Mu'tazilah: Sejarah Kemunculan dan Pemikirannya

oleh
Balebat Kania Sari
Eka Aniska
Sagita Oktafina
Roufah Nur Maulina Bahij
A. Pengertian Mu’tazilah
Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab yang dalam tatanan ilmu shorof menempati posisi sebagai fiil madhi yaitu I’tazala. Adapun kata i’tazala sendiri memiliki 3 arti, yaitu: memisahkan diri, manjauhkan diri dan menyalahi pendapat orang lain.
1. I’tazala yang memiliki arti memisahkan diri
Pada waktu itu Wasil bin Ata dan ‘Amr bin Ubaid memisahkan diri dari pengajian yang diadakan oleh Hasan Basri di salah satu mesjid yang ada di Basrah, kemudian membentuk jama’ah pengajian sendiri. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat antaran Hasan Basri dengan kedua tokoh mu’tazilah tersebut, terkait orang yang telah melakukan dosa besar. Hasan Basri termasuk orang yang menentang keras pelaku maksiat apalagi yang sudah melewati norma-norma kemanusiaan. Sedangkan menurut pandangan Wasil dan Amr, orang yang telah melakukan dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai seorang kafir, tidak juga bisa disebut mu’min yang kaffah. Namun, ia ada diantara keduanya. Oleh karena itulah muncul istilah mu’tazilah (memisahkan diri) yang dialamatkan kepada Wasil bin Ata dan Amr bin Ubaid.
2. I’tazala yang berarti menjauhkan diri
Dalam riwayat lain, i’tazala ini diartikan menjauhkan diri. Selintas kata memisahkan diri dengan menjauhkan diri terlihat sama. Akan tetapi diantara keduanya terdapat perbedaan. Pada riwayat yang pertama sebab disebut mu’tazilah (memisahkan diri) lebih pada lahiriah alias mereka memisahkan diri atau menjauh secara jasmani. Sedangkan dalam riwayat yang tengah kita bahas di poin dua ini, sebabnya pada maknawi, menjauhkan makna suatu hukum yang banyak dipertentangkan oleh beberapa aliran pada saat itu. Dapat kita lihat perbedaan pandangan diantara para ahli aliran-aliran waktu itu terkait pelaku dosa besar, yaitu sebagai berikut: Golongan Murjiah berpendapat ia tetap mu’min; Khawarij Azariqah berpandangan dia menjadi kafir; Hasan Basri beranggapan orang tersebut termasuk golongan munafik. Adapun menurut mu’tazilah sendiri, berbeda dengan semua golongan yang telah disebutkan di atas, bahwasannya orang yang telah melakukan dosa besar dihukumi sebagai orang fasik.
3. I’tazala yang bermakna menyalahi pendapat orang lain
Mu’tazilah adalah sebuah sebutan yang diberikan orang-orang di zaman itu, disebabkan oleh pandangan mereka tentang pelaku maksiat. Menurut orang mu’tazilah orang yang berbuat dosa ialah orang yang menjauhi golongan mu’min dan menjauhi golongan kafir. Bedanya i’tazala yang dipaparkan pada poin ini dengan yang sebelumnya adalah pada sesi ini beranggapan bahwa kemu’tazilahan muncul dari orang-orangnya sendiri yang suka berbuat dosa, sehingga mereka bermaksud untuk menutupi kesalahan mereka dengan membuat statment seperti yang telah disebutkan di atas. Sedangkan di poin yang kedua mu’tazilah itu nama sifat yang menyifati mereka yang memiliki perbedaan pendapat dengan golongan yang lainnya. Karena itulah mutazilah disebut menyalahi pendapat orang lain atau menyalahi pendapat golongan lainnya.
B. Sejarah Mu’tazilah
Mu’tazilah ialah aliran teologi islam paling senior dibandingkan dengan aliran-aliran lainnya. Aliran ini juga yang terbesar di sepanjang sejarah teolog islam. Dalam sejarah pemikiran dunia islam pun mu’tazilah berperan penting. Kalau kita ingin mengetahui filsafat islam yang sebenarnya, disarankan untuk membaca buku-buku karangan orang mu’tazilah, bukan buku-buku yang di dalamnya menjabarkan filosof-filosof islam serta pemahamannya. Karena aliran mu’tazilahlah yang membahas filsafat islam terkait agama dan sejarahnya.
Kota Basrah (Irak) menjadi saksi bisu terlahirnya aliran mu’tazillah. Hal itu terjadi sekitar permulaan abad pertama Hijrah. Yang mana kota tersebut terkenal sebagai pusat keilmuan dan peradaban Islam pada masa itu. Selain itu, kota Basrah yang sekarang bernama Irak, juga dijadikan sebagai tempat pertukaran budaya asing serta pertemuan berbagai agama. Ketika itu kondisi umat islam sedang terguncang dengan adanya gangguan dari orang-orang yang berambisi untuk menghancurkan islam, khususnya dalam segi aqidah. Sulitnya lagi orang yang mengganggu kedamaian islam tersebut bukan hanya dari orang kafir, akan tetapi dari orang yang mengaku islam juga turut mengacaukan agamanya. Karena memang semenjak islam mengalami perluasan, banyak bangsa-bangsa yang tertarik untuk masuk islam serta hidup bernaung di dalamnya.
Walaupun pemeluk agama islam sudah banyak pada masa itu, tidak menjamin kedamaian akan tercipta tanpa ada pemberontakan sedikit pun. Orang islam yang membuat kekacauan dalam agamanya sendiri ialah orang yang memeluk agama islamnya tidak menyeluruh. Ketika itu orang yang masuk islam memiliki motif yang berbeda-beda. Ada yang ikhlas sepenuh hatinya. Ada pula yang tidak ikhlas memasuki addinul haq yang selama ini kita anut. Penganut islam yang tidak didasarkan keikhlasan ini, sangat kentara pada masa awal pemerintahan khilafat umawi. Hal itu disebabkan oleh khalifah-khalifahnya memonopoli kekuasaan negara. Imbasnya mengenai orang islam dan bangsa arab tentunya. Akibat ulahnya para khalifah umawi pada waktu itu, menjadikan orang-orang arab membenci mereka dan menimbulkan niat buruk untuk menghancurkan islam, sebab islam menjadi power psikis (mental) bagi para khalifah.
Seiring dengan lahirnya mu’tazilah, di arab sendiri sudah banyak golongan-golongan islam yang pemikirannya agak kontroversi dengan islam yang dulu ada di zaman Rasul, diantaranya:
1. Rafidah; golongan syi’ah ekstrim yang sudah banyak dimasuki unsur-unsur kepercayaan, yang sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam.
2. Manu; aliran agnostik yang banyak terdapat di sekitar Kufah dan Basrah.
3. Tasawuf-hulul (inkarnasi); kepercayaan bahwa Tuhan juga berdiam di manusia. Dalam kata lain menganggap manusia sebagai Tuhan.
Aliran mu’tazilah mulai berkembang pesat ketika mereka menjawab persoalan tuhan pada diri manusia dengan jawaban bahwasannya Tuhan tidak mungkin menjadi makhluk, karena Ia sendirilah pencipta makhluk. Lalu jika Tuhan makhluk, siapa pencipta Tuhan?, intinya mereka membuat pernyataan imposibility. Mereka pun memiliki paham dan cara beribadah yang berbeda dengan golongan-golongan yang telah kami sebutkan di atas.
Menurut Ahmad Amin, sebelum masa Hasan Basri, sebutan Mu’tazilah sudah muncul sekitar 100 tahunan. Sebutan Mu’tazilah pada masa Wasil bin Ata, ‘Amr bin Ubaid dan rekan-rekannya, hanya menghidupkan kembali sebutan lama yang sempat menghilang. Secara logika tidak masuk akal sebutan Mu’tazilah muncul hanya karena berpindahnya Wasil bin Ata dari satu sudut mesjid ke sudut yang lain. Riwayat tersebut diperlemah lagi dengan adanya riwayat lain yang menyebutkan, bahwasannya pengajian yang tengah diadakan saat berpalingnya Wasil dan ‘Amr tersebut bukan pengajian yang diselenggarakan oleh Hasan Basri melainkan oleh Qatadah. Sedangkan riwayat yang lainnya lagi berpendapat bahwa yang berpaling ketika itu, Wasil saja atau ‘Amr saja.
Mu’tazilah yang ada sebelum Hasan Basri ialah orang-orang yang tidak mengikuti pembebasan dalam sengketa antara Talhah dan Zuber dalam satu kubu sedangkan Ali.ra di kubu lainnya. Hal itu terjadi setelah wafatnya Usman r.a. Persoalan yang tengah dipersilisihkan kala itu ialah sekitar kematian Usman r.a yang diduga kasus pembunuhan serta seputar kekhilafahan Ali r.a. Walaupun permasalahan yang ada kental dengan unsur politik, tetap di dalamnya terkandung unsur agama. Karena dalam Islam, permasalahan politik, sosial, ekonomi dan segala persoalan yang ada, tidak terlepas dari tinjauan Islam. Maha Besar Allah atas segala firmanNya yang hingga hari ini masih menerangi perjalanan kita. Semoga hingga akhirat kelak rahmatNya tak terputus pada kita semua. Amin.
Jelas tercermin dari golongan yang menganut paham kebebasan tersebut, bahwasannya mereka beranggapan politik itu bercorak agama. Hal itu dapat kita lihat dalam perkataannya yang berbunyi: “Kebenaran tidak mesti berada pada salah satu pihak yang bersengketa, melainkan kedua-duanya bisa salah, sekurang-kurangnya tidak jelas siapa yang benar. Sedang agama hanya memerintahkan memerangi orang-orang yang menyeleweng. Kalau kedua golongan menyeleweng, maka kami harus menjauhkan diri (I’tazalna)” (Hanafi: 1995: 68)
C. Ajaran Utama
Lima ajaran utama yang mendasar, mahsyur dengan istilah al-Ushul al-Khamsah yaitu:
1. At-Tauhid (Pengesaan Tuhan)
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan inti faham Mu’tazilah. Bagi Mu’tazilah, hanya Allah SWT Yang Maha Esa. Kelompok ini menolak semua sifat-sifat Allah SWT dalam pengertian sesuatu yang melekat pada zat Tuhan, maka mereka sering disebut golongan Nafy as-Sifat.
Selain itu, Mu’tazilah menolak faham antromorfisme (menggambarkan Tuhan menyerupai makhluk-Nya, seperti mempunyai tangan dan wajah). Ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk fisik (ayat tajassum) harus ditakwilkan sedemikian rupa.
Faham ini juga menolak beatific vison (Tuhan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya) di akhirat nanti.
2. Al-‘Adl (Keadilan)
Paham keadilan Tuhan dalam ajaran Mu’tazilah mengandung pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil berbuat zalim kepada hambanya. Kemudian tibulah ajaran as-Salah wa al-Aslah, maksudnya Tuhan wajib berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia, diantaranya Tuhan tidak boleh memberi beban yang terlalu berat kepada manusia, Tuhan wajib mengirimkan rasul dan nabi-nabi untuk menuntun kehidupan manusia di muka bumi, dan Tuhan wajib memberikan daya pada manusia agar ia dapat mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dengan prinsip keadilan, mereka menetapkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya dan Allah mustahil berbuat lemah.
3. Al-Wa’d wa al-wa’id (Janji dan ancaman)
Mu’tazilah berkeyakinan bahwa Tuhan wajib menepati janjiNya memasukan orang mukmin ke surga dan menempati ancamannya mencampakkan orang kafir dan orang berdosa besar ke dalam neraka.
Dengan demikian, manusia bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Jika manusia memilih beriman dan berbuat baik maka kepadanya dijanjikan pahala masuk surga, sedangkan kalau mereka ingkar dan berbuat dosa, Ancaman Tuhanlah yang akan menghampiri mereka berupa neraka.naudzubillahi min dzalik.
4. Al-Manjilah bain al-Manzilatain (Posisi diantar dua posisi)
Faham ini sebagai ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan Mu’tazilah. Ajaran ini timbul setelah terjadi peristiwa antara Wasil bin Ata dan Hasan Al-basri di Basra. Bagi mu’tazilah, orang berdosa besar bukan termasuk kafir dan bukan pula mu’min, tetapi berada dintara keduanya, menempati posisi antara mu’min dan kafir, yang disebut fasik.
Karena bukan mukmin, orang yang berbuat dosa besar tidak dapat masuk surga dan tidak pula masuk neraka karena mereka bukan kafir. Yang adil, mereka ditempatkan di antara surga dan neraka.
Dengan demikian, pembuat dosa besar tidak beriman tidak pula kafir yakni fasik, bila meninggal, mereka akan dicampakkan ke dalam neraka dan kekal di dalamnya, hanya saja siksaan yang mereka diperoleh lebih ringan dibandingkan siksaan orang kafir. Inilah yang dimaksud posisi menengah antara mu’min dan kafir, itulah keadilan.
5. Al-amr bi al-ma’ruf wa an-Nahy’an al-munkar (Perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat).
Dalam prinsip Mu’tazilah, setiap muslim wajib menegakkan perbuatan yang ma’ruf dan menjauhi perbuatan yang munkar. Disamping itu, dalam sejarah pernah melakukan kekerasan dan kekuatan pemerintah yaitu pemaksaan ajaran kepada golongan lain yang dikenal dengan nama mihnah (memaksakan pendapatnya bahwa al-Quran adalah makhluk dan diciptakan Tuhan). Karena itu, al-Quran tidak qodim. Mereka yang menentang pendapat ini wajib dihukum. Itulah antara lain cara mereka menegakan Al-amr bi al-ma’ruf wa an-Nahy’an al-munkar.
D. Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
Ada banyak tokoh dan ulama mu’tazilah yang bertebaran di daulah arabiyah khususnya. Mu’tazilah terbagi menjadi dua kelompok besar saat menjalani misinya dengan sponsor daulah Abbasiyah, yaitu:
1. Cabang Bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Waashil bin Atho', Amr bin Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al 'Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syahaam, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa'i, Abu Hasyim Al Jubaa'i dan yang lain-lainnya.
2. Cabang Baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu'tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja'far bin Harb, Ja'far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al-Balkhy Al-Ka'by dan yang lain-lainnya.
Dan ada banyak kelompok-kelompok kecil dalam tubuh Mu’tazilah yang semua berdasar dari perbedaan pemikiran dalam setiap tokohnya. Yaitu:
a. Wasil Ibn ‘Atha (80 – 131 H)
Wasil adalah pemuka dan pembina aliran Mu’tazilah sebagai telah disebutkan di atas, ia adalah pendiri dan eletak dasar ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan dalam lima prinsip ajaran dasar (ushul al-khamsah). Pendapat-pendapatnya kemudian dimatangkan oleh tokoh-tokoh dan pemuka-pemuka datang kemudian seperti Abu al-Hudzail, Al-Nazhzham, Al-Jubbai dan sebagainya.
Mereka adalah pengikut abu hudzaifah washil bin ‘atho’ al- ghazzalah. Dia adalah murid imam Hasan al-bashri dan keduanya hidup dizaman khalifah Abdullah bin marwan dan Hisyam bin Abdul Malik. Golongan ini berseberangan dengan Ahlussunnah wal jama’ah pada empat perkara:
1) Mereka menafikan empat macam dari sifat Allah SWT yaitu: Al-ilmu, Al-qudroh, Al-irodah, Al-hayah. Pemikiran seperti ini mereka dapatkan setelah banyak mutola’ah dan mendalami ilmu filsafah Yunaniyah. Ulama salaf tentu tidak setuju dengan pendapat mereka ini karna memang sifat-sifat diatas ada dalam Al-Quran.
2) Pendapat mereka tentang “Qodar” Allah SWT. Dalam hal ini mereka mengikut perkataan ‘Ma’bad al-jahni ‘ dan Ghailan ad-dimisqi . Washil bin ‘atha’ sendiri pernah mengungkapkan bahwa Allah SWT adalah zat yang bijaksana dan maha tau dan tidak boleh disandarkan kepadaNya perbuatan yang tidak baik dan tidak mungkin Ia menghendaki hambaNya memperbuat sesuatu yang berlawana dengan Perintahnya, dengan kata lain pada hakikatnya perbuatan yang baik yang dikerjakan manusia itulah sebenarnya yang di kehendaki Allah sedang perbuatan buruk yang manusia kerjakan adalah kehendaknya sendiri dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Mereka lebih halus dari faham qodariyah yang mengatakan semua perbuatan manusia dan binatang adalah kehendak dan kekuatan sendiri sama ada yang baik atau yang buruk. Imam Syaharostani mengatakan” saya pernah melihat sebuah risalah yang di sandarkan kepada Hasan Al-bashri bahwa beliau mengirim surat kepada Abdul Malik bin marwan tentang sifat “Al-qodar” dan pernyataannya disitu sama dengan pendapat para mu’tazilah. Tetapi itu mungkin kepada washil bin ‘Atho’ karna Hasan Al-Bashri kenyataanya berbeda pendapat dengan Mu’tazilah. yang mengherankan disitu mereka mengucapkan disitu bahwa bala’, sakit, sehat, mati, hidup, dll merupakan kehendak Allah. Tetapi kebaikan, keburukan,dan kejelekan merupakan kehendak manusia, bukankah ini kontradiksi?
3) Perkataan mereka tentang adanya setatus diantara mu’min dan kafir. Ini bermula dari kisah seorang penanya yang menemui Hasan Al-bashri . penanya itu bertanya tentang orang-orang yang mengkafirkan para pelaku dosa besar, sebelum Hasan Al-Bashri menjawab washil bin ‘atha’ sudah mendahului menjawab dan berkata” menurut saya pelaku dosa besar itu tidak kafir secara mutlak dan tidak juga mu’min tetapi ia berada diantara keduanya”. Kemudian ia berdiri dan meninggalkan majlis Hasan Al- Bashri dan duduk disalah satu tiang masjid dan mendirikan majlis sendiri. lalu Hasan Al-Bashri berkata” semenjak itulah dia dan jama’ahnya disebut sebagai Mu’tazilah”.
4) Pendapat mereka tentang ashabul jamal (peselisihan pihak Ali ra dengan Aisyah ra) dan as-habussiffin (perselisihan pihak Ali ra dengan Mu’awiyah ra), mereka menilai salah satu pihak dari ashabul jamal adalah adalah fasiq dan tidak diterima persaksiannya. Jadi secara tidak langsung mereka telah mengatakan fasiq salah satu dari para sahabat yang bergabung bersama Ali ra atau Aisyah ra dalam peristiwa Jamal. Demikian juga sahabat yang bersama Mu’awiayh dalam perang Siffin.
b. Abu al-Hudzail al-‘Allaf (135 – 226 H)
Abu al-Hudzail termasuk tokoh Mu’tazilah di Bashrah. Ia banyak mempelajari buku-buku Yunani dan banyak terpengaruh oleh buku-buku tersebut, dan karena dia maka Mu’tazilah mengalami perkembangan yang pesat.
Di antara pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut :
1) Tentang ‘ardl. Dinamakan ‘ardl bukan karena mendatang pada benda-benda, karena banyak ‘ardl yang terdapat pada bukan benda seperti waktu, abadi, hancur. Ada ‘ardi yang abadi dan ada yang tidak abadi.
2) Menetapkan adanya atom (bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi).
3) Gerak dan diam. Benda yang banyak bagian-bagiannya bisa bergerak dengan satu bagian yang bergerak. Menurut Mutakalimin hanya bagian itu sendiri yang begerak.
4) Qadar. Manusia dapat mengadakan perbuatan-perbuatannya di dunia, akan tetapi kalau sudah berada di akhirat tidak berkuasa lagi.
5) Tuhan, tanpa wahyu dapat diketahui. Ia dapat diketahui dengan perantaraan kekuatan akal.
c. Ibrahim ib Sayyar al-Nazhzham (wafat 231 H)
Ia adalah murid Abu al-Nadzail al-‘Allaf, orang terkemuka lancar beribicara, banyak mendalami filsafat dan banyak karangannya. Pada masa kecilnya ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan dari Ilsam. Setelah dewasa ia banyak berhubungan dengan filosof-filosof pada masanya. Banyak pendapat-pendapatnya yang berbeda dengan orang-orang Mu’tazilah lainnya. Di antara pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut :
1) Tentang benda (jisiim). Selain gerak, semua yanga da disebut jisim, termasuk warna, bau dan sebagainya.
2) Tidak mengakui adanya bagian-bagian yang tidak dapat dibagi lagi (atom). Menurutnya sesuatu bagian bagaimanapun kecilnya dapat dibagi-bagi (Boleh jadi benar bisa terjadi dalam fikiran).
3) Tidak ada diam. Pada hakikatnya semua yang ada itu bergerak. Mungkin hal ini karena pengaruh filsafat Heraklitos.
4) Hakikat manusia adalah jiwanya, bukan badannya seperti pendapat abu al-Hudzail. Menurutnya badan hanyalah merupakan alat saja, dan ia mengatakan bahwa badan itu adalah penjara bagi jiwa, kalau jiwa lepas dari badan ia akan kembali ke alamnya.
5) Berkumpulnya suatu kontradiksi dengan suatu tempat itu menunjukkan adanya Tuhan
6) Teori Sembunyi (kumun)
7) Semua makhluk dijadikan oleh Tuhan sekaligus dalam waktu yagn sama. Karena itu sebenarnya Nabi Adam itu tidak lebih dulu dari anak-anak, demikian pula ibu tidak lebih dulu dari anaknya. Lebih dulu atua kemudian hanyalah dalam lahirnya ke dunia, bukan dalam asal kejadiannya.
8) Kemu’jizatan al-Qur’an. Terletak dalam peberitaan hal-hal yang gaib
9) Seperti Abu Al-Hudzail ia juga berpendapat, tanpa wahyu Tuhan dapat diketahui, yaitu dengan kekuatan akal manusia.
d. Al-Jahizh ‘Amr Ibn Bashr (Wafat 256 H)
Ia dikenal tajam penanya, banyak karangannya dan gemar membaca buku-buku filsafat terutama filsafat alam.
e. Al-Jubbai Abu Ali Muhammad Ibn Abd. Al-Wahhab (wafat tahun 295 H)
Al-Jubbai adalah salah seorang pemimpin Mu’tazilah yang sama kemsyhurannya denganwasil, Abu Al-Hudzail dan al-Nazhzham. Pendapat-pendapat Al-Jubbai antara lain adalah:
1) Tuhan tidak dapat disifati dengan kamil, karena yang disifati dengan kamil hanya yang terdiri dari bagian-bagian, sedang Tuhan tidak terdiri dari bagian-bagian.
2) Tuhan tak dapat disifati dengan syaja’ah (berani), karena berani berarti berani kepada hal-hal yang disenangi dan hal-hal yang ditakuti.
3) Yang disebut kalam atau sabda Tuhan adalah yang tersusun dari suara dan huruf, maka ia diciptakan, baru dan tidak qadim.
4) Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di hari kiamat, karena Tuhan itu immateri tidak dapat dilihat oleh yang materi, maka Tuhan hanya dapat dilihat dengan mata hati.
5) Daya untuk berbuat sesuatu itu telah ada di dalam diri manusia sebelum perbuatan itu dilakukan, dan daya itu merupakan sesuatu di luar tubuh manusia.
Tokoh-tokoh Mu’tazilah cabang Baghdad antara lain :
1. Mu’amar ibn Abbad al-Sulmay (Wafat 220 H).
Ia adalah pembina Mu’tazilah cabang Baghdad. Ia banyak terpenagruh oleh filosof-filosof, terutama tentang sifat-sifat Tuhan.
2. Bisyr ibn Mu’tamir (wafat 226 H)
Diantara pendapatnya ialah siapa orang yang bertobat dari dosa besar, kemudian ia mengulangi lagi, maka ia akan menerima siksa berlipat ganda.
3. Abu Musa al-Murdar (wafat 226 H)
Menurut Syahrastani ia sangat kuat mempertaruhkan pendapat bahwa al-Qur’an itu tidak qadim, dan Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di hari kiyamat.
4. Abu al-Husain al-Khayyat (wafat 300 H)
Ia juga berpendapat bahwa daya berbuat bagi manusia sudah ada dalam tubuh manusia sendiri. Dan dengan melalui akalnya manusia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan mengetahui perbuatan baik dan buruk sebelum wahyu turun.E. Pandangan Terhadap Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah mempunyai pengaruh di dunia Islam, seperti yang dikutip dari artikel “Mu'tazilah dan Pengaruhnnya Terhadap Dunia Islam” disebutkan bahwa, Mu’tazilah dalam menyelesaikan berbagai masalah keagamaan selalu menggunakan kekuatan akal pikiran. Bahkan mereka diberi nama kaum rasionalis. Kaum Mu’tazilah sangat serius membela dan mempertahankan akidah dari mereka yang bermaksud merusaknya.
Dalam sejarah, pada masa pemerintahan Abbasiyah, kaum muslimin terancam dari berbagai aliran yang merupakan lawan-lawan kepercayaan Islam. Lawan-lawan itu di antaranya, paham al-Mujassimah, al-Rafidhah, mulhid dan zindik di samping itu juga dapat menumpas paham reinkarnasi. Karena itu dalam sejarah umat Islam tidak mengenal pembahasan yang bercorak filsafat dan lengkap tentang Tuhan, sifat-sifat dan perbuatannya dengan disertai dalil-dalil akal pikiran dan alasan-alasan naql sebelum lahir aliran Mu’tazilah.
Dengan demikian, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Mu’tazilah sangat besar pengaruhnya di dunia Islam, di antaranya:
1. Bidang orator dan pujangga.
2. Bidang ilmu balaghah (rethorika)
3. Ilmu perdebatan (jadal)
4. Bidang ilmu Kalam (Theologi Islam).
Setelah peristiwa al-mihnah seperti dibahas sebelumnya, aliran Mu’tazilah mengalami kemunduran. Sebagai suatu golongan yang kuat, berangsur-angsur menjadi lemah dan mengalami kemunduran, terutama sesudah al-Asy’ari dapat mengalahkan mereka dalam bidang pemikiran. Akan tetapi kemundurannya tidaklah menghalangi bagi simpatisan dan pengikut yang setia yang selalu menyiarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, antara lain al-Khayyat pada akhir abad ketiga Hijriyah, Abu Bakar al-Zamakhsyari (wafat 320 H./932 M.) pada sepanjang abad keempat Hijriyah, al-Zamakhsyari dengan tafsirnya al-Kassyaf yang pengaruhnya sangat besar dikalangan Ahlussunah waljamaah.
Kegiatan orang-orang Mu’tazilah hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang Mongol atas dunia Islam. Tetapi paham dan ajaran Mu’tazilah yang penting masih hidup dikalangan Syi’ah Zaidiah. Harun Nasution mengatakan bahwa di zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang, ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah yang bersifat rasionil itu telah mulai timbul kembali dikalang.
Menurut Imam Al Asy’ari adalah salah seorang ulama yang sangat gencar menyerang ajaran Wasil bin ‘Atha’. Dia menuduh Wasil bin ‘Atha’ sebagai orang Majusi. Dia berbeda pendapat dengan Wasil, mengenai ajaran peniadaan sifat. Menurutnya, Allah itu mempunyai sifat sifat, namun berbeda dengan sifat sifat yang dimiliki oleh mahluk. Dia menolak ajaran Al Qadar, bahwa manusia tidak mampu berbuat hal hal yang baru, namun demikian, mereka dapat melakukan kasab.
M. Afif berpendapat bahwa sikap Mu’tazilah yang memberi porsi sangat besar kepada akal dalam memahami agama terlihat dari pandangannya yang mengatakan bahwa akal dapat mengetahui yang baik dan buruk, serta dapat pula mengetahui kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Menurut Mu’tazilah akal hanya dapat mengetahui pokok-pokok dari garis besarnya saja, adapun yang berkenaan dengan perincian pelaksanaan, akal tidak memiliki kesanggupan untuk itu, karena itu wahyu diperlukan.
Demikian pula menurut Mu’tazilah manusia tidak dapat mengetahui semua hal yang baik dan yang buruk, melainkan hanya mengetahui sebagian saja. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan pengetahuan tentang baik dan buruk diperlukan wahyu.
Dapat disimpulkan bahwa fungsi wahyu menurut Mu’tazilah adalah sebagai berikut :
1. Menyempurnakan pengetahuan manusia tentang baik dan buruk sehingga ada wajib al-aqliyah, yaitu kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui melalui akal, dan ada wajib al-syarfiyyah, yaitu kewajiban-kewajiban yang hanya diketahui melalui wahyu. Demikian pula ada manakir al-aqliyah, yaitu larangan-larangan yang dapat diketahui melalui akal, dan ada pula manakir al-syar’iyyah, yaitu larangan-larangan yang hanya diketahui melalui wahyu.
2. Memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima di akhirat nanti.
3. Kedua fungsi tersebut di atas dapat dikatakan sebagai informasi, yaitu memberikan hal-hal yang belum diketahui akal. Dan sebagai konfirmasi, yaitu memperkuat apa yang telah diketahui oleh akal.
Mengingatkan manusia dari kalangan dan mempercepat atau memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan.
Terlepas dari benar dan salahnya suatu golongan, tugas kita hanya berusaha mencari yang terbenar terbaik serta sesuai dengan tuntunan qur’an dan sunah.
Pertanyaan!!
1. Apa peran mu’tazilah ?kaum mu’tazilah punya peranan dalam peradaban islam
2. Apakah jil merupakan versi mu’tazilah jaman sekarang atau bukan,?? Tidak, tapi sama dalam mendahulukan akal.

Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

المشاكلة في البلاغة

Shalawat Istri Nu Bakti