MABUK: HUKUMNYA DALAM PANDANGAN AHLI MADZHAB FIQIH YANG EMPAT
Hilman Fitri
Syariat Islam melarang minuman khamar (minuman keras) sendiri, baik
sampai mengakibatkan mabuk atau tidak. Minum khamar termasuk jarimah hudud dan
dihukum dengan delapan puluh jilid sebagai hukuman pokok.
Selain Imam Abu Hanifah beserta murid muridnya, para fuqaha sudah bulat
pendapatnya bahwa minuman yang memabukkan dalam jumlah banyak maka sekalipun
jumlah sedikit yang diminum tetap dilarang, dan dihukum baik bernama khamar
atau tidak.
Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah harus dibedakan antara khamar
dengan minuman keras lain. Untuk minum khamar baik mabuk atau tidak mabuk dihukum,
sedang untuk minuman keras selain khamar baru baru dihukum apabila sampai
memabukkan. Bahan minuman khamar menurut dia adalah perasan anggur jang direbus
sampai kurang dari dua pertiganya menjadi hilang.
Bahan-bahan pembius seperti candu dipersamakan dengan minuman
keras. Akan tetapi tidak dikenakan hukuman had karena hukuman had ini, hanya
dikenakan terhadap kemabukan karena minum minuman keras, melainkan dikenakan
hukuman ta’zir.
Menurut imam Abu Hanifah, pengertian mabuk ialah hilangnya akal
fikiran sebagai akibat minum minuman keras atau yang sejenisnya. Seseorang sudah
dianggap mabuk, apabila ia telah kehilangan akal fikirannya, baik banyak atau
sedikit serta tidak dapat membedakan antara langit dengan bumi atau antara
orang lelaki dengan orang perempuan.
Mengenai pertanggungjawaban pidana bagi orang yang mabuk, maka
menurut pendapat yang kuat dari kalangan empat madzhab fikih, yaitu bahwa dia
tidak dijatuhi hukuman atas jarimah jarimah yangdiperbuatnya, jika ia dipaksa
(terpaksa) minum atau meminumnya atas kehendak sendiri, tetapi ia tidak
mengetahui keadaan sebenarnya tentang apa yang diminumnya; atau ia minum obat
tetapi kemudian memabukkannya; sebab orang yang mabuk tersebut ketika melakukan
perbuatannya sedang hilang akal fikirannya, dan dengan demikian maka hukumannya
sama dengan orang gila atau tidur.
Adapun orangyang minum minuman keras karena kemauan sendiri tanpa
sesuatu alas an atau meminumnya sebagi obat yang sebenarnya tidak diperlukan,
kemudian ia mabuk, maka ia harus bertanggungjawab atas setiap jarimah yang
diperbuat selama mabuknya itu sebagai tindakan pengajaran baik disengaja atau
tidak disengaja karena ia telah mengjhilangkan akalnya oleh dirinya sendiri.
Sikap hokum pidana RPA sama dengan pendapat yang kuat dikalangan
fuqaha yaitu tidak menjatuhkan hukuman terhadap orang yang melakukan sesuatu
perbuatan sedang ia kehilangan perasaanya karena hilangnya kesadaran yang timbul
dari obat obat yang memabukkan (membiuskan) bagaimanapun jua macamnya, jika ia
secara dipaksa harus meminumnya atau tidak mengetahui keadaan obat obat
tersebut (pasal 62 KUHP RPA).
Comments
Post a Comment