Sandaran Syari’at Mengenai Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak-Anaknya

terjemahan oleh Hilman Fitri dari tarbiyyatul aulad yang diberikan oleh anak-anak IPAI UPI
Terdapat beberapa keterangan ayat al-Quran serta hadis Nabi saw mengenai hak orang tua, (ayah dan ibu) dalam memuliakan (mendidik) serta memelihara anak-anaknya. Diantaranya firman-Nya SWT :
قَالَ إِنِّي لَيَحْزُنُنِي أَنْ تَذْهَبُوا بِهِ وَأَخَافُ أَنْ يَأْكُلَهُ الذِّئْبُ وَأَنْتُمْ عَنْهُ غَافِلُونَ
Berkata Ya'qub: "Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah dari padanya."
قَالَ هَلْ آمَنُكُمْ عَلَيْهِ إِلَّا كَمَا أَمِنْتُكُمْ عَلَى أَخِيهِ مِنْ قَبْلُ فَاللَّهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
Berkata Ya'qub: "Bagaimana aku akan mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?". Maka Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan Dia adalah Maha Penyanyang diantara para penyanyang.
قَالَ لَنْ أُرْسِلَهُ مَعَكُمْ حَتَّى تُؤْتُونِ مَوْثِقًا مِنَ اللَّهِ لَتَأْتُنَّنِي بِهِ إِلَّا أَنْ يُحَاطَ بِكُمْ فَلَمَّا آتَوْهُ مَوْثِقَهُمْ قَالَ اللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ
Ya'qub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh." Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Ya'qub berkata: "Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)."
Ayat-ayat quran ini menjelaskan bahwa Nabi Allah yaitu Ya’qub as merasa takut atas anaknya Yusuf pada kali pertama karena pergi bersama saudara-saudaranya untuk bermain tatkala mereka memintanya lalu Ya’qub menolaknya berdasarkan pengetahuannya bahwa terdapat kecemburuan di hati mereka (anak-anaknya), akan tetapi kecemburuan itu tidak Nampak secara jelas sehingga ia tidak bisa membatalkan hasil perundingannya serta menerangkan sebab (penolakannya) dikarenakan ia tidak ingin membedakannya, ditambah ketakutannya terhadap adanya penyerangan serigala atas yusuf ketika mereka tersibukan oleh permainan, maka tatkala mereka meminta ijin serta berjanji akan menjaganya ia pun mengijinkannya pergi bersama mereka sehingga terjadi sebagaimana terjadinya.
Selanjutnya para kali kedua, mereka meminta agar saudaranya Bunyamin ikut menemani mereka dikarenakan raja Mesir melarang memberi makan kepada mereka kecuali jika mereka datang kepada raja itu dengan saudaranya itu. Ya’qub as menolak sampai ia mengambil sumpah serta janji dari mereka untuk membawanya pulang kembali kecuali jikalau terjadi sesuatu terhadap mereka semua.
Dalam cerita ini kita mendapati kewajiban seorang ayah untuk mengajarkan anaknya sebuah peranan dalam melaksanakan tanggung jawabnya dengan penuh pemeliharan, perlindungan dan rasa aman.
Allah berfirman:
وَقَالَ يَا بَنِيَّ لَا تَدْخُلُوا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُوا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ وَمَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ
Dan Ya'qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri." Seorang ayah disini mengarahkan anak-anaknya serta memberi petunjuk menuju jalan yang aman.
Allah SWT berfirman:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Di dalam ayat yang mulia ini terdapat pembagian peranan orang tua. Adapun seorang ibu tugasnya ialah menyusui sesuai waktu yang ditentukan, adapun penetapan kewajiban bagi seorang ayah adalah memberi nafkah. Itu disesuaikan dengan batasan kemampuan yang ada (pent. pada diri mereka). Hal itu (pemberian ASI) sebelum adanya kewajiban ayah (karena ia hanya memberi nafkah tak perlu ikut menyusui), dari mulai melahirkan sampai mencapai baligh. Akan tetapi jikalau mereka bersama-sama mengurus anak itu dalam hal ini maka kewajiban mereka ialah mendidik, menumbuhkembangkannya, serta memuliakannya (membimbingnya), karena urusan tersebut tidak hanya menyangkut pemeliharaan fisik serta material saja, akan tetapi menyangkut juga bahwa harus ada bimbingan, pendidikan, serta pemberian arahan.
Beberapa hadis mengisyaratkan adanya perhatian Rasulullah saw untuk memberikan pendidkan yang terbaik bagi anak-anak serta cara menumbuhkembangkan mereka. Diantaranya sebagaimana diriwayatkan oleh Umar Ibn Abi Salamah dia berkata: ketika aku kecil berada di pangkuan Rasulullah, tanganku tidak hati-hati berada di atas piring, lalu Rasulullah saw bersabda kepadaku: “Wahai anak kecil ucapkanlah nama Allah, serta makanlah yang berada disebelah kananmu, dan makan pula makanan yang dekat denganmu.” Maka setelah itu hal itu senantiasa aku lakukan ketika aku makan. (dikeluarkan oleh al-Bukhari di dalam Bab Ath’imah pada kitab shahihnya).
Dari cerita ini kita mendapati ‘Umar ibn Abi Salamah memberikan petunjuk akan bimbingan Rasulullah saw padanya serta didikan beliau terhadapnya mengenai etika dalam perjamuan (makanan). Sehingga jadilah perkataan Rasulullah mengenai etika tersebut satu perilaku tataraca makan Umar, hal ini juga mengharuskan kita memperhatikan perilaku ‘Umar dalam melaksanakan arahan dan bimbingan Rasulullah saw.
Terdapat hadis yang lainnya mengenai kewajiban orang tua tersebut sebagaimana yang diriwayatkan Mu’adz yang berkata bahwa Rasulullah saw telah mewasiatkan sepuluh Asas yang terangkai dalam kalimat yang mengandung nilai bimbingan dan pendidikan pada kedudukan yang tinggi dikarenakan ketinggian akhlak serta tatacara beragamanya, Rasulullah bersabda: “Janganlah engkau mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun walau engkau dibunuh dan dibakar hidup-hidup, jangan sekali-kali engkau durhaka kepada kedua orang tuamu walau keduanya menyuruhmu keluar dari keluargamu dan hartamu. Janganlah engkau sekali-kali meninggalkan sholat wajib dengan disengaja karena sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan sholat secara sengaja maka hilanglah perlindungan Allah darinya. Janganlah engkau meminum khamar karena ia merupakan pangkal dari setiap perbuatan keji/ jelek. Hindarilah olehmu perbuatan maksiat karena dengan berbuat maksiat maka ia akan menghalalkan apa yang Allah tidak sukai. Janganlah kamu lari pada waku perang berkecamuk walaupun pada akhirnya manusia akan binasa. karena kematian tersebut yang akan menimpa manusia dan engkau berada diantara mereka maka tetaplah berperang. Berinfaklah kepada keluargamu sesuai kemampuanmu. Janganlah kamu membiarkan mereka terlepas dari ikatan keluarga sebagai cara untuk mendidik (mereka), serta takutlah kepada Allah SWT.
Hal terpenting yang harus dilakukan oleh orang tua ialah mendidik anak agar memiliki rasa tanggung jawab baik secara umum maupun khusus. Nash-nash (pedoman) Islam berupa ayat-ayat al-Quran serta hadis Nabi saw memperkuat asas/ pondasi (mendidik anak) ini. Telah jelas masalah ini bagi kita berdasarkan firman Allah SWT:
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (1) الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ (2)
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. .
Kehidupan dunia ini merupakan tempat pilihan, terdapat hal-hal diwajibkan serta kebebasan berkehendak dengan tetap harus mempunyai rasa tanggung jawab, berusaha untuk mencapai tujuan-tujuannya, membiasakan melakukan kewajibannya sehingga setiap muslim dapat mengambil bagiannya untuk menegakkan agama Islam, mendapatkan ridho Allah ‘Azza wa Jalla serta dijauhkan dari murka-Nya Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.
Perhatian Islam ini menekankan akan pentingnya tanggung jawab secara umum, sebagaimana hadis Rasulullah saw yang telah kami kemukakan sebelumnya yaitu “setiap dari kalian ialah seorang pemimpin dan tiap-tiap kalian akan dimintai pertanggung jawabannya atas yang dipimpinnya. Perhitungan Rasulullah saw ini berlaku bagi berbagai kelompok, serta saling menjelaskan bahwasannya perkara ini merupakan kepentingan jama’ah (umum) seluruhnya. Kita ikut serta di dalamnya secara berjamaah semuanya berdasarkan kemampuan masing-masing serta berdasarkan peran serta kedudukannya dalam hubungan status sosial.
Hal ini memungkinkan orang tua menjadi tonggak awal dalam keberikatannya (di masyarakat) dengan cara:
1. Pemahaman, maka akan timbul dalam diri anak perasaan bahwa ia merupakan bagian dari masyarakatnya dan wajib memahami tata sosial dan etika masyarakatnya serta mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan mereka, dari segi pertumbuhan masyarakat, perkembangannya, tempat tinggalnya, peranannya masing-masing, permasalahan yang dihadapinya, lembaga-lembaga sosialnya, serta kerjaannya tanpa menekankan untuk mengerjakannya dalam satu waktu melainkan harus secara bertahap.
2. Perasaan, maka ketika pemahaman itu berhubungan erat dengan berbagai segi yang ia ketahui maka timbullah yang dinamakan “adanya rasa memiliki”, oleh karena itu tidak cukup bagi kita hanya mengenalkan anak-anak itu kepada ini dan itu yang berhubungan dengan masyarakat, karena kita wajib melakukan apa yang telah mereka ketahui tersebut, baik itu hal yang menyenangkan maupun menyedihkan, misalnya mengenai perintah tidak hanya cukup dengan memberikan nasihat saja akan tetapi perintah tersbut haruslah diiringi dengan contoh teladan dan cara melakukannya.
3. Tindakan, yaitu bergerak untuk melaksanakan sebagian kewajiban sekolah yang terkait dengan mereka, atau yang berhubungan dengan daerah sekolah mereka berada maupun dimana keluarganya tinggal.
Dengan demikian pendidikan seorang anak muslim harus didasarkan adanya rasa tanggung jawab begitu juga harus disertai dengan penanaman nilai keimanan kepada Tuhan berupada adanya ganjaran dan hukuman. Seorang muslim hendaknya mempergunakan sebagian besar waktunya, jerih payahnya, serta kemampuannya untuk ikut serta melakukan hal kebaikan bagi kepentingan masyarakat serta hal-hal yang wajib tanpa harus menunggu adanya persetujuan dari pemerintah atau takut akan murkanya begitu juga tidak mengharapkan adanya imbalan atas kerjaannya itu, walaupun itu hal penting dalam hidup seseorang, hendaklah ia hanya mengharap pahala hanya dari Allah atau melindungi dirinya dari murka-Nya. Allah SWT berfirman:
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ (109)
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.
إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu
Ketika suatu pendidikan diimplementasikan berdasarkan pondasi keimanan ini maka pendidikan tersebut akan mengambil bagian yang besar dalam menancapkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan umum serta menumbuhkembangkan manusia yang positif dengan senantiasa melakukan hal-hal yang benar dengan tidak seperti anjing menjulurkan lidahnya yang berharap kepada tuannya atau meminta perlindungan dari seorang petani. Karena dengan hal ini ruh akan mengokohkan perasaan bebasnya. Sehingga ketika ruh itu merasa bebas dari ketertundukan terhadap yang lainnya demi mencari upah atau ganjaran maka selamanya ia tidak akan tunduk kecuali hanya pada Allah yang di sisi-Nya terdapat ganjaran yang paling baik.
Pendidikan anak yang didasarkan keterikatan (hubungan sosial) yang mempunyai suatu peranan yang kami kaitkan dengan orang yang tidak diberi upah serta dipaksa dengan berbagai aneka macam pekerjaan yang ditentukan untuk menyibukkannya, maka ia akan mendapatkan bimbingan yang buruk, serta nilai (norma/agama) yang negatif. Oleh karena itu hendaknya keterkaitannya itu didasarkan pondasi yang dapat melindungi orang yang berserikat tersebut, lalu memebrikan orang yang berserikat tersebut kebebasan untuk memilih bidang yang akan ia geluti. Bersamaan dengan hal itu harus disertai pula kebebasan dalam berfikir, belajar, meminta penjelasan, menjawab, serta melakukan analisis dalam hal penilaian, penerimaan, kerpalingan, penolakan, bersikap marah, menyangkal serta mendebat. Semua hal itu akan menanamkan padanya nilai kebebasan dalam berserikat. Serta ia akan merasakan adanya pengaruh baik selama penemuannya itu bahwasannya ia berserikat berdasarkan kemauannya sendiri dengan tanpa dipaksa oleh suatu kekuasaan.
Orang yang merenungkan firman-Nya yang berbunyi: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. Dia akan menemukan bahwasannya Islam sejak kali pertama telah memikulkan kepada manusia sebuah misi yang sangat besar di dunia ini, sebuah misi yang dapat memakmurkan serta menumbuhkembangkan bumi ini, sebuah misi kepemimpinan serta penghambaan yang termasuk kepada hal yang penting untuk di pusatkan dalam pemberian latihan pada anak-anak tersebut atas tanggung jawab yang harus dipikulnya.
Kewajiban Manusia Secara Umum Serta Anak-Anak Secara Khusus
Hal yang penting pada pendidikan anak dalam Islam ialah bersosialisasi dengan baik dengan pemerintah serta taat kepadanya dimana pemerintah tersebut yang mengeluarkan undang-undang serta menetapkan segala kewajiban-kewajiban (pent. warga negaranya), sehingga ia wajib ikut serta menanggung tanggung jawab bersama, karena ini merupakan perkara yang penting demi menghilangkan sikap berlebihan pada diri seorang muslim dalam setiap perilaku yang merupakan haknya. Dan hendaklah ia berpegang teguh kepada undang-undang itu dan berusaha dengan keras untuk melakukan (ketentuan tersebut), serta membelanya demi memuliakan tempat-tempat yang dimuliakan di sisi orang muslim serta merasakan kebahagiaan serta memperkuat keberadaan dirinya (aktualisasi diri), sehingga memunculkan pada dirinya kemampuan untuk bertindak serta melakukan penerimaan suatu beban.
Allah swt berfirman di dalam al-Quranil Karim:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (30) وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (31) قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (32) قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ (33) وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (34)
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!". Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?". Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Ayat ini mengandung sebuah kaidah (pondasi) dasar mengenai kewajiban manusia di dalam agama Islam. Allah swt memuliakan manusia dengan cara memerintahkan malaikat untuk menghormati manusia, memberikan kedudukan yang paling tinggi serta menetapkan baginya segala yang tersedia di dunia ini yang dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagaimana Allah swt telah menundukkannya bagi manusia.
Secara jelas bahwa dasar pertama persamaan (hak dan kewajiban) ialah sebagaimana yang diproklamirkan oleh agama Islam, sebagai bahan penelitian dan pengkajian pada undang-undang. Sumbernya tidak lain dari aqidah tauhid itu sendiri. Dengan demikian bahwa yang pertama kali mencetuskannya tidak lain ialah yang telah menciptakan langit dan bumi yang Maha Esa, dan bahwasannya manusia seluruhnya tanpa terkecuali diatur oleh Allah untuk melakukan peribadahan kepada Allah saja secara mutlak, Allah berfirman: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.
Sang pencipta manusia telah menambahkan bagi manusia berupa kekuatan yang berbeda-beda serta berbagai macam kehebatan yang mereka miliki untuk diberikan cobaan yang akan diberikan kepada tiap-tiap individu dari mereka. Dan Allah akan menanyai mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka lakukan lalu tidaklah seorang pemimpin di dunia ini yang merupakan laki-laki yang beruntung karena kedudukannya itu akan mengadilinya, serta bukankah seorang yang kaya raya itu hanyalah manusia biasa demikianlah ia juga akan diadili kekayaannya itu yang ia nikmati. Maka kedua lelaki itu berada pada suatu kondisi cobaan (kepemimpinan dan kekayaan) yang akan menyebabkannya bahagia ataukah merugi sebagaimana juga manusia lainnya mereka akan diberi azab ataukah pahala sesuai dengan keistiqamahannya (berada dalm Islam) serta penyimpangannya. Karena amalannya lah yang akan dilihat secar teliti oleh Allah dan manusia. Allah berfirman;
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
Sehingga jelaslah kewajiban manusia bahwa ia hendaklah mengajarkan anaknya hanya untuk berbakti kepada Allah serta melakukan semua pekerjaannya hanyalah semata-mata untuk berkhidmat kepada Allah karena itulah sebenar-benarnya kehidupan. Mengenai hal ini juga terdapat beberapa ayat yang menekankan hak Allah di dunia ini serta larangan untuk bertindak melampaui batas ketentuannya serta telah disediakannya beraneka ragam azab baik di dunia maupun di akhirat.
Allah SWT berfirman;
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar." Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
daftar pustaka
Q.S Yusuf: 13
Q.S Yusuf: 64
Q.S Yusus :67
Q.S al-Baqarah: 233
Muhammad Abdullah ‘abdi hal. 24
H.R Ahmad dalam Musnad al-Anshari juz 5 hal. 238
Q.S al-Mulk : 1-2
Q.S at-Tahrim: 6
Q.S asy-Syu’araa: 109
‘Ali Hasan Ali Alquraisy, Dirasah Tahlili Limuqaamati Attarbiyah As-Siyasah Fii Dhoil Quranil Karim Wa Sunnah An-Nabawiyyah, thesis, Fakultas Pendidikan Universitas ‘Ainu Syamsi hal. 283
Q.S al-Baqarah: 30-34
Q.S Maryam: 93-95
Q.S at-Taubah: 105
Ja’far ‘Abdus Salam, Al-Islam Wa Huququl Insan, Rabithah Jamiat Islamiyyah, Kairo, 2002 M, Hal. 79
Q.S al-An’am: 151

Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

KAJIAN BALAGHAH: JINAS

المشاكلة في البلاغة