Lafal Ilmu dalam Alquran dan Karakteristik Ulul 'Ilmi
Hilman Fitri
Guru Bahasa Arab dan Alquran
Guru Bahasa Arab dan Alquran
SDIT Uswatun Hasanah
Lafal
Ilmu dalam Alquran dan Karakteristik Orang yang Berilmu
Konsep Ilmu
Ilmu adalah isim masdar dari ‘alima yang berarti mengetahui, mengenal,
merasakan, dan menyakini. Kata ilmu itu tersendiri
berasal dari asal kata ‘alima- ya’lamu yang bermakna ‘arafahu (mengetahui
atau mengenalnya), adrakahu (mencapainya), serta fahimahu (memahaminya
secara mendalam) (Mukhtar, 2008: 1541). Sedangkan menurut pakar Alquran al-Ashfahani (tt: 127) bermakna pengetahuan akan hakikat sesuatu.
Adapun
secara istilah kata ilmu berarti sejenis pengetahuan manusia yang diperoleh
dengan riset terhadap objek-objek yang empiris; benar- tidaknya suatu teori
sains (ilmu) ditentukan oleh logis- tidaknya dan ada- tidaknya bukti empiris
(Tafsir, 2011: 14). Sehingga ketika ilmu itu tidak logis namun ada bukti empiris itu namanya
pengetahuan khayal. Sedangkan apabila ilmu itu logis namun tidak ada bukti
empirisnya maka dinamakan pengetahuan filsafat.
Selain itu juga, ilmu ialah dihasilkannya gambaran atau bentuk sesuatu
dalam akal. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam
Alqur’an, dan digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek
pengetahuan. Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk
dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Jadi dalam batasan ini faktor
kejelasan merupakan bagian penting dari ilmu (Syafi’e, 2000: 27).
Dari segi maknanya, pengertian ilmu sepanjang terbaca dalam pustaka
menunjuk sekurang-kurangnya pada tiga hal, yakni pengetahuan, aktivitas, dan
metode. Diantara para filosof dari berbagai aliran terdapat pemahaman umum
bahwa ilmu adalah suatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan (Syafi’e,
2000: 26). Jadi pada umumnya ilmu diartikan sebagai sejenis dengan pengetahuan,
akan tetapi tidak semua pengetahuan dapat diartikan sebagai ilmu. Karena
mungkin saja pengetahuan tersebut tidak berdasarkan pada metode ilmiah.
Para ulama menyimpulkan bahwa menuntut ilmu adalah wajib, sesuai dengan
jenis ilmu yang akan dituntut. Inilah hukum dasar menuntut ilmu, hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang telah diriwayatkan oleh Anas bin Malik :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya: “Menunut
ilmu hukumnya wajib bagi orang islam (HR. Ibnu Majjah)
Peranan ilmu pengetahuan dalam kehidupan seseorang sangat besar, dengan
ilmu pengetahuan, derajat manusia akan berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya. Sehingga tidaklah sama antara orang yang berpengetahuan dan orang yang
tidak berpengetahuan.
قُلْ
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا
يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ (الزمر: 9)
Artinya : "Katakanlah
:"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran." (Az-Zumar:9)
Allah SWT juga
berfirman:
شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
(آل عمران: 18)
Artinya: “Allah
menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),
yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ali Imran: 18).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa yang menyatakan tiada yang berhak disembah
selain Allah adalah dzat Allah sendiri, lalu para malaikat dan para ahli ilmu.
Diletakkannya para ahli ilmu pada urutan ke-3 adalah sebuah pengakuan Allah
SWT, atas kemualian dan keutamaan para mereka.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللهُ
الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (المجادلة: 11)
Artinya: “Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa derajat para ahli
ilmu dan orang mukmin yang lain sejauh 700 derajat. Satu derajat sejauh
perjalanan 500 tahun. (al Ghazali, tt: 5)
Berikut ini kerangka lafad علم beserta derivasinya:
1. عَلِمَ/
'Alima
|
2. يَعْلَمُ
/Ya'lamu
|
3. إِعْلَمْ /I'lam
|
4. يُعْلَمُ/Yu'lamu
|
5. عِلْمٌ /'Ilm
|
6. عَلِم /'Alim
|
7. مَعْلُوْم
/Ma'lum
|
8. عـلَمِيْنَ/'Alamin
|
9. عَالَم /'Alam
|
10.
اَعْلَمْ/ A'lam
|
11.
عَلِيْم – عُلَمَاء
'Ulama-'alim
|
12.
عَلَّمَ/'Allam
|
13.
عَلَّمَ'Allama
|
14.
يُعْلِم/Yu'lim
|
15.
عُلِمَ'Ulima
|
16.
مُعَلَّمMu'allam
|
17.
تَعَلَّمTa'allam
|
Dari berbagai kejadian itu timbul berbagai pengertian,
seperti: mengetahui, pengetahuan, orang yang berpengatahuan, yang tahu,
terpelajar, paling mengetahui, Maha mengetahui, memahami, mengetahui segala
sesuatu, lebih tahu, sangat mengatahui, cerdik, mengajar, belajar, orang yang
menerima pelajaran atau diajari, mempelajari. Di
lain pihak ada juga bermakna seperti tanda ('alam), alamat, tanda batas, tanda
peringatan, segala kejadian, alam (dunia), segala yang ada, segala yang dapat
diketahui.
Karakteristik Ûlûl
‘Ilmi dalam Al Quran
Karakter
yang dalam bahasa arab sepadan dengan kata tha’biah (perangai,
pembawaan), khuluq (sifat yang telah mengakar kuat), serta khâshiyyah
(sifat yang tidak akan lepas serta yang dapat membedakannya dari yang lain).
Sehingga keseluruhan karakter ini dapat membentuk corak pemikiran serta
perbuatannya (Mukhtar, 2008: 652). Sedangkan karakteristik itu tersendiri dapat
diartikan sebagai sesuatu hal yang membedakannya dengan yang lain.
Di
muka telah diuraikan bahwa dalam al Quran orang yang berilmu (ûlûl
‘ilmi) ialah seseorang yang memiliki suatu jenis pengetahuan manusia
yang diperolehnya melalui riset terhadap objek- objek yang empiris sehingga ia
mengetahuinya secara mendalam sampai menemukan hakikat ilmu tersebut.
Adapun
mengenai karakteristik orang yang berilmu (ûlûl
‘ilmi) dalam al Quran ialah sebagai berikut:
- Adanya perasaan takut kepada Allah Ta’ala, sebagaimana hal ini juga diungkapkan oleh Sa’ûd al ‘Imâdi (tt: 187), Ibn Musthafa (tt: 491), Abbas Ahmad (1419 H: 336), di mana mereka mengatakan bahwa rasa takut kepada Allah SWT merupakan salah satu ciri orang yang berilmu. Mereka mengambil dalil Q.S Fathir [35] ayat 28 sebagai berikut:
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata
dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Kata
khasyat di sini menurut pakar al Quran, al Ashfahani (dalam Shihab,
2002: 62) memiliki makna rasa takut yang disertai penghormatan yang lahir
akibat pengetahuan tentang objek. Dilihat dari kontek rangkaian penyebutannya,
ayat ini didahului dengan penyebutan tanda-tanda kekuasaan Allah yang berupa
turunnya hujan yang kemudian menghasilkan buah-buahan dengan berbagai warna dan
rasa, gunung yang berwarna-warni dan perbedaan warna yang ada pada bintang dan
manusia. Suatu hal yang mengisyaratkan tingginya nilai ilmu yang didasari atas
pengamatan terhadap alam. Sungguh benar apa yang pernah dikatakan Albert
Einstein (dalam Shihab, 1997: 171-172) setelah ia melakukan penelitian mengenai
berkembangnya alam semesta ini yang dikenal dengan istilah “The Expanding
Universe”, seraya berkata:
“Tiada
ketenangan dan keindahan yang dapat dirasakan hati melebihi saat-saat ketika memperhatikan
keindahan rahasia alam raya. Sekali pun rahasia itu tidak terungkap, tetapi di
balik itu ada rahasia yang dirasa lebih indah lagi, melebihi segalanya, dan
jauh di atas bayang-bayang akal kita. Menemukan rahasia dan merasakan keindahan
ini tidak lain adalah esensi dari bentuk penghambaan.”
Hal
senada sebelumnya juga diungkapkan oleh al-Razi (1420 H: 236), seorang pakar
tafsir Alquran kenamaan. Ia mengomentari ayat di atas dengan mengatakan, “Semakin
dalam seseorang menyelami lautan ciptaan Tuhan semakin tahu ia akan kebesaran
dan keagungan-Nya.”
- Mengetahui, mengakui, serta memiliki keyakinan akan keesaan Allah Ta’ala. Karena ketika seseorang telah mengetahui hakikat suatu objek penelitiannya akan berakhir dengan ungkapan “Tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia” lalu tertunduk mengakui akan kekuasaan Allah SWT dan kebenaran yang dibawa oleh Nabi saw. Sebagai contoh ialah penelitian Dr. Arther J. Alison, ketua Departemen electrical and electronic di British University, yang dilakukan dengan alat-alat elektronik selama 6 tahun mengenai fenomena orang mati dan orang tidur, menunjukkan adanya sesuatu yang keluar dari tubuh manusia ketika mati dan tidur. Pada orang mati, sesuatu itu tidak kembali lagi, sedangkan pada orang yang tidur sesuatu itu kembali lagi. Sebagai pemimpin lembaga parapsikologi dan spritualitas Inggris yang tertarik dengan kajian agama dan filsafat, ia diundang menjadi pembicara pada sebuah konferensi di Kairo. Dalam persiapan makalahnya, ia tertegun ketika membaca terjemahan al Quran surat az Zumar [39] ayat 42 yang menyebutkan fenomena di atas persis seperti hasil penelitiannya. Sehingga setelah selesai acara tersebut dia mengucapkan dua kalimat syahadat lalu berganti nama menjadi Abdullah Alison (LPTQ Jabar, 2011: 32).
- Senantiasa mengamalkan ilmunya dengan ikhlas. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw pernah bersabda:
“Manusia
akan berada dalam kehancuran kecuali mereka yang berilmu. Yang berilmu pun akan
binasa kecuali yang mengamalkan ilmu. Dan yang mengamalkannya juga akan binasa
kecuali mereka melakukannya dengan ikhlas.”
Namun
hadis ini dikategorikan sebagai hadis palsu (mawdhû`) oleh para pakar
hadis. Misalnya oleh Ibn Darwisy (1997: 309), Al-Syaukani (1407 H: 257).
Menurut Ibn Darwisy, hadis ini disebut oleh al-Samarqandi dalam bukunya Tanbîh
al-Ghâfilîn, dan sangat diminati oleh para kaum sufi. Buku ini, masih
menurutnya, banyak dipenuhi dengan hadis-hadis mawdhû`. Kendati demikian
penulis tetap mengutipnya, tetapi tidak dengan keyakinan bahwa itu hadis
Rasul, sebab kandungannya masih dapat ditolerir.
Referensi :
Abbas, Abu
Ahmad. 1419 H. Bahrul Madid fi Tafsiril Quranil Majid. Kairo: Duktur
Hasan Abbas Zakki.
Al- Ashfahani, ar- Raghib. tt. Mu’jam mufradat
alfâzhul Quran.
Beirut:
Darul Fikr.
Al Maraghi. 1946. Tafsir al Maraghi jilid 3.
Beirut: Darul Fikr.
Al-Ghazali, tt. Ihya’ Ulum al-Din juz 1. Kairo: Darul Ihyaaut Turats.
Al Syaukani. 1407 H. Al-Fawâ`id
al-Majmû`ah fi al-Ahâdîts al-Mawdhû`ah jilid 1. Beirut : Al-Maktab al-Islami.
Al- Razi. 1420
H. Mafaatihul Ghaib Juz 26. Beirut: Darul Ihyaaut Turaatsil ‘Araby
Beirut.
Ibn, Haq
Musthafa. tt. Ruhul Bayan jilid 10. Beirut: Darul Fikr.
Ibn, Muhammad
Darwisy. 1997. Asnâ al-Mathâlib fî Ahâdîts Mukhtalaf al-Marâtib jilid 1. Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
LPTQ Jabar.
2011. Maqra Muasabaqah Fahmil Quran. Bandung: LPTQ Jabar: tidak
diterbitkan.
Mukhtar,
Ahmad. 2008. Mujam Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah Jilid 1. Kairo:
‘Alamul Kuttub.
. 2008. Mujam
Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah Jilid 2. Kairo: ‘Alamul Kuttub.
Sa’ûd, Abu al
‘Imâdi. tt. Irsyadul ‘aqli Salim Ilaa Mazaya al Kitabil Karim jilid 9.
Beirut: Darul Ihyaut Turats.
Shihab. 2002. Tafsir
al Misbah vol 11. Jakarta: Lentera Hati.
Tafsir,
Ahmad. 2011. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Comments
Post a Comment