BELAJAR KEPADA SYU’AIB: DEMI PERBAIKI BANGSA INI
HILMAN FITRI
BANJAR 31 OKTOBER 2017
قَالَ
يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَرَزَقَنِي
مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا ۚ وَمَا
أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَىٰ مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ ۚ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ
ۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Syu'aib berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku
mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya
rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak
berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak
bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan
tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada
Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. (Q.S. Huud: 88)
Setiap kisah dalam Alquran bukanlah sekedar
cerita atau dongeng pengantar tidur, namun ia merupakan kisah yang syarat
dengan pelajaran dan hikmah. Ia adalah kisah yang haq untuk menguatkan hati
orang beriman, sebagai pengajaran dan peringatan. Allah berfirman:
لَقَدْ
كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ
حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ
كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.(Q.S. Yusuf: 111)
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا
نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ ۚ وَجَاءَكَ فِي هَٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan
kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam
surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi
orang-orang yang beriman. (Q.S. Huud: 120)
Perbaikan yang dalam
bahasa Arab bias dipadankan dengan kata Ishlah. Secara bahasa kata ishlah
adalah sebuah kata yang berasal dari kata bahasa arab الإصلاح,
bentuk masdar (infinitif) dari akar kata أصلح-يصلح-إصلاحاً
yang diambil dari komponen dasar ص-ل-ح dan diartikan oleh Shihab (2002: Vol. 12: 596)
sebagai antonim dari kata فساد (rusak). Sementara itu, Ibrahim Madkour (tt:
518) mengatakan bahwa kata الإصلاح mengandung dua makna: manfaat dan keserasian
serta terhindar dari kerusakan. Dengan demikian, bisa juga kata ishlah ini
dimaknai dengan mendatangkan perbaikan atau menjadikan sesuatu lebih baik dari
sebelumnya. Inilah yang sekiranya dilakukan Nabi Syu’aib terhadap kaumnya dan
bukan ifsad, yaitu merusak atau menjadikan sesuatu lebih buruk dari
sebelumnya.
Adapun dalam Alquran
(Khatib, tt: 365) makna ishlah ini mencakup beberapa makna, yakni:
1. Al-hidayah
(petunjuk), contohnya pada Q.S. Al Anbiyaa: 89.
2. Ihsan al-amal
(perbaikan amal perbuatan/reformasi) dan amal saleh, contohnya pada Q.S. Al
Baqarah: 160.
3. Menunjukan sifat
para Nabi dan orang-orang yang beriman lagi taat, contohnya pada Q.S.Al
Baqarah: 130.
4. At-taufiq
baina al-mutanaazi'ain (rekonsiliasi antara dua pihak yang berselisih),
contohnya pada Q.S. Al Baqarah: 182.
5. Al-amru bi
al-ma'ruuf wa an-nahyu 'ani al-munkar (menyuruh kepada yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar), contohnya pada Q.S. Hud : 117.
Allah Jalla Jalaaluh mengutus Syu’aib a.s.
kepada penduduk Madyan, di mana mereka adalah satu suku dari bangsa Arab yang
menempati daerah antara Hijaz dan Syam, berdekatan dengan Ma’an (Ibn Katsier,
2003: 370). Di mana Ma’an ini sekarang merupakan sebuah kota yang terletak di
Negara Yordania (Salim, dkk, 2010: 481).
Penduduk Madyan sebenarnya pada zaman itu telah
memiliki kehidupan yang baik, dengan penghasilan yang mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier-nya. Bahkan mereka pun hidup dalam
negeri yang secara politik maupun keamanan berada dalam situasi tenang dan
tentram bahkan dari segi ekonomi pun mereka bisa dikatakan sejahtera. Namun
dibalik itu semua, mereka memiliki kecenderungan sosial dan ekonomi yang
menyimpang ditandai dengan adanya perilaku mengurangi takaran dan timbangan,
tanpa mereka memikirkan kerugian yang akan diterima orang lain maupun dirinya
sendiri dikemudian hari. Selain itu, peribadatan kepada selain Allah atau
kemusyrikan senantiasa mewarnai dalam praktik keagamaan mereka. Bahkan, perilaku
ini seakan-akan memang sudah mendarah daging dalam perilaku keseharian mereka
(Salim, dkk, 2010: 482).
Oleh karena itu Allah Jalla Jalaaluh mengutus Nabi
Syu’aib a.s.- seorang yang berasal dari keturunan terhormat- dalam rangka mengajak
kaumnya untuk mentauhidkan Allah dan berlaku adil dalam takaran dan timbangan.
Beliau memberikan contoh kepada kaumnya dengan berperilaku sesuai dengan lisannya, baik dalam melakukan perintah maupun menjauh
dari larangan. Kemudian beliau menutup dengan kalimat yang indah, in uriidu
ilal ishlaah mastatho’tu, wa maa taufiqii illa billah, ‘alaihi tawaktu wa
ilaihi uniib. Tidaklah aku bermaksud kecuali hanya perbaikan selama aku
masih berkesanggupan; tiada taufiq bagiku melainkan dengan pertolongan Allah,
hanya kepada Allah-lah aku bertawakal dan kembali.”
Bila kita mencermati kisah
Syu’aib dari awal maka kita akan mengetahui, bagaimana seseorang dikatakan
memperbaiki. Pertama, ia haruslah mendakwahkan tauhid. Memperbaiki masyarakat
dari kesyirikan menuju aqidah yang benar. “Dan kepada (penduduk) Mad-yan
(Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah
Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia……” (Q.S. Huud: 84) dan
inilah yang dilakukan oleh Nabi kita Muhammad s.a.w. selama 10 tahun lebih di
Mekkah; bersabar melakukan perbaikan penduduk Mekkah dan orang-orang yang datang
ke Mekkah.
Siapa saja yang menyangka
dirinya mengadakan perbaikan namun tidak menyeru kepada tauhid, maka seruannya
batil, dan setiap kita harus menjauh darinya. Allah ta’ala berfirman perihal
orang-orang munafik- semoga Allah menjauhkan kita dari nifaq, “Dan bila
dikatakan kepada mereka, janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. Mereka
menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan".Sesungguhnya
merekalah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (Q.S.
al Baqarah: 11-12).
Kedua, menyeru kepada keadilan, berhias dengan
akhlak yang baik serta memberikan contoh yang baik
tersebut. Ini merupakan sifat bagi orang yang melakukan perbaikan. Kehidupan
kaum Nabi Syu’aib lebih dari kecukupan, namun mereka melakukan kecurangan dalam
takaran dan timbangan. Sehingga Nabi Syu’aib pun memberi nasihat,
Dan kepada
(penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu
kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang
baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang
membinasakan (kiamat)". (Q.S. Huud: 84)
Hari ini kita saksikan orang-orang yang suka
mengurangi timbangan, para koruptor, dan siapa saja yang mengurangi atau mengambil hak saudaranya
termasuk orang yang jauh dari sifat perbaikan. Rasulullah dahulu ketika di
Makkah digelari al Amin, yang
terpercaya. Bahkan para penduduk Mekah dengan kekafiran dan kejahiliyahannya
menitipkan hartanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. hal ini dikarenakan mereka
mengetahui keamanahan Nabi dan tidak sedikitpun mereka dirugikan, ditipu, dan
dikurangi harta titipannya.
Memperbaiki diri, keluarga, dan bangsa
merupakan tugas setiap muslim. Bila tugas ini dilakukan dengan benar, ia akan
terasa asing. Rasulullah menjelaskan dalam sebuah hadis bahwa salah satu
karakter ghuraba, orang asing yang kelak akan beruntung adalah orang
mengadakan perbaikan. Rasulullah s.a.w.
bersabda:
إِنَّ
الدِّينَ بَدَأَ غَرِيبًا وَيَرْجِعُ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ الَّذِينَ
يُصْلِحُونَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِى مِنْ سُنَّتِى
Sesungguhnya Islam muncul dalam keadaan asing, dan
akan kembali asing seperti saat kemunculannya. Maka beruntunglah
orang-orang yang terasing”. Seseorang bertanya : “Siapakah orang-orang yang
asing itu ya Rasulullah ? “Orang-orang yang selalu memperbaiki (melakukan
ishlah) di saat manusia merusak sunnah-sunnah ku.
Akhirnya, bila kita sudah
berusaha melakukan perbaikan dan mencontoh para Nabi dalam melakukan perbaikan, maka kita katakan,
“In uriidu ilal ishlaah mastatho’tu, wa maa
taufiqii illa billah, ‘alaihi tawaktu wa ilaihi uniib. Tidaklah
aku bermaksud kecuali hanya perbaikan selama aku masih berkesanggupan; tiada
taufiq bagiku melainkan dengan pertolongan Allah, hanya kepada Allah-lah aku
bertawakal dan kembali.”
Referensi:
Ibn Katsier.
2003. Tafsir Ibn Katsier Jilid 3. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.
Khatib. Tt. Nadhratu
an Na’im Fi Makarim Akhlaqir Rasuul Juz 2. Jeddah: Darul Wasilah Lin Nasyr
wat Tauzi’.
Madkur, I. tt. Mu’jamul
Wasit. Beirut: Darul Fikr.
Salim, dkk.
2010. At Tafsiirul Maudhu’I Lis
Suwaril Quranil Karim Mujallidu ats Tsaalits. Abu Dhabi: University Of
Syarjah.
Shihab, MQ. 2002.
Tafsir al Mishbah Vol. 12. Jakarta: Lentera Hati.
Comments
Post a Comment