KAPAN YANG PINTAR ITU BODOH???
Disalin oleh Hilman Fitri dari buku “Emotional Intelligence”
karangan Daniel Goleman
Alasan
sesungguhnya mengapa David Pologruto, seorang guru fisika sekolah menengah,
ditusuk dengan sebilah pisau dapur oleh salah seorang siswa terpandai di
kelasnya adalah hal yang masih dapat diperdebatkan. Tetapi, fakta-fakta yang
dilaporkan pada umumnya sebagai berikut:
Jason
H; siswa kelas dua yang nilainya selalu A di SMU Coral Springs, Florida,
becita-cita masuk fakultas kedokteran. Bukan sekedar fakultas kedokteran-ia
memimpikan Harvard. Tetapi, Pologruto.,
guru fisikanya, memberi nilai Jason 80 pada sebuah tes. Karena yakin bahwa
nilai itu-yang hanya B- akan menghalangi cita-citanya, Jason membawa sebilah
pisau dapur ke sekolah dan dalam suatu pertengkaran dengan Plogruto di
laboratorium fisika, ia menusuk gurunya di tulang selangka sebelum dapat
ditangkap dengan susah payah.
Hakim
memutuskan bahwa Jason tidak beralah, karena pada saat peristiwa itu ia
dianggap gila untuk sementara selama peristiwa itu terjadi. Sebuah panel
terdiri atas empat psikolog dan
psikiater bersumpah bahwa ia gila selama perkelahian itu. Jason mengatakan
bahwa ia telah berencana untuk bunuh diri karena nilai tes tersebut, dan pergi
menemui Pologruto untuk mengatakan kepadanya bahwa ia akan bunuh diri karena
nilai yang buruk itu. Pologruto menyampaikan cerita yang berbeda: “Saya rasa ia
betul-betul mencoba membunuh saya dengan pisau itu” karena ia amat marah atas
nilai tersebut.
Setelah
pindah ke sebuah sekolah swasta, Jason lulus dua tahun kemudian sebagai juara
kelas. Nilai sempurna dari kelas reguler akan memberinya angka A bulat,
rata-rata 4,0, tetapi karena Jason telah mengikuti cukup banyak kursus
lanjutan maka nilai rata-ratanya menjadi
4, 614-jauh di atas A+. Meskipun Jason lulu dengan nilai terbaik, guru
fisikanya yang lama, David Pologruto, mengeluh bahwa Jason tak pernah minta
maaf atau mau bertanggung jawab atas serangan tersebut. (kisah Jason H;
dilaporkan dalam “Warning by a Valedictorian Who Faced Prison” dalam the new
york times (23 juni 1992).
Masalahnya
adalah bagaimana mungkin seseorang yang
jelas cerdas melakukan sesuatu yang sedemikian tak rasional-sesuatu yang
betul-betul bodoh? Jawabannya: kecerdasan akademis sedikit saja kaitannya
dengan kehidupan emosional. Yang paling cerdas di antara kita dapat terperosok
ke dalam nafsu yang tak terkendali dan impuls meledak-ledak; orang dengan IQ
tinggi dapat menjadi pilot yang tak cakap (bodoh) dalam kehidupan pribadi
mereka.
Salah
satu rahasia psikologi yang telah menjadi makanan umum adalah ketidakmampuan
relatif nilai-nilai- IQ, atau SAT (school aptitude test, Tes Bakat)-, kendati
daya tarik tes-tes tersebut amat besar, untuk meramalkan dengan tepat
siapa-siapa yang akan berhasil dalam kehidupan. Yang jelas, ada suatu kaitan
antara IQ dan lingkungan tempat tinggal bagi kelompok-kelompok besar secara
keseluruhan: banyak orang yang ber-IQ amat rendah pada akhirnya mendapat
pekerjaan-pekerjaan kasar, dan orang-orang ber-IQ tinggi cenderung menjadi pegawai
bergaji besar-tetapi tidak selalu demikian.
Ada
banyak perkecualian terhadap pemikiran yang menyatakan bahwa IQ meramalkan
kesuksesan-banyak (atau lebih banyak) pengecualian daripada kasus yang cocok
dengan pemikiran itu. Setinggi-tingginya, IQ menyumbang 20 % bagi faktor faktor
yang menentukan sukses dalam hidup, maka yang 80 % diisi oleh kekuatan-kekuatan
lain. Seorang pengamat menyatakan “Statua akhir seseorang dalam masyarakat pada
umumnya ditentukan oleh faktor-faktor bukan IQ, melainkan oleh kelas sosial
hingga nasib.”
Bahkan
Richard Herrnstein dan Charles Murray, yang dalam bukunya The Bell Curve
menaruh bobot penting pada IQ, ia mengakui hal ini; seperti yang mereka
utarakan, “Barangkali seorang mahasiswa tingkat satu dengan nilai matematika
500 pada SAT, lebih baik tidak memutuskan untuk menjadi ahli matematika, tetapi
sebagai penggantinya menjalankan usaha sendiri, menjadi senator Amerika
Serikat, atau meraup sejuta dolar, ia sebaiknya tidak mengesampingkan
impian-impiannya itu......kaitan antara niali tes dan tingkat prestasi menjadi
sempit mengingat keseluruhan ciri-ciri lain yang dibawanya dalam kehidupan.
Perhatian
saya tertuju pada frase “ciri-ciri lain”, kecerdasan emosional.; yakni
kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan
menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, dan tidak melebih-lebihkan
kesenangan: mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak
melumpuhkan kemampuan berfikirnya, berempati dan berdoa. Berbeda dengan IQ yang
penelitian mengenainya telah berumur hampir seratus tahun atas ratusan ribu
orang, kecerdasan emosional merupakan konsep baru. Sampai sekarang belum ada
yang dapat menjelaskan dengan tepat sejauh mana variasi yang ditimbulkannya
atas perjalanan hidup seseorang. Tetapi, data yang ada mengisyaratkan bahwa
kecerdasan emosional dapat sama ampuhnya, dan terkadang lebih ampuh daripada
IQ.
Comments
Post a Comment