BELAJAR DARI API KOMPOR GAS
Hilman Fitri 17.011.688
Mahasiswa Pascasarjana IAID Ciamis 2017
Setiap pagi, seorang istri selalu menggunakan kompor gas untuk memasak berbagai makanan yang akan dia hidangkan. Aktifitas memasak ini sesuatu yang menyenangkan bagi sebagian istri dan tidak bagi yang lain. Bagi para ibu rumah tangga, ini merupakan kegiatan keseharian mereka dalam rangka melayani sang suami sekaligus sebagai salah satu bentuk ibadah kepada sang Ilahi.Ada sesuatu yang menarik perhatian dalam kegiatan memasak ini, di mana aktivitas ini menggunakan api kompor gas sebagai salah satu sarana atau wasilahnya selain daripada alat penggorengan seperti panci, sendok, dan katel. Kalau kita perhatikan, api kompor gas ini memiliki berbagai warna yang indah ada yang berwarna hijau, biru, ungu, oranye, merah, putih, dan hitam. Berbagai warna api ini sangat dipengaruhi oleh berbagai elektron yang dikandung oleh api itu sendiri yang selalu berpindah-pindah. Setiap unsur mempunyai spektrum emisi tertentu dan bila terkena api, maka akan memancarkan radiasi elektromagnetik yang akan menghasilkan panorama api dengan warna-warna tertentu.
Api menurut salah satu filosof Yunani yakni Heraclitus (Murtiningsih, 2014: 31-32) merupakan “asal dari segala sesuatu.” Dalam pandangannya, segala kejadian di dunia ini serupa dengan api yang tidak putusnya berganti-ganti memakan dan menghidupi dirinya sendiri. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib (Sulaiman, 2005: 41)-Khalifah keempat diantara Khulafaurrasyidin- memandang api dengan sesuatu yang tidak berlidah, tapi dia bisa melahap dan menjilat. Tidak punya mulut, tapi mampu memakan apa saja. Segala permulaan adalah mula dari akhirnya. Segala hidup adalah mula dari matinya. Dan, di dunia ini tidak ada yang tetap, semuanya berubah. Oleh karena itu, saya berfikir api sangat cocok untuk melambangkan suatu kesatuan dalam perubahan. Hal ini dikarenakan ia senantiasa melahap bahan bakar yang baru, dan bahan bakar itu berubah menjadi abu serta asap.
Ternyata dalam salah satu sumber ilmu agama Islam yakni hadis, api serta perubahan warnanya tidak luput dari perhatian Rasulullah s.a.w. sebagaimana yang diriwayatkan oleh at Tirmidzi (1977: 710) dalam kitab hadisnya, pada urutan hadis yang ke 2591, bahwa:
أُوقِدَ عَلَى النَّارِ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى احْمَرَّتْ ثُمَّ أُوقِدَ عَلَيْهَا أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى ابْيَضَّتْ ثُمَّ أُوقِدَ عَلَيْهَا أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى اسْوَدَّتْ فَهِيَ سَوْدَاءُ مُظْلِمَةٌ
“Api dinaikkan suhunya selama seribu tahun sampai berubah menjadi merah, lalu dinaikkan lagi selama seribu tahun hingga berubah menjadi putih, kemudian dinaikkan lagi selama seribu tahun sampai menghitam, dan itulah yang disebut dengan hitam legam.”
Berdasarkan penelitian, api yang berwarna merah umumnya bersuhu di bawah 1000 derajat celsius. Api berwarga biru, bersuhu lebih tinggi dari api merah, tapi masih di bawah 2000 derajat celcius. Kemudian api yang lebih panas, api putih yang bersuhu di atas 2000 derajat celcius. Api ini juga yang terdapat di dalam inti matahari. Api putih juga digunakan pada industri yang memproduksi material besi dan sejenisnya. Api paling panas adalah api berwarna hitam.
Mengenai api kompor gas ini, penulis teringat akan firman Allah Ta’ala, di mana diinformasikan bahwa Jin Allah Ta’ala ciptakan dari api. Dalam surah al Hijr ayat 27 Allah Ta’ala berfirman:
وَٱلۡجَآنَّ خَلَقۡنَٰهُ مِن قَبۡلُ مِن نَّارِ ٱلسَّمُومِ
“Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.”
Atau dalam surah ar Rahman ayat 15,
وَخَلَقَ ٱلۡجَآنَّ مِن مَّارِجٖ مِّن نَّارٖ
“Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.”
Lalu timbul pertanyaan yang menggelitik dalam pikiran ini, “Apakah mungkin jin itu memiliki warna yang bermacam-macam atau dengan kata lain antara satu dengan yang lainnya berlainan warna karena melihat warna api pada kenyataannya itu bermacam-macam sebagai bahan utama penciptaannya?” Sebagaimana manusia yang diciptakan dari tanah yang memiliki berbagai karakteristik seperti halus, kasar, subur, gersang, tandus, dan berbagai warna seperti hitam, coklat, kemerah-merahan, keputih-putihan. Begitu pula lah manusia memiliki berbagai karakter atau sifat dan warna kulit yang berlainan satu sama lain.
Dalam literatur Islam, kita dapati dalam hadis Nabi s.a.w. dinyatakan bahwa manusia pada hakikatnya diciptakan dari segumpal atau seonggok tanah. Imam Ahmad (1999: 353) meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Musa al Asy’ari bahwasannya Nabi s.a.w. bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله خلق آدم من قبضة قبضها من جميع الأرض فجاء بنو آدم على قدر الأرض جاء منهم الأحمر والأبيض والأسود وبين ذلك والسهل والحزن والخبيث والطيب.
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari gumpalan tanah yang diambil dari seluruh tempat yang ada di bumi. Anak cucu Adam terlahir sesuai dengan karakteristik tanah: “Ada yang berkulit Merah, Putih, Hitam, ada yang lembut, ada yang kasar, ada yang jelek, dan ada yang bagus.
Bila hadis ini dikaitkan dengan ayat Alquran maka kita akan temukan korelasi atau hubungan dengan surah Al Fatir (35) ayat 27-28, Di mana Allah berfirman,
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا ۚ وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Berdasarkan penelitian, unsur-unsur yang terdapat pada tubuh manusia juga terdapat di dalam tanah. Tubuh manusia terdiri atas air (kadarnya antara 54-70%), lemak (14-26%), protein (11-17%), karbohidrat (10%), dan unsur-unsur anorganik (5-6%). Jika kandungan itu diurai ke dalam unsur-unsur dasarnya maka akan didapat hasil bahwa tubuh manusia terdiri atas oksigen (65%), karbon (18%), hydrogen (10%), nitrogen (3%), kalsium (1,40%), fosfor (0,70%), sulfur (0,20%), potassium (0,18%), sodium (0,10%), klor (0,10%), magnesium (0,054%), dan beberapa unsur lain. Unsur-unsur kimia yang dikandung tanah tidak berbeda dengan unsur-unsur kimia yang terdapat pada tubuh manusia. Yakni oksigen dan hidrogen (yang terdapat pada air bumi), karbon (yang terdapat pada karbon dioksida yang diserap tumbuhan ketika terjadi proses fotosintesis), dan nitrogen (yang terdapat pada atmosfer bumi dan protein yang dimakan manusia), serta unsur lain yang serupa. Atas dasar itulah, Al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah. (An Najjar, 2010: 152-154)
Sehingga dengan membandingkan proses penciptaan jin dan penciptaan manusia tersebut, dapat diambil pemahaman bahwasannya jin memiliki karakter atau sifat serta warna sebagaimana api. Pemahaman ini diambil atas dasar bahwa yang dijadikan pokok penyerupaannya atau musyabbah bih ialah penciptaan manusia. Adapun yang diserupakannya penciptaan jin yang di mana karakter dan warnanya tidak diketahui. Sedangkan yang menjadi ketetapan pemahaman dari penciptaan manusia adalah kesesuaian atau kesamaan karakter dan warna manusia dengan karakteristik dan warna bahan penciptaannya. Sehingga dapat diambil pemahaman bahwa ketika bahan penciptaan jin yakni api sama-sama memiliki suatu karakter yakni panas, menjilat, melahap apapun materinya serta memiliki berbagai warna yang indah seperti berwarna hijau, biru, ungu, oranye, merah, putih, dan hitam. Maka jin memiliki karakter atau sifat serta warna sebagaimana api.
Referensi:
Ahmad. (1999). Musnad Imam Ahmad bin Hanbal Juz ats Tsaani wa Tsalaatsuun. Ditahqiq oleh Syaikh Syu’aib Arnout. Libanon: Muassasatur Risalah.
Murtiningsih. (2014). Para Filsuf dari Plato sampai Ibn Bajjah. Jogjakarta: IRCiSoD.
An-Najjar, Z.R. (2010). Buku Induk Mukjizat Ilmiah Hadis Nabi. Jakarta: Zaman.
At Tirmidzi. (1997). Sunan at Tirmidzi Juz 4. Ditahqiq oleh Ahmad Syâkir. Mesir: Darul Halabi.
Sulaiman, T. (2005). Harga Sebuah Loyalitas. Jakarta: Erlangga.
Comments
Post a Comment