IKHLAS BERAMAL

Hilman Fitri
Pendidik Tahfizh Alquran dan Hadis SDIT Uswatun Hasanah Kota Banjar
Pendidik Ilmu Balaghah dan Mantiq MA Persis 85 Kota Banjar

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ؛ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَأَدَّى الأَمَانَةَ وَنَصَحَ الأُمَّةَ؛ فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ . أَمَّا بَعْدُ مَعَاشِرَ المُؤْمِنِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Jama’ah yang dirahmati Allah Ta’ala,
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Teriring shalawat dan salam semoga tercurahlimpahkan selalu kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan kepada keluarganya, kepada para sahabatnya serta para pengikutnya yang setia dalam menegakkan sunnahnya.
Semoga hari-hari yang kita lalui dapat meningkatkan takwa kita kepada Allah, yakni dengan kita berusaha mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Sehingga semakin bertambah umur, semakin bertambah amal kebaikan kita. Semakin tambah usia semakin berprestasi, semakin baik, semakin takwa sehingga mengantarkan kita menuju syurga. Sebagaimana sabda beliau :
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ، قَالَ: «مَنْ طَالَ عُمُرُهُ، وَحَسُنَ عَمَلُهُ»، قَالَ: فَأَيُّ النَّاسِ شَرٌّ؟ قَالَ: «مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ»: «هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ»
Artinya : “Sebaik-baik manusia adalah orang yang semakin panjang umurnya, semakin baik perbuatannya”. (HR At-Tirmidzi juz 4 no 2330).
Jama’ah yang dirahmati Allah Ta’ala,
Semua amal kebaikan itu, agar diterima Allah, maka harus disertai dengan keikhlasan. Agama ini dibangun di atas dasar realisasi ibadah yang merupakan tujuan manusia diciptakan. Sementara hakikat ibadah itu sendiri tidak akan ada kecuali disertai dengan keikhlasan.
Keikhlasan dalam ibadah itu, bagaikan ruh dalam badan. Badan tanpa ruh, berarti bangkai yang tidak bernilai. Demikian pula amalan, jika dilakukan tanpa keikhlasan maka tidak ada nilainya.
Jama’ah yang dirahmati Allah Ta’ala,
Kata ikhlas sebenarnya tidak dijumpai secara langsung penggunaannya dalam Alquran. Yang ada hanyalah kata-kata yang berderivasi sama dengan kata ikhlas tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang beragam.[1] Salah satunya dalam surah al Bayyinah ayat 5 Allah menyebutkan kata Mukhlisiina (yang dalam alquran terulang 7 kali):
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).
Mukhlisina lahud diin yakni mereka menjadikan agama hanya untuk Allah semata dengan terbebas dari kemusyrikan, yakni mereka tidak menyekutukan Allah Ta’ala. Ikhlas ialah memulai suatu perbuatan dengan tulus karena Allah Ta’ala tanpa berlaku syirik (menduakan Allah).[2]
Oleh sebab itu, Mukhlisina lahud diin dapat dimaknai dengan dua hal. Pertama: Seseorang memurnikan agamanya dengan tidak menyekutukan-Nya. Kedua: ad dinul kholish yakni agama yang tetap abadi (ad dâim), sebagaimana firman-Nya وَلَهُ الدِّينُ وَاصِبًا. .  yakni agama yang tetap abadi.[3]
Al-Fudhail bin Iyadh menyebutkan, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’, dan mengerjakan suatu amalan karena manusia adalalah syirik. Ikhlas adalah jika Allah ‘Azza wa Jalla menyelamatkanmu dari keduanya.” (Abu Nuaim, Hilyatul Auliya juz 8 h. 95)
Dalam hal ini, Abu Idris al Khaulai berkata, ما بلغ عبد حقيقة الإخلاص حتّى لا يحبّ أن يحمد على شيء من عمل الله “Seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat ikhlas, sampai ia tidak suka dipuji oleh seorang pun atas amalan yang dikerjakannya untuk Allah ‘Azza wa Jalla”. (tafsir ats Tsa’labi juz 2 h. 6)
Ya’qub juga mengatakan, “Orang yang ikhlas adalah orang yang dapat merahasiakan kebaikannya, sebagaimana ia merahasiakan keburukannya.”
Imam Al Ghazali menyimpulkan, “Semua orang pasti akan binasa kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu pun akan binasa kecuali orang yang beramal. Orang yang beramal juga akan binasa kecuali orang yang ikhlas.” Dan beliau mendefinisikan ikhlas dengan berkata
 الاخلاص هو ان تكون اعمالك كلهالله تعالى ولايرتاح قلبك بمحامد الناس ولاتبلى بمذمتهم[4]
“Ikhlas adalah engkau selalu menjadikan amal perbuatanmu hanya untuk Allah ta’ala, tanpa disertai kesenangan hati terhadap pujian manusia dan tanpa peduli terhadap cercaan mereka”.
Dengan demikian, ikhlas dapat dimaknai sebagai pemurnian tingkah laku seseorang baik yang berhubungan dengan masalah ubudiyah maupun muamalah hanya untuk atau karena Allah dan semata-mata mengharapkan keridhoan dan rahmat-Nya, karena setiap ilmu yang mendasari perbuatan atau amal seseorang akan senantiasa mendorong pemiliknya berlaku ikhlas. Ketika ilmu yang dimiliki seseorang menjadi sebuah ‘ilmul yaqin dan amalnya ikhlas niscaya Allah Ta’ala akan menghilangkan tiga hal darinya yaitu ketidaksabaran atau kegelisahan, kebodohan, dan kebingungan dalam bertindak.
Jama’ah yang dirahmati Allah Ta’ala,
Selanjutnya, bagaimana caranya agar kita tetap istiqamah dalam keikhlasan?
Di antara caranya adalah seperti banyak disampaikan para Ulama Salafus Sholih, yaitu menerima ketentuan Allah dengan ridha dan baik sangka, memberi tanpa mengharap kembali, memaafkan suatu kezaliman saat mampu memberikan balasan, menyambung silaturahmi kepada orang yang membencinya dan beramal sama baiknya, baik ketika bersama-sama maupun saat sendirian. Juga mengakui segala kekurangan diri, siap menerima masukan dan koreksi demi kebaikan, tidak merasa paling berjasa, mendoakan kebaikan orang lain sekalipun orang itu berbuat buruk kepada kita, dan sebagainya.
Itulah kesuksesan ibadah, seperti dikatakan Muhammad bin Ali At-Tirmidzi, “Kesuksesan di akhirat itu bukan karena banyaknya amalan. Sesungguhnya kesuksesan di sana itu dengan mengikhlaskan amalan dan memperbaikinya.”
Demikianlah, semoga Allah karuniakan kita jiwa-jiwa yang ikhlas, serta kekuatan Jama’ah dikarenakan keikhlasan para pemimpin dan rakyatnya. Aamiin yaa robbal ‘aalamiin. Baarokallohu li walakum.
Khutbah kedua
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا أَمَرَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمِّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ؛ عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ، فَاتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
Dalam sebuah hadis qudsi dikatakan:
الإخلاص سر من أسراري أودعته قلب من أحببت من عبادي
Ikhlas itu termasuk perkara rahasia diantara rahasia-rahasia-Ku. Aku telah menempatkannya pada hati sanubari hamba-hamba-Ku yang Aku cintai. (tafsir al Qurthubi juz 2 h. 146)
Begitulah ikhlas, Rasulullah pernah mengajarkan sebuah doa yang dapat kita jadikan perisai hati kita agar tetap istiqomah dalam keikhlasan. Rasulullah s.a.w. menyuruh kita untuk senantiasa membaca:
اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ
(Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami ketahui dan kami meminta ampun kepada-Mu terhadap apa yang tidak kami ketahui).” (HR Ahmad Jilid 6 No. 29547 )
Semoga Allah senantiasa menjaga keikhlasan hati kita dan menjauhkan kita dari beramal dan tidak beramal karena pujian dan penglihatan manusia karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui semua yang kita sembunyikan dalam hati.
إن الله وملائكته يصلون على النبي ياأيها الذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات إنك سميع قريب مجيب الدعوات. اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ. ربنا اتنا فى الدنيا حسنة وفى الاخرة حسنة وقنا عذاب النار. سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين.





[1] Ibrahim Madkur, dkk, Mu’jam alfâdhil Quranil Karîm, (Kairo: al Idâroh al âmah lil Mu’jamât wa ihyâut Turâts, 1989), h. 365-366
[2] Lihat Wahbah Ibn Musthafa al Zuhaili, at Tafsirul Munir fil ‘Aqidah was Syari’ah wal Manhaj Juz 30, (Damaskus: Darul Fikr al Mu’ashir, 1418 H), h. 344
[3] Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Abu Mansur al Maturidi, Tafsir al Maturidi Juz 10, (Beirut: Darul Kutubil Ilmiyyah, 2005), h. 592
[4] Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Ghazali, Ayyuhal Walad, h. 15.

Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

المشاكلة في البلاغة

Shalawat Istri Nu Bakti