسُولَ اللهِ، بِأَبِي أَنْتَ، وَاللهِ لَتَدَعَنِّي فَأَعْبُرَهَا. فَقَالَ النَّبِيُّ اعْبُرْهَا. قَالَ: أَمَّا الظُّلَّةُ فَالْإِسْلَامُ وَأَمَّا الَّذِي يَنْطُفُ مِنَ الْعَسَلِ وَالسَّمْنِ فَالْقُرْآنُ حَلَاوَتُهُ تَنْطُفُ فَالْمُسْتَكْثِرُ مِنَ الْقُرْآنِ وَالْمُسْتَقِلُّ وَأَمَّا السَّبَبُ الْوَاصِلُ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ فَالْحَقُّ الَّذِي أَنْتَ عَلَيْهِ تَأْخُذُ بِهِ فَيُعْلِيكَ اللهُ ثُمَّ يَأْخُذُ بِهِ رَجُلٌ مِنْ بَعْدِكَ فَيَعْلُو بِهِ ثُمَّ يَأْخُذُ بِهِ رَجُلٌ آخَرُ فَيَعْلُو بِهِ ثُمَّ يَأْخُذُهُ رَجُلٌ آخَرُ فَيَنْقَطِعُ بِهِ ثُمَّ يُوَصَّلُ لَهُ فَيَعْلُو بِهِ، فَأَخْبِرْنِي يَا رَسُولَ اللهِ، بِأَبِي أَنْتَ، أَصَبْتُ أَمْ أَخْطَأْتُ؟قَالَ النَّبِيُّ أَصَبْتَ بَعْضًا وَأَخْطَأْتَ بَعْضًا. : قَالَ: فَوَا ،َهللِ يَا رَسُولَ اللهِ، لَتُحَدِّثَنِّي بِالَّذِي أَخْطَأْتُ. قَالَ لَا تُقْسِمْ[9]
Ada seseorang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Saya tadi malam melihat dalam mimpi, sebuah awan yang menaungi, mencucurkan minyak samin dan madu. Saya melihat manusia menampungnya dengan tangan mereka,ada yang banyak dan ada yang sedikit. Tiba-tiba ada tali yang menjulur dari bumi ke langit dan saya melihat Anda memegangnya lalu naik. Kemudian ada orang lain yang memegangnya lalu naik, dan ada seorang lagi memegangnya tetapi putus kemudian disambungkan.”
Kata Abu Bakr, “Ya Rasulullah, ibu bapakku jadi tebusanmu, demi Allah, biarkanlah saya menakwilkannya.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Takwilkanlah!” “Adapun awan, artinya Islam, dan yang mencucurkan samin dan madu artinya adalah al-Qur’an dan  kelezatannya, maka ada yang banyak menerima al-Qur’an dan ada yang sedikit.
Adapun tali dari langit ke bumi ialah al-haq yang engkau berjalan di atasnya lalu engkau memegangnya dan Allah Subhanahu wata’alameninggikan engkau dengannya. Kemudian ada yang memegangnya sesudah engkau lalu naik dengannya. Kemudian ada lagi yang memegangnya dan naik dengannya, lalu ada pula yang memegangnya tetapi putus kemudian disambungkan untuknya dan naik dengannya. Terangkanlah kepadaku wahai Rasulullah, bapak dan ibuku tebusanmu, apakah saya benar ataukah salah?”
Kata Nabi s.a.w. “Kamu benar sebagian dan salah pada bagian lain.” Kata Abu Bakr, “Demi Allah, wahai Rasulullah, terangkanlah kepadaku mana yang salah.” Kata beliau,”Jangan bersumpah.”
Dengan demikian, dua hadis tersebut setidaknya menginformasikan bahwa akal seseorang memang perlu senantiasa didayagunakan untuk berfikir. Sehingga diperlukan pendidikan akal untuk mendayagunakan akal dalam hal-hal positif, sekaligus memelihara akal (hifzul ‘aql) dari keterperosokan ke dalam jurang  ketercelaan dan kehinaan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai pendidikan akal dalam hadis-hadis Nabi s.a.w. yang kemudian dituangkan menjadi sebuah gagasan dalam bentuk makalah.



[1] Imam Al-Ghazali, Ihya' 'Ulumuddin: Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama (Vol. 4). (M. F. Karim, Penerj.), (Bandung: Marja, 2009), h. 86
[2] Nana. (2014, Januari -). Perlunya Pencegahan Penebangan Hutan secara Liar.Retrieved Mei 1, 2014, from Kementrian Kehutanan Republik Indonesia: http://www.dephut.go.id/forum/index.php/forums /posts/0/52c4a40f3ae1d
[3] Ratya, M. P. (2010,  Desember  23). Koruptor, Intelektual Penganut Paham Mumpung-isme. Dipetik April 24, 2014, dari detiknews:http://m.detik.com/news/read/2010/12/23/064409/1531199/10/ koruptorintelektual-penganut-paham-mumpung-isme
[4] Ahmad Tafsir,  Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 1-2
[5] Ibid,..h. 3-4
[6] Kementrian Agama RI, Pendidikan, Pembangunan Karakter, dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Aku Bisa, 2012) h. 83
[7] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam, Juz I, (Kairo: Daar As-salam, 1992), h. 255
[8] Muhammad Ibn Ismail Abu Abdullah al Bukhari, Shahih Bukhari Juz 1, (Riyadh: Darut Tauqin Najah, 1422 H), h. 45
[9] Lihat Muhammad Ibn Ismail Abu Abdullah al Bukhari, Shahih Bukhari Juz 9, (Riyadh: Darut Tauqin Najah, 1422 H), h. 43

Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

KAJIAN BALAGHAH: JINAS

المشاكلة في البلاغة