KRITIK ORIENTALIS HADITS



Rizqi Anwari Akbari
Pendidik Tahfidz dan Tilawah Quran
SDIT Uswatun Hasanah
A. Pengertian Orientalis
              Orientalisme dalam pengertian yang sempit ialah kegiatan penyelidikan ahli ketimuran oleh Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama Islam. Kegiatan penyelidikan dalam bidang tersebut telah berlangsung selama berabad-abad secara sporadik, tetapi baru memperlihatkan intensitasnya yang luar biasa sejak abad ke-19 Masehi. Sikap dan pandangan terhadap masing-masing agama di timur, khususnya agama Islam, sangat berbeda menurut sikap mental dari kaum orientalis itu sendiri.
              Penyelidikan itu bermula secara terpisah-pisah mengenai masing-masing agama tersebut. Max Muller (1823-1900) pada akhirnya menjelang penghujung abad ke-19 itu menyalin seluruh kitab-kitab yang terpandang suci oleh masing-masing agama di timur ke dalam bahasa Inggris, terdiri atas 51 jilid tebal, berjudul The Sacred Book of the East (Kitab-Kitab Suci dari Timur). Cara Max Muller membahas masing-masing agama dengan mengikuti bunyi dan isi masing-masing kitab suci hingga mendekati obyektifitasnya, sangat berbeda dengan cara kaum Orientalis pada masa sebelumnya maupun pada masanya sendiri. Maka ia dipandang sebagai pembangun sebuah disiplin ilmu baru yang dikenal dengan Comparative Religions (Perbandingan Agama).
              Orientalisme mempunyai cakupan yang sangat luas, karena langsung berkaitan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan bangsa-bangsa di Timur serta lingkungannya, sehingga meliputi seluruh bidang kehidupan dan sejarah bangsa-bangsa di Timur. Di antaranya mencakup kepurbakalaan, sejarah, bahasa, agama, kesusasteraan, keturunan, kemasyarakatan, adat istiadat, kekuasaan, kehidupan, lingkungan, dan lain-lain.

B. Pembagian Studi Hadits Menurut Orientalis
          Di dalam studi hadits, orintalis terbagi tiga kelompok.
     1.  Kelompok skeptis terhadap otensitas hadits, seperti Sprenger, Muir, Golziher, dan Schact,
2.    Kelompok sanguine (non-skeptis), seperti calder, Cook, Fuat Sezgin, dan Nabia Abbot,
3.    Kelompok mereka yang mencari posisi middle ground, seperti Gregor Schoeler, Motzki, Fuck, James Robson
              Selain itu fokus kajian orientalis terhadap hadits berbeda-beda, ada yang menitik beratkan kepada kajian sanad, seperti Schacht, Juynboll, dan ada yang melakukan kajian terhadap sanad dan matan, seperti Motzki dan Brown. Pertanyaan tentang kapan, oleh siapa, dan dimana hadits dibuat merupakan permasalahan pokok dalam studi hadits di Barat. Apakah ia benar-benar otentik berasal dari Nabi atau tidak, kalau di Timur Tengah dan Indonesia studi hadits menekankan pada bagaimana melakukan takhrij al—hadits untuk menentukan otensitasnya, maka studi hadits di Barat menekankan bagaimana dating (penanggalan) hadits untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang terjadi dimasa awal Islam.
              Studi hadits di Barat dimulai oleh sarjana Jerman Alois Sprenger (w.1893) yang mengekspresikan skeptisismenya terhadap otensitas hadits, menurutnya hadits adalah kumpulan anekdot atau cerita bohong tetapi menarik.[1] Kemudian didukung oleh William Muir[2] yang juga memiliki sikap skeptic yang sama. Menurut Muir, para periwayat hadits sengaja mencatut Nabi untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan. Bagi Muir, separuh dari hadits yang berada dalam Sahih Bukhari tertolak karena pengaruh sanad yang tidak tepat.
              Selanjutnya Ignaz Goldziher[3] dan Joseph Schaht, sebagai bagian dari laskar orientalis, keduanya mencoba menelaah dan mengkritik konstruksi hadits berdasarkan perspektif orientalisme secara umum. Mereka mempertanyakan metodologi selektivikasi hadits yang selama ini dianggap sudah tertata rapi dan final oleh para Muhadditsin. Pelacakan Isnad, kritik matan dan kritik perawi adalah tiga metodologi selektivikasi hadits yang final tersebut, dan ketiga-tiganya dibongkar oleh Goldziher dan Schacht. Hasilnya, mereka meragukan otensitas hadits dan menganggap bahwa pemakaian sanad dalam konstruksi hadits merupakan sebuah kekeliruan yang sangat mendalam bagi para ahli hadits. Mereka kemudian mengemukakan bahwa hadits sebagai sumber ajaran Islam belum tercipta pada abad pertama Hijriah, hadits dan seperangkat ilmu untuk mempelajari baru berkembang pada abad ketiga Hijriah, yang mana lebih merupakan implikasi kehidupan sosial-politik untuk menjustifikasi dan melegitimasi kekuasaan.[4]
              Secara ringkas, pandangan Goldziher tentang periode Umayah, atau tepatnya pada periode abad pertama hijriyah, adalah tercermin dalam dua keadaan: pertama, umat Islam diselimuti kebodohan yang mutlak tentang ajaran Islam, baik sebagai akidah maupun syari’ah. Kedua, ketidakmampuan Islam untuk membuat aturan-aturan dan teori-teori yang lengkap secara teratur dan rapi.
              Pada saat itu terjadi konflik besar antara ahl al-hadits dan ahl al ra’y yang mencapai puncaknya pada paruh kedua abad kedua Hijrah. Kala itulah hadits yang pada hakikatnya ra’yu itu bermunculan. Bahkan tidak hanya dalam wilayah hukum atau fiqih, doktrin politik dan teologi pun pada gilirannya mengambil bentuknya dalam hadits.[5] Hadits dipakai sebagai senjata oleh masing-masing mazhab dan kelompok politik. Mereka menggunakan hadits untuk mendapatkan kedudukan dalam masyarakat. Hadits tidak digunakan sebagai alat untuk mengetahui prilaku Nabi, tetapi hanya untuk kepentingan setiap kelompok atau aliran. Goldziher mengambil sebuah contoh hadits dalam kitah Sahih al-Bukhari tentang pergi menuju tiga mesjid, yakni mesjid al-Haram, Nabawi dan al-Aqsa. Walaupun hadits tersebut dalam Sahih al-Bukhari, namun menurutnya hadits itu tidak sahih karena mengandung unsur politik ‘Abd Al-Malik b. Marwan dengan menyuruh az-Zuhri untuk membuat hadits, yang nantinya untuk menandingi lawan politiknya.

C. Motif Orientalis
     1. Faktor Agama. Motif orientalisme dalam hal ini sama dengan motif salibis yang berawal dari kebencian terhadap Islam.
     2. Faktor Kolonialisme. Orientalisme dan kolonialisme memiliki hubungan yang erat guna mewujudkan cita-cita bangsa Eropa (Barat). Setelah kekalahan dalam perang Salib, Eropa berfikir bahwa peperangan fisik bukan cara yang tepat mengalahkan Islam. Akhirnya mereka meluncurkan peperangan gaya baru yang dikenal dengan sebutan Ghazwul Fikri. Ghazwul fikri adalah cara Barat untuk memuluskan kolonialisasi di Timur.
     3. Faktor Ekonomi.
     4. Faktor Politik. Barat tetap berkeinginan terus menguasai Negara-negara Islam. Sekalipun negera-negara tersebut telah lepas dari penjajahan langsung mereka, Barat menempatkan orang-orang pilihan di kedutaan-kedutaan mereka di dunia Islam. Sehingga Barat tetap dapat menyetir dunia Islam secara politis ke arah kepentingan mereka.
     5. Faktor keilmuan. Secara jujur sekalipun minim sekali, terdapat beberapa orientalis yang menelaah literatur-literatur Islam sebagai sebuah kebudayaan dan peradaban. Namun tidak menutup kemungkinan justru faktor inilah yang telah membuka lebar-lebar kekeliruan serta kesalahan dalam memahami Islam.

D. Bentuk Dan Metode Orientalis
              Tujuan Orientalisme menurut penulis buku Orientalisme dan Misionarisme adalah memurtadkan umat Islam dari agamanya dengan cara mendistrosi serta menutup-nutupi kebenaran dan kebaikan ajaran-ajarannya. Salah satu instrument penunjang dalam mewujudkan tujuan orientalisme tersebut yaitu meragukan keabsahan hadits-hadits Nabi Saw., sebagai sumber hukum Islam kedua sesudah al-Qur’an. Para orientalis tersebut berpandangan bahwa dalam hadits Nabi terdapat unsur intervensi para ulama untuk memurnikan hadits-hadits shahih yang bersandar kepada kaidah-kaidah yang sangat keras dan selektif, dimana hal itu tidak dikenal dalam agama mereka dalam membuktikan kebenaran-kebenaran Kitab Sucinya.
              Kelompok-kelompok orientalisme secara garis besar dibagi dalam dua bagian. Pertama, kelompok moderat dan mampu bersikap adil dalam prinsip keilmuan penuh kejujuran hingga sebagiannya mendapatkan hidayah Islam. Kelompok ini diwakili Reenan, Jenny Pierre, Carl Leil, Tolstoy, Lord Headly, Ethan Deneeh dan Dr. Greeneh. Kedua, kelompok ekstrim dan fanatik yang dikenal menyelewengkan kebenaran dan melakukan penyimpangan dalam memahami ajaran Islam serta tidak menggunakan metode ilmiah dalam penelitiannya. Kelompok ini diwakili oleh A.J Arberry, Alfred Geom, Baron Carrad Vauk, H.A.R Gibb, Goldziher, S.M Zweimer, G. Von Grunbaum, Phillip K Hitti, A.J Vensink, L. Massinyon, D.B Macdonald, D.S Margaliouth, R.L Nicholson, Henry Lammens, Josseph Schacht, Harfly Haol, Majid Kadury dan Aziz Atiah Surial.
              Kajian Islam yang dilakukan oleh Barat pada mulanya hanya ditujukan kepada materi-materi keislaman secara umum. Baru pada masa-masa belakangan, mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang hadits Nabawi.
              Menurut perkiraan Prof. Dr. M.M. Azami, Sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian terntang hadits adalah Ignaz Goldziher (1850-1921 M), orientalis Yahudi kelahiran Hoingaria yang memiliki karya berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam) sebagai “kitab suci”nya para orientalis hingga kini.
              Penelitian hadits juga selanjutnya diteruskan oleh Joseph Schacht-yang juga orientalis Yahudi-menerbitkan buku dengan judul The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang kemudian dianggap sebagai “kitab Suci” kedua di kalangan orientalis.
              Dibanding Goldziher, Schacht memiliki “keunggulan”, karena ia sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satu pun hadits yang otentik dari Nabi Saw., khususnya hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas hadits. Karenanya, di kalangan orientalis, buku Schacht memperoleh reputasi yang luar biasa.
              Selain dua buku di atas, dalam masa tiga perempat abad sejak terbitnya buku Goldziher, kalangan orientalis tidak menerbitkan hasil kajian mereka tentang hadits, kecuali beberapa makalah yang isinya jauh dari sebuah penelitian hadits yang tidak memiliki nilai-nilai ilmiah.
              Sangat disesalkan, dalam berbagai penelitian, khususnya penelitian dalam bidang hadits, para orientalis tersebut bersandar kepda metodologi yang aneh dan mengherankan, yang tidak sesuai dengan jiwa seorang peneliti, yaitu mengikuti hawa nafsu dan tidak konsen terhadap penelitian itu sendiri, serta bersikap semaunya dalam melakukan interpretasi dan konklusi terhada teks. Bisa kita identifikasi, sebelum melakukan penelitian, mereka telah menetapkan sesuatu di pikiran mereka sindiri, untuk kemudian dicari penguat berupa dalil-dalil yang belum tentu kebenarannya. Hal itu dirasa tidak penting bagi mereka asal bisa diambil sedikit kesimpulan dari dalil tersebut sebagai pembenaran atas pemikiran mereka.
              Sikap seperti ini tentunya bertentangan dengan kaisah dan dasar-dasar penelitian ilmiah, dimana seorang peneliti pada awalnya harus bebas dari hawa nafsu dan ego pribadi. Sejatinya, penelitian itu dilakukan setelah teks dan sumber-sumber yang bisa dipercaya yang ditetapkan melalui proses perbandingan dan uji coba. Hasil dari keduanya yang bisa diambil dan dijadikan sandaran bagi seorang peneliti sejati.
              Baik Goldziher maupun Schacht berpendapat bahwa hadits tidaklah berasal dari Nabi Saw., melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua hijrah. Atau dengan kata lain, hadits adalah buatan para ulama abad pertama dan kedua.

E. Dampak  Kritik Orientalis
               Secara positif mereka banyak menyadarkan kita akan pentingnya membaca sejarah para ulama-ulama Islam kita. Mereka mengangkut manuskrip kita keluar negeri yang merupakan sejarah keilmuwan kita untuk dipelajari dan diaplikasikan sehingga mereka lebih maju dari umat Islam.
              Di Irak setelah invasi Amerika, benda dan manuskrip Islam yang ada di Irak banyak diboyong keluar oleh AS. Memang di AS memiliki teknologi yang lebih canggih untuk menjaga manuskrip. Secara negatif mereka mendudukan diri mereka sebagi otoritas dalam berpendapat dan mengambil keputusan. Pendapat dan pemikiran merekalah yang harus didengar dan dipakai.
              Negatifnya kebanyakan para pelajar Muslim yang dikirim belajar atau studi ke luar negeri setelah kembali ke Indonesia pikirannya teracuni oleh pemikiran orientalis. Kemudian mereka memiliki posisi yang strategis sepulangnya ke negara asalnya, misalnya menjadi leader dalam dunia pendidikan dan memasuki dunia birokrat. Oleh karena itu mereka mengambil para dosen-dosen dari universitas bahkan kampus-kampus Islam untuk melakukan studi di negaranya agar dapat mewarnai pemikirannya.
              Ya memang. Itu faktor eksternal hasil dari kerja orientalis. Para ahli sejarah umumnya sepakat bahwa Eropa telah mengalami sekularisasi sejak 250 tahun terakhir. Yang masih mereka perdebatkan hanyalah soal bagaimana dan mengapa proses itu terjadi.
F. Solusi untuk menghadapai Orientalis
     1.  Pemahaman Ibadah Ritual
                   Sebagain besar umat Islam Indonesia yang awam mengartikan ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan ritual seperti shalat, puasa, haji.  Banyak umat Islam mengerjakan shalat, puasa, haji. Tetapi apabila ditanya tentang pengertian shalat, puasa, haji banyak yang tidak tahu.
Mereka mengerjakan hanya karena ritual. Ritual tersebut merupakan tolok ukur bagi orang yang beragama Islam. Tetapi umat Islam banyak yang tidak tahu tujuannya.
                   Mereka melakukan hanya mengikuti apa yang diajarkan para uztad, (tradisi), Ironisnya para uztad tidak menjelaskan secara rinci maksud dan tujuannya. Menganggap semua jamaah sudah tahu maksud dan tujuannya. Padahal kenyataanya banyak yang tidak tahu. Contohnya seperti pertanyaan-pertanyaan dibawah ini.
          Seperti shalat.
                   Apa arti shalat?. Apa tujuan shalat?. Apa hubungan shalat dengan kehidupan? Mengapa shalat ditentukan waktunya seperti subuh, dhuhur, asyar, maghrib, Isya?. Mengapa shalat memakai rekaat? Mengapa rekaatnya berbeda-beda, subuh dua rekaat, dhuhur empat  rekaat, asyar empat rekaat, maghrib tiga rekaat dan isya empat rekaat?. Apa maksudnya berdiri, angkat tangan, rukuk, sujud duduk, dan kepada siapa mengucapkan salam kekanan dan kekiri? dan sebagainya.
          Seperti puasa.
                   Apa arti puasa? Bagaimana puasanya orang-orang terdahulu? Apa hubungan nya puasa ramadhan dengan shalat lima waktu ? Dan sebagainya.
Seperti haji
                   Apa haji itu? Apa tujuan naik haji? Siapa yang diperintah naik haji? Bagaimana yang dimaksud haji mabrur?. Apa tujuan Allah memerintah manusia naik haji?. Banyak umat Islam Indonesia melakukan ibadah (ritual) tetapi sesungguhnya mereka tidak tahu tujuannya, ini sungguh memprihatin kan.
     2.  Meningkatkan Pengetahuan Tentang KeIslaman
                   Hal ini sangat penting untuk menghadapi paham-paham orientalis yang notabene ingin menyudutkan dan menghancurkan Islam, karena mereka pada umumnya orang-orang akademik maka untuk menyanggah mereka kitapun harus berbekal pengetahuan keIslaman secara akademik juga.







Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

KAJIAN BALAGHAH: JINAS

المشاكلة في البلاغة