DIPERBUDAK OLEH REVOLUSI GAYA HIDUP
Dinukil kembali oleh Hilman Fitri dari buku "Melawan Bandit Intelektual" by Fanny Tanuwijaya S.H M.H, Drs. Abdul Wahid S.H, M.H dan Sunardi S.H, M.H
" "Berani mencoba narkoba berarti tanda tangan kontrak dengan kematian" (Kampanye yang digalakkan Polri)
Salah satu problem yang mengakibatkan kehidupan masyarakat tidak tenang, tidak nyaman, tidak harmonis, dan terjadi banyak kerugian baik harta maupun nyawa adalah problem kejahatan, diantaranya kejahatan narkotika. Kriminalitas ini telah hadir menjadi bagian dari kehidupan riil masyarakat, dimana ada masyarakat atau manusia di situ ada kejahatan. hal ini seperti pepatah hukum yang menyebutkan dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Eksistensi kejahatan menjadi cermin kehidupan masyarakat. Kejahataan tidak akan mungkin ada tanpa adanya masyarakat. Di tengah masyarakat itulah kejahatan menunjukkan bentuk nyata dan ragamnya.
Masyarakat memang tidak menginginkan kehidupan serba tidak nyaman dan tidak harmonis, akan tetapi masyarakat juga seringkali tidak mampu mencegah dan menanggulangi kriminalitas yang berdampak buruk terhadap dirinya, karena lahirnya atau terjadinya dan maraknya kejahatan adalah terkait dengan pola hidup dalam berbudaya, berekonomi, dan berinteraksi sosial yang mendorong terjadinya tindak kejahatan (A. Fauziyah, 2005)
Dalam Surabaya Post, 29 April 2005 ditulis "hanya dalam waktu empat hari, narkoba dengan nila setengah miliar rupiah beredar di Surabaya dan Sidoarjo hanya dari bandar". Bagaimana jika selama 1,2,3 dan seterusnya bulan, serta tahun, akan berapa banyak bandar-bandar ini mendulang untung dari bisnis narkoba? dan akan berapa banyak pula konsumen dari segala strata sosial yang berhasil dijadikan "pengikutnya", termasuk mahasiswa? jika mengacu pada angka-angka yang ada, maka rasanya pengedar akan terus mencari korban dan juga tidak kesulitan untuk mendapatkan korban, jika tidak ada perubahan sikap secara radikal.
cerita tentang mahasiswa memang penuh warna, ada catatan harum saat berhasil membentuk dirinya sebagai pelaku sejarah perjuangan bangsa, mengukir dengan manis hadirnya era reformasi dan memproduk common enemy seperti mantan Presiden Soeharto yang layak untuk dilawan, namun disisi lain ada pula warna yang kurang mengharumkan yang menghadirkan catatan buram. Misalnya dalam kasus narkotika dan zat-zat adiktif, belakangan ini identitasnya sedang digugat atau tercemar, masihkah layak mereka menjadi pelaku sejarah perubahan? ataukah sedang dan sudah menjerumuskan dirinya dalam cengkraman mafioso?
Jika mahasiswa indonesia sudah menyerah atau diperbudak oleh sukong-cukong narkoba, rasanya perjuangan yang dilakukan oleh negara atau aparat penegak hukum akan sangat berat. bandar ini akan terus menciptakan atau memproduk pasar strategis baik oleh dan dengan kekuatan sindikat globalnya maupun oknum-oknum mahasiswa yang berhasil dibuatnya menjadi "zombi-zombi" (mayat-mayat hidup) yang bersedia dibayar, diperkaya, dan dijadikan mesin pengedarnya.
daya rangsang selalu dan akan terus digelorakan atau dipenetrasikan oleh sindikat global supaya mahasiswa rela melakukan apa saja, termasuk menjatuhkan (merevolusi) pilihan bermodus harakiri (bunuh diri) budaya gaya hidup normal menjadi budaya gaya hidup serba pop bermodus permisifitas untuk menjadi pemakai, pecandu, atau pengedarnya.
itulah yang pernah diingatkan oleh penyair kenamaan Muhammad Iqbal "Kebudayaan baru adalah kebudayaan yang membunuh umat manusia. dan pembunuhan itu dilakukan di balik selimut perdagangan. cahaya tuhan mereka renggut dari kalbu manusia."
Mahasiswa yang terjebak (sebagai pecandu atau pengedar) dalam penyalahgunaan narkoba berarti menjerumuskan dirinya dalam episode kematian secara gradualitas, tahap demi tahap sesuai dengan kepentingan gaya hidup yang dieuforiakan atau dikiblatinya. keterjebakan dalam revolusi inilah yang selayaknya diperangi oleh mahasiswa, orang tua, dan masyarakat. mahasiswa tidak akan terjerumus dalam perilaku demikian jika tidak disediakan secara langsung maupun tidak oleh orang tua (keluarga) dan masyarakat.
Memberantas peredaran narkotika hingga ke akar-akarnya tidak akan pernah selesai jika kita hanya mengandalkan pada pendekatan hukum dan atau hanya menggantungkan diri pada kinerja aparat kepolisian. Narkotika, bagaimanapun adalah musuh kita bersama, dan memberantasnya jelas membutuhkan dukungan selluruh elemen dan warga masyarakat untuk peduli (Bagong Suyanto, 2005)
Kita layak belajar ke beberapa negara, seperti Thailand yang tidak sebatas mengandalkan hukum sebagai kekuatan tunggal atau strategi monolistik dalam menanggulangi penyalhgunaan narkotika, khususnya di kalangan anak muda. kalau sebatas penanganan secara yuridis, maka bisa dipastikan akan tidak sedikit anak muda negara ini yang waktunya digunakan berurusan dengan implementasi sistem peradilan pidana (Criminal justice System).
Salah satu problem yang mengakibatkan kehidupan masyarakat tidak tenang, tidak nyaman, tidak harmonis, dan terjadi banyak kerugian baik harta maupun nyawa adalah problem kejahatan, diantaranya kejahatan narkotika. Kriminalitas ini telah hadir menjadi bagian dari kehidupan riil masyarakat, dimana ada masyarakat atau manusia di situ ada kejahatan. hal ini seperti pepatah hukum yang menyebutkan dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Eksistensi kejahatan menjadi cermin kehidupan masyarakat. Kejahataan tidak akan mungkin ada tanpa adanya masyarakat. Di tengah masyarakat itulah kejahatan menunjukkan bentuk nyata dan ragamnya.
Masyarakat memang tidak menginginkan kehidupan serba tidak nyaman dan tidak harmonis, akan tetapi masyarakat juga seringkali tidak mampu mencegah dan menanggulangi kriminalitas yang berdampak buruk terhadap dirinya, karena lahirnya atau terjadinya dan maraknya kejahatan adalah terkait dengan pola hidup dalam berbudaya, berekonomi, dan berinteraksi sosial yang mendorong terjadinya tindak kejahatan (A. Fauziyah, 2005)
Dalam Surabaya Post, 29 April 2005 ditulis "hanya dalam waktu empat hari, narkoba dengan nila setengah miliar rupiah beredar di Surabaya dan Sidoarjo hanya dari bandar". Bagaimana jika selama 1,2,3 dan seterusnya bulan, serta tahun, akan berapa banyak bandar-bandar ini mendulang untung dari bisnis narkoba? dan akan berapa banyak pula konsumen dari segala strata sosial yang berhasil dijadikan "pengikutnya", termasuk mahasiswa? jika mengacu pada angka-angka yang ada, maka rasanya pengedar akan terus mencari korban dan juga tidak kesulitan untuk mendapatkan korban, jika tidak ada perubahan sikap secara radikal.
cerita tentang mahasiswa memang penuh warna, ada catatan harum saat berhasil membentuk dirinya sebagai pelaku sejarah perjuangan bangsa, mengukir dengan manis hadirnya era reformasi dan memproduk common enemy seperti mantan Presiden Soeharto yang layak untuk dilawan, namun disisi lain ada pula warna yang kurang mengharumkan yang menghadirkan catatan buram. Misalnya dalam kasus narkotika dan zat-zat adiktif, belakangan ini identitasnya sedang digugat atau tercemar, masihkah layak mereka menjadi pelaku sejarah perubahan? ataukah sedang dan sudah menjerumuskan dirinya dalam cengkraman mafioso?
Jika mahasiswa indonesia sudah menyerah atau diperbudak oleh sukong-cukong narkoba, rasanya perjuangan yang dilakukan oleh negara atau aparat penegak hukum akan sangat berat. bandar ini akan terus menciptakan atau memproduk pasar strategis baik oleh dan dengan kekuatan sindikat globalnya maupun oknum-oknum mahasiswa yang berhasil dibuatnya menjadi "zombi-zombi" (mayat-mayat hidup) yang bersedia dibayar, diperkaya, dan dijadikan mesin pengedarnya.
daya rangsang selalu dan akan terus digelorakan atau dipenetrasikan oleh sindikat global supaya mahasiswa rela melakukan apa saja, termasuk menjatuhkan (merevolusi) pilihan bermodus harakiri (bunuh diri) budaya gaya hidup normal menjadi budaya gaya hidup serba pop bermodus permisifitas untuk menjadi pemakai, pecandu, atau pengedarnya.
itulah yang pernah diingatkan oleh penyair kenamaan Muhammad Iqbal "Kebudayaan baru adalah kebudayaan yang membunuh umat manusia. dan pembunuhan itu dilakukan di balik selimut perdagangan. cahaya tuhan mereka renggut dari kalbu manusia."
Mahasiswa yang terjebak (sebagai pecandu atau pengedar) dalam penyalahgunaan narkoba berarti menjerumuskan dirinya dalam episode kematian secara gradualitas, tahap demi tahap sesuai dengan kepentingan gaya hidup yang dieuforiakan atau dikiblatinya. keterjebakan dalam revolusi inilah yang selayaknya diperangi oleh mahasiswa, orang tua, dan masyarakat. mahasiswa tidak akan terjerumus dalam perilaku demikian jika tidak disediakan secara langsung maupun tidak oleh orang tua (keluarga) dan masyarakat.
Memberantas peredaran narkotika hingga ke akar-akarnya tidak akan pernah selesai jika kita hanya mengandalkan pada pendekatan hukum dan atau hanya menggantungkan diri pada kinerja aparat kepolisian. Narkotika, bagaimanapun adalah musuh kita bersama, dan memberantasnya jelas membutuhkan dukungan selluruh elemen dan warga masyarakat untuk peduli (Bagong Suyanto, 2005)
Kita layak belajar ke beberapa negara, seperti Thailand yang tidak sebatas mengandalkan hukum sebagai kekuatan tunggal atau strategi monolistik dalam menanggulangi penyalhgunaan narkotika, khususnya di kalangan anak muda. kalau sebatas penanganan secara yuridis, maka bisa dipastikan akan tidak sedikit anak muda negara ini yang waktunya digunakan berurusan dengan implementasi sistem peradilan pidana (Criminal justice System).
Comments
Post a Comment