Qadariyyah: Sejarah Kemunculan dan Pemikirannya
oleh Diadara S.I
Rika Purnamasari
Titin Nurlela
Euis Ernawati
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, sekali kita menemukan berbagai macam paham-paham yang dianut oleh masyarakat kita. Semua itu terjadi bukan semata-mata karena beragamnya Islam itu sendiri, akan tapi beragamnya pengertian Islam dari berbagai penganutnya. Setiap pemikiran akan berdampak pada pemeluknya sehingga menyebabkan fanatisme yang berlebih untuk membela apa yang mereka yakini. Tak ayal kita sering melihat terjadi perselisihan antara pengikut paham tertentu dengan pengikut paham lainnya. Pengetahuan tentang paham-paham yang beredar di Indonesia umumnya ataupun sekeliling kita. Khususnya, haruslah kita mampu mengetahuinya bukan untuk mengendorkan iman kita tapi untuk menambah iman kita. Perlahan tapi pasti hanya keimanan dan kataqwaan pada Allah SWT yang mampu menyelamatkan kita dan mampu membawa kita bertemu dengan Dzat yang selalu kita harapkan untuk bertemu dengannya.
Seiring dengan adanya paham-paham dikalangan umat islam terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan ada pula ayat yang menunjukkan bahwa segala yang terjadi itu ditentukan oleh Allah, bukan kewenangan manusia. Dari perbedaan pendapat inilah lahir aliran Qadaryiah dan Jabariyah. Aliran Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan kata lain manusia mempunya qudrah (kekuatan atas perbuatannya). Sedangkan Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan kehendak dalam menentukan perbuatannya. Kalaupun ada kehendak dan kebebasan yang dimiliki manusia, kehendak dan kebebasan tersebut tidak memiliki pengaruh apapun, karena yang menentukannya adalah kehendak Allah semata.
Kedua aliran ini masing-masing bersandar kepada ayat-ayat al-Quran. Qadariyah antara lain bersandar pada surat al-Mudatsir ayat 38 yang artinya: tiap-tiap diri bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya. Sedangkan Jabariyah bersandar pada surat al-Hadid ayat 22 yang artinya: tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan didalam buku sebelum kami wujudkan . Dalam sejarah teologi Islam, paham Qadariyah selanjutnya dianut oleh kaum Mu’tazilah, sedangkan paham Jabariyah terdapat dalam aliran Asy’ariah. Maka dalam makalah ini akan di bahas mengenai paham qodariah dimulai dengan apa itu paham qodariah, sejarah serta tokohnya.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, kami merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan paham qodariah?
2. Bagaimana sejarah lahirnya qodariah?
3. Siapakah tokoh dari aham Qodariah?
C. Tujuan makalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui:
1. Paham qodariah secara jelas;
2. Sejarah lahirnya paham qodariah;
3. Tokoh qodariah
D. Manfaat
Makalah ini di susun dengan harapan memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan dalam pembahasan paham qodariah. Secara praktis makalah ini bermanfaat bagi:
1. Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan konsep keilmuan khususnya tentang pengetahuan paham qodariah, serta untuk mengilustrasikan pemahaman penulis tentang permasalahan yang sedang dibahas. Dapat menunjukan kemampuan pemahaman penulis terhadap isi dari sumber yang digunakan. Untuk menunjukan kemampuan penulis dalam menerapkan suatu prosedur,prinsip,atau teori yang berhubungan dengan perkuliahan
2. Pembaca, sebagai media informasi dan menambah wawasan pembaca khususnya mengenai faham qadariah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qodariah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata قَدَرَ yang artinya kuasa, kemampuan dan kekuatan. Secara terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan . Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution (1986:31) menegaskan bahwa “kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.”
Menurut Abdul Aziz bin Abdillah dalam kitabnya Syarah Al-Aqidah At-Tohawiyah halaman 178 juz 1 menyatakan bahwa :
مذهب القدرية، ومن أصولهم نفي خلق الفعل مطلقا نفي خلق الفعل يقولون: أفعال العباد ليست مخلوقة لله أفعالهم من خير وشر وطاعة ومعصية لم يقدرها الله ولم يشأها ولم يخلقها، وغلاة القدرية والرافضة أنكروا أن الله عالم بالأزل
Mazhab qodariah, diantara pokok aqidah mereka yaitu meniadakan penciptaan perbuatan secara mutlak, mereka berkata: perbuatan seorang hamba bukan diciptakan oleh Allah. Perbuatan mereka baik itu perbuatan baik, perbuatan buruk, ketaatan, kemaksiatan itu semua tidak ditakdirkan dan dikehendaki serta tidak diciptakan oleh Allah, adapun sikap extrim dari paham qodariah dan rofidah mereka mengingkari bahwa Allah mengetahui dengan ketetapan azali.
Dengan demikian, Qodariah adalah suatu golongan yang menyatakan bahwa pada dasarnya segala perbuatan- perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, tidak ada campur tangan Allah, dengan kata lain mereka merupakan kelompok yang menolak serta tidak percaya adanya qadar (ketetapan Tuhan) terhadap segala urusan atau perkara.dalam paham Qodariah mereka berpendapat bahwa manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan- perbuatan atas kehendaknya sendiri dan manusia pula yang melakukan atau tidaknya perbuatan- perbuatan jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri. Dan dalam ajarannya, aliran Qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksankan kehendaknya itu.
B. Sejarah / Awal kemunculan Qadariyah
Harun Nasution (1986:32), Tidak diketahui dengan pasti kapan faham qadariah ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi islam. Tetapi menurut keterangan ahli-ahli teologi islam, faham qadariah ini disebarkan pertama kali oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasqy. Faham ini diambil dari seseoarang yang beragama Kristen yang masuk Islam di Irak. Dan menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah seorang Tabi’I yang baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak ‘Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as, Gubernur Saijistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj ma’bad mati terbunuh dalam tahun 80-H.
Setelah Ma’bad wafat, paham ini terus disebarluaskan oleh Ghailan al-Dimasqy , maka dengan usahanya Qadariah berkembang sampai ke Damaskus Iran. Ketika ia menyebarluaskan paham Qadariah ini, ia mendapat tantangan dari Khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz untuk berdebat dengan Auza’i yang pada akhirnya dia menyerah kalah, namun setelah ‘Umar wafat ia kembali menyebarkan ajarannya. Khalifah bin Abdul Malik memanggilnya untuk berdebat dengan Imam al-Auza’i. Dan untuk yang kedua kalinya iapun kembali menyerah, yang akhirnya khalifah Hisyam ‘Abd al-Malik memerintah supaya dia ditangkap dan dijatuhi hukuman bunuh.
Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan- perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan- perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia
sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan- perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam faham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Demikian pula ketika ia berbuat jahat, itu pun jadi, dalam paham in atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Jadi menurut paham ini, nasib serta perbuatan- perbuatan yang dilakukan manusia, tidak serta merta hanya ditentukan berdasarkan nasibnya yang telah ditentukan semenjak zaman azali.
Adapun menurut Yusran Asmuni (1993:108), madzhab Qadariah ini muncul sekitar tahun 70 H (689). Pada dasarnya, ajaran Qadariah ini tidaklah jauh berbeda dengan ajaran mu’tazilah. Mereka memiliki pemikiran yang sama mengenai beberapa hal, misalnya, manusia mampu melakukan atau mewujudkan suatu tindakan tanpa campur tangan tuhan. Dan mereka pun menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah SWT. Tokoh utama Qadariah ialah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasyqi tentang qadar. Semasa hidupnya Ma’bad Al-Juhani berguru kepada Hasan Al-Basri, sebagaimana Washil bin Atha, tokoh pendiri Mu’tazilah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua setelah Nabi. Sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang yang tertarik dengan pendapat yang dituturkannya. Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh. Ma’bad Al-Juhani terbunuh dalam pertempuran melawan Al-Hajjaj tahun 80 H. ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung gubernur Sajistan, Abdurrahman Al Asy’ts, menentang kekuasaan Bani Umayyah. Sedangkan Ghailan Al-Dimasyqi dibunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/724-743M), Khalifah Dinasti Umawiyyah kesepuluh. Hukuman bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus menyebar laskan paham qadariyah yang dinilai membahayakan pemerintah. Ghailan gigih menyiarkan paham qadariyah di Damaskus sehingga mendapat tekanan dari khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M). meskipun mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan aktifitasnya hingga Umar wafat dan diganti oleh Zayyid II (720-724M). baru pada pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (724-743M) kegiatan Ghailan terhenti dengan eksekusi hukuman mati yang dijtuhkan kepadanya.
Sementara itu Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Ubun, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen yang kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen yang dianutnya semula. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini . Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana yang dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.
Paham ini mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, mereka merasa diri mereka lemah dan tidak mampu menghadapi kesulitan hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya.. Sehingga ketika faham qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya karena dianggap bertentangan dengan Islam. Kedua, tantangan dari pemerintah, karena para pejabat pemerintahan menganut faham jabariyah. Pemerintah menganggap faham qadariyah sebagai suatu usaha untuk menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang dapat mengakibatkan rakyat mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan. Sumber : http://irvanzaky.blogspot.com/2011/03/sejarah-qadariyah.html
Dari ketiga pendapat diatas yang berkaitan dengan persoalan pertama kalinya qadariyah muncul, terdapat beberapa perbedaan. Akan tetapi, dari pendapat- pendapat diatas dapat disimpulkan, bahwa tokoh paham qodariah ini adalah Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasqy. Dan pada semasa hidupnya Ma’bad Al-Juhani berguru kepada Hasan Al-Basri, sebagaimana Washil bin Atha, tokoh pendiri Mu’tazilah. Jadi, karena tokoh pendiri Qadariah dan Mut’tazilah memiliki guru yang sama, yakni Hassan Al- Basri, mungkin karena persamaan inilah yang mengakibatkan dikemudian hari ditemukan beberapa persaaan antara Qadariah dan Mu’tazilah. Paham Qodariah disebarkan olehnya di Irak dalam waktu yang relatife pendek. Meskipun demikian, hasil yang diperolehnya cukup besar dan gemilang. Banyak orang yang tertarik dan menganut pahamnya.
Setelah Ma’bad wafat, paham ini disebarluaskan oleh Ghailan al-Dimasqy , maka dengan usahanya Qadariah berkembang sampai ke Iran. Yang pada akhirnya ia dijatuhi hukuman mati oleh Hisyam ‘Abd al-Malik, karena membawa ajaran yang bertentangan dengan islam setelah sebelumnya Khalifah bin Abdul Malik memerinta al-Auza’i untuk berdebat dengannya. Lalu setelah kedua tokoh tersebut wafat, paham Qodariah terus dikembangkan oleh para pengikutnya, dan bersamaan dengan itu, lahir pula satu paham lain, yaitu Jabariah bertolak belakang dengan Qodariah. Karena paham Qodariah yang pokok ajarannya antara lain manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak (qudrah) dan memilih atau berkehendak (iradah). Oleh karena itu manusialah yang menentukan perbuatannya, apakah ia ingin melakukan kebaikan atau kejahatan. Manusia pulalah yang mempertanggungjawabkan perbuatannya itu dihadapan Allah SWT. Padahal kita telah mengetahui bahwa manusia hanyalah bisa berusaha, karena manusia memang diberi hak untuk berusaha tetapi Allah lah yang menentukan berhasil atau tidaknya sesuai dengan usaha kita.
C. Pokok- pokok ajaran paham Qadariah
Asyahrastany (548 H: 43) menyatukan pembahasan masalah Qadariyah dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.
Manusia Mempunyai Qudroh
Ali Mushthafa Al Gurobi menyatakan “bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah memberi beban kepada manusia, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan kesia-siaan itu bagi Allah itu adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi”.
Pemahaman yang dimiliki Qodariyah ditujukan kepada qudrat yang dimiliki manusia. Namun terdapat perbedaan antara qudrat manusia dengan qudrat Tuhan. Qudrat Tuhan bersifat abadi, kekal, berada pada zat Allah, tunggal, tidak berbilang. Sedangkan qudrat manusia adalah sementara, berproses, bertambah dan berkurang, dapat hilang.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendiri pula melakukan atau menjauhi perbuatan atau kemampuan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain , An-Nazzam , mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya dan ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan diatas ,dapat di pahami bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memproleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Pendapat Aliran Qodariyah Tentang Taqdir
Paham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu,yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya,manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan sejak azali terhadap dirinya.Dalam faham Qadariyah,takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya,sejak azali,yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah. Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat,itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri ,bukan akhir Tuhan.Sungguh tidak pantas,manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah mailiki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah yang mampu mambawa barang beratus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif, demikian pula anggota tubuh lainnya yang dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu ,dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil. Manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan. Sehingga ia juga dapat berenang di laut lepas. Demikian juga manusia juga dapat membuat benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui adalah sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia ? siapa yang membatasi daya imajinasi manusia? Atau dengan pertanyaan lain, dimana batas akhir kreativitas manusia?
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an yang mendukung pendapat ini.
http : //hasby-hasbykacff.blogspot.com/2010/10/makalah-qodariyah.html
D. Dalil- dalil yang mendukung dan menentang paham Qadariah
a. Dalil yang mendukung dasar pemikiran paham Qadariah adalah:
- (Q.S ar-radd:11)
“sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”
- (Q.S al- mudatsir :38)
“. tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”
- (Q.S Al- kahf :29)
dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
b. Dalil yang menentang paham Qadariah
Ketika paham Qadariyah timbul pertama kali yang dibawa oleh orang-orang Islam non-Arab, menimbulkan kegoncangan pikiran masyarakat Islam Arab yang semula berpaham fatalisme yang karena kondisi alamnya yang demikian keras. Untuk itu mereka menentang paham Qadariyah dengan ungkapan :
القدرية مجوس هذه الأمة
“Kaum qodariah merupakan Majusi umat Islam”, (dalam arti golongan yang tersesat)
فى كتاب اللباب في علوم الكتاب المؤلف أبو حفص سراج الدين عمر بن علي بن عادل الحنبلي الدمشقي النعماني:وأما قوله - عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام ُ -: «القَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الأمة» فإِن أريد بالأمة المرسل إليهم مطلقاً كالقَوْم، فالقدرية في زمانه هم المشركون المنكرون قدرته على الحوادث، فلا يدخل فيهم المعتزلة. وإن كان المراد بالأمة من آمن به - عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام ُ - فمعناه أن نسبة القدرية إليهم كنسبة المَجُوس إلى الأمة المتقدمة، فإن المجوس أضعفُ الكَفَرَة المتقدمين شبهةً وأشدّهم مخالفةً للعقل، وكذا القدرية في هذه الأمة وكونهم كذلك لا يقتضي الجَزْم بكونهم في النار. فالحق أن القدريَّ هو الذي يُنْكِر قدرةَ الله تَعَالَى.
- (Q.S Ash-Shofat : 96)
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
- (Q.S Al-Insan : 30)
“dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”- (Q.S Al-Anfal : 17)
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Rika Purnamasari
Titin Nurlela
Euis Ernawati
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, sekali kita menemukan berbagai macam paham-paham yang dianut oleh masyarakat kita. Semua itu terjadi bukan semata-mata karena beragamnya Islam itu sendiri, akan tapi beragamnya pengertian Islam dari berbagai penganutnya. Setiap pemikiran akan berdampak pada pemeluknya sehingga menyebabkan fanatisme yang berlebih untuk membela apa yang mereka yakini. Tak ayal kita sering melihat terjadi perselisihan antara pengikut paham tertentu dengan pengikut paham lainnya. Pengetahuan tentang paham-paham yang beredar di Indonesia umumnya ataupun sekeliling kita. Khususnya, haruslah kita mampu mengetahuinya bukan untuk mengendorkan iman kita tapi untuk menambah iman kita. Perlahan tapi pasti hanya keimanan dan kataqwaan pada Allah SWT yang mampu menyelamatkan kita dan mampu membawa kita bertemu dengan Dzat yang selalu kita harapkan untuk bertemu dengannya.
Seiring dengan adanya paham-paham dikalangan umat islam terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan ada pula ayat yang menunjukkan bahwa segala yang terjadi itu ditentukan oleh Allah, bukan kewenangan manusia. Dari perbedaan pendapat inilah lahir aliran Qadaryiah dan Jabariyah. Aliran Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan kata lain manusia mempunya qudrah (kekuatan atas perbuatannya). Sedangkan Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan kehendak dalam menentukan perbuatannya. Kalaupun ada kehendak dan kebebasan yang dimiliki manusia, kehendak dan kebebasan tersebut tidak memiliki pengaruh apapun, karena yang menentukannya adalah kehendak Allah semata.
Kedua aliran ini masing-masing bersandar kepada ayat-ayat al-Quran. Qadariyah antara lain bersandar pada surat al-Mudatsir ayat 38 yang artinya: tiap-tiap diri bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya. Sedangkan Jabariyah bersandar pada surat al-Hadid ayat 22 yang artinya: tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan didalam buku sebelum kami wujudkan . Dalam sejarah teologi Islam, paham Qadariyah selanjutnya dianut oleh kaum Mu’tazilah, sedangkan paham Jabariyah terdapat dalam aliran Asy’ariah. Maka dalam makalah ini akan di bahas mengenai paham qodariah dimulai dengan apa itu paham qodariah, sejarah serta tokohnya.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, kami merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan paham qodariah?
2. Bagaimana sejarah lahirnya qodariah?
3. Siapakah tokoh dari aham Qodariah?
C. Tujuan makalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui:
1. Paham qodariah secara jelas;
2. Sejarah lahirnya paham qodariah;
3. Tokoh qodariah
D. Manfaat
Makalah ini di susun dengan harapan memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan dalam pembahasan paham qodariah. Secara praktis makalah ini bermanfaat bagi:
1. Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan konsep keilmuan khususnya tentang pengetahuan paham qodariah, serta untuk mengilustrasikan pemahaman penulis tentang permasalahan yang sedang dibahas. Dapat menunjukan kemampuan pemahaman penulis terhadap isi dari sumber yang digunakan. Untuk menunjukan kemampuan penulis dalam menerapkan suatu prosedur,prinsip,atau teori yang berhubungan dengan perkuliahan
2. Pembaca, sebagai media informasi dan menambah wawasan pembaca khususnya mengenai faham qadariah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qodariah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata قَدَرَ yang artinya kuasa, kemampuan dan kekuatan. Secara terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan . Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution (1986:31) menegaskan bahwa “kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.”
Menurut Abdul Aziz bin Abdillah dalam kitabnya Syarah Al-Aqidah At-Tohawiyah halaman 178 juz 1 menyatakan bahwa :
مذهب القدرية، ومن أصولهم نفي خلق الفعل مطلقا نفي خلق الفعل يقولون: أفعال العباد ليست مخلوقة لله أفعالهم من خير وشر وطاعة ومعصية لم يقدرها الله ولم يشأها ولم يخلقها، وغلاة القدرية والرافضة أنكروا أن الله عالم بالأزل
Mazhab qodariah, diantara pokok aqidah mereka yaitu meniadakan penciptaan perbuatan secara mutlak, mereka berkata: perbuatan seorang hamba bukan diciptakan oleh Allah. Perbuatan mereka baik itu perbuatan baik, perbuatan buruk, ketaatan, kemaksiatan itu semua tidak ditakdirkan dan dikehendaki serta tidak diciptakan oleh Allah, adapun sikap extrim dari paham qodariah dan rofidah mereka mengingkari bahwa Allah mengetahui dengan ketetapan azali.
Dengan demikian, Qodariah adalah suatu golongan yang menyatakan bahwa pada dasarnya segala perbuatan- perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, tidak ada campur tangan Allah, dengan kata lain mereka merupakan kelompok yang menolak serta tidak percaya adanya qadar (ketetapan Tuhan) terhadap segala urusan atau perkara.dalam paham Qodariah mereka berpendapat bahwa manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan- perbuatan atas kehendaknya sendiri dan manusia pula yang melakukan atau tidaknya perbuatan- perbuatan jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri. Dan dalam ajarannya, aliran Qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksankan kehendaknya itu.
B. Sejarah / Awal kemunculan Qadariyah
Harun Nasution (1986:32), Tidak diketahui dengan pasti kapan faham qadariah ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi islam. Tetapi menurut keterangan ahli-ahli teologi islam, faham qadariah ini disebarkan pertama kali oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasqy. Faham ini diambil dari seseoarang yang beragama Kristen yang masuk Islam di Irak. Dan menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah seorang Tabi’I yang baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak ‘Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as, Gubernur Saijistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj ma’bad mati terbunuh dalam tahun 80-H.
Setelah Ma’bad wafat, paham ini terus disebarluaskan oleh Ghailan al-Dimasqy , maka dengan usahanya Qadariah berkembang sampai ke Damaskus Iran. Ketika ia menyebarluaskan paham Qadariah ini, ia mendapat tantangan dari Khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz untuk berdebat dengan Auza’i yang pada akhirnya dia menyerah kalah, namun setelah ‘Umar wafat ia kembali menyebarkan ajarannya. Khalifah bin Abdul Malik memanggilnya untuk berdebat dengan Imam al-Auza’i. Dan untuk yang kedua kalinya iapun kembali menyerah, yang akhirnya khalifah Hisyam ‘Abd al-Malik memerintah supaya dia ditangkap dan dijatuhi hukuman bunuh.
Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan- perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan- perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia
sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan- perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam faham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Demikian pula ketika ia berbuat jahat, itu pun jadi, dalam paham in atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Jadi menurut paham ini, nasib serta perbuatan- perbuatan yang dilakukan manusia, tidak serta merta hanya ditentukan berdasarkan nasibnya yang telah ditentukan semenjak zaman azali.
Adapun menurut Yusran Asmuni (1993:108), madzhab Qadariah ini muncul sekitar tahun 70 H (689). Pada dasarnya, ajaran Qadariah ini tidaklah jauh berbeda dengan ajaran mu’tazilah. Mereka memiliki pemikiran yang sama mengenai beberapa hal, misalnya, manusia mampu melakukan atau mewujudkan suatu tindakan tanpa campur tangan tuhan. Dan mereka pun menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah SWT. Tokoh utama Qadariah ialah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasyqi tentang qadar. Semasa hidupnya Ma’bad Al-Juhani berguru kepada Hasan Al-Basri, sebagaimana Washil bin Atha, tokoh pendiri Mu’tazilah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua setelah Nabi. Sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang yang tertarik dengan pendapat yang dituturkannya. Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh. Ma’bad Al-Juhani terbunuh dalam pertempuran melawan Al-Hajjaj tahun 80 H. ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung gubernur Sajistan, Abdurrahman Al Asy’ts, menentang kekuasaan Bani Umayyah. Sedangkan Ghailan Al-Dimasyqi dibunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/724-743M), Khalifah Dinasti Umawiyyah kesepuluh. Hukuman bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus menyebar laskan paham qadariyah yang dinilai membahayakan pemerintah. Ghailan gigih menyiarkan paham qadariyah di Damaskus sehingga mendapat tekanan dari khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M). meskipun mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan aktifitasnya hingga Umar wafat dan diganti oleh Zayyid II (720-724M). baru pada pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (724-743M) kegiatan Ghailan terhenti dengan eksekusi hukuman mati yang dijtuhkan kepadanya.
Sementara itu Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Ubun, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen yang kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen yang dianutnya semula. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini . Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana yang dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.
Paham ini mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, mereka merasa diri mereka lemah dan tidak mampu menghadapi kesulitan hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya.. Sehingga ketika faham qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya karena dianggap bertentangan dengan Islam. Kedua, tantangan dari pemerintah, karena para pejabat pemerintahan menganut faham jabariyah. Pemerintah menganggap faham qadariyah sebagai suatu usaha untuk menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang dapat mengakibatkan rakyat mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan. Sumber : http://irvanzaky.blogspot.com/2011/03/sejarah-qadariyah.html
Dari ketiga pendapat diatas yang berkaitan dengan persoalan pertama kalinya qadariyah muncul, terdapat beberapa perbedaan. Akan tetapi, dari pendapat- pendapat diatas dapat disimpulkan, bahwa tokoh paham qodariah ini adalah Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasqy. Dan pada semasa hidupnya Ma’bad Al-Juhani berguru kepada Hasan Al-Basri, sebagaimana Washil bin Atha, tokoh pendiri Mu’tazilah. Jadi, karena tokoh pendiri Qadariah dan Mut’tazilah memiliki guru yang sama, yakni Hassan Al- Basri, mungkin karena persamaan inilah yang mengakibatkan dikemudian hari ditemukan beberapa persaaan antara Qadariah dan Mu’tazilah. Paham Qodariah disebarkan olehnya di Irak dalam waktu yang relatife pendek. Meskipun demikian, hasil yang diperolehnya cukup besar dan gemilang. Banyak orang yang tertarik dan menganut pahamnya.
Setelah Ma’bad wafat, paham ini disebarluaskan oleh Ghailan al-Dimasqy , maka dengan usahanya Qadariah berkembang sampai ke Iran. Yang pada akhirnya ia dijatuhi hukuman mati oleh Hisyam ‘Abd al-Malik, karena membawa ajaran yang bertentangan dengan islam setelah sebelumnya Khalifah bin Abdul Malik memerinta al-Auza’i untuk berdebat dengannya. Lalu setelah kedua tokoh tersebut wafat, paham Qodariah terus dikembangkan oleh para pengikutnya, dan bersamaan dengan itu, lahir pula satu paham lain, yaitu Jabariah bertolak belakang dengan Qodariah. Karena paham Qodariah yang pokok ajarannya antara lain manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak (qudrah) dan memilih atau berkehendak (iradah). Oleh karena itu manusialah yang menentukan perbuatannya, apakah ia ingin melakukan kebaikan atau kejahatan. Manusia pulalah yang mempertanggungjawabkan perbuatannya itu dihadapan Allah SWT. Padahal kita telah mengetahui bahwa manusia hanyalah bisa berusaha, karena manusia memang diberi hak untuk berusaha tetapi Allah lah yang menentukan berhasil atau tidaknya sesuai dengan usaha kita.
C. Pokok- pokok ajaran paham Qadariah
Asyahrastany (548 H: 43) menyatukan pembahasan masalah Qadariyah dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.
Manusia Mempunyai Qudroh
Ali Mushthafa Al Gurobi menyatakan “bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah memberi beban kepada manusia, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan kesia-siaan itu bagi Allah itu adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi”.
Pemahaman yang dimiliki Qodariyah ditujukan kepada qudrat yang dimiliki manusia. Namun terdapat perbedaan antara qudrat manusia dengan qudrat Tuhan. Qudrat Tuhan bersifat abadi, kekal, berada pada zat Allah, tunggal, tidak berbilang. Sedangkan qudrat manusia adalah sementara, berproses, bertambah dan berkurang, dapat hilang.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendiri pula melakukan atau menjauhi perbuatan atau kemampuan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain , An-Nazzam , mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya dan ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan diatas ,dapat di pahami bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memproleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Pendapat Aliran Qodariyah Tentang Taqdir
Paham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu,yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya,manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan sejak azali terhadap dirinya.Dalam faham Qadariyah,takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya,sejak azali,yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah. Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat,itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri ,bukan akhir Tuhan.Sungguh tidak pantas,manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah mailiki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah yang mampu mambawa barang beratus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif, demikian pula anggota tubuh lainnya yang dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu ,dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil. Manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan. Sehingga ia juga dapat berenang di laut lepas. Demikian juga manusia juga dapat membuat benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui adalah sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia ? siapa yang membatasi daya imajinasi manusia? Atau dengan pertanyaan lain, dimana batas akhir kreativitas manusia?
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an yang mendukung pendapat ini.
http : //hasby-hasbykacff.blogspot.com/2010/10/makalah-qodariyah.html
D. Dalil- dalil yang mendukung dan menentang paham Qadariah
a. Dalil yang mendukung dasar pemikiran paham Qadariah adalah:
- (Q.S ar-radd:11)
“sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”
- (Q.S al- mudatsir :38)
“. tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”
- (Q.S Al- kahf :29)
dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
b. Dalil yang menentang paham Qadariah
Ketika paham Qadariyah timbul pertama kali yang dibawa oleh orang-orang Islam non-Arab, menimbulkan kegoncangan pikiran masyarakat Islam Arab yang semula berpaham fatalisme yang karena kondisi alamnya yang demikian keras. Untuk itu mereka menentang paham Qadariyah dengan ungkapan :
القدرية مجوس هذه الأمة
“Kaum qodariah merupakan Majusi umat Islam”, (dalam arti golongan yang tersesat)
فى كتاب اللباب في علوم الكتاب المؤلف أبو حفص سراج الدين عمر بن علي بن عادل الحنبلي الدمشقي النعماني:وأما قوله - عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام ُ -: «القَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الأمة» فإِن أريد بالأمة المرسل إليهم مطلقاً كالقَوْم، فالقدرية في زمانه هم المشركون المنكرون قدرته على الحوادث، فلا يدخل فيهم المعتزلة. وإن كان المراد بالأمة من آمن به - عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام ُ - فمعناه أن نسبة القدرية إليهم كنسبة المَجُوس إلى الأمة المتقدمة، فإن المجوس أضعفُ الكَفَرَة المتقدمين شبهةً وأشدّهم مخالفةً للعقل، وكذا القدرية في هذه الأمة وكونهم كذلك لا يقتضي الجَزْم بكونهم في النار. فالحق أن القدريَّ هو الذي يُنْكِر قدرةَ الله تَعَالَى.
- (Q.S Ash-Shofat : 96)
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
- (Q.S Al-Insan : 30)
“dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”- (Q.S Al-Anfal : 17)
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Comments
Post a Comment