PENGARUH RELIGIUSITAS ORANG TUA TERHADAP RELIGIUSITAS ANAK USIA 6-12 TAHUN


Hilman Fitri
Mahasiswa Pascasarjana IAID CIAMIS
A.        Latar Belakang Masalah
Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu merupakan hasil dari sebuah perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak- anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat.
Anak-anak sebagai generasi penerus akan menjadi pelaku utama dalam mengisi pembangunan di masa mendatang, oleh karenanya mempersiapkan mereka untuk menyongsong masa depan yang lebih baik menjadi penting. Pendidikan dan kesehatan serta perkembangan jiwa anak merupakan sebagian kecil dari sejumlah rangkaian kebutuhan hak anak yang seharusnya mereka terima sebagai bekal dalam menghadapi masa depan.
Ali bin Abi Thalib berkata “Seseorang tidak dapar berlepas tangan dari anak- anaknya, walaupun ia mempunyai kekayaan. Ia harus membela mereka dengan tangan dan lidahnya. Merekalah yang paling penting untuk diperhatikan dan paling utama untuk didukung, dan paling patut disayangi ketika musibah menimpa mereka. Jika engkau menahan tanganmu dari anak-anakmu, mereka hanya kehilangan satu tangan tetapi engkau kehilangan banyak tangan.1 Dengan begitu, bagaimanapun dan sampai kapan pun orang  tua harus senantiasa memperhatikan anak-anaknya terlebih dari segi keagamaannya yakni dalam hal hubungan anak dengan sesama manusia (hablun minannâs), serta hubungannya dengan Tuhan (hablun minalloh).
Keluarga merupakan sub sistem institusi terkecil, pertama dan primer dalam sistem sosial sebelum berangkat pada sistem sosial yang lebih besar yaitu masyarakat, bangsa dan negara. Oleh sebab itu, norma-norma ataupun nilai-nilai yang terdapat dan berlaku dalam kehidupan keluarga merupakan faktor penting dalam pembentukan kepribadian individu.2 Nilai-nilai yang berasal dari keluarga diturunkan melalui pola interaksi orang tua dengan anak-anaknya. Orang tua mempunyai harapan agar anak-anaknya tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, tidak mudah terjerumus ke dalam perbuatan- perbuatan yang melanggar norma keluarga, masyarakat dan agama yang dapat merugikan diri sendiri  maupun orang lain.
Keluarga (terutama orang tua) sebagai institusi pendidikan informal mempunyai tugas mengernbangkan kepribadian anak dan mempersiapkan mereka menjadi anggota masyarakat yang baik. Sosialisasi agama dalam keluarga akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kognisi, emosi, sikap bahkan perkembangan keagamaannya (religiusitasnya), adapun proses perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh peran orang tuannya. Anak yang dididik dalam keluarga yang beriman, melihat orang tuannya rukun dan damai serta patuh menjalankan ibadah kepada Tuhan maka "bibit" pertama yang akan masuk dalam pribadi anak adalah apa yang dialaminya itu, yakni ketentraman hati, kedamaian dan kecintaan kepada Tuhan. Sedangkan anak yang diasuh tanpa tanggungjawab moral yang tinggi dari orang tuanya akan banyak mengalami kesulitan bahkan anak cenderung berperilaku agresif mengarah keperilaku negatif seperti merusak, melanggar peraturan dan perilaku lain yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Bahkan menurut Dzakiyah Daradjat, perkernbangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilalui sebelumnya, terutama ketika anak memasuki masa pertumbuhan yakni antara urnur 0 s/d 12 tahun Jika pada masa pertumbuhan pertama seorang anak tidak mendapatkan pendidikan dan pengalaman keagamaan maka setelah menginjak usia dewasa ia akan cenderung bersikap negatif terhadap agama.3
Dalam perspektif sosiologis, keberadaan agama di tengah masyarakat merupakan sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Tegasnya berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu rnaupun kelompok, sehingga setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial tersebut tentu digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai- nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.4
Oleh karena itu berdasarkan latar belakang di atas, penyusun berkeinginan mengkaji peranan interaksi orang tua dengan anak dalam menumbuhkan sikap keberagamaannya. Penyusun memfokuskan kajiannya pada anak yang berusia antara tujuh sampai 12 tahun. Hal ini dikarenakan anak pada usia tersebut masih belum bisa mengatur dan mengontrol dirinya sendiri sehingga mereka masih sangat membutuhkan peran keluarga untuk pendidikan dan perkembangannya.

A.                 Materi Keagamaan bagi Anak 6-12 Tahun
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan anak-anak melalui beberapa fase. Dalam buku The Development of Religious on Children, anak usia sekolah dasar hingga usia adolesens (remaja) merupakan fase kenyataan (the realistic stage) pada masa ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep yang berdasarkan pada kenyataan. Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa. Pada masa ini ide Perkembangan keagamaan anak usia 6-12 tahun keagamaan pada anak didasarkan pada dorongan emosional hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa. Segala bentuk tindak atau amal keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.5
Sesuai dengan ciri yang mereka miliki maka sifat agama pada anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on authority, ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor luar.
Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa atau orang tua. Mereka hanya meniru dan menyesuaikan diri saja dengan pandangan hidup orang tuanya.6
Dengan demikian ketaatan pada ajaran agama merupakan kebiasaan yang mereka pelajari dari orang tua maupun guru. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.
Menurut Fuad Nashori, pada usia 7-10 tahun (fase tamyiz), anak sudah mempunyai kemampuan membedakan mana yang baik dan yang buruk, antara yang prioritas dan  bukan prioritas melalui kemampuan akalnya. Karena kemampuan itu, maka anak telah siap untuk berkenalan dan memahami adanya hukuman yang diterimanya. Dalam suatu hadis di jelaskan bahwa pada usia 10 tahun anak boleh di hukum (secara fisik) apabila menolak istiqomah dalam melakukan shalat. Namun demikian, pengenalan akan konsekuensi positif seperti pahala, surga, semestinya didahulukan dari pada konsekuensi negatif seperti hukuman, adzab, neraka dan seterusnya. Kesan yang mendalam tentang pahala, hadiah dan surga diharapkan menjadikannya bersemangat berbuat baik. Sungguhpun demikian, anak- anak harus memahami bahwa ada konsekuensi positif dan negatif.
Dalam kaitannya dengan pemberian materi agama, disamping mengembangkan pemahamannya juga memberikan latihan atau pembiasaan keagamaan yang menyangkut ibadah vertikal seperti : melaksanakan shalat, berdo’a dan membaca al-Qur’an (anak diwajibkan menghafalkan surat-surat pendek berikut terjemahannya), juga di biasakan melakukan ibadah horizontal, seperti: hormat pada orang tua, guru dan orang lain, memberikan bantuan pada orang yang memerlukan pertolongan, bersikap jujur, amanah dan lain-lain.7
Pendidikan yang dilakukan anak usia 6-12 tahun seringkali diikutsertakan dalam metode bermain, agar pemahaman terhadap dapat masuk pada anak-anak. Bermain adalah “any activity engaged in for the enjoyment it gives without consideration of the result”.8 Bermain adalah kesibukan masa anak dan balita. Dalam bermainlah terjadi banyak pembelajaran dan peregangan pikiran. Bermain membangun ketrampilan motorik, meningkatkan akal anak, dan menyiapkannya menghadapi dunia.9
Secara garis besar, materi pendidikan bagi anak usia 6-12 tahun terbagi menjadi tiga bagian, yaitu akidah, akhlak dan syari`ah.
1.               Akidah
Istilah “akidah” berasal dari bahasa Arab “aqada” yang berarti “ikatan yang erat atau janji yang mengikat”. Dalam hal ini, akidah berarti ikatan erat yang menghubungkan antara hamba dan Sang Pencipta. Selain itu, akidah juga berarti “benteng”, karena akidah adalah sebuah benteng dalam diri manusia yang berfungsi sebagai proteksi dan dasar untuk membangun iman seseorang.10
Akidah biasanya diidentikkan dengan istilah iman, yaitu sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota tubuh. Akidah juga diidentikkan dengan istilah tauhid, yakni mengesakan Allah swt. (tauhudullah).11
Adapun lingkup pembahasan tentang akidah Islam dalam pendidikan Islam, meliputi rukun iman, yaitu : Iman kepada Allah swt., iman kepada Malaikat-malaikat Allah, iman kepada Kitab-kitab Allah, iman kepada Rasul-rasul Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada qadla dan qadar.
2.          Akhlak
Secara bahasa “akhlak” berarti “budi pekerti, kelakuan, perangai, tabiat, kebiasaan, bahkan agama”. akhlak menurut istilah adalah aturan tentang prilaku lahir dan batin yang dapat membedakan antara prilaku yang terpuji dan tercela, antara yang salah dan yang benar, antara yang sopan dan tidak sopan, serta antara yang baik dan yang tidak baik (buruk).12
Obyek kajian akhlak meliputi akhlak manusia terhadap Allah, akhlak manusia terhadap dirinya sendiri, akhlak manusia terhadap orang lain (sesama manusia) dan akhlak terhadap lingkungan sekitarnya. Akhlak merupakan implementasi iman dalam segala bentuk perilaku, akhlak yang dibiasakan dalam kebiasaan sehari-hari akan membentuk watak/kepribadian, dan watak yang dijiwai akhlak Islami akan mengokohkan iman seseorang.
3.          Syariah
Secara etimologi, syariah berarti jalan yang harus dilalui, tatanan, perundang- undangan atau hukum.13 Dan secara terminologi, syariah adalah tata aturan yang mengatur pola hubungan manusia dengan Allah secara vertikal yang biasa disebut ibadah, dan hubungan manusia dengan sesamanya secara horisontal yang biasa disebut muamalah.14 Ibadah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ibadah mahdlah (khusus) dan ibadah ghairu mahdlah (umum). Ibadah mahdlah adalah bentuk peribadatan yang tata cara, cara- cara, acara dan upacaranya sudah diatur secara rinci di dalam al-Qur`an maupun hadits. Bentuk peribadatan ini didasarkan atas perintah, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya. Sedangkan ibadah ghairu mahdlah adalah segala bentuk peribadatan yang bertolak dari hati yang ikhlas, bergariskan amal shaleh dan bertujuan untuk mencapai ridla Allah swt., misalnya mencari nafkah, ber-silaturahmi, menuntut ilmu, menolong dan menghormati orang lain, berkata dengan sopan, berolah raga dan lainnya.15

B.        Peran Interaksi Orang Tua dengan Anak Terhadap Keberagamaannya

Dalam diri manusia terdapat religious instinct, yaitu potensi yang secara alamiah membawa manusia dalam kehidupan beragama. Perkembangan potensi ini sangat  dipengaruhi oleh lingkungan dan aspek kepribadian yang lain, baik kognitif maupun afektif. Pengaruh lingkungan, terutama keluarga, memang sangat dominan bagi perkembangan keberagamaan seseorang. Seseorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang religius akan lebih besar kemungkinannya berkembang menjadi lebih religius dibandingkan dengan yang tidak. Anak yang dilahirkan dalam keluarga yang beragama Islam, secara otomatis religius instinct yang dimiliki berkembang dalam tradisi Islam dan kemungkinan besar menjadi seorang muslim. 16
Diantara faktor besar yang menyebabkan terjadinya kenakalan pada anak adalah keteledoran orang tua dalam memperbaiki anak. Peran seorang ibu dalam memikul amanah dan melaksanakan tanggung jawab terhadap orang yang harus ia pelihara dan didik.17 Semoga Allah merahmati orang yang berkata:
Ibu adalah sekolah yang jika engkau telah mempersiapkannya.
Berarti engkau telah mempersiapkan suatu bangsa yang mempunyai akar akar yang baik.
Adapun seorang Ibu dalam memikul tanggung jawab sama seperti seorang bapak, bahkan tanggungjawab ibu lebih penting dan besar. Dikarenakan, seorang ibu senantiasa mendampingi anak sejak dilahirkan hingga tumbuh dewasa dan sampai pada usia yang layak untuk memikul tanggung jawab. Rasulullah menyendirikan tanggung jawab seorang ibu, dalam sabdanya:
“Dan ibu adalah seorang pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia bertanggung jawab terhadap yang ia pimpinnya itu.”18

Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan rasa tolong menolong bersama seorang bapak dalam menyiapkan generasi dan mendidik anak anak. Maka dari itu, jika seorang ibu meremehkan kewajiban dalam mendidik anak dan lebih mementingkan kairnya. Begitu pula jika seorang bapak meremehkan tanggung jawab mengarahkan dan mendidik anak, maka anak itu tidak beda dengan anak yatim. Ia akan hidup terasing, bahkan akan menjadi sebab kerusakan umat secara keseluruhan.
Parahnya lagi manakala seorang bapak menghabiskan waktunya dalam kehidupan yang penuh dosa dan penyimpangan, mengikuti nafsu syahwatnya, dan terjerumus ke

dalam tindakan menghalalkan hal hal yang haram. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi anak akan semakin nakal. Secara bertahap perbuatan dosanya akan semakin bertambah besar.
Semoga Allah SWT memberikan rahmatNya kepada orang yang berkata: Pohon yang tumbuh di dalam kebun tidaklah sama dengan
Pohon yang tumbuh di tengah padang yang tandus Apakah anak anak diharapkan tumbuh secara sempurna Jika mereka menyusui dari susu yang mongering

Agama Islam menyeru para orang tua untuk memikul tanggung jawab besar dalam mendidik anak anaknya. Mereka juga dibebani menyiapkan anak untuk memikul beban hidup dan mengancam mereka dengan azab yang besar jika mereka meninggalkan dan meremehkan atau berkhianat. Allah berfirman:
“Hai orang orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu menerjakan apa yang diperintahkan.(Q.S. At Tahrim:6).
Rasulullah SAW telah menekankan di dalam banyak perintahnya atau di dalam banyak wasiatnya akan pentingnya memberikan perhatian kepada anak anak, kewajiban melaksanakan urusannya, dan mendidiknya. Berikut ini adalah sebagian perintah dan petunjuk beliau:
P18F
 
“Seorang laki laki itu adalah pemimpin di dalam keluarganya dan ia bertanggungjawab terhadap keluarganya itu. Dan seorang wanita adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia bertanggungjawab terhadap apa apa yang dipimpinnya itu.” (HR. Al Bukhari dan Muslim). 19
Ketika membicarakan tentang dasar dasar yang ditetapkan Islam dalam memilih pasangan hidup, kita telah mengetahui bahwa Islam menganjurkan kaum pria untuk memilih calon istri yang subur. Kami katakan bahwa hal itu sebagai sesuatu yang pasti dan tidak boleh tidak. Kesuburan seorang wanita dapat diketahui melalui ciri ciri tertentu, seperti badannya terbebas dari penyakit yang menghalangi kehamilan. Jika Alloh memberikan anak kepada kalian berdua maka kalian harus memperhatikan pendidikannya sebelum dia dilahirkan. Memberikan perhatian terhadap pendidikan anak ketika masih berada di dalam rahim ibu merupakan satu hal yang harus diketahui oleh istri muslimah. Sebab, sebelum melahirkan ibu lebih banyak terkait dengan anaknya karena dia masih merupakan bagian dari tubuhnya, terikat dengan darah dan dagingnya, terpengaruh oleh kondisi fisik dan psikologisnya, merasakan sakit jika ibunya sakit, dan sehat jika ibunya sehat. Oleh karena itu, seorang bu harus memperhatikan makan agar anaknya bisa makan dan harus tenang sehingga anaknya pun tenang. 20
Jika masa kehamilan telah sempurna seperti yang diinginkan Allah SWT dan anak dilahirkan dengan selamat, maka kedua orang tua tidak perlu terlalu bahagia karena anaknya berjenis kelamin laki laki atau bersedih karena anaknya lahir dengan jenis kelamin perempuan, karena manusia tidak tahu kebaikan yang terkandung dalam salah satu dari kedunya. Nabi menambah wasiat bagi anak perempuan dan menuntut orang tua agar memberikan perlakuan yang adil melalui sabdanya, “Barangsiapa yang memelihara dua anak perempuan sampai dewasa maka dia dan aku seperti ini (beliau menggabungkan jari telunjuk dan jari tengahnya) pada Hari Kiamat.” (H.R. Muslim).
Dari Uqbah bin al Jahni, dia bercerita, “Aku pernah mendengar Rasululloh bersabda:
اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻳﻮم اﻟﻨﺎر ﻣﻦ ﺣﺠﺎﺑﺎً ﻟﻪ ﺟﺪﺗﻪﻛﻦ ﻣﻦ وﻛﺴﺎﻫﻦ وﺳﻘﺎﻫﻦ وأﻃﻌﻤﻬﻦ ﻋﻠﻴﻬﻦ ﻓﺼ ﺑﻨﺎت ﺛﻼث ﻟﻪ ﻛﺎن ﻣﻦ Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan, lalu dia bersikap sabar terhadap mereka, memberi mereka makan dan minum, serta memberi mereka pakaian dari hasil jerih payahnya maka mereka akan menjadi hijab baginya dari api neraka.” (HR. Imam
Ahmad).21
Hal hal yang disunahkan ketika anak baru lahir, yaitu diantaranya:
1.            Adzan. Nabi memerintahkan orang tua muslim mengumandangkan adzan di telinga kanan bayi dan iqomat di telinga kirinya. Dari Abu Rafi’, dia bercerita,
 “Aku menyaksikan Rasululloh mengumandangkan adzan di telingan Husein bin Ali ketika dilahirkan Fatimah.”22
2.            Akikah. Islam menganjurkan kalian menyembelih kambing untuk anak yang baru lahir, laki laki maupun perempuan, pada hari ke tujuh. Islam menyebutnya dengan istilah “’Aqiqah”.

Imam Malik mengatakan, “Penyembelihan kambing berlaku bagi anak laki laki dan anak perempuan yang baru lahir. Dua ekor kambing bagi anak laki laki dan satu ekor bagi anak perempuan. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal itu di kalangan kami.”
Yahya bin Said mengatakan, “Akikah berlaku bagi anak laki laki dan perempuan. “Di antara ulama yang sepakat dengan akikah dan menganjurkan untuk memotong kambing adalah Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Aisyah, para ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i, Madzhab Maliki, Madzhab Ahmad bin Hambali dan para ahli
hadits. Mereka mendasarkan pendapat itu pada sebuah hadits Rasululloh, yakni:

“Bersama kelahiran anak laki laki ada akikah maka alirkan darah karenanya (menyembelih hewan) dan hilangkan penyakit darinya.23
1.            Memberi nama yang baik lagi indah.
Pada hari ketujuh kelahiran bayi, orang tua harus memilih nama yang terbaik dan terindah untuk bayinya sesuai dengan sabda Rasululloh s.a.w.,
“Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada Hari Akhir dengan nama nama kalian dan nama nama bapak kalian. Oleh karena itu, pakailah nama yang terbaik (bagi kalian).” 24 Orang tua harus menghindari penggunaan nama nama jelek yang mempengaruhi aspek kejiwaan anak setelah dewasa kelak. Bahkan Islam menganggap nama yang jelek sebagai perbuatan dosa yang dilakukan orang tua.
2.            Menyusui
Seorang Ibu harus memberikan segenap kasih sayang kepada anaknya dan memberinya perhatian yang besar melalui air susunya. Islam memberikan perhatian besar terhadap masalah anak dan menyuruh umatnya untuk memelihara anak setelah dilahirkan, baik secara materil maupun spiritual agar mendapatkan pendidikan yang baik. Seorang bapak harus memberikan nafkah, sedangkan ibu harus memberikan air susunya. Allah berfirman:
Hendaklah para Ibu menyusui anak anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan  pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf............” (Q.S. al-Baqarah: 233).
Dengan demikian, susu ibu adalah susu yang bersifat rabbani, aman, dan sehat. Dalam kesempatan ini saya ingin menasihati para ibu, “ Jangan menyia nyiakan anak kalian dan menyerahkannya kepada wanita lain untuk disusui. Jangan bergantung kepada berbagai jenis susu hewan, karena penggunaannya tidak aman dan mungkin tidak steril.”
Praktik pemberian air susu ibu dapat menyehatkan anak dan membentuk kepribadiannya. Pemberian air susu ibu yang berkelanjutan yang diiringi hubungan komunikasi yang kuat antara ibu dan anak akan merangsang pembentukan hubungan yang baik di antara keduanya. Oleh karena itu, anak akan lebih merasa aman, nyaman, dan stabil secara psikologis, serta anak akan lebih dekat dan erat pada ibunya dalam setiap periode pertumbuhan dan perkembangannya. Muhammad Abduh mengatakan, “Sesungguhnya air susu ibu sangat mempengaruhi anak, baik secara fisik, moral, maupun mental. Oleh karena itu, hendaklah para ibu berhati hati ketika harus menyusukan anaknya kepada wanita lain. Jangan sampai menyusukkan anaknya kepada wanita yang sakit atau berakhlak buruk”.
3.                     Tanggung Jawab Pendidikan
Seorang bapak harus memperdengarkan kalimat tauhid dan mengajarkan alquran. Barangsiapa yang mendidik anaknya sejak kecil, maka akan berbahagia ketika anaknya sudah besar. Hubungan orang tua dengan anak memiliki peran yang sangat besar dalam proses peralihan nilai agama yang akan menjadi dasar-dasar nilai dari religiositas anak.25 Melalui hubungan dengan orang tua, anak menyerap konsep-konsep religiositas baik yang berkaitan dengan konsep-konsep keimanan (belief and faith), ibadah (ritual), maupun muamalah (ethic and moral).
Menurut Kathleen C. Leonard, et.al., ada dua masalah penting yang ikut berperan dalam perkembangan religiositas anak melalui proses hubungan orang tua dan anak. Hal pertama yaitu cara orang tua dalam berhubungan dengan anaknya yang akan menimbulkan emosional tertentu sehingga mempengaruhi situasi emosi dan sikap anak terhadap obyek yang menjadi perantara hubungan tersebut.26 Hal yang kedua yaitu kualitas keberagamaan orang tua. Semakin tinggi tingkat keberagamaan orang tau akan semakin tinggi ekspresi keberagamaannya sehingga mudah teramati dan terserap oleh anak.

Adapun simpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.   Pendidikan yang dilakukan anak usia 6-12 tahun seringkali diikutsertakan dalam metode bermain, agar pemahaman terhadap dapat masuk pada anak-anak. Bermain adalah “any activity engaged in for the enjoyment it gives without consideration of the result”. Bermain adalah kesibukan masa anak dan balita. Dalam bermainlah terjadi banyak pembelajaran dan peregangan pikiran. Bermain membangun keterampilan motorik, meningkatkan akal anak, dan menyiapkannya menghadapi dunia. Secara garis besar, materi pendidikan bagi anak usia 6-12 tahun terbagi menjadi tiga bagian, yaitu akidah, akhlak dan syari`ah.
2.   Dalam diri manusia terdapat religious instinct, yaitu potensi yang secara alamiah membawa manusia dalam kehidupan beragama. Perkembangan potensi ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan aspek kepribadian yang lain, baik kognitif maupun afektif. Pengaruh lingkungan, terutama keluarga, memang sangat dominan bagi perkembangan keberagamaan seseorang. Seseorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang religius akan lebih besar kemungkinannya berkembang menjadi lebih religius dibandingkan dengan yang tidak. Anak yang dilahirkan dalam keluarga yang beragama Islam, secara otomatis religius instinct yang dimiliki berkembang dalam tradisi Islam dan kemungkinan besar menjadi seorang muslim.
Setelah penyusun mengemukakan kesimpulan makalah ini, selanjutnya penyusun memberikan beberapa saran kepada beberapa pihak yang berhubungan dengan makalah ini, ialah bagi mahasiswa PPs IAID Ciamis Prodi PAI diharapkan untuk senantiasa membaca, menelaah, dan menuangkan setiap gagasan dan pemikiran mengenai peran serta keluarga dalam mendidik anak-anak mereka dari segi agama, sosial, ekonomi, politik dan budaya ke dalam bentuk tulisan ilmiah, sehingga diharapkan dari kegiatan tersebut dapat menambah kekayaan khazanah intelektual Islam.
Catatan Kaki:
1 Syafinuddin Al Mandari. Rumahku Sekolahku. (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), h. 1
2 Hendi Suhendi, Pengantar StudiSosiologi Keluarga, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 5
3 Bakir Yusuf Barmawi, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam Pada Anak (Semarang : Dimas, 1993) h.50
4 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), h.53
5 Jalaluddin Rahmat. Psikologi Agama Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan, 2003), h. 66-67
6 Zulkifli, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2000), cet. 7, hlm. 60.
7 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Offset, 2000), hlm. 183.
8 Elisabeth B. Hurlock, Child Development, (Singapura: MC Graw-Hill, 1084), 6th, hlm. 290
9 Tracy Hogg dan Melinda Blau, Secrets of the Baby Whispers for Toddlers (Mendidik dan Mengasuh Anak Balita Anda, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 112
10 Abdul `Al-Salim Makram, Pengaruh Akidah Dalam Membentuk Individu dan Masyarakat, Terj. M. Shaleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), hlm. 15.
11 Zaky Mubarak, et. al., Aqidah Islam, (Jakarta: UII Press, 2001), Cet. 2, hlm. 30.
12 Ibid, h. 80
13 Ibid. h. 79
14 Miftah Ahmad Fathoni, Pengantar Studi Islam; Pendekatan Sains Dalam Memahami Agama, (Semarang: Gunungjati, 2001), hlm. 64.
15 Ibid. h. 64-65
16 M.A. Subandi, Psikologi Agama dan Kesehatan mental, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 40.
17 Nashih, Abdullah ‘Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, (Solo: Insan Kamil, 2016), hlm. 96
18 Ibid. h. 97
19 Nashih, Abdullah ‘Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, (Solo: Insan Kamil, 2016), hlm. 98
20 Gazi Sa’id, Ketika Menikah Jadi Pilihan, (Jakarta: Almahira, 2009), hlm. 235
21 Ibid. h. 238
22 Abu Dawud, Sunan Abu Daud Jilid 4. (Beirut: al Maktabah al ‘Ashriyyah, tt), hlm. 328 No. 5105
23 Al Bukhori, Abu Abdullah, Shahih Bukhari Jilid 7. (Beirut: Dâr Tauqin Najâh, 1422 H), hlm. 84 No. 5471
24 Abu Daud, Sunan Abu Daud Jilid 4. (Beirut: al Maktabah al ‘Ashriyyah, tt), hlm. 287 No. 4948
25 Clark, W.H, The Psychology Of Religion. (New York : The MacMillan Company, 1958) hlm. 87
26 Hurlock, Elisabeth B. Child Development, (Singapura: MC Graw-Hill, 1978) hlm. 381

DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud. tt. Sunan Abu Daud Jilid 4. Beirut: al Maktabah al ‘Ashriyyah.
Al Bukhori, Abu Abdullah. 1422 H. Shahih Bukhari Jilid 7. Beirut: Dâr Tauqin Najâh. Al Mandari. 2004. Syafinuddin Rumahku Sekolahku. Jakarta: Pustaka Zahra.
Barmawi, Bakir Yusuf. 1993. Pembinaan Kehidupan Beragama Islam Pada Anak.
Semarang : Dimas.
Clark, W.H. 1958. The Psychology Of Religion. New York : The MacMillan Company. Fathoni, Miftah Ahmad. 2001. Pengantar Studi Islam; Pendekatan Sains Dalam
Memahami Agama. Semarang: Gunungjati.
Gazi , Sa’id. 2009. Ketika Menikah Jadi Pilihan. Jakarta: Almahira.
Hogg, Tracy dan Melinda Blau. 2004. Secrets of the Baby Whispers for Toddlers (Mendidik dan Mengasuh Anak Balita Anda, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka  Utama. Rahmat, Jalaluddin, 2003, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, Bandung: Mizan.
Hurlock, Elisabeth B. 1978. Child Development. Singapura: MC Graw-Hill. Kahmad, Dadang. 2002. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Makram, Abdul `Al-Salim. 2004. Pengaruh Akidah Dalam Membentuk Individu dan Masyarakat. Terj. M. Shaleh, Jakarta: Pustaka Azzam.
Mubarak, Zaky. 2001. Aqidah Islam. Jakarta: UII Press.
Nashih, Abdullah Ulwan. 2016. Pendidikan Anak dalam Islam. Solo: Insan Kamil. Subandi, 2016. Psikologi Agama & Kesehatan Mental. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suhendi, Hendi, 2001, Pengantar StudiSosiologi Keluarga, Bandung: Pustaka Setia. Yusuf, Syamsu. 2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya Offset.
Zulkifli. 2000. Psikologi Perkembangan, Bandung: PT. Rosdakarya.

Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

KAJIAN BALAGHAH: JINAS

المشاكلة في البلاغة