HUMOR KONTEMPORER

Ferry Fauzi Hermawan, Dana Waskita, & Tri Sulistyaningtyas

Humor merupakan salah satu bentuk kebudayaan   yang   banyak    berkembang  di berbagai bangsa. Humor tidak hanya berperan dalam memberikan aspek hiburan semata bagi komunitas  pendukungnya, tetapi dapat menjadi sarana ekspresi, kritik, bahkan katarsis perasaan yang dialami oleh para anggota masyarakat. Meyer (2000) mengibaratkan humor sebagai sebuah ventilasi yang melalui hal itu kita dapat melihat apa yang sebenarnya dirasakan, ditakutkan, dan dikonstruksikan dalam sebuah komunitas. Oleh karena itu, humor dapat dijadikan sebagai sebuah jalan untuk memahami perkembangan peradaban sebuah masyarakat.

Dalam laporan yang diturunkan oleh situs theguardian.com, 21 November 2016, disebutkan bahwa kehidupan masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari unsur humor. Bagi masyarakat Indonesia, segala persoalan kehidupan yang dialami selalu dilihat dari segi humor,  baik  ekonomi, sosial, politik, maupun agama. Salah satu ciri dominan pemanfaatan unsur humor dalam masyarakat Indonesia adalah dalam hal penyampaian kritik.

Humor, sebagai salah satu medium seni dan komunikasi, memiliki peran yang cukup besar dalam menyampaikan kritik di Indonesia. Hal tersebut telah aktif dilakukan misalnya pada masa Orde Baru. Di tengah tindakan represif Orde Baru, humor menjadi alat katarsis warga dalam mengkritik dan menghadapisikappemerintahyangdipandang merugikan masyarakat. Pemanfaatan humor sebagai media kritik berlanjut hingga pada era reformasi sebagaimana  dapat  dilihat pada penelitian Jatnika, dkk. (2015) yang menganalisis kemunculan meme pada masa pemilihan Presiden Indonesia pada tahun 2014.

Di Indonesia, sebagaimana dicatat oleh Rahmanadji (2007) humor berkembang melalui beberapa cara. Pertama, humor berkembang lewat berbagai bentuk kesenian rakyat dan grup lawak. Grup Srimulat merupakan salah satu contoh kelompok kesenian yang konsisten  membawakan unsur humor sehingga populer di kalangan masyarakat. Kedua, humor yang berkembang mengikuti keberadaan media massa, seperti koran, radio, televisi, dan surat kabar. Simbiosis keberadaan humor dan media massa ini dimulai pada periode tahun1960- an hingga masa reformasi di Indonesia. Salah satu media humor yang cukup dikenal oleh masyarakat kala itu adalah majalah STOP.

Jika sebelumnya humor di Indonesia berkembang melalui medium media cetak, kesenian rakyat, ataupun grup lawak, berkat kemajuan teknologi sirkulasi humor makin berkembang dengan pesat. Salah satu hal yang tidak dapat dikesampingkan adalah keberadaan media sosial, khususnya aplikasi percakapan (chat), yang saat ini menjadi wadah utama penyebaran humor di Indonesia. Kemunculan media sosial telah menyebabkan siapa saja dapat memproduksi atau bahkan mereproduksi humor untuk disebarkan ke khalayak. Jika dulu humor hanya disajikan oleh otoritas tertentu, misalnya redaktur majalah humor ataupun grup lawak tertentu, maka saat ini orang dapat menciptakan, mereproduksi, dan menyebarkan humor masing-masing dengan sekali klik. Saat ini, setiap orang dapat menjadi produsen dan konsumen sekaligus.

Sebagai masyarakat yang masih didominasi nilai-nilai patriarki, salah satu humor yang banyak berkembang dalam media sosial di Indonesia adalah  humor yang berkaitan dengan perempuan. Dalam perkembangan wacana humor tradisional perempuan memperoleh posisi yang inferior. Perempuan menjadi objek yang pasif baik jika dilihat dalam segi penceritaan maupun dilihat dari segi penyebaran cerita humor yang banyak dikuasai oleh  otoritas  laki-  laki. Perempuan yang bergelut dalam dunia humor, misalnya memperbincangkan humor yang berkaitan dengan humor seksual dapat dianggap melanggar tabu.

Namun, perkembangan media sosial yang demikian masif menyebabkan humor yang beredar di media sosial dapat disebarkan oleh   siapapun   tanpa   memperhatikan jenis kelamin, gender, agama, ataupun tingkat pendidikan tertentu. Sebagaimana dipaparkan oleh Crawford (2003) humor dapat menjadi jalan untuk membicarakan topik-topik tabu yang selama ini tidak mungkin terungkapkan secara langsung seperti persoalan ras, seksualitas, politik, agama, maupun yang lainnya. Melalui humor hal tersebut dapat masuk ke dalam wacana masyarakat tanpa harus merasa takut untuk mendapatkan hukuman atau sangsi. Tulisan ini hendak melakukan analisis terhadap beberapa cerita humor yang berkembang di media sosial, khususnya aplikasi percakapan whatsapp, untuk melihat bagaimana perempuan dikonstruksikan melalui humor. Crawford (2003) mengungkapkan bahwa humor memiliki banyak peran dalam pembentukan    gender    dan     seksualitas di masyarakat.De Koning, E. D. dan Weiss(2002) mengungkapkan analisis humor dapat menunjukkan bagaimana laki-laki menanamkan manifestasi dominasi dan kekuasaan dalam kerangka sosial masyarakat terhadap perempuan, khususnya dalam masalah gender dan seksualitas. Tujuan dari analisis yang dilakukan adalah dapat diketahui bentuk-bentuk konstruksi seperti apakah yang terekam, diabadikan, atau bahkan digugat mengenai perempuan yang muncul dalam humor kontemporer di Indonesia, khususnya yang berkembang dalam media aplikasi whatsapp. Saat ini keberadaan bahasa tidak hanya dipandang sebagai alat komunikasi semata yang bebas nilai. Bahasa, sebagaimana telah ditunjukkan oleh berbagai kajian dan teoritikus, merupakan sebuah arena tempat berbagai kepentingan, ideologi, konstruksi, dan aspirasi sosial berlangsung. Bahasa tidak lagi dipandang sebagai rangkaian huruf yang memiliki satu makna saja. Dalam kaitannya dengan    gender    dan    seksualitas, bahasa merupakan alat utama dalam pembentukan dan penguatan posisi gender dan seksualitas dalam masyarakat. Bahasa merupakan sebuah alat performansi sekaligus penanda identitas gender para anggota sebuah komunitas Cameron (2005). Dalam pemikiran Butler (1990) gender merupakan apa yang ditampilkan bukan sesuatu hal  yang terberi (given). Rangkaian performansi dan pengulangan aksi ini membutuhkan penanda-penanda khusus dalam memenuhi peran gender feminin dan maskulin dalam masyarakat. Menurut  Cameron  (2005)  salah satu penanda utama tersebut adalah melalui bahasa. Bahasa yang digunakan oleh setiap penutur dalam berkomunikasi dapat menunjukkan bagaimana sebuah identitas sosial, kultural, dan gender dikonstruksikan.

Dalam penelitian Kiesling (2007) setiap unsur linguistik yang dimiliki oleh sebuah masyarakat memiliki makna indeksikal yang mengacu pada pengonstruksian gender dalam masyarakat. Misalnya pada makna indeksial lingustik yang menganggap perempuan dipandang harus memiliki suara yang lembut dibandingkan laki-laki yang memiliki suara lebih berat. Hal ini berakibat pada pengonstruksian posisi perempuan dan laki-laki di tengah masyarakat. Perempuan dipandang cocok untuk berada dalam ranah privat karena dipandang ranah privat merupakan wilayah yang lembut dan tidak agresif dibandingkan laki-laki yang dipandang cocok berada dalam ranah publik.

Bagi Crawford(2003) humor sebagai sebuah bentuk wacana yang berkembang dan dikembangkan dalam masyarakat merupakan salah satu wadah yang didalamnya terkandung sistem makna yang melalui hal itu dapat dilihat bagaimana gender  diperformansi  dan diproduksi  secara  terus  menerus.  Salah satu hal yang dapat dijadikan analisis adalah bagaimana bahasa dioperasikan dan dikonstruksikan dalam humor  tersebut dalam membentuk pemahaman gender dan seksualitas.

Oleh karena itu, pada akhirnya dikenal  dengan  apa   yang   disebut   sebagai humor seksis atau humor yang mendiskreditkan gender tertentu. Ada empat komponen yang dapat dilihat apakah sebuah humor dapat dikategorikan ke dalam humor seksis atau tidak, khususnya yang berkaitan dengan perempuan (Shifman & Lemish, 2010). Pertama, humor yang berusaha mengejek perempuan, menekankan pada sisi inferioritas perempuan terhadap laki-laki. Kedua, humor yang menargetkan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, tetapi pada banyak segi cenderung impilisit (misalnya menggunakan berbagai stereotip yang merendahkan bagi perempuan).  Ketiga, humor yang menyebarkan stereotip tradisional yang menggambarkan perempuan sebagai sosok yang bodoh, bergantung, tak berlogika, dan hanya sebagai objek seksual semata. Terakhir, keempat, humor yang seksis tidak hanya menekankan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki ciri yang berbeda, tetapi lebih jauh melanggengkan posisi hierarki bahwa perempuan lebih inferior dibandingkan llaki-laki.

Namun demikian perkembangan internet yang semakin massif menyebabkan humor seksis mendapatkan tantangan dengan berkembangnya humor yang justru melawan sifat seksis tersebut. Salah satu hal yang muncul adalah apa yang disebut Crawford (2003) sebagai humor feminis yaitu humor yang mendekonstruksi pandangan tradisional gender dengan melakukan resistensi konstruksi dominan mengenai femininitas. Mengutip Shifman & Lemish(2010) internet memiliki karakteristik yang khas, yaitu dibutuhkannya partisipasi aktif dari para pengguna untuk memproduksi konten, hal ini menyebabkan munculnya kesempatan berbicara kepada khalayak mereka yang selama ini termarginalkan secara sosial, termasuk perempuan. Menurut keduanya terdapat empat ciri dari humor feminis. Pertama, humor feminis yang menunjukkan perlawanan  terhadap  ketidakadilan  gender dan  stereotip   yang   menghegemoni. Kedua, humor feminis yang menunjukkan manifestasi kebebasan dan kekuatan dalam mengekspresikan pikiran dan perspektif dalam melihat realitas sosial; dalam beberapa segi laki-laki menjadi target utama. Ketiga humor feminis secara eksplisit fokus pada gender. Keempat, biasanya humor feminis membutuhkan ranah dan medium yang berbeda dengan media konvensional untuk mengekspresikan humor-humor tersebut. Salah satu media yang strategis untuk menyebarkan humor-humor feminis ini adalah media sosial, sebab karakteristik media sosial yang tidak menghiraukan siapa yang melakukan produksi dan keanonimitasan para pembuatnya dapat dijaga.


Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

المشاكلة في البلاغة

Shalawat Istri Nu Bakti