Ahlus Sunnah wal Jama'ah

A. Definisi ahlu as-sunnah wa al-jama’ah
a. Makna ahlun
Dalam kitabnya lisan al-arab Ibnu Mandzur (T. th: 163-164) memberi definisi makna ahlu sebagai berikut:
( أهل ) الأَهْل أَهل الرجل وأَهْلُ الدار وكذلك الأَهْلة قال أَبو الطَّمَحان: وأَهْلةِ وُدٍّ تَبَرَّيتُ وُدَّهم وأَبْلَيْتُهم في الحمد جُهْدي ونَائلي ابن سيده أَهْل الرجل عَشِيرتُه وذَوُو قُرْباه والجمع أَهْلون وآهَالٌ وأَهَالٍ وأَهْلات وأَهَلات.
قال المُخَبَّل السعدي: وهُمْ أَهَلاتٌ حَوْلَ قَيْسِ بنِ عاصم إِذا أَدْلَجوا باللَّيل يَدْعُونَ كَوْثَرا
وأَنشد الجوهري وبَلْدَةٍ ما الإِنْسُ من آهالِها تَرَى بِها العَوْهَقَ من وِئالُها وِثالُها جمع وائل كقائم وقِيام ويروى البيت وبَلْدَةٍ يَسْتَنُّ حازي آلِها.
قال سيبويه: وقالوا أَهْلات فخففوا شَبَّهوها بصعْبات حيث كان أَهل مذكَّراً تدخله الواو والنون فلما جاء مؤنثه كمؤنث صَعْب فُعل به كما فعل بمؤنث صَعْب
..... وحكى سيبويه في جمع أَهْل أَهْلُون وسئل الخليل لم سكنوا الهاء ولم يحرّكوها كما حركوا أَرَضِين ؟ فقال لأَن الأَهل مذكر قيل فلم قالوا أَهَلات ؟ قال: شبهوها بأَرَضات وأَنشد بيت المخبل السعدي قال ومن العرب من يقول أَهْلات على القياس والأَهَالي جمع الجمع وجاءت الياء التي في أَهالي من الياء التي في الأَهْلين. وفي الحديث أَهْل القرآن هم أَهْلُ الله وخاصَّته أَي حَفَظة القرآن العاملون به هم أَولياء الله والمختصون به اختصاصَ أَهْلِ الإِنسان به.
......وأَهْلُ المذهب مَنْ يَدين به وأَهْلُ الإِسلام مَن يَدِين به وأَهْلُ الأَمر وُلاتُه وأَهْلُ البيت سُكَّانه وأَهل الرجل أَخَصُّ الناس به وأَهْلُ بيت النبي صلى الله عليه وسلم أَزواجُه وبَناته وصِهْرُه أَعني عليًّا عليه السلام وقيل نساء النبي صلى الله عليه وسلم والرجال الذين هم آله.
“(Ahala) : al-ahlu; ahlu al-rajul wa ahlu al-daar (keluarga atau penghuni rumah); kadang-kadang juga disebut dengan al-ahlat. Abu al-Thamahaan berkata, “Ahlat wudd tabarraitu wuddahum wa ablaituhum fi al-hamd, juhdiy wa naailiy ibnu saidihi (pemilik cinta, yang aku telah merajut cinta mereka, dan aku telah menguji mereka dalam pujian, tenaga dan harapanku anak dari tuannya). Ahlu al-rajul : ‘asyiiratuhu wa dzawuu qurbaahu (keluarga-keluarganya dan orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatannya dengannya). Bentuk jamak dari “ahlu” adalah “ahluun”, “aahaal”, “ahaal”, dan “ahallaat”.
Al-Mukhabbal al-Sa’diy berkata, “Wa hum ahalaat haula Qais bin ‘Aashim idzaa adlajuu bi al-laili yad’uun kautsaran”. (Mereka adalah ahli-ahli (keluarga-keluarga) di sekitar Qais bin ‘Aashim, jika mereka berjalan semalam suntuk di suatu malam, mereka meminta air telaga yang segar).
Al-Jauhariy bersyair, “Wa baldat ma al-ins min aahaalihaa, taraa bihaa al-‘auhaq min wi`aaluhaa witsaaluhaa”, (jam’u wiaal ka-qaaim wa qiyaam wa yarwiy al-bait wa baldatin yastannu haaziy aalihaa “(Negeri yang tidak dihuni manusia, yang dengannya engkau bisa menyaksikan para pengecut dari pencelaka-pencelakanya. Wiaal adalah bentuk jamak dari waail, seperti halnya qaim dan qiyaam. Sebuah bait syair menuturkan, “Negeri yang ahli nujum telah membersihkan penduduknya”).
Imam Sibawaih berkata, “Orang-orang Arab mengatakan “ahlaat”. Mereka meringankan dan memiripkannya (kata ahlaat) dengan sha`baat; sebab, kata ”ahlu” bentuknya adalah mudzakkar (laki-laki) yang kemudian dimasuki huruf wawu dan nun. Ketika kata ini hendak dijadikan muannats (perempuan), seperti ketika memuannatstskan kata sha`b, maka kata ahlu diperlakukan sebagaimana ketika memuannatskan kata sha`b.....
Imam Sibawaih menuturkan bahwa bentuk jamak dari ”ahlu” adalah ”ahluun”. Khalil ditanya,”Mengapa tidak menyukun huruf ha’nya, dan tidak mengharakahkannya, sebagaimana mereka mengharakahkan ”araadliin”. Ia menjawab, ”Sebab, kata ”ahlu” berbentuk mudzakkar (laki-laki); lalu ditanyakan, ”Mengapa mereka tidak mengatakan ”ahallaat”?” al-Khalil menjawab, ”Mereka (orang-orang Arab) memiripkannya dengan aradlaat. Lalu, ia membacakan salah satu bait syair dari al-Mukhabbal al-Sa’diy. Ia berkata lagi, “Sebagian orang Arab ada yang berpendapat bahwa bentuk jamak dari kata “ahlu” adalah ahlaat (berdasarkan qiyas), dan al-ahaaliy (menjamakkan bentuk jamak)....Di dalam hadits disebutkan ahlu al-Quran; mereka adalah ahlu al-Allah (keluarganya Allah) dan orang yang memiliki hubungan khusus denganNya; artinya mereka adalah penjaga al-Quran yang hal ini merupakan aktivitas dari kekasih-kekasih Allah, dan orang yang memiliki hubungan khusus denganNya dibandingkan manusia yang lain
...Ahlu al-madzhab adalah orang yang menganut madzhab itu; ahlu al-Islaam adalah orang yang menganut agama Islam. Ahlu al-bait : sukkaanuhu (penghuninya); ahlu al-rajul : orang yang memiliki hubungan khusus dengan dirinya. Ahlu baitihi saw adalah isteri-isterinya, anak-anak perempuannya, dan kerabatnya; yakni Ali bin Abi Thalib ra; dikatakan juga isteri-isteri Nabi dan laki-laki yang termasuk dalam keluarganya...”
Dari definisi di atas dapat diambil garis besarnya, bahwa kata ahlun memiliki banyak arti tergantung dari kata yang mengikutinya. bermakna orang yang memiliki kekuasaan atau ulil amriy (penguasa atau pemerintah) jika ahlun diikuti amr, bermakna penghuni Jika dilekatkan dengan keterangan tempat, kadang-kadang juga digunakan dalam majaz, seperti; ahlu al-rajul (isteri), dan ahlu al-bait (isteri dan anak-anak atau keturunan Nabi SAW). Jika dikaitkan dengan madzhab, agama, ataupun pemikiran, bermakna pengikut, penganut dan menyakini madzhab, agama, atau pemikiran tersebut.
b. Makna sunnah
Sunnah secara bahasa, terdapat beberapa makna; cara, hadits, tabi’at, garis, jalan yang lurus, dan sirah. (Mandzur, T. Th: 2125-2122: 3). Lebih jauh Moenawar Chalil (1999:226) menjelaskan makna-makna sunnah disertai dalilnya, sunnah bermakna peraturan:
سنّةَ من قد ارسلنا قبلك من رسلنا ولا تجد لسنّتنا تحويلا
“inilah peraturan (sunnah) orang yang telah Kami utus sebelum kamu diantara utusan-utusan Kami, dan tidak akan kamu dapati dalam sunnah kami perubahan.” (al-isra: 77)
سنّة الله في الّذين خلوا من قبل ولن تجد لسنّة الله تبديلا
“inilah sunnah (peraturan) Allah pada orang-orang yang telah lampau, dan engkau tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.” (al-ahzab: 62)
Sunnah bermakna cara, perjalanan yang telah dijalani;
من سنّ فى الإسلام سنّة حسنة فله أجرها و اجر من عمل بهابعده من غير أن ينقص من أجورهم شيئ. ومن سنّ فى الإسلام سنّة سيئة كان عليه وزرها و وزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزرهم شيئ. – مسلم –
“siapa yang mengadakan suatu cara yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan cara tersebut tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya. Dan siapa yang mengadakan suatu cara yang jahat dalam islam, maka baginya siksanya dan siksa orang yang mengamalkan cara tersebut tanpa mengurangi sedikitpun siksanya.”(H. R. Muslim)
النكاح سنّتي فمن رغب عن سنّتي فليس منّي
“nikah merupakan sunnahku (jalan yang aku pilih atau lakukan), maka siapa yang membenci sunnahku bukan termasuk golonganku.”
Sunnah bermakna keterangan;
سنّ اللهُ أحكامَه للنّاس
“Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepada manusia.”
سنّ الرجلُ الأمرَ
“laki-laki itu telah menerangkan suatu urusan.”
Sunnah secara istilah menurut beberapa ahli (Chalil, 1999: 228-229)
1) Menurut ahli hadits
أقوال الرسول صلّى الله عليه و سلّم و إقراراته المفصِّلة لما أجمل فى القرآن من الحكم و الأحكام
“perkataan-perkataan, perbuatn-perbuatan dan taqrir-taqrir Nabi SAW yang menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Quran yang berupa hikmah-hikmah dan hukum-hukum.”
2) Menurut ushuliyin
قول النّبي صلّى الله عليه و سلّم و فعله و تقريره
“perkataan Nabi SAW, perbuatan serta taqrirnya.”
3) Menurut fuqaha
ما يستحقّ فاعله ثوابا ولا يستحقّ تاركه عقابا
“sesuatu yang jika mengerjakannya mendapat pahala, dan jika meninggalkannya tidak mendapat siksa.”
4) Adapula ulama fiqh dan ushul yang mendefinisikan sunnah dengan
ما جاء عن النبي صلّى الله عليه و سلّم من أقوال و أفعال و تقرير وما همّ بفعله
“sesuatu yang datang dari Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan apa yang Nabi cita-citakan untuk mengerjakannya.”
Sunnah berarti segala hal yang bersumber dari Nabi SAW yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan cita-cita Nabi untuk mengerjakannya. Ulama ushuluddin menerapkan kata sunnah ini untuk golongan yang mendasarkan urusan aqidahnya pada Allah melalui keterangan Al-Quran dan hadits Nabi SAW, tidak semata mengandalkan ra’yu.
c. Makna jama’ah
Berlanjut pada makna al-jama’ah, dalam mu’jam al-washit (Zakaria, 2001:1) secara bahasa al-jama’ah berarti:
الجماعة لغة: العدد الكثير من العدد الكثير من الناس. و قيل: الطائفة من الناس يجمعها غرض واحد.
“manusia dengan jumlah yang banyak. Dikatakan pula: segolongan manusia yang berkumpul dengan satu tujuan.”
Adapun secara istilah, terdapat tiga definisi:
١. جماعة الصلاة, كما فى الحديث: عن عبد الله ابن عمر رضي الله عنه أنّ رسول الله صلّى الله عليه و سلّم قال: صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذّ بسبع و عشرين درجة. متفق عليه
٢. العدد الكثير من الناس, كما فى الحديث: عن علي رضي الله عنه قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم: يجزئ عن الجماعة إذا مرّوا أن يسلّم أحدهم و يجزئ عن الجماعة أن يرد أحدهم. أحمد
٣. جماعة أهل الإسلام إذا أجمعوا على امر, كما فى الحديث: عن تميم الداري قال: تطاول الناس فى البناء في زمن عمر فقال عمر: يا معشر العريب الأرض الأرض أنّه لا اسلام إلاّ بجماعة و لا جماعة إلاّ بإمارة و لا إمارة إلاّ بالطاعة. الدارمي: ١: ٧٩
1. Jama’ah shalat, berdasarkan hadits dari Abdullah Ibn Umar ra. Bahwa Nabi SAW bersabda: “shalat berjama’ah lebih utama dengan 27 derajat dari pada sendiri.”(Muttafaq ‘alaih)
2. manusia dengan jumlah yang banyak, berdasarkan hadits dari Ali ra. Rasulullah SAW bersabda: ‘diperbolehkan bagi jama’ah (sekelompok orang) jika lewat hendaklah memberi salam salah seorangnya, dan jika menjawab salampun salah seorangnya.” (Ahmad)
3. sekelompok umat islam ketika bersepakat atas suatu perkara, dalam sebuah hadits dari Tamim Ad-Daariy ia berkata: pada zaman Umar manusia berlomba-lomba meninggikan bangunan, maka Umar berkata: wahai bangsa Arab rendahkanlah, rendahkanlah, karena tidak ada islam kecuali dengan jama’ah, tidak ada jama’ah kecuali dengan pemerintahan, dan tidak akan ada pemerintahan kecuali dengan keta’atan.” (Ad-Darimi). (Zakaria, 1: 2001)
Chalil (1999: 442-445) menambahkan bahwa jama’ah bukan saja kelompok atau orang dengan jumlah yang banyak, mengutip beberapa hadits Nabi SAW diantaranya;
قال ابن مسعود: من كان على الحقّ فهو الجماعة و إن كان واحدا.
Ibn Mas’ud berkata: siapa yang berada pada kebenaran, maka dia ada pada jama’ah walaupun sendirian.
قال علي ابن إبي طالب: الجماعة و الله مجامعة أهل الحقّ و إن كان قلوا و الفرقة مجامعة أهل الباطل و إن كان كثروا.
Ali Ibn Abi Thalib berkata: adapun al-jama’ah itu, demi Allah, ialah perkumpulan ahli hak walaupun sedikit, dan firqah itu adalah perkumpulan ahli kebatilan walaupun banyak.
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَ سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إلَّا وَاحِدَةً. قَالُوا: مَنْ هم يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدوَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ
“Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan; dan kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Sedangkan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Para shahabat bertanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab, “Mereka yang mengikuti jalan yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.”
(H. R. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ. رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ
“Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan; satu masuk ke dalam surga, sedangkan 70 golongan lainnya masuk ke dalam neraka. Nashraniy akan terpecah menjadi 72 golongan. Tujuh puluh satu golongan masuk ke dalam neraka, satu masuk surga. Demi Dzat Yang jiwa Mohammad ada di tanganNya, sungguh, umatku akan terpecah menjadi 73 golongan; satu golongan masuk ke dalam surga, sedangkan 72 golongan lainnya masuk ke dalam neraka”. Para shahabat bertanya, ”Ya Rasulullah, siapa mereka?” Nabi menjawab, ”Al-jamaa’ah”. (H. R. Ibnu Majah)
Dalam kitab Aun Al-Ma’bud (Zakaria, 2001: 8) disebutkan bahwa:
الجماعة أي أهل القرآن و الحديث و الفقه و العلم الّذين اجتمعوا على إتباع آثاره صلّى الله عليه وسلّم في جميع الأحوال كلها و لم يبتدعوا بالتّحريف و لم يبدلوا بالأراء الفاسدة.
Al-jama’ah adalah ahli al-quran, hadits, fiqh, dan ahli ilmu yang mereka telah bersepakat untuk mengikuti jejak Rasulullah SAW dalam segala hal, dan tidak mengadakan perubahan dan tidak pula mengganti dengan pemikiran-pemikiran yang rusak.
Dari berbagai pendapat di atas, makna jama’ah yakni kumpulan atau himpunan orang yang pada hakikatnya lebih menekankan pada kualitas dari seorang ataupun banyak orang dalam melaksanakan hak, walaupun kuantitasnya sedikit bahkan hanya seorang saja.
B. Latar Belakang Sejarah Ahlu As-Sunnah Wa Al-Jama’ah
Penyebutan Ahlu As-Sunnah Wa Al-Jama’ah sebenarnya jauh sebelum golongan Asy’ariy dan maaturidiy munculpun sudah populer dikalangan para sahabat Nabi SAW. seperti dalam tafsir Ibn Katsir tentang ayat 106 surat Ali Imran yang berbunyi: ‘Abdullah Ibn Abbas ra. Berkata: yakni pada hari kiamat, ketika menjadi putih wajah-wajah ahlu as-sunnah wa al-jama’ah. Dan menjadi hitam wajah-wajah ahlul bid’ah dan perpecahan”. (Jawas, 20: 2008)
Berbicara tentang sejarah Ahlu As-Sunnah Wa Al-Jama’ah akan sangat erat kaitannya dengan sejarah islam pada masa khulafa ar-rasyidin terkhusus pada kekhalifahan Ali ra. Dimana umat islam dihadapkan pada permasalahan politik yang pada akhirnya mengakar pada masalah teologi. Setelah wafatnya khalifah Utsman ra. Yang maju menjadi calon terkuat adalah Ali ra., namun kemudian Ali mendapatkan tantangan dari berbagai pemuka yang tidak mau mengakui kekhalifahannya, mereka adalah Talhah, Zubeir dan Mu’awiyah. Talhah dan Zubeir berhasil dilumpuhkan dalam perang di Irak, sedangkan pertempuran dengan Mu’awiyah dan pengikutnya pasukan Ali-pun dapat melumpuhkan lawan, namun kemudian Amr Ibn Al’as sebagai tangan kanan Mu’awiyah mengangkat Al-Quran sebagai tanda perdamaian. Sementara itu pasukan Ali mendesak untuk menerima tawaran tersebut, hingga dicarilah jalan keluar dari permasalahan ini yakni dengan mengadakan arbitrase (tahkim) yang diwakili Amr Ibn Al-as sebagai dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali, yang berakhir dengan kelicikan Amr Ibn Al-as yang mengangkat Mu’awiyah sebagai khalifah. (Nasution, 4: 1986)
Disadari atau tidak peristiwa ini sangat merugikan pihak Ali yang sebenarnya sebagai khalifah legal, dan sangat menguntungkan Mu’awiyah yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur Damaskus. Jelas saja Ali dan pengikutnya menolak mengakui Mu’awiyah sebagai khalifah dan tidak meletakan jabatannya, hingga wafatnya pada 661 M. (Nasution, 5: 1986)
Dari sini kemudian muncullah golongan khawarij yang keluar dari barisan Ali karena menganggap bahwa Ali melakukan kesalahan. Masalah politik inilah kemudian berimbas pada masalah teologi, timbul permasalahan siapa yang kafir, siapa yang keluar dari islam, dan siapa yang masih dalam islam. Kaum khawarij ini menganggap bahwa Ali, Mu’awiyah, dan pengikutnya yang menerima tahkim adalah kafir, karena tidak menjalankan hukum dengan hukum Allah SWT, maka mereka memutuskan untuk membunuh para pengikut Ali dan Mu’awiyah. Kaum khawarij ini kemudian terpecah menjadi beberapa sekte, konsep kafirpun mulai berubah, bukan saja orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, tapi juga orang yang berdosa besar juga dipandang kafir. Persoalan ini lantas melahirkan aliran-aliran teologi dalam islam, yakni Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabbariyah dan Mu’tazilah. (Nasution, 6-9: 1986)
Ahlu as-sunnah wa al-jama’ah lahir sebagai reaksi dari faham-faham mu’tazilah yang dirasa terlampau mengagungkan akal di atas wahyu. Sebutan ahlu as-sunnah wa al-jama’ah ini kemudian dinisbatkan pada golongan yakni Asy’ariyah dan Maturidiyah yang menisbatkan namanya pada dua tokoh Ahlu as-sunnah wa al-jama’ah; Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Sebagai reaksi dari penentangan terhadap mu’tazilah, di Mesir muncul pula golongan Thahawiyah yang dipimpin At-Tahawi, namun ajaran-ajarannya tidak menjelma sebagai aliran teologi dalam islam. (Nasution, 9: 1986)
C. Tokoh ahlu as-sunnah wa al-jama’ah
a. Abu Hasan Al-Asy’ari (Asy’ariyah)
Nama lengkapnya Abu Hasan Ali bin Isma’il Al-Asy’ari bin Ishak, lebih dikenal dengan nama Abu Hasan Al-Asy’ari yang merupakan keturunan Abu Musa Al-Asy’ari. Dilahirkan di Bashrah pada 260 H bertepatan dengan 874 M. Ayahnya wafat ketika beliau masih kecil, Al-Asy’ari-pun diasuh oleh Zakaria As-Saji yang merupakan imam hadits dan fiqh. Al-Asy’ari belajar ilmu kalam kepada seorang pemuka mu’tazilah; Abu Ali Al-Juba’i yang tidak lain adalah ayah tirinya (Riswanto, 357: 2010). Dalam sumber lain digambarkan kedekatan Al-Asy’ari dengan Al-Juba’i hingga Al-Juba’i mempercayakan perdebatan dengan lawannya kepada Al-Asy’ari. (Nasution, 65: 1986)
Al-Asy’ari beralih paham setelah lebih kurang 40 tahun menjadi pengikut mu’tazilah, dalam beberapa sumber dikatakan bahwa hal ini terjadi karena dua sebab; pertama, Al-Asy’ari bermimpi diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk meninggalkan mu’tazilah dan beralih ke paham salaf (Riswanto, 357: 2010), atau paham ahli hadits (Nasution, 65: 1986). Kedua, terjadi perdebatan dengan Al-Juba’i yang menimbulkan ketidakpuasan pada diri Al-Asy’ari, berikut kutipan perdebatan tersebut:
Al-Asy’ari: bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: mu’min, kafir dan anak kecil di akhirat?
Al-Juba’i: yang mukmin adalah penghuni surga, orang kafir penghuni neraka dan anak kecil penghuni keselamatan.
Al-Asy’ari: jika anak kecil ingin naik ke derajat yang lebih tinggi ke surga, apakah hal tersebut bisa terjadi?
Al-Juba’i: tidak, karena mu’min mendapat derajatnya karena taat, sedangkan anak kecil tidak dengan taat.
Al-Asy’ari: jika anak kecil berkata: ‘umur yang pendek bukan berasal dariku. Jika engkau hidupkan aku, aku pasti aku akan taat kepada-Mu?.’
Al-Juba’i: Allah akan berkata kepadanya; ‘Aku tahu jika kamu menjadi besar, kamu akan kufur dan masuk neraka. Dengan demikian, hal yang lebih baik bagi kamu adalah meninggal ketika masih kecil.’
Al-Asy’ari: jika orang kafir berkata; ‘wahai Tuhanku, mengapa Engkau tidak mematikanku ketika aku masih kecil hingga aku tidak mendurhakai-Mu?. Mengapa tidak Engkau memperhatikan kemaslahatanku sebagaimana engkau memperhatikan kemaslahatan anak kecil?.
Al-Juba’i tak dapat menjawab pertanyaan tersebut, hingga Al-Asy’ari-pun memutusan untuk meninggalkan mu’tazilah. (Riswanto, 357-358: 2010)
40 tahun menjadi penganut setia ajaran mu’tazilah bukanlah waktu yang sebentar, bahkan boleh jadi ajaran-ajaran mu’tazilah sudah sangat melekat kuat pada diri Al-Asy’ari, lantas apa yang membuat Al-Asy’ari mengalami keraguan terhadap ajaran yang sudah ia pegang sejak puluhan tahun?. Muncul berbagai spekulasi yang menjelaskan hal ini;
• Menurut Ahmad Mahmud Syubki, hal ini terjadi karena Al-Asy’ari menganut madzhab Syafi’i yang menolak ajaran-ajaran mu’tazilah.
• Adapun menurut Hammudah Ghuraba, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Juba’i banyak menimbulkan persoalan yang tidak dapat diselesaikan secara memuaskan.
• Kalangan orientalis Mac Donald berpendapat bahwa keraguan yang dialami Al-Asy’ari tidak terlepas dari darah padang pasir yang mengalir dalam tubuhnya, kaum arab padang pasir cenderung bersifat tradisional dan fatalistik.
• Spitta mengungkapkan bahwa Al-Asy’ari mengkaji hadits-hadits dan melihat perbedaan antara ajaran-ajaran mu’tazilah dengan ajaran islam yang digambarkan dalam hadits.
• Perlu diingat juga bahwa Al-Asy’ari meninggalkan mu’tazilah ketika aliran ini mengalami kemunduran setelah khalifah Abbasiyah yang dulu menetapkan aliran ini sebagai madzhab resmi pemerintah satu persatu wafat. Hingga Al-Mutawakkil-pun memberi penghargaan terhadap Ibn Hanbal dan pengikutnya. Mungkin saja Al-Asy’ari meninggalkan mu’tazilah karena pada saat itu tidak lagi diterima masyarakat umum. (Nasution, 67-68: 1986)
Kemudian ia mulai menyebarkan paham barunya yang disebut dengan Asy’ariyah. Sepeninggalnya beliau pada 936 M/ 324 H di Bagdad, para pengikutnya menyebarkan ajaran-ajaran Asy’ariyah, diantara tokoh-tokohnya;
1. Abu Bakr Muhammad Ibn At-Thayyib Al-Baqillani.
Lahir di Bashrah pada 338 H/ 950 M, Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili. beliau wafat di Bagdad pada 1013 M. Ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri. (Azhar dkk, 14-18: 2010)
2. Abdullah Ibn Yusuf Ibn Muhammad Ibn Hayyuwaih Al-Juwaini
Beliau lahir di Juwain- Naisabur, dan wafat pada 438 H/ 1047 M. Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Terkait perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan. (Riswanto. 362: 2010)
3. Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali
Beliau adalah murid dari Al-Juwaini yang lahir pada tahuh 450 H/1058 M, dan wafat pada 1058 H/1111 M. (Riswanto. 380: 2010)
Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi. Selanjutnya ia menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia. (Azhar dkk, 18: 2010)
b. Abu Mansur Al-Maturidi (Maturidiyah)
Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengahan abad ke dua masehi dan wafat pada 944 M bertepatan dengan 333 H yakni 10 tahun setelah Al-Asy’ari wafat. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui orang, ia merupakan pengikut Abu Hanifah. (Nasution, 76: 1986)
Setelah Al-Maturidi wafat, pemikiran-pemikirannya diwarisi dan diperjuangkan oleh murid-muridnya, di tangan mereka ini Maturidiyah membentuk diri sabagai aliran kalamiyah yang muncul pertama kali di Samarkand. Murid-murid Al-Maturidi mulai menyebarkan pemikiran-pemikiran guru mereka, mereka menulis buku-buku hasil pemikiran-pemikiran Al-Maturidi laku. Karena kesamaan dalam madzhab yang dianut masyarakat Samarkand, aliran ini mendapat pengakuan dan menyebar luas. Diantara tokoh-tokoh aliran ini adalah:
1. Abul Qasim Ishaq bin Muhammad bin Ismail Al-Hakim Al-Samarkandi, wafat tahun 342 H, dia dikenal dengan Al-Hakim karena hikmahnya yang banyak dan nasihat-nasihatnya.
2. Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa al-Bazdawi, wafat tahun 390 H, selanjutnya orang ini memiliki seorang cucu yang menjadi salah satu pembawa pemikiran-pemikiran Maturidiyah, dia adalah Abul Yasar al-Bazdawi Muhammad bin Muhammad bin al-Husain bin Abdul Karim yang berjuluk al-Qadhi ash-Shadr, Syaikh madzhab Hanafi di Bazdawah pada masanya.
3. Abul Yasar al-Bazdawi Muhammad bin Muhammad bin al-Husain bin Abdul Karim, Al-Bazdawi belajar dari ayahnya yang belajar dari kakeknya Abdul Karim salah seorang murid Abu Mansur, di samping dia membaca kitab-kitab ahli filsafat seperti al-Kindi dan lainnya, dia juga mempelajari buku-buku Mu’tazilah seperti al-Jubba’i, an-Nazham dan lain-lain. Dia juga mempelajari buku-buku Al-Asy’ari dan buku-buku Al-Maturidi seperti at-Ta’wilat dan at-Tauhid. Ia wafat di Bukhara tahun 493 H dengan meninggalkan banyak murid, salah satunya adalah Najmuddin Umar bin Muhammad an-Nasafi, peletak sebuah buku dalam akidah yang terkenal dengan al-Aqidah an-Nasafiyah.
4. Najmuddin Umar An-Nasafi, lahir di Nasaf pada tahun 462 H, bisa dikatakan dia adalah pelopor Maturidiyah dalam bidang karya tulis karena dia banyak menuangkan dasar-dasar akidah Maturidiyah dalam buku-bukunya yang berjumlah besar, dia adalah Abu Hafsh Najmuddin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Ismail al-Hanafi An-Nasafi, nisbat kepada Nasaf, sebuah kota di antara Jaihun dan Samarkand.
Dia memiliki banyak karya tulis yang menjadi buku induk dalam menetapkan pemikiran-pemikiran Maturidiyah. Di antaranya; Majma’ al-Ulum, at-Taisir fi Tafsir al-Qur`an, an-Najah fi Syarh Kitab Akhbar ash-Shihah, dan al-Aqidah an-Nasafiyah yang merupakan ringkasan dari buku at-Tabshirah karya Abu Muin an-Nasafi, buku ini adalah salah satu buku terpenting dalam akidah Maturidiyah. Najmuddin Umar an-Nasafi wafat di Samarkand pada malam Kamis, 12 Jumadil Ula 537 H.
Setelah masa Najmuddin Umar an-Nasafi, Maturidiyah mengalami kemajuan dan perkembangan yang berarti, hal ini karena mereka mampu meraih simpati para Sultan Daulah Utsmaniyah yang berpusat di Turki, dan akhirnya para sultan tersebut menjadi pendukung Maturidiyah sehingga pengaruh Maturidiyah menyebar ke negeri-negeri yang dijangkau oleh kekuasaan Daulah Utsmaniyah. (Azhar dkk, 18-22: 2010)
D. Paham-paham ahlu as-sunnah wa al-jama’ah
a. Doktrin-Doktrin Teologi Asy’ariyah
1. Wujud dan Sifat Tuhan
Menurut Al-Asy’ari Allah SWT mustahil mengetahui dengan dzatNya, karena dengan demikian berati dzat Allah adalah pengetahuan itu sendiri dan Tuhan berarti pengetahuan. Allah bukanlah pengetahuan tapi maha mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah dzat-Nya, demikian pulang dengan sifat-sifat-Nya yang lain.
Paham ini juga berpendapat bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, karena yang tidak dapat disifatkan kepada Allah hanya sifat-sifat yang mengandung makna diciptakan-Nya, sedangkan sifat dapat dilihatnya Allah tidak mengandung makna bahwa Allah diciptakan, karena yang dapat dilihat bukan berarti diciptakan. (Nasution, 69:1986)
Terkait wujud Allah yang memiliki tangan, muka, mata dan sebagainya. Al-Asy’ari berkeyakinan bahwa Allah memiliki wujud (mata, muka, wajah) dengan tidak ditentukan bagaimana bentuk dan batasannya. (Nasution, 70:1986)
2. Keadilan Tuhan dan Perilaku Manusia
Perbuatan manusia bagi Al-Asy’ari bukan diwujudkan oleh manusia sendiri, tetapi diciptakan oleh Allah. Adapun tentang keadilan Tuhan, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan berkuasa penuh dan tak satupun yang wajib bagi-Nya. (Nasution, 71:1986)
3. Terkait dosa besar
Paham al-manzil baina manzilatain-nya mu’tazilah ditentang Al-Asy’ari, orang yang berdosa besar tetaplah mu’min karena imannya masih ada, tapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Karena jika orang yang berdosa besar bukan mu’min dan bukan pula kafir, maka sama saja ia tak memiliki iman dan kafir. (Nasution, 71:1986)
4. Al-Quran merupakan kalam atau firman Allah, bukan makhluk. (Riswanto, 358: 2010)
5. Perbuatan Allah tidak bisa dicari illatnya, karena perbuatan-Nya tidak akan ditanya. (Riswanto, 358: 2010)
6. Rasulullah memiliki syafa’at. (Riswanto, 358: 2010)
7. Imamah (kepemimpinan) harus ditetapkan dengan sifat bukan dengan teks. (Riswanto, 358: 2010)
8. Imamah dan khilafah setelah Rasulullah SAW dipegang oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, dan ali ra. (Riswanto, 358: 2010)
9. Allah tidak harus melakukan perbuatan yang baik ataupun yang lebih baik (as-salah wa al-aslah). (Riswanto, 358: 2010)
b. Doktrin-Doktrin Teologi Maturidiyah
Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak menggunakan rasio dalam menentukan pendapat keagamaaan, Al-Matudiri banyak pula menggunakan akal dalam ajaran teologinya, oleh sebab itu terdapat perbedaan antara ajaran dengan ajaran Al-Asy’ari, diantara doktrin ajaran-ajarannya;
1. Sifat-sifat Tuhan, dalam hal ini terdapat persamaan dengan Al-Asy’ari. Yakni Tuhan mengetahui ataupun berkuasa bukan dengan dzat-Nya.
2. Perbuatan manusia
Dalam hal ini Al-Maturidi sependapat dengan mu’tazilah, manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
3. Al-Maturidi menolak paham as-salah dan al-aslah yang dianut mu’tazilah, namun ia berpaham bahwa Allah memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
4. Bahwa Al-Quran adalah kalam Allah bukan makhluq.
5. Terkait dosa besar, Al-Maturidi sepaham dengan Al-Asy’ari, orang yang berdosa masih tetap mu’min, adapun urusan dosanya ditentukan oleh Allah kelak di akhirat.
6. Dalam masalah al-wa’d wa al-wa’id Al-Maturidi sepaham dengan mu’tazilah. Janji dan ancaman Allah tidak boleh tidak terjadi kelak.
7. Sepaham juga dengan mu’tazilah terkait antropomorfisme. (Nasution, 76-79: 1986)
Dalam i’tiqad ahlussunnah wal jama’ah (Abbas, 36: 2002) disebutkan beberapa paham ahlu as-sunnah wa al-jama’ah yang disusun Al-Asy’ari:
a. Tentang ketuhanan
Tuhan adalah ada, Dia memiliki banyak sifat yang meliputi sifat jamal, jalal dan kamal, yang terincikan dalam 20 sifat yang wajib dan mustahil bagi Allah.
b. Tentang Malaikat-malaikat
Meyakini adanya makhluk suci yang Allah ciptakan dari cahaya, adapun bentuk malaikat hanya Allah yang tahu. Malaikat terdiri dari jumlah yang banyak, akan tetapi yang wajib manusia ketahui hanya 10, selain malaikat juga terdapat makluk lain selain manusia, yaitu jin dan iblis.
c. Tentang Kitan-kitab suci
Kaum ahlu as-sunnah wa al-jama’ah meyakini adanya kitab-kitan suci yang Allah turunkan kepada para utusannya. Terdapat empat kitab suci yang wajib diimani yakni; Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran.
d. Tentang Rasul-rasul
Mengimani para Rasul merupakan suatu keharusan bagi umat islam, terkhusus yang wajib diimani yakni yang 25 orang.
e. Tentang Hari akhir
Umat islam meyakini akan terjadinya hari kiamat, surga dan neraka dikekalkan, dan tidak akan lenyap sebagaimana paham mu’tazilah.
f. Tentang Qada dan Qadar
Qada dan qadar Allah menjadi hal yang sangat diperdebatkan terutama di kalangan Qadariyan, Jabbariyah dan mu’tazilah. Maka ahlu as-sunnah wa al-jama’ah meyakini bahwa qada dan qadar Allah sudah ditetapkan sejak azali, sesudah kita berusaha baru kemudian kita serahkan kepada-Nya.

Comments