Hukum Bermadzhab dalam Islam

Hilman Fitri
Pengampu Mata Pelajaran Bahasa Arab dan Hadis
Kepala Perpustakaan SDIT Uswatun Hasanah
A. Pengertian Madzhab
Secara bahasa, menurut Chalil (1955: 437) kata madzhab itu berasal dari kata kerja (fi’il) ذهب (dzahaba)-يذهب (yadzhabu)- ذهابا (dzhaaban)- ذهوبا (dzuhuban)- مذهبا (madzhaban). Kata dzahaba ini sering diartikan “ia telah berjalan”, “ia telah berlalu”, “ia telah pergi”, “ia telah mati”, dan lain-lainnya lagi yang serupa itu. Tetapi pada umumnya dalam bahasa arab terpakai dengan arti “berjalan” atau “pergi”. Maka kata madzhab itu biasanya diartikan dengan “jalan” atau “tempat yang dilalui”.
Sedangkan menurut Ahmad Mukhtar (2008: 825) lafadz madzhab memiliki beberapa makna, diantaranya:
مَذْهَب [مفرد]: ج مذاهِب:
1 - مصدر ميميّ من ذهَبَ/ ذهَبَ إلى/ ذهَبَ بـ/ ذهَبَ على/ ذهَبَ عن/ ذهَبَ في.
1. Mashdar mimi dari fi’il ذهبyang bermakna pergi, membawa pergi, melupakan, menghindar, berpendapat.
2 - طريقة، قصد، رأي، وجهة نظر "مذهبي في الحياة كذا- متعصِّب لمذهبه- تحمّس لمذهب فلان" ° ضاقت به المذاهب: ضاقت عليه المسالك- للناس فيما يعشقون مذاهب- ما يُدرى لفلان مذهب: رأي ثابت- مذهب تاريخيّ.
2. Metode/cara/ jalan, tujuan, pendapat, arah pandangan misalnya arah pandangan hidupku demikian- orang yang yang fanatic terhadap madzhabnya, berkobar-kobar terhadap madzhab si Fulan; madzhab-madzhab tersebut membuatnya tidak berdaya yakni jalan-jalan/ pandangan-pandangan itu membuatnya tidak berdaya/ merasa sempit- madzhab-madzhab tersebut sudah melekat pada orang-orang- tidak diketahui madzhabnya si Fulan; pandangan yang tetap- metode historis.
3 - معتقد دينيّ "اتبع المذهب المالكيّ" ° المذاهب الإسلاميّة.
3. Keyakinan beragama misalnya “dia mengikuti madzhab Maliki” atau madzhab-madzhab islam.
4 - (سف) مجموعة من الآراء، والنظريّات العلميّة والفلسفيّة، يرتبط بعضها ببعض ارتباطًا يجعلها وحدة منسَّقة "مذهب الأشاعرة- المذهب الوجوديّ".
4. (secara filosofis) ia merupakan sekumpulan pendapat, teori-teori ilmiah serta filsafat, yang sebagiannya berkaitan erat dengan sebagian yang lainnya serta menjadikannya suatu madzhab yang teratur/ tersusun rapih, misalnya madzhab prosa- madzhab ontology.
Namun di dalam salah satu hadis, terdapat hadis yang menunjukkan makna madzhab dengan arti “tempat buang air”, misalnya seperti yang diriwayatkan oleh an Nasa’I (1986: 18), Abi Daud (tt: 1), Ibn Majah (tt: 120), ath Thabrani (tt: 436 j. 20), dan ibn Khuzaimah (tt: 30) sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَ: أَنْبَأَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا ذَهَبَ الْمَذْهَبَ أَبْعَدَ. قَالَ: فَذَهَبَ لِحَاجَتِهِ وَهُوَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَقَالَ: «ائْتِنِي بِوَضُوءٍ، فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوءٍ، فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ» قَالَ الشَّيْخُ: إِسْمَاعِيلُ هُوَ ابْنُ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي كَثِيرٍ الْقَارِئُ
Sesungguhnya Rasulullah apabila hendak pergi menuju madzhab (tempat buang air, ia menjauh. Kata Rawi: Maka Ia pergi untuk hajatnya pada sebagian perjalanannya. Lalu Rasulullah saw bersabda: berikanlah kepada air wudhu lalu diberikanlah air wudhu kemudian ia pun berwudhu dan mengusap kedua sepatunya.
Hadis ini menurut al Albani (1995: 149 j. 3) dihukumi Hasan Shahih sebagaimana juga al Hakim (1990: 236) bahwasannya ia shahih berdasarkan syarat Imam Muslim.
Adapun istilah madzhab menurut para ahli fikih diantaranya ialah Umar (tt: 12) berkata bahwa madzhab yaitu:
المعتقد الذي يذهب إليه والطريقة.
“Suatu keyakinan yang ia mengarahkan pandangan (pendapatnya) kepada yang diyakininya itu dan jalan/cara/ metode tersebut.
Selain itu juga, Cholil (1955: 437) mengartikannya dengan “dasar pendirian yang diturut” karena telah penuh percaya. Sebagaimana perkataan Imam Syafi’I (dalam an Nawawi, tt: 63) sebagai berikut:
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ خِلَافَ قَوْلِي فَاعْمَلُوا بِالْحَدِيثِ وَاتْرُكُوا قَوْلِي أَوْ قَالَ فَهُوَ مَذْهَبِي
“Apabila suatu hadis telah sah/ shahih menyelisihi pendapatku, maka beramallah dengan hadis tersebut lalu tinggalkanlah pendapatku, atau pada riwayat lain dia (Imam Syafi’I) berkata: itulah madzhabku (dasar pendirian beliau).
Demikianlah uraian singkat tentang pengertian madzhab menurut lughah dan istilah.
B. Madzhab- madzhab di dalam Islam
1. Adakah madzhab di dalam Islam?
Kalau kita masing-masing merujuk kembali kepada al Quran dan as Sunnah, tidaklah akan didapati perkataan “madzhab” yang maknanya seperti yang kita ketahui sekarang yakni dasar pendirian yang diturutdalam masalah fiqih. Karena pada waktu Rasulullah saw adalah madrasah yang pertama. Kepada beliau lah ummat Islam mempelajari segala urusan agama dan segala yang berhubungan dengan urusan agama dan dunia.Beliaulah tempat mereka kembali dalam menyelesaikan soal-soal umum, baik dalam bidang perundang-undangan, bidang hukum, bidang peradilan, kehakiman, dan kekuasaan.Karena itu tidaklah terjadi perselisihan, khilaf, baik dalam bidang pokok-pokok agama, maupun dalam bidang cabang-cabang agama (dalam Hasbie ash Shidiqie, 1991: 96).
Sesudah Rasulullah wafat, barulah timbul perselisihan dalam kalangan ummat islam dalam bidang ushul dan dalam bidang furu’ akan tetapi masih terbatas. Mula-mula perselisihan yang terjadi di kalangan sahabat ialah mengenai pendapat “apakah Nabi benar-benar meninggal dunia ataukah hanya diangkat oleh Allah saja sebagaimana Musa menghadap Rabb-nya?.
Meskipun sering kali terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat termasuk di dalamnya khulafaurrasyidin, namun mereka itu dalam beragama, tidak pernah mengatakan: “Kami mengikuti madzhab Abu Bakar”, atau yang lain-lainnya yang serupa itu. Mereka pada waktu itu hanya mengenal perkataan ittiba’yakni mengikuti (menuruti) apa-apa yang diperintahkan, yang dilarang, yang dibenarkan oleh Rasulullah saw. Atau dengan kata lain ialah ikutnya seseorang terhadap apa-apa yang datang dari Nabi saw. dan dari para sahabatnya (dalam Ibn Qayyim, 1991: 139). Atau mengikuti pendapat atau perkataan orang, yang disertai pengetahuan akan keterangan (dalil-dalil) dari al Quran atau dari as sunnah.
Walaupun begitu, dengan adanya perselisihan atau perbedaan pendapat di kalangan sahabat itu merupakan titik tolak bagi lahirnya berbagai madzhab di kemudian hari ( dalam Hasbie ash Shidiqie, 1991: 97).
2. Siapakah yang mengadakan madzhab-madzhab dalam masyarakat Islam?
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa timbulnya madzhab itu tidak ada pada waktu Rasulullah maupun para sahabat, namun titik tolak bagi lahirnya madzhab itu telah ada.Kalau kita kembali kepada buku-buku riwayat para imam madzhab, terutama riwayat imam mazhab berempat, kita akan mengetahui bahwa kelahiran dan kewafatan beliau-beliau itu tidak di satu tempat dan tidak bersamaan. Misalnya:
a. Imam Abu Hanifah (Hanafi), lahir di Kufah tahun 80 H, dan wafat di bagdad pada tahun 150 H.
b. Imam Malik bin Anas (Maliki), lahir di Madinah tahun 93 H, dan wafat di Madinah pada tahun 179 H.
c. Imam Muhammad bin Idris as Syafi’I (Syafi’ii), lahir di Mekkah pada tahun 150 H, dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.
d. Imam Ahmad bin Hanbal (Hanbalii), lahir di Baghdad pada tahun 164 H, dan wafat di Baghdad pada tahun 241 H.
e. Imam al Laits bin Sa’ad, lahir di Mesir pada tahun 94 H, dan wafat pada tahun 175 H.
f. Imam Abdurrahman al Auza’I, lahir di Syam pada tahun 88 H, dan wafat pada tahun 157 H.
g. Imam Dawud bin Ali adh Dhahiri, lahir di Kufah pada tahun 202 H, dan wafat pada tahun 270 H.
h. Imam Ibn Jarir at Thabari, lahir di Thabaristan pada tahun 224 H, dan wafat pada tahun 310 H.
Dari uraian ini, madzhab pada point a sampai d itu termasuk pada kategori madzhab jama’i.sedangkanmadzhab pada point e sampai h itu termasuk pada kategori madzhab fardii (dalam Hasbie ash Shidiqie, 1991: 99).
Menurut catatan sejarah, imam-imam mujtahid, yang kemudian dari mereka terkenal sebagai Pembina madzhab-madzhab itu, tidak ada seorang pun dari mereka yang menyatakan atau memproklamirkan diri, bahwa ijtihadlah yang benar; dan tidak pernah ada yang memfatwakan bahwa pahamnya dalam suatu masalah itulah yang harus dituruti, ditaklidi oleh kaum muslimin. Bahkan masing-masing dari mereka menyatakan dengn tugas dan jujur, bahwa dalam masalah ini menurut pendapt saya begini dan alasannya demikian; jika pendapat saya yang begini ini benar; ikutilah; dan jika tidak benar; tinggalkanlah.
Dalam pada itu, mereka saling hormat menghormati terhadap paham dan buah ijtihad masing-masing, sekalipun di antara mereka itu ada yang berjauhan tempatnya da nada yang terdahulu wafatnya.Misalnya Imam Hanafi dan Imam Syafi’I, kedua beliau ini tidak pernah bertemu, karena di kala Imam Syafi’I lahir, imam Hanafi wafat.Dengan demikian, di mana jalan dan pintu untuk mempersatukan paham, mereka hanyalah al Quran atau as Sunnah.
Berhubungan dengan hal, maka timbulnya madzhab-madzhab dalam masyarakat islam itu, bukanlah keinginan atau perintah beliau beliau yang utama itu, karena mereka dalam menghukumi segala sesuatu adalah dengan ijtihad dan istinbath yang berpedoman al Quran dan Sunnah Rasul. Adapun yang menganjurkan dan memfatwakan supaya umat islam dalam beragama mengikut madzhab-madzhab, yakni bertaqlid saja kepada salah seorang imam mujtahid, dengan disertai keterangan bahwa hanya “madzhab” yang diikutinyalah yang benar, dan madzhab lainnya salah, itu adalah dari para ulama pemngikut imam-imam madzhab tersebut, yang hidup pada abad ke 4 H, yaitu abad sesudah wafatnya para imam besar tadi.
Menurut riwayat, sejak abad ke 4 H inilah, baru didengung-dengungkan orang, sikap yang muta’asshib(fanatic) kepada salah satu dari empat madzhab yang terkenal itu, dengan suara yang sangat merdu: Segenap umat Islam dalam beragama wajib mengikuti madzhab. Golongan yang mengikuti madzhab imam Hanafi mengatakan: “Kami bermadzhab Hanafi”; golongan orang yang mengikuti madzhab imam Maliki menyambut dengan berkata: “Kami bermadzhab Maliki”; golongan orang yang mengikuti madzhab imam Hanbali tidak mau kalah mendengungkan suaranya dengan berkata: “Kami bermadzhab Hanbali”; Demikian selanjutnya golongan-golongan orang yang mengikut madzhab imam imam yang lain, selain dari empat imam tadi.
Demikian riwayat singkat orang yang mengadakan atau memunculkan madzhab-madzhab dalam masyarakat umat Islam, yang pada hakikatnya, mereka yang fanatic (muta’asshib) kepada madzhab-madzhab itu, tidak mengikuti pimpinan imam-imam madzhab mereka sendiri.Apalagi kalau diingat pada masa yang akhir-akhir ini, pada umumnya mereka yang mengaku bermadzhab kepada salah seorang imam mujtahid, tidak lagi pernah membuka dan mempelajari kitab-kitab dari imam-imam itu sendiri.
C. Hukum Bermadzhab
Sesungguhnya kalau kita perhatikan dalil-dalil baik dari Al-Qur`an ataupun As-Sunnah maka tidak ada satupun dalil yang mewajibkan mengikuti madzhab-madzhab tertentu termasuk empat madzhab yang terkenal yaitu Al-Hanafi (madzhab Hanafiy), Malik (madzhab Maliky), Syafi’I (Syafi’iyyah) dan Hambali (madzhab Hambaliy).Maka menurut al Qardhawi (2001: 225) “Siapa yang mengharamkan untuk memegang teguh satu madzhab berarti ia telah mewajibkan atas dirinya sesuatu yang tidak wajib baginya, dan mempersempit dirinya pada hal-hal yang diberikan keluasan oleh Allah SWT. Khususnya jika ia termasuk para ahli ilmu yang memungkinkannya mencari hukum dengan dalilnya, ia tidak harus bertaqlid. Karena para ulama bersepakat bahwa ilmu adalah mengetahui yang benar berdasarkan dalil, sedangkan taqlid sepenuhnya bukan termasuk ilmu.
Sehingga orang-orang awam bisa dianggap tidak memiliki madzhab, akan tetapi madzhabnya adalah madzhab ulama yang memberikan fatwa ketika ia bertanya kepada mereka. Namun pada tahap selanjutnya, ia pun dituntut untuk mengetahui dasar-dasar madzhab tersebut dan membandingkannya dengan dasar-dasar madzhab lain untuk kemudian memutuskan mana yang lebih kuat daripada yang lainnya. Sehingga lambat laun yang demikian itu akan membawanya pada tingkatan seorang yang alim yang telah sampai pada tingkat penelitian dan penimbangan, dan kemampuan untuk menentukan dalil yang lebih kuat.
Akan tetapi, dapat dibenarkan juga jika seorang awam mengikuti madzhab tertentu dari salah satu madzhab yang terkenal jika tidak mendapatkan madzhab lain di daerahnya. Seperti jika ia hidup di tengah-tengah lingkungan yang bermadzhab Hanafi, atau Maliki, atau Syafi’I atau Hambali, kemudian bermadzhab dengan madzhab mayoritas ulama yang ada di daerahnya tanpa disertai sikap fanatik dalam menerapkan kebenaran dan kebatilan. Biasanya sikap fanatik madzhab itu didasari oleh beberapa landasan diantaranya:
Pertama, bahwa taqlid adalah wajib terutama taqlid kepada madzhab atau para imam yang empat. Padahal telah diketahui dengan pasti bahwa tidak ada kewajiban kecuali apa yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan Allah dan Rasul-Nya tidak mewajibkan kita untuk mengikuti orang-orang tertentu sekalipun memiliki ilmu yang sangat luas.
Kedua, mereka tidak membolehkan orang yang telah mengikuti satu madzhab untuk keluar darinya, sekalipun dalam masalah-masalah yang telah nyata kelemahan dalil madzhabnya. Sampai-sampai ia dikatakan sebagai orang yang plin-plan. Ini jelas berarti tindakan mewajibkan sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah (al Qardhawi, 1997: 191-192).
Namun, seharusnya jika salah seorang terpercaya menasehatinya bahwa madzhabnya itu lemah dalam masalah tertentu, maka ia pun menerimanya, maka tidak ada salahnya kalau ia meninggalkan madzhabnya dalam masalah tersebut untuk mengambil madzhab yang lebih kuat. Inilah yang akan membahagiakan para imam dan yang diserukan kepada para pengikutnya.
Orang yang bertaklid kepada sebuah madzhab yang mu’tabar tidak boleh mencela madzhab-madzhab lain atau melecehkan imam-imamnya.Karena mereka semua adalah para mujtahid dalam menentukan sesuatu yang baik dan mencapai kebenaran sesuai kemampuan dan usaha yang dikeluarkan, dan siapa yang benar baginya dua pahala, lalu siapa yang salah baginya satu pahala. Ini merupakan keutamaan dari Allah sebagaimana mereka juga adalah para pemimpin dalam ketakwaan kepada Allah dalam semangat membela Islam, keberanian dalam memperjuangkan kebenaran dan mengutamakan kehidupan akhirat dari kehidupan dunia.Hal tersebut dibuktikan oleh sejarah dan sikap mereka.
Referensi:
Abi Daud. tt. Sunan Abi Daud. Beirut: Maktabah al’Ashriyyah.
Ahmad, Umar Mukhtar. 2008. Mu’jamul Lughah al Arabiyyah al Mu’aashirah. Kairo: ‘ Aalamul Kutub.
Al Albani. 1995. Silsilatul Ahaadits ash Shaahihah wa Syaiun min Fiqhihaa wa Fawaaidihaa.Riyaad: Maktabah al Ma’aarif Linnasr wat Taujii’.
Al Hakim. 1990. Al Mustadrak ‘ala Shahiihiin. Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiyyah.
Al Khuzaimah. tt. Shahih Ibn Khuzaimah. Beirut: Al Maktabul Islamy.
Al Qardhawi. 1997. Fiqhul Ikhtilaf. Jakarta: Robbani Press.
. 2001. Fikih Taysir. Jakarta: Pustaka al Kautsar.
An Nasa’i. 1986. Sunan an Nasa’i. Mesir: Maktabah al Mathbuu’at al Islamiyyah.
An Nawawi. tt. Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab.Kairo: Darul Fikr.
At Thabrani.tt. Al Mu’jam al Kabiir Lithabrani Jilid 20. Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah.
Cholil, Munawar. 1955. Kembali Kepada Al Quran dan As Sunnah. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Hasbie, Muhammad ash Shidiqie. 1991. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Ibn Majah. tt. Sunan Ibn Majah. Mesir: Dar Ihyaul Kutubil ‘Arabiyyah.
Ibn Qayyim. 1991. ‘Ilaamul Muwaqqi’iin ‘An Rabbil ‘aalamin Juz 2. Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah.
Umar.Tt. Syarh Laamiyyah Li ibni Taimiyyah.http://www.islamweb.net

Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

المشاكلة في البلاغة

KAJIAN BALAGHAH: JINAS