Balaghah: Sebuah Kajian Ilmu Bayan
A. Definisi Al-Bayān
1. Al-Bayān Menurut Etimologi
Kata al-bayān (البيان) dalam semua bentuk isytiqāq (perubahan katanya) menunjukkan arti azh-zhuhūr (الظهور), al-kasyf (الكشف) dan al-īdhāh (الإيضاح) (menjelaskan atau menerangkan). Sebagaimana disebutkan pada beberapa surat dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah firman Allah swt.:
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“… Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa. “ (QS. al-Baqarah [2]: 187)
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
“… Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian memikirkannya. “ (QS. al-Baqarah [2]: 266)
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
1. Al-Bayān Menurut Etimologi
Kata al-bayān (البيان) dalam semua bentuk isytiqāq (perubahan katanya) menunjukkan arti azh-zhuhūr (الظهور), al-kasyf (الكشف) dan al-īdhāh (الإيضاح) (menjelaskan atau menerangkan). Sebagaimana disebutkan pada beberapa surat dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah firman Allah swt.:
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“… Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa. “ (QS. al-Baqarah [2]: 187)
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
“… Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian memikirkannya. “ (QS. al-Baqarah [2]: 266)
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepada kalian….” (QS. an-Nisā’ [4]: 26)
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“… Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) al-Qur’an agar kamu menjelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. “ (QS. an-Nahl [16]: 44)
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu) hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia…. “ (QS. Āli ‘Imrān [3]: 187)
وَسَكَنْتُمْ فِي مَسَاكِنِ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ وَتَبَيَّنَ لَكُمْ كَيْفَ فَعَلْنَا بِهِمْ وَضَرَبْنَا لَكُمُ الْأَمْثَالَ
“Dan kalian telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, dan telah nyata bagi kalian bagaimana kami telah berbuat terhadap mereka dan telah kami berikan kepada kalian beberapa perumpamaan.“ (QS. Ibrāhīm [14]: 45)
Demikian makna al-bayān dalam al-Qur’an. Masih banyak kata-kata (البيان) dengan berbagai macam bentuk dalam al-Qur'an, namun di sini sekedar menjadi contoh bagi ayat-ayat yang lain.
Menurut definisi ar-Rāghib al-Ashfahānī, al-bayyinah adalah penunjukan makna yang jelas baik pada hal-hal yang bersifat konkrit maupun abstrak. Al-bayān merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lain. Allah swt. berfirman:
الرَّحْمَنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْآنَ (2) خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (4)
“Ar-Rahmān, Yang mengajarkan al-Qur’an, Menciptakan manusia dan mengajarkannya al-bayān.” (QS. ar-Rahmān [55]: 1-4).
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“… Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) al-Qur’an agar kamu menjelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. “ (QS. an-Nahl [16]: 44)
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu) hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia…. “ (QS. Āli ‘Imrān [3]: 187)
وَسَكَنْتُمْ فِي مَسَاكِنِ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ وَتَبَيَّنَ لَكُمْ كَيْفَ فَعَلْنَا بِهِمْ وَضَرَبْنَا لَكُمُ الْأَمْثَالَ
“Dan kalian telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, dan telah nyata bagi kalian bagaimana kami telah berbuat terhadap mereka dan telah kami berikan kepada kalian beberapa perumpamaan.“ (QS. Ibrāhīm [14]: 45)
Demikian makna al-bayān dalam al-Qur’an. Masih banyak kata-kata (البيان) dengan berbagai macam bentuk dalam al-Qur'an, namun di sini sekedar menjadi contoh bagi ayat-ayat yang lain.
Menurut definisi ar-Rāghib al-Ashfahānī, al-bayyinah adalah penunjukan makna yang jelas baik pada hal-hal yang bersifat konkrit maupun abstrak. Al-bayān merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lain. Allah swt. berfirman:
الرَّحْمَنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْآنَ (2) خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (4)
“Ar-Rahmān, Yang mengajarkan al-Qur’an, Menciptakan manusia dan mengajarkannya al-bayān.” (QS. ar-Rahmān [55]: 1-4).
Al-bayān disebutkan juga dalam Hadis pada beberapa tempat, di antaranya:
Pertama, Sabda Rasulullah saw.:
إِنَّ مِنَ البَيَانِ لَسِحْرًا
“Sesungguhnya sebagian dari al-bayān itu membuat orang tersihir (terkesima/terhipnotis) dengan kata-kata.”
Dalam konteks ini al-bayān berarti menyampaikan maksud dan tujuan dengan menggunakan lafaz yang paling indah. Itu semua tentu melalui pemahaman dan kecerdasan hati (spiritual).
Kedua, Sabda Rasulullah saw.:
البِذَاءُ وَالبَيَانُ شُعْبَتَانِ مِنَ النِّفَاقِ
“Berkata yang kotor/jorok dan al-bayān adalah cabang dari sifat kemunafikan.”
Dalam konteks ini al-bayān berarti bertindak berlebihan atau over acting dalam berbicara. Biasanya itu muncul disebabkan perasaan ‘ujub (tindakan agar dikagumi oleh orang yang melihatnya dan itu merupakan penyakit hati).
Pada kedua Hadis tersebut di atas, al-bayān menunjukkan arti menjelaskan dan menerangkan (al-kasyfu wa al-īdhāh).
Pertama, Sabda Rasulullah saw.:
إِنَّ مِنَ البَيَانِ لَسِحْرًا
“Sesungguhnya sebagian dari al-bayān itu membuat orang tersihir (terkesima/terhipnotis) dengan kata-kata.”
Dalam konteks ini al-bayān berarti menyampaikan maksud dan tujuan dengan menggunakan lafaz yang paling indah. Itu semua tentu melalui pemahaman dan kecerdasan hati (spiritual).
Kedua, Sabda Rasulullah saw.:
البِذَاءُ وَالبَيَانُ شُعْبَتَانِ مِنَ النِّفَاقِ
“Berkata yang kotor/jorok dan al-bayān adalah cabang dari sifat kemunafikan.”
Dalam konteks ini al-bayān berarti bertindak berlebihan atau over acting dalam berbicara. Biasanya itu muncul disebabkan perasaan ‘ujub (tindakan agar dikagumi oleh orang yang melihatnya dan itu merupakan penyakit hati).
Pada kedua Hadis tersebut di atas, al-bayān menunjukkan arti menjelaskan dan menerangkan (al-kasyfu wa al-īdhāh).
2. Al-Bayān Menurut Terminologi
Menurut terminologi, al-bayān adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari cara mengungkapkan bahasa dengan susunan kalimat yang beragam, di mana yang sebagian lebih jelas penunjukan maknanya atau lebih berkesan dari yang lain. Jadi ilmu al-bayān berkaitan dengan keindahan berbahasa yang pengungkapannya menggunakan kata-kata indah dan mampu meninggalkan kesan yang mendalam di hati pendengar atau pembaca.
Menurut terminologi, al-bayān adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari cara mengungkapkan bahasa dengan susunan kalimat yang beragam, di mana yang sebagian lebih jelas penunjukan maknanya atau lebih berkesan dari yang lain. Jadi ilmu al-bayān berkaitan dengan keindahan berbahasa yang pengungkapannya menggunakan kata-kata indah dan mampu meninggalkan kesan yang mendalam di hati pendengar atau pembaca.
B. Topik Bahasan Ilmu al-Bayān
Ada beberapa topik yang dibahas dalam ilmu al-bayān. Masing-masing memiliki kekhasan kajian antara yang satu dengan lainnya. Untuk lebih jelasnya berikut ini dipaparkan topik-topik tadi berdasarkan contoh.
Contohnya, kata الكرم (mulia), kata ini bisa diungkapkan dengan beragam pola susunan kalimat yang masing-masing memiliki tingkat kejelasan makna yang berbeda antara satu dengan yang lain. Untuk mengatakan seseorang itu pemurah, kita bisa mengungkapkannya dengan berbagai pola kalimat:
• هُوَ كالبَحْر فِي الكَرَمِ (Dia seperti lautan dalam kemurahannya)
• رَأَيْتُ بَحْرًا فِيْ مَنْزِلِنَا (Saya melihat lautan di rumah kami)
• هُوَ كَثِيرُ الرَّمَادِ (Dia banyak abunya)
Pola kalimat pertama menggunakan uslūb at-tasybīh; yang kedua menggunakan uslūb al-majāz; dan ketiga menggunakan uslūb al-kināyah. Yang paling jelas penunjukan maknanya pada ketiga contoh di atas adalah pola kalimat yang menggunakan at- tasybīh, lalu diikuti oleh al-majāz dan terakhir adalah al-kināyah.
Pada kalimat pertama, pembicara atau penulis menyerupakan seseorang dengan lautan dalam kemurahannya. Pada kalimat kedua, pembicara atau penulis melihat lautan yang merupakan kata al-majāz (Isti‘ārah) dari orang yang memiliki sifat pemurah. Pada kalimat ketiga, pembicara atau penulis menyatakan seseorang banyak abunya yang merupakan kinayah dari sifat pemurah. Seseorang memiliki banyak abu di dapur karena banyak kayu bakar. Seseorang memiliki banyak kayu bakar karena keseringan atau banyak yang dimasak. Seseorang yang banyak atau sering masak karena banyaknya atau seringnya tamu yang bertandang (datang) ke rumahnya. Orang yang seperti itu pasti memiliki sifat pemurah.
Dari pemaparan contoh di atas dapat disimpulkan (diringkas) bahwa pokok bahasan al-bayān mencakup 3 uslūb:
• At-Tasybīh ( التشبيه )
• Al-Majāz ( المجاز )
• Al-Kināyah ( الكناية )
Ada beberapa topik yang dibahas dalam ilmu al-bayān. Masing-masing memiliki kekhasan kajian antara yang satu dengan lainnya. Untuk lebih jelasnya berikut ini dipaparkan topik-topik tadi berdasarkan contoh.
Contohnya, kata الكرم (mulia), kata ini bisa diungkapkan dengan beragam pola susunan kalimat yang masing-masing memiliki tingkat kejelasan makna yang berbeda antara satu dengan yang lain. Untuk mengatakan seseorang itu pemurah, kita bisa mengungkapkannya dengan berbagai pola kalimat:
• هُوَ كالبَحْر فِي الكَرَمِ (Dia seperti lautan dalam kemurahannya)
• رَأَيْتُ بَحْرًا فِيْ مَنْزِلِنَا (Saya melihat lautan di rumah kami)
• هُوَ كَثِيرُ الرَّمَادِ (Dia banyak abunya)
Pola kalimat pertama menggunakan uslūb at-tasybīh; yang kedua menggunakan uslūb al-majāz; dan ketiga menggunakan uslūb al-kināyah. Yang paling jelas penunjukan maknanya pada ketiga contoh di atas adalah pola kalimat yang menggunakan at- tasybīh, lalu diikuti oleh al-majāz dan terakhir adalah al-kināyah.
Pada kalimat pertama, pembicara atau penulis menyerupakan seseorang dengan lautan dalam kemurahannya. Pada kalimat kedua, pembicara atau penulis melihat lautan yang merupakan kata al-majāz (Isti‘ārah) dari orang yang memiliki sifat pemurah. Pada kalimat ketiga, pembicara atau penulis menyatakan seseorang banyak abunya yang merupakan kinayah dari sifat pemurah. Seseorang memiliki banyak abu di dapur karena banyak kayu bakar. Seseorang memiliki banyak kayu bakar karena keseringan atau banyak yang dimasak. Seseorang yang banyak atau sering masak karena banyaknya atau seringnya tamu yang bertandang (datang) ke rumahnya. Orang yang seperti itu pasti memiliki sifat pemurah.
Dari pemaparan contoh di atas dapat disimpulkan (diringkas) bahwa pokok bahasan al-bayān mencakup 3 uslūb:
• At-Tasybīh ( التشبيه )
• Al-Majāz ( المجاز )
• Al-Kināyah ( الكناية )
1. AT-TASYBĪH
a. Definisi at-Tasybīh
Menurut bahasa at-tasybīh berarti at-tamtsīl ( التمثيل ) artinya, penyerupaan atau perumpamaan. Menurut istilah adalah menyerupakan sesuatu dengan yang lain pada sifat (karena kesamaan sifat) dengan menggunakan adāt at-tasybīh (alat at-tasybīh).
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan 4 unsur at-tasybīh:
(1) Al-Musyabbah ( ( المشبه= sesuatu yang diserupakan
(2) Al-Musyabbah Bih ( ( المشبه به = sesuatu yang diserupakan dengannya
(3) Adāt At-Tasybīh ( ( أداة التشبيه= alat at-tasybīh
(4) Wajh asy-Syabah ( وجه الشبه ) = letak kesamaan
Contohnya:
خَالِدٌ كَالْأَسَدِ فِي الشَّجَاعَةِ
Artinya "Khalid seperti/bagaikan macan dalam keberanian."
Al-musyabbah, yaitu lafaz خالد; al-musyabbah bih, yaitu الأسد; ādāt at-tasybīh, yaitu hurup الكاف, dan wajh asy-syabah antara al-musyabbah (Khalid) dengan al-musyabbah bih (macan) adalah الشجاعة (keberanian).
a. Definisi at-Tasybīh
Menurut bahasa at-tasybīh berarti at-tamtsīl ( التمثيل ) artinya, penyerupaan atau perumpamaan. Menurut istilah adalah menyerupakan sesuatu dengan yang lain pada sifat (karena kesamaan sifat) dengan menggunakan adāt at-tasybīh (alat at-tasybīh).
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan 4 unsur at-tasybīh:
(1) Al-Musyabbah ( ( المشبه= sesuatu yang diserupakan
(2) Al-Musyabbah Bih ( ( المشبه به = sesuatu yang diserupakan dengannya
(3) Adāt At-Tasybīh ( ( أداة التشبيه= alat at-tasybīh
(4) Wajh asy-Syabah ( وجه الشبه ) = letak kesamaan
Contohnya:
خَالِدٌ كَالْأَسَدِ فِي الشَّجَاعَةِ
Artinya "Khalid seperti/bagaikan macan dalam keberanian."
Al-musyabbah, yaitu lafaz خالد; al-musyabbah bih, yaitu الأسد; ādāt at-tasybīh, yaitu hurup الكاف, dan wajh asy-syabah antara al-musyabbah (Khalid) dengan al-musyabbah bih (macan) adalah الشجاعة (keberanian).
b. Obyek at-Tasybīh
Yang menjadi obyek at-tasybīh adalah lafaz (kata). Sebagian lafaz-lafaz al-Qur’an, Hadis atau ungkapan-ungkapan pujangga/sastrawan Arab terbentuk dari kalimat yang menggunakan at-tasybīh. Ada berbagai lafaz yang biasa dipakai orang Arab untuk melakukan penyerupaan atau perumpamaan, yaitu = الشجاعةkeberanian diserupakan dengan الأسد= singa, = العَزْم keinginan yang kuat dengan = السيفpedang, = المنيةkematian dengan = الحيوان المفترسbinatang buas, الخُلُق الكريم= akhlak yang mulia dengan العِطْر= minyak wangi, الحجة الساطعة = alasan kuat dengan = الشمسmatahari, الأَمَل للمتشائم = harapan bagi orang yang susah dengan الليل = malam, = الكرم pemurah dengan = البحر laut, = الجمالkecantikan dengan = القمر bulan, الخُبْث= kejahatan dengan الحية= ular dan lain sebagainya.
c. Al-Musyabbah dan al-Musyabbah Bih
Kedua elemen at-tasybīh yaitu al-musyabbah dan al-musyabbah bih disebut tharapay at-tasybih ( (طرفا التشبيه= inti at-tasybīh, karena keduanya harus ada dalam susunan kalimat at-tasybīh. Kalau salah satunya dibuang atau tidak dicantumkan, maka namanya bukan at-tasybīh tetapi berubah menjadi isti‘ārah. Al-musyabbah dan al-musyabbah bih (طرفا التشبيه) bisa terbentuk dari suatu kalimat yang bermakna konkrit (bisa ditangkap oleh panca indera), dan terkadang bisa juga terbentuk dari suatu kalimat yang bermakna abstrak.
1.) Sesuatu yang konkrit (الحسيان)
Yaitu al-musyabbah dan al-musyabbah bih yang terbentuk dari suatu kalimat yang maknanya bisa ditangkap dengan menggunakan salah satu dari anggota panca indera:
- Menyerupakan sesuatu dengan hal yang bisa dilihat oleh mata yang meliputi warna, bentuk, ukuran dan gerakan, seperti: penyerupaan خد المرأة pipi wanita dengan الوردة الحمراء mawar merah, الشعر الأسود rambut yang hitam pekat dengan = الليل malam.
- Menyerupakan sesuatu dengan hal yang bisa didengar oleh telinga seperti penyerupaan دق القلب = suara detak hati/jantung dengan الصوت الحاصل من دَقِّ الغلام بالحجر من وراء الحائط = suara dinding yang timbul dari ketukan anak kecil.
- Menyerupakan sesuatu dengan hal yang bisa dirasakan oleh indera perasa/pengecap seperti penyerupaan rasa بعض الفواكه = sebagian buah-buahan dengan rasa العسل = madu.
- Menyerupakan sesuatu dengan hal yang bisa dicium oleh indera penciuman seperti penyerupaan بعض الأشياء = sebagian benda yang harum dengan = الريحان bunga mawar.
- Menyerupakan sesuatu dengan hal yang bisa disentuh dengan indera penyentuh seperti الحرارة = panas, البرودة= dingin, الرطوبة = basah, اليبوسة= kering, الخشونة= kasar dan lain sebagainya.
2.) Sesuatu yang abstrak (العقليان)
Yaitu al-musyabbah dan al-musyabbah bih yang terbentuk dari suatu kalimat yang maknanya hanya bisa ditangkap dengan perasaan atau akal, seperti penyerupaan الإيمان (keimanan) dengan الحياة(kehidupan), الكفر(kekafiran) dengan الموت (kematian).
‘Aqliyān itu dibagi menjadi 2 macam:
• Hal-hal yang bersifat perasaan (الأمُوْر الوَجْدَانِية), seperti lezat, sakit, cinta, marah, tenang, takut dan lain sebagainya.
• Hal-hal yang bersifat khayalan (الوهمية), seperti penyerupaanأسنان الحربة (tajamnya mata tombak) denganأنياب الأغوال (taring hantu)
Dalam sebuah syair disebutkan:
أَيَقْتُلُنِيْ وَالْمَشْرَ فِيْ مَضَاجِعِيْ # وَمَسْنُوْنَةٌ زُرْقٌ كَأَنْيَابِ أَغْوَالِ
“Apakah ia berani membunuhku sementara pedang (buatan negeri Syam) selalu berada di peraduanku dan mata tombak berwarna biru (saking tajamnya) bagaikan taring-taring hantu.”
Contoh lain adalah firman Allah dalam al-Qur’an:
• •
“(Makanan sorga) itukah hidangan yang lebih baik ataukah pohon zaqqum. Sesungguhnya Kami menjadikan pohon zaqqum itu sebagai siksaan bagi orang-orang yang zalim. Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar neraka jahim. Mayangnya seperti kepala syaithan-syaitan “. (QS. ash Shāffāt [37]: 62-65)
3. Al-musyabbah terbentuk dari sesuatu yang konkrit (الحسيان), sedangkan al-musyabbah bih terbentuk dari sesuatu yang abstrak (العقليان)
Seperti penyerupaan alasan kuat dengan matahari, keinginan yang kuat dengan pedang, kematian dengan hewan buas, budi pekerti dengan minyak wangi, harapan bagi orang yang susah dengan malam, dan lain sebagainya.
4. Al-musyabbah terbentuk dari sesuatu yang abstrak (العقليان), sedangkan al-musyabbah bih terbentuk dari sesuatu yang konkrit (الحسيان)
Seperti penyerupaan minyak wangi dengan budi pekerti yang mulia, malam dengan perpisahan dan lain sebagainya.
Yang menjadi obyek at-tasybīh adalah lafaz (kata). Sebagian lafaz-lafaz al-Qur’an, Hadis atau ungkapan-ungkapan pujangga/sastrawan Arab terbentuk dari kalimat yang menggunakan at-tasybīh. Ada berbagai lafaz yang biasa dipakai orang Arab untuk melakukan penyerupaan atau perumpamaan, yaitu = الشجاعةkeberanian diserupakan dengan الأسد= singa, = العَزْم keinginan yang kuat dengan = السيفpedang, = المنيةkematian dengan = الحيوان المفترسbinatang buas, الخُلُق الكريم= akhlak yang mulia dengan العِطْر= minyak wangi, الحجة الساطعة = alasan kuat dengan = الشمسmatahari, الأَمَل للمتشائم = harapan bagi orang yang susah dengan الليل = malam, = الكرم pemurah dengan = البحر laut, = الجمالkecantikan dengan = القمر bulan, الخُبْث= kejahatan dengan الحية= ular dan lain sebagainya.
c. Al-Musyabbah dan al-Musyabbah Bih
Kedua elemen at-tasybīh yaitu al-musyabbah dan al-musyabbah bih disebut tharapay at-tasybih ( (طرفا التشبيه= inti at-tasybīh, karena keduanya harus ada dalam susunan kalimat at-tasybīh. Kalau salah satunya dibuang atau tidak dicantumkan, maka namanya bukan at-tasybīh tetapi berubah menjadi isti‘ārah. Al-musyabbah dan al-musyabbah bih (طرفا التشبيه) bisa terbentuk dari suatu kalimat yang bermakna konkrit (bisa ditangkap oleh panca indera), dan terkadang bisa juga terbentuk dari suatu kalimat yang bermakna abstrak.
1.) Sesuatu yang konkrit (الحسيان)
Yaitu al-musyabbah dan al-musyabbah bih yang terbentuk dari suatu kalimat yang maknanya bisa ditangkap dengan menggunakan salah satu dari anggota panca indera:
- Menyerupakan sesuatu dengan hal yang bisa dilihat oleh mata yang meliputi warna, bentuk, ukuran dan gerakan, seperti: penyerupaan خد المرأة pipi wanita dengan الوردة الحمراء mawar merah, الشعر الأسود rambut yang hitam pekat dengan = الليل malam.
- Menyerupakan sesuatu dengan hal yang bisa didengar oleh telinga seperti penyerupaan دق القلب = suara detak hati/jantung dengan الصوت الحاصل من دَقِّ الغلام بالحجر من وراء الحائط = suara dinding yang timbul dari ketukan anak kecil.
- Menyerupakan sesuatu dengan hal yang bisa dirasakan oleh indera perasa/pengecap seperti penyerupaan rasa بعض الفواكه = sebagian buah-buahan dengan rasa العسل = madu.
- Menyerupakan sesuatu dengan hal yang bisa dicium oleh indera penciuman seperti penyerupaan بعض الأشياء = sebagian benda yang harum dengan = الريحان bunga mawar.
- Menyerupakan sesuatu dengan hal yang bisa disentuh dengan indera penyentuh seperti الحرارة = panas, البرودة= dingin, الرطوبة = basah, اليبوسة= kering, الخشونة= kasar dan lain sebagainya.
2.) Sesuatu yang abstrak (العقليان)
Yaitu al-musyabbah dan al-musyabbah bih yang terbentuk dari suatu kalimat yang maknanya hanya bisa ditangkap dengan perasaan atau akal, seperti penyerupaan الإيمان (keimanan) dengan الحياة(kehidupan), الكفر(kekafiran) dengan الموت (kematian).
‘Aqliyān itu dibagi menjadi 2 macam:
• Hal-hal yang bersifat perasaan (الأمُوْر الوَجْدَانِية), seperti lezat, sakit, cinta, marah, tenang, takut dan lain sebagainya.
• Hal-hal yang bersifat khayalan (الوهمية), seperti penyerupaanأسنان الحربة (tajamnya mata tombak) denganأنياب الأغوال (taring hantu)
Dalam sebuah syair disebutkan:
أَيَقْتُلُنِيْ وَالْمَشْرَ فِيْ مَضَاجِعِيْ # وَمَسْنُوْنَةٌ زُرْقٌ كَأَنْيَابِ أَغْوَالِ
“Apakah ia berani membunuhku sementara pedang (buatan negeri Syam) selalu berada di peraduanku dan mata tombak berwarna biru (saking tajamnya) bagaikan taring-taring hantu.”
Contoh lain adalah firman Allah dalam al-Qur’an:
• •
“(Makanan sorga) itukah hidangan yang lebih baik ataukah pohon zaqqum. Sesungguhnya Kami menjadikan pohon zaqqum itu sebagai siksaan bagi orang-orang yang zalim. Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar neraka jahim. Mayangnya seperti kepala syaithan-syaitan “. (QS. ash Shāffāt [37]: 62-65)
3. Al-musyabbah terbentuk dari sesuatu yang konkrit (الحسيان), sedangkan al-musyabbah bih terbentuk dari sesuatu yang abstrak (العقليان)
Seperti penyerupaan alasan kuat dengan matahari, keinginan yang kuat dengan pedang, kematian dengan hewan buas, budi pekerti dengan minyak wangi, harapan bagi orang yang susah dengan malam, dan lain sebagainya.
4. Al-musyabbah terbentuk dari sesuatu yang abstrak (العقليان), sedangkan al-musyabbah bih terbentuk dari sesuatu yang konkrit (الحسيان)
Seperti penyerupaan minyak wangi dengan budi pekerti yang mulia, malam dengan perpisahan dan lain sebagainya.
d. Adāt at-Tasybīh
Ādāt at-tasybīh (ﺁداة التشبيه), yaitu alat yang dipergunakan untuk menyambung letak kesamaan antara al-musyabbah dengan al-musyabbah bih.
Ādāt at-tasybīh bisa berbentuk hurūf seperti al-Kaf (ﮐَ) dan ka’annaكأن) ).
Contohnya:
قَلْبُهُ كَالْحِجَارَةِ فِي الْقَسْوَةِ =“Hatinya bagaikan batu pada kerasnya”
كَأَنَّ زَيْدًا بَحْرٌ فِي الْكَرَمِ =“Seakan-akan Zaid lautan dalam kemurahannya”
Ādāt at-tasybīh (ﺁداة التشبيه), yaitu alat yang dipergunakan untuk menyambung letak kesamaan antara al-musyabbah dengan al-musyabbah bih.
Ādāt at-tasybīh bisa berbentuk hurūf seperti al-Kaf (ﮐَ) dan ka’annaكأن) ).
Contohnya:
قَلْبُهُ كَالْحِجَارَةِ فِي الْقَسْوَةِ =“Hatinya bagaikan batu pada kerasnya”
كَأَنَّ زَيْدًا بَحْرٌ فِي الْكَرَمِ =“Seakan-akan Zaid lautan dalam kemurahannya”
Bisa juga berbentuk fi‘il, seperti يماثل , يشابه , يحاكي , contohnya:
فَاطِمَةُ تُمَاثِلُ الْبَدْرَ فِي الْإِشْرَاقِ = Fatimah menyerupai bulan purnama dalam sinarnya.
عَلِيْ يُحَاكِي النَّجْمَ فِي العُلُوِّ= Ali menyerupai bintang dalam ketinggiannya.
خَالِدُ يُشَابِهُ الْجَبَلَ فِي الرُسُوخِ = Khalid menyerupai gunung dalam kekokohannya.
فَاطِمَةُ تُمَاثِلُ الْبَدْرَ فِي الْإِشْرَاقِ = Fatimah menyerupai bulan purnama dalam sinarnya.
عَلِيْ يُحَاكِي النَّجْمَ فِي العُلُوِّ= Ali menyerupai bintang dalam ketinggiannya.
خَالِدُ يُشَابِهُ الْجَبَلَ فِي الرُسُوخِ = Khalid menyerupai gunung dalam kekokohannya.
Bisa juga berbentuk isim, seperti مثل , محاكاة , شبه, contohnya:
مُحَمَّدٌ مِثْلُ الْبَحْرِ فِي الْكَرَمِ = Muhammad seperti lautan dalam kemurahannya.
عَزْمُهُ مُحَاكُاةُ السَّيْفِ فِي الْقَطْعِ=Keinginannya yang kuat seperti pedang dalam memotong.
عُمَرُ شُبْهِ الْأَسَدِ فِي الشَّجَاعَةِ = Umar seperti Singa dalam keberanian
مُحَمَّدٌ مِثْلُ الْبَحْرِ فِي الْكَرَمِ = Muhammad seperti lautan dalam kemurahannya.
عَزْمُهُ مُحَاكُاةُ السَّيْفِ فِي الْقَطْعِ=Keinginannya yang kuat seperti pedang dalam memotong.
عُمَرُ شُبْهِ الْأَسَدِ فِي الشَّجَاعَةِ = Umar seperti Singa dalam keberanian
e. Wajh asy-Syabah
Wajh asy-syabah, yaitu kesamaan sifat yang ada pada al-Musyabbah dan al-musyabbah bih, seperti kesamaan (kesamaan sifat berani) yang terdapat pada Hamzah dan singa pada kalimat : حمزةُ أسدُ اللهِ ورسولِه, dan ketajaman yang terdapat dalam sifat khalid dan pedang pada kalimat خالدٌ سَيْفٌ مِنْ سيوْفِ الله
Perlu ditekankan bahwa wajh asy-syabah pada al-musyabbah bih harus lebih kuat dibandingkan yang ada pada al- musyabbah.
Wajh asy-syabah, yaitu kesamaan sifat yang ada pada al-Musyabbah dan al-musyabbah bih, seperti kesamaan (kesamaan sifat berani) yang terdapat pada Hamzah dan singa pada kalimat : حمزةُ أسدُ اللهِ ورسولِه, dan ketajaman yang terdapat dalam sifat khalid dan pedang pada kalimat خالدٌ سَيْفٌ مِنْ سيوْفِ الله
Perlu ditekankan bahwa wajh asy-syabah pada al-musyabbah bih harus lebih kuat dibandingkan yang ada pada al- musyabbah.
f. Aghrādh at-Tasybīh (tujuan Tasybīh)
Aghrādh at-tasybih (اغراض التشبيه), yaitu faktor-faktor penyebab yang menjadi tujuan si pembicara menggunakan uslūb at-tasybīh. Adapun tujuan at-tasybīh, yaitu:
- Menjelaskan sifat atau kondisi al-musyabbah
Untuk memperjelas sifat atau kondisi sesuatu yang belum dikenal, pembicara terkadang menggunakan uslūb at-tasybih agar pendengar mengetahui maksud pembicaraannya. Bagi orang yang mengetahui bentuk telur burung tetapi tidak mengetahui bentuk telur ular, maka dikatakan: telur ular seperti telur burung.
Contohnya, perkataan an-Nābighah az-Zibyānī ketika memuji al-Nu’mān bin al-Mundzir:
كَأَنَّكَ شَمْسٌ وَالْمُلُوْكَ كُوَاكِبُ # إذَا طَلَعَتْ لَمْ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ
“Engkau bagaikan matahari, sedangkan raja-raja itu bagaikan bintang-bintang. Apabila matahari sudah terbit, maka bintang-bintang itu tidak tampak (muncul).“
Contoh lain perkataan seorang penyair bernama al-Busyairi:
وَالنَّفْسُ كَالطِّفْل إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ # عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِم
“Jiwa (nafsu) bagaikan bayi, jika dibiarkan dia tidak akan mau berhenti menyusu, tetapi jika dia disapih dia akan berhenti.”
Contoh lain sabda Rasulullah SAW:
النَّاسُ كَإِبِلِ مِائَةِ لَا تَجِدُ فِيْهَا راحِلَةً
“Manusia bagaikan (ibarat) onta berjumlah seratus, jarang ditemukan onta yang bisa dikendarai untuk perjalanan jauh.”
Maksud dari syair terakhir adalah dari sekian banyak manusia sedikit ditemukan orang-orang yang berkualitas.
- Menjelaskan bahwa keberadaan al-musyabbah itu mungkin terjadi
Untuk memperjelas sesuatu yang mungkin dianggap oleh sebagian orang tidak bisa terjadi, pembicara menggunakan uslub al-Tasybih.
Contohnya: perkataan Abī ath-Thayyib al-Mutanabbī ketika mengenang kematian Ibu Saif ad-Daulah:
فَإِنْ تَفُقِ الْأَنَامَ وَأَنْتَ مِنْهُمْ # فَإِنَّ المِسْكَ بَعْضُ دَمِ الغَزَالِ
“Jika engkau berhasil mengungguli manusia lain sedangkan engkau adalah bagian dari mereka. Sesungguhnya minyak misk (minyak kasturi) dibuat dari campuran darah menjangan.”
- Memantapkan dan menguatkan kondisi al-Musyabbah
Untuk memantapkan dan menguatkan kondisi al-Musyabbah sehingga jelas gambarannya sampai ke tingkat keyakinan.
Contohnya firman Allah:
•
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. “ (QS. al-Ankabūt [29]: 41)
Contoh lain, dalam peribahasa Arab disebutkan:
السَاعِيْ فِيْ غَيْرِ طَائِلٍ كَالرَّاقِمِ عَلَى الْمَاءِ
“Orang yang berjalan tanpa tujuan (arah yang jelas) bagaikan orang yang menulis di atas air.”
Dalam peribahasa Arab disebutkan juga:
الطَّامِعُ فِي النَّصْرِ مِنْ أَعْدَائِهِ كَمَنْ يَرْجُو مِنَ السَمِّ عِلَاجًا لِدَائِهِ
“Orang yang thama’ terhadap kemenangan dari musuh-musuhnya, bagaikan orang yang berharap menggunakan racun menjadi obat penyakitnya.”
- Menjelaskan kadar (ukuran) al-musyabbah
Contohnya firman Allah yang menjelaskan kadar waktu hari Kiamat:
“Dan kepunyaan Allah-lah segala apa yang tersembunyi di langit dan di bumi. Tidak ada kejadian kiamat itu melainkan seperti sekejap mata atau lebih cepat lagi ….“ (QS. An-Nahl [16]: 77)
Hadits Rasulullah saw. yang mengumpamakan orang-orang yang berada di dunia bagaikan orang yang bernaung di bawah bayangan pohon:
مَا لِيْ وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبِ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
Tidak ada hubungan yang istimewa antara saya dengan dunia. Tiada saya berada di dunia melainkan bagaikan pengendara yang berhenti sebentar untuk bernaung di bawah pohon, lalu pergi dan meninggalkan pohon tersebut.”
- Menjelaskan keindahan yang menghiasi al-musyabbah
Contohnya dalam firman Allah disebutkan:
“Seakan-akan bidadari itu permata yaqut dan marjan.“ (QS. Ar-Rahmān [55]: 58)
- Menyebut kejelekan yang terdapat pada al-musyabbah
Contohnya, dalam sebuah syair disebutkan:
وَإِذَا أَشَارَ مُحَدِّثًا فَكَأَنَّهُ # قِرْدٌ يُقَهْقِهُ أَوْ عَجُوْزٌ تَلْطِمُ
”Apabila dia berbicara dengan berisyarat seakan-akan dia kera yang tertawa terbahak-bahak atau nenek tua yang menempeleng.”
Aghrādh at-tasybih (اغراض التشبيه), yaitu faktor-faktor penyebab yang menjadi tujuan si pembicara menggunakan uslūb at-tasybīh. Adapun tujuan at-tasybīh, yaitu:
- Menjelaskan sifat atau kondisi al-musyabbah
Untuk memperjelas sifat atau kondisi sesuatu yang belum dikenal, pembicara terkadang menggunakan uslūb at-tasybih agar pendengar mengetahui maksud pembicaraannya. Bagi orang yang mengetahui bentuk telur burung tetapi tidak mengetahui bentuk telur ular, maka dikatakan: telur ular seperti telur burung.
Contohnya, perkataan an-Nābighah az-Zibyānī ketika memuji al-Nu’mān bin al-Mundzir:
كَأَنَّكَ شَمْسٌ وَالْمُلُوْكَ كُوَاكِبُ # إذَا طَلَعَتْ لَمْ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ
“Engkau bagaikan matahari, sedangkan raja-raja itu bagaikan bintang-bintang. Apabila matahari sudah terbit, maka bintang-bintang itu tidak tampak (muncul).“
Contoh lain perkataan seorang penyair bernama al-Busyairi:
وَالنَّفْسُ كَالطِّفْل إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ # عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِم
“Jiwa (nafsu) bagaikan bayi, jika dibiarkan dia tidak akan mau berhenti menyusu, tetapi jika dia disapih dia akan berhenti.”
Contoh lain sabda Rasulullah SAW:
النَّاسُ كَإِبِلِ مِائَةِ لَا تَجِدُ فِيْهَا راحِلَةً
“Manusia bagaikan (ibarat) onta berjumlah seratus, jarang ditemukan onta yang bisa dikendarai untuk perjalanan jauh.”
Maksud dari syair terakhir adalah dari sekian banyak manusia sedikit ditemukan orang-orang yang berkualitas.
- Menjelaskan bahwa keberadaan al-musyabbah itu mungkin terjadi
Untuk memperjelas sesuatu yang mungkin dianggap oleh sebagian orang tidak bisa terjadi, pembicara menggunakan uslub al-Tasybih.
Contohnya: perkataan Abī ath-Thayyib al-Mutanabbī ketika mengenang kematian Ibu Saif ad-Daulah:
فَإِنْ تَفُقِ الْأَنَامَ وَأَنْتَ مِنْهُمْ # فَإِنَّ المِسْكَ بَعْضُ دَمِ الغَزَالِ
“Jika engkau berhasil mengungguli manusia lain sedangkan engkau adalah bagian dari mereka. Sesungguhnya minyak misk (minyak kasturi) dibuat dari campuran darah menjangan.”
- Memantapkan dan menguatkan kondisi al-Musyabbah
Untuk memantapkan dan menguatkan kondisi al-Musyabbah sehingga jelas gambarannya sampai ke tingkat keyakinan.
Contohnya firman Allah:
•
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. “ (QS. al-Ankabūt [29]: 41)
Contoh lain, dalam peribahasa Arab disebutkan:
السَاعِيْ فِيْ غَيْرِ طَائِلٍ كَالرَّاقِمِ عَلَى الْمَاءِ
“Orang yang berjalan tanpa tujuan (arah yang jelas) bagaikan orang yang menulis di atas air.”
Dalam peribahasa Arab disebutkan juga:
الطَّامِعُ فِي النَّصْرِ مِنْ أَعْدَائِهِ كَمَنْ يَرْجُو مِنَ السَمِّ عِلَاجًا لِدَائِهِ
“Orang yang thama’ terhadap kemenangan dari musuh-musuhnya, bagaikan orang yang berharap menggunakan racun menjadi obat penyakitnya.”
- Menjelaskan kadar (ukuran) al-musyabbah
Contohnya firman Allah yang menjelaskan kadar waktu hari Kiamat:
“Dan kepunyaan Allah-lah segala apa yang tersembunyi di langit dan di bumi. Tidak ada kejadian kiamat itu melainkan seperti sekejap mata atau lebih cepat lagi ….“ (QS. An-Nahl [16]: 77)
Hadits Rasulullah saw. yang mengumpamakan orang-orang yang berada di dunia bagaikan orang yang bernaung di bawah bayangan pohon:
مَا لِيْ وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبِ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
Tidak ada hubungan yang istimewa antara saya dengan dunia. Tiada saya berada di dunia melainkan bagaikan pengendara yang berhenti sebentar untuk bernaung di bawah pohon, lalu pergi dan meninggalkan pohon tersebut.”
- Menjelaskan keindahan yang menghiasi al-musyabbah
Contohnya dalam firman Allah disebutkan:
“Seakan-akan bidadari itu permata yaqut dan marjan.“ (QS. Ar-Rahmān [55]: 58)
- Menyebut kejelekan yang terdapat pada al-musyabbah
Contohnya, dalam sebuah syair disebutkan:
وَإِذَا أَشَارَ مُحَدِّثًا فَكَأَنَّهُ # قِرْدٌ يُقَهْقِهُ أَوْ عَجُوْزٌ تَلْطِمُ
”Apabila dia berbicara dengan berisyarat seakan-akan dia kera yang tertawa terbahak-bahak atau nenek tua yang menempeleng.”
g. Pembagian at-Tasybīh
Pembagian at-tasybīh dilihat dari sudut al-musyabbah dan al-musyabbah bih:
1. Al-musyabbah dan al-musyabbah bih keduanya bisa terbentuk dari kalimat mufrad (مُفْرَدَيْن)atau muqayyad(مُقَيَّدَين) atau salah satunya mufrad (مفرد) sedangkan yang lainnya muqayyad (مقيد).
Bentuk-bentuknya sebagai berikut:
a. Al-musyabbah dan al-musyabbah bih, keduanya terbentuk dari kalimat mufrad.
Seperti: تشبيه الظلمات بالضلالة (penyerupaan kegelapan dengan kesesatan), تشبيه النور بالهداية (penyerupaan cahaya dengan petunjuk), تشبيه الحسناء بالشمس )penyerupaan wanita cantik dengan matahari).
b. Al-musyabbah dan al-musyabbah bih, keduanya terbentuk dari kalimat muqayyad(مقيدين) . Kalimat muqayyad terbentuk dari شبه الجملة atau الحال atau المضاف إليه. Seperti:
علم لا ينفع كداء لا ينجع (ilmu yang tidak bermanfaat laksana obat yang tidak manjur);
العلم في الصغر كالنقش على الحجر (menuntut ilmu di waktu kecil bagaikan melukis di atas batu);
الطامع بالنصر من عدوه كالهارب من الرمضاء إلى النار (orang yang thama’ terhadap kemenangan dari musuhnya bagaikan orang yang berlari dari panasnya sengatan matahari ke panasnya api);
الحسناء السيئة كخضراء الدمن (perempuan cantik yang tumbuh di lingkungan jelek bagaikan kotoran binatang yang subur);
الكلمة الصعبة المفيدة كالدواء المر (kata yang sukar diucapkan tetapi bermanfaat bagaikan obat yang rasanya pahit).
c. Al-Musyabbah berbentuk mufrad (مفرد) sedangkan al-Musyabbah bihnya berbentuk muqayyad (مقيد).
Seperti الناس كإبل مائة لا تجد فيها راحلة (Manusia bagaikan (ibarat) seratus onta, jarang ditemukan onta yang bisa dipakai untuk perjalanan jauh); الثغر كاللؤلؤ المنظوم (giginya seperti untaian permata).
d. Al-musyabbah berbentuk muqayyad (مقيد) sedangkan al-musyabbah bih-nya berbentuk mufrad (مفرد)
Seperti العين الزرقاء كالسهام (mata berwarna coklat bagaikan busur panah), الشعر الأسود كالليل (rambut hitam bagaikan malam hari).
2. Al-musyabbah dan al-musyabbah bih dapat saja terbentuk dari kalimat yang beragam atau berbilang (متعدد) atau salah satunya terbentuk dari kalimat yang berbilang dan yang lainnya tidak.
Bentuk-bentuknya sebagai berikut:
a. Al-musyabbah terdiri dari satu kata sedangkan al-musyabbah bih terdiri dari kata-kata yang berbilang. Jenis ini dinamakan juga tasybīh al-jam’i (تشبيه الجمع).
Seperti:
“Seakan-akan bidadari itu permata yaqut dan marjan.“ (QS. ar- Rahmān [55]: 58)
Contoh lain:
أَنْتَ كَاللَّيْثِ فِي الشَّجَاعَةِ وَالْإِقْدَامِ # وَالسَّيْفِ فِي قِرَاعِ الخُطُوْبِ
“Engkau bagaikan singa dalam hal keberanian dan ketabahan. Dan pedang dalam memutuskan segala permasalahan besar”
b. Al-musyabbah terdiri dari kata-kata yang berbilang, sedangkan al-musyabbah bih terdiri dari satu kata. Jenis ini dinamakan juga tasybīh at-taswiyah (تشبيه التسوية)
Seperti:
عزمه ولسانه كالسيف= keinginannya yang kuat dan lidahnya bagaikan pedang.
التفاحة والبرتقالة كالعسل = Rasa apel dan jeruk bagaikan rasa madu.
شعره ووجهه كالصبح = Rambut dan mukanya bagaikan waktu subuh.
c. At-tasybīh berjumlah lebih dari satu, disebutkan beberapa al-musyabbah kemudian disebutkan beberapa al- musyabbah bih secara berpasang-pasangan. Jenis ini dinamakan juga tasybīh al-malfūf ( تشبيه الملفوف)
Seperti perkataan Ibnu al-Mu’taz ketika bercerita mengenai seorang perempuan cantik dalam syairnya:
لَيْلٌ وَبَدْرٌ وَغُصْنٌ # شَعْرٌ وَوَجْهٌ وقَدٌّ
خَمْرٌ وَدُرٌّ وَوَرْدٌ # رِيْقٌ وثَغْرٌ وَخَدٌّ
Malam, rembulan, dahan pohon
Rambut, muka, postur tubuh
Khamar, permata, bunga mawar
Air liur, gigi, pipi
d. At-tasybīh berjumlah lebih dari satu, tetapi tiap penyebutan al-musyabbah diikuti langsung oleh penyebutan al-musyabbah bih. Jenis ini dinamakan juga tasybīh al-mafrūq ( تشبيه المفروق )
Contoh:
إِنَّمَا النَّفْسُ كَالزُّجَاجَةِ وَالعِلْـ # ـمُ سِرَاجٌ وَحِكْمَةُ اللهِ زَيْتٌ
"Sesungguhnya nafsu (jiwa) bagaikan kaca dan ilmu bagaikan cahaya dan hikmah Allah bagaikan minyak."
Pembagian at-tasybīh dilihat dari sudut al-musyabbah dan al-musyabbah bih:
1. Al-musyabbah dan al-musyabbah bih keduanya bisa terbentuk dari kalimat mufrad (مُفْرَدَيْن)atau muqayyad(مُقَيَّدَين) atau salah satunya mufrad (مفرد) sedangkan yang lainnya muqayyad (مقيد).
Bentuk-bentuknya sebagai berikut:
a. Al-musyabbah dan al-musyabbah bih, keduanya terbentuk dari kalimat mufrad.
Seperti: تشبيه الظلمات بالضلالة (penyerupaan kegelapan dengan kesesatan), تشبيه النور بالهداية (penyerupaan cahaya dengan petunjuk), تشبيه الحسناء بالشمس )penyerupaan wanita cantik dengan matahari).
b. Al-musyabbah dan al-musyabbah bih, keduanya terbentuk dari kalimat muqayyad(مقيدين) . Kalimat muqayyad terbentuk dari شبه الجملة atau الحال atau المضاف إليه. Seperti:
علم لا ينفع كداء لا ينجع (ilmu yang tidak bermanfaat laksana obat yang tidak manjur);
العلم في الصغر كالنقش على الحجر (menuntut ilmu di waktu kecil bagaikan melukis di atas batu);
الطامع بالنصر من عدوه كالهارب من الرمضاء إلى النار (orang yang thama’ terhadap kemenangan dari musuhnya bagaikan orang yang berlari dari panasnya sengatan matahari ke panasnya api);
الحسناء السيئة كخضراء الدمن (perempuan cantik yang tumbuh di lingkungan jelek bagaikan kotoran binatang yang subur);
الكلمة الصعبة المفيدة كالدواء المر (kata yang sukar diucapkan tetapi bermanfaat bagaikan obat yang rasanya pahit).
c. Al-Musyabbah berbentuk mufrad (مفرد) sedangkan al-Musyabbah bihnya berbentuk muqayyad (مقيد).
Seperti الناس كإبل مائة لا تجد فيها راحلة (Manusia bagaikan (ibarat) seratus onta, jarang ditemukan onta yang bisa dipakai untuk perjalanan jauh); الثغر كاللؤلؤ المنظوم (giginya seperti untaian permata).
d. Al-musyabbah berbentuk muqayyad (مقيد) sedangkan al-musyabbah bih-nya berbentuk mufrad (مفرد)
Seperti العين الزرقاء كالسهام (mata berwarna coklat bagaikan busur panah), الشعر الأسود كالليل (rambut hitam bagaikan malam hari).
2. Al-musyabbah dan al-musyabbah bih dapat saja terbentuk dari kalimat yang beragam atau berbilang (متعدد) atau salah satunya terbentuk dari kalimat yang berbilang dan yang lainnya tidak.
Bentuk-bentuknya sebagai berikut:
a. Al-musyabbah terdiri dari satu kata sedangkan al-musyabbah bih terdiri dari kata-kata yang berbilang. Jenis ini dinamakan juga tasybīh al-jam’i (تشبيه الجمع).
Seperti:
“Seakan-akan bidadari itu permata yaqut dan marjan.“ (QS. ar- Rahmān [55]: 58)
Contoh lain:
أَنْتَ كَاللَّيْثِ فِي الشَّجَاعَةِ وَالْإِقْدَامِ # وَالسَّيْفِ فِي قِرَاعِ الخُطُوْبِ
“Engkau bagaikan singa dalam hal keberanian dan ketabahan. Dan pedang dalam memutuskan segala permasalahan besar”
b. Al-musyabbah terdiri dari kata-kata yang berbilang, sedangkan al-musyabbah bih terdiri dari satu kata. Jenis ini dinamakan juga tasybīh at-taswiyah (تشبيه التسوية)
Seperti:
عزمه ولسانه كالسيف= keinginannya yang kuat dan lidahnya bagaikan pedang.
التفاحة والبرتقالة كالعسل = Rasa apel dan jeruk bagaikan rasa madu.
شعره ووجهه كالصبح = Rambut dan mukanya bagaikan waktu subuh.
c. At-tasybīh berjumlah lebih dari satu, disebutkan beberapa al-musyabbah kemudian disebutkan beberapa al- musyabbah bih secara berpasang-pasangan. Jenis ini dinamakan juga tasybīh al-malfūf ( تشبيه الملفوف)
Seperti perkataan Ibnu al-Mu’taz ketika bercerita mengenai seorang perempuan cantik dalam syairnya:
لَيْلٌ وَبَدْرٌ وَغُصْنٌ # شَعْرٌ وَوَجْهٌ وقَدٌّ
خَمْرٌ وَدُرٌّ وَوَرْدٌ # رِيْقٌ وثَغْرٌ وَخَدٌّ
Malam, rembulan, dahan pohon
Rambut, muka, postur tubuh
Khamar, permata, bunga mawar
Air liur, gigi, pipi
d. At-tasybīh berjumlah lebih dari satu, tetapi tiap penyebutan al-musyabbah diikuti langsung oleh penyebutan al-musyabbah bih. Jenis ini dinamakan juga tasybīh al-mafrūq ( تشبيه المفروق )
Contoh:
إِنَّمَا النَّفْسُ كَالزُّجَاجَةِ وَالعِلْـ # ـمُ سِرَاجٌ وَحِكْمَةُ اللهِ زَيْتٌ
"Sesungguhnya nafsu (jiwa) bagaikan kaca dan ilmu bagaikan cahaya dan hikmah Allah bagaikan minyak."
Pembagian at-tasybīh dilihat dari sisi al-ādāt (alat):
1. Al-Mursal ( (المرسل
Yaitu at-tasybīh yang disebutkan ādāt at-tasybīh-nya, seperti:عَزْمُه كالسيف في القطع = Keinginannya yang kuat bagaikan pedang pada sifat memutuskan
2. Al-Mu’akkad ( المؤكد )
Yaitu at-tasybīh yang dibuang ādāt at-tasybīh-nya, seperti:
العلم نور في الهداية=Ilmu bagaikan cahaya pada sifat memberi petunjuk.
1. Al-Mursal ( (المرسل
Yaitu at-tasybīh yang disebutkan ādāt at-tasybīh-nya, seperti:عَزْمُه كالسيف في القطع = Keinginannya yang kuat bagaikan pedang pada sifat memutuskan
2. Al-Mu’akkad ( المؤكد )
Yaitu at-tasybīh yang dibuang ādāt at-tasybīh-nya, seperti:
العلم نور في الهداية=Ilmu bagaikan cahaya pada sifat memberi petunjuk.
Pembagian at-tasybīh dilihat dari sudut wajh asy-syabah:
1. Al-Mufashshal ((المفصل
Yaitu at-tasybīh yang disebutkan wajh asy-syabah-nya, seperti: هي كاللؤلؤ في الصفا = Dia (perempuan itu) bagaikan permata pada jernihnya"
2. Al-Mujmal(المجمل)
Yaitu at-tasybīh yang tidak disebutkan wajh asy-syabah-nya, seperti: هي كالقمر= Dia (perempuan itu) bagaikan bulan.
3. Al-Balīgh (البليغ)
Yaitu at-tasybīh yang tidak disebutkan ādāt at-tasybīh dan wajh asy-syabah-nya, seperti هو شمس= Dia bagaikan matahari
1. Al-Mufashshal ((المفصل
Yaitu at-tasybīh yang disebutkan wajh asy-syabah-nya, seperti: هي كاللؤلؤ في الصفا = Dia (perempuan itu) bagaikan permata pada jernihnya"
2. Al-Mujmal(المجمل)
Yaitu at-tasybīh yang tidak disebutkan wajh asy-syabah-nya, seperti: هي كالقمر= Dia (perempuan itu) bagaikan bulan.
3. Al-Balīgh (البليغ)
Yaitu at-tasybīh yang tidak disebutkan ādāt at-tasybīh dan wajh asy-syabah-nya, seperti هو شمس= Dia bagaikan matahari
h. Jenis-jenis at-Tasybīh
1. At-Tasybīh Al-Maqlūb
Definisi At-Tasybīh Al-Maqlūb
At-tasybīh al-maqlūb (التشبيه المقلوب), yaitu menjadikan al-musyabbah menggantikan posisi al-musyabbah bih karena wajh asy-syabah pada al-musyabbah lebih kuat dan lebih tampak. Sudah disinggung sebelumnya bahwa dalam kaidah ilmu Balāghah, kedudukan wajh asy-syabah pada al-musyabbah bih harus lebih kuat dibandingkan yang ada pada al-musyabbah. Standar (tolak ukur) untuk mengetahui sesuatu itu lebih kuat atau lebih lemah adalah al-‘urf (kebiasaan dan tradisi) yang berlaku di masyarakat Arab. Mereka biasa menyerupakan keimanan dengan kehidupan, kekafiran dengan kematian, alasan kuat dengan matahari, keinginan yang kuat dengan pedang, kematian dengan binatang buas dan bukan sebaliknya.
Masyarakat Arab dalam tradisi dan kebiasaannya sering menggunakan simbol-simbol dalam bentuk individu untuk menyebut dan mengungkapkan sifat-sifat tertentu. Seperti الكرم sifat pemurah dengan Hātim ath-Thā’i, الحلمsifat lemah lembut dengan Ahnaf bin Qais, الذكاءcerdas dengan Iyās.
Tetapi pada at-tasybīh al-maqlūb, lafaz-lafaz yang sebenarnya layak dan pantas untuk menjadi al-musyabbah bih dibalik dan diubah posisinya menjadi al-musyabbah. Begitu juga sebaliknya lafaz-lafaz yang sebenarnya menempati posisi al-musyabbah ditukar menjadi al-musyabbah bih.
Contohnya:
كَأَنَّ النَّسِيْمَ فِي الرِّقَّةِ أَخْلَاقُهُ = Bagaikan angin sepoi-sepoi (semilir) akhlaknya pada kehalusannya.
Sebelum dijadikan at-tasybīh al-maqlūb, susunan kalimatnya berbunyi:
أَخْلَاقُهُ كَالنَّسِيْمِ فِي الرِّقَّةِ = Akhlaknya bagaikan angin sepoi-sepoi pada kehalusannya.
وَكَأَنَّ الْمَاءَ فِي الصَّفَاءِ طِبَاعُهُ = Bagaikan air tabiatnya pada kejernihannya.
Sebelum dijadikan at-tasybīh al-maqlūb, susunan kalimatnya berbunyi:
طَبَاعُهُ كُالْمَاءِ فِي الصَّفَاءِ = Tabiatnya bagaikan air pada kejernihannya
كَأَنَّ ضَوْءَ النَّهَارِ جَبِيْنُهُ = Bagaikan cahaya di sore hari keningnya.
Sebelum dijadikan at-tasybīh al-maqlūb, susunan kalimatnya berbunyi:
جَبِيْنُهُ كَضَوْءِ النَّهَارِ = Keningnya bagaikan cahaya di sore hari.
Contoh lain terdapat pada perkataan Muhammad bin Wuhaib al-Humairī dalam syairnya:
وَبَدَا الصَّبَاحُ كَأَنَّ غُرَّتَهُ # وَجْهُ الْخَلِيْفَةِ حِيْنَ يُمْتَدَحُ
"Sudah muncul sinar waktu subuh, bagaikan permulaan kemunculannya. Muka khalifah ketika dipuji/disebut kebaikannya"
Sebelum dijadikan at-tasybīh al-maqlūb, susunan kalimatnya berbunyi:
وَجْهُ الْخَلِيْفَةِ كَغُرَّةِ الصََّبَاحِ = Muka khalifah bagaikan permulaan sinar di waktu subuh.
Contoh lain terdapat pada perkataan al-Buhturī ketika menggambarkan kolam seorang Khalifah bernama al-Mutawakkil:
كَأَنَّهَا حِيْنَ لَجَّتْ فِي تَدَفُّقِهَا # يَدُ الْخَلِيْفَةِ لَمَّا سَالَ وادِيْهَا
"Bagaikan kolam itu ketika mengalir airnya dengan deras. Tangan Khalifah manakala mengalir pemberiannya"
Sebelum dijadikan at-tasybīh al-maqlūb, susunan kalimatnya berbunyi:
يَدُ الْخَلِيْفَةِ كَالْبَرَكَةِ فِي تَدَفُّقِهَا = Tangan khalifah bagaikan kolam yang mengalirkan airnya dengan deras
1. At-Tasybīh Al-Maqlūb
Definisi At-Tasybīh Al-Maqlūb
At-tasybīh al-maqlūb (التشبيه المقلوب), yaitu menjadikan al-musyabbah menggantikan posisi al-musyabbah bih karena wajh asy-syabah pada al-musyabbah lebih kuat dan lebih tampak. Sudah disinggung sebelumnya bahwa dalam kaidah ilmu Balāghah, kedudukan wajh asy-syabah pada al-musyabbah bih harus lebih kuat dibandingkan yang ada pada al-musyabbah. Standar (tolak ukur) untuk mengetahui sesuatu itu lebih kuat atau lebih lemah adalah al-‘urf (kebiasaan dan tradisi) yang berlaku di masyarakat Arab. Mereka biasa menyerupakan keimanan dengan kehidupan, kekafiran dengan kematian, alasan kuat dengan matahari, keinginan yang kuat dengan pedang, kematian dengan binatang buas dan bukan sebaliknya.
Masyarakat Arab dalam tradisi dan kebiasaannya sering menggunakan simbol-simbol dalam bentuk individu untuk menyebut dan mengungkapkan sifat-sifat tertentu. Seperti الكرم sifat pemurah dengan Hātim ath-Thā’i, الحلمsifat lemah lembut dengan Ahnaf bin Qais, الذكاءcerdas dengan Iyās.
Tetapi pada at-tasybīh al-maqlūb, lafaz-lafaz yang sebenarnya layak dan pantas untuk menjadi al-musyabbah bih dibalik dan diubah posisinya menjadi al-musyabbah. Begitu juga sebaliknya lafaz-lafaz yang sebenarnya menempati posisi al-musyabbah ditukar menjadi al-musyabbah bih.
Contohnya:
كَأَنَّ النَّسِيْمَ فِي الرِّقَّةِ أَخْلَاقُهُ = Bagaikan angin sepoi-sepoi (semilir) akhlaknya pada kehalusannya.
Sebelum dijadikan at-tasybīh al-maqlūb, susunan kalimatnya berbunyi:
أَخْلَاقُهُ كَالنَّسِيْمِ فِي الرِّقَّةِ = Akhlaknya bagaikan angin sepoi-sepoi pada kehalusannya.
وَكَأَنَّ الْمَاءَ فِي الصَّفَاءِ طِبَاعُهُ = Bagaikan air tabiatnya pada kejernihannya.
Sebelum dijadikan at-tasybīh al-maqlūb, susunan kalimatnya berbunyi:
طَبَاعُهُ كُالْمَاءِ فِي الصَّفَاءِ = Tabiatnya bagaikan air pada kejernihannya
كَأَنَّ ضَوْءَ النَّهَارِ جَبِيْنُهُ = Bagaikan cahaya di sore hari keningnya.
Sebelum dijadikan at-tasybīh al-maqlūb, susunan kalimatnya berbunyi:
جَبِيْنُهُ كَضَوْءِ النَّهَارِ = Keningnya bagaikan cahaya di sore hari.
Contoh lain terdapat pada perkataan Muhammad bin Wuhaib al-Humairī dalam syairnya:
وَبَدَا الصَّبَاحُ كَأَنَّ غُرَّتَهُ # وَجْهُ الْخَلِيْفَةِ حِيْنَ يُمْتَدَحُ
"Sudah muncul sinar waktu subuh, bagaikan permulaan kemunculannya. Muka khalifah ketika dipuji/disebut kebaikannya"
Sebelum dijadikan at-tasybīh al-maqlūb, susunan kalimatnya berbunyi:
وَجْهُ الْخَلِيْفَةِ كَغُرَّةِ الصََّبَاحِ = Muka khalifah bagaikan permulaan sinar di waktu subuh.
Contoh lain terdapat pada perkataan al-Buhturī ketika menggambarkan kolam seorang Khalifah bernama al-Mutawakkil:
كَأَنَّهَا حِيْنَ لَجَّتْ فِي تَدَفُّقِهَا # يَدُ الْخَلِيْفَةِ لَمَّا سَالَ وادِيْهَا
"Bagaikan kolam itu ketika mengalir airnya dengan deras. Tangan Khalifah manakala mengalir pemberiannya"
Sebelum dijadikan at-tasybīh al-maqlūb, susunan kalimatnya berbunyi:
يَدُ الْخَلِيْفَةِ كَالْبَرَكَةِ فِي تَدَفُّقِهَا = Tangan khalifah bagaikan kolam yang mengalirkan airnya dengan deras
2. At-Tasybīh adh-Dhimnī
Definisi at-Tasybīh adh-Dhimnī
Sudah dibicarakan sebelumnya bahwa pada at-tasybīh at-tamtsīlī, al-maqlūb dan al-balīgh harus terdapat rukun-rukun at-tasybīh yang disebutkan secara jelas dan gamblang. Berbeda dengan at-tasybīh adh-dhimnī yang rukun-rukunnya tidak disebutkan secara jelas mengikuti kaidah-kaidah di atas. At-tasybīh hanya disebutkan secara samar atau dalam bentuk penyebutan kandungan maknanya (makna implisit). Hal tersebut bisa diketahui melalui pemahaman makna secara keseluruhan.
Ada beberapa ciri yang membedakan at-tasybīh adh-dhimnī dengan lainnya, di antaranya:
1. Terdiri dari dua kalimat atau dua bait sya'ir yang berdiri sendiri dan tidak memiliki ikatan makna secara langsung.
2. Kalimat yang kedua atau bait syair yang kedua disebut sebagai hujjah (bukti dan argumen) untuk meyakinkan pembaca atau pendengar mengenai suatu kebenaran.
Contohnya:
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا # إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَا تَجْرِيْ عَلَى اليَبَسِ
"Engkau mengharap keberhasilan tetapi engkau tidak jalani jalan menuju keberhasilan itu. Sesungguhnya kapal laut tidak mungkin berjalan di atas tanah kering."
فَإِنْ تَفُقِ الْأَنَامُ وَأَنْتَ مِنْهُمْ # فَإِنَّ الْمِسْكَ بَعْضُ دَمِ الْغَزَالِ
"Jika engkau berhasil mengungguli manusia lain dan engkau adalah bagian dari mereka. Sesungguhnya minyak misk (minyak kasturi) dibuat dari campuran darah kijang"
مَنْ يَهُنْ يَسْهُلِ الهَوَانُ عَلَيْهِ # مَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيْلَامٌ
"Barangsiapa yang menganggap mudah suatu kesulitan maka kesulitan-kesulitan lain akan menjadi mudah baginya. Kalau mayit terluka dia tidak akan merasa kesakitan."
يَزْدَحِمُ النَّاسُ عَلَى بَابِهِ # وَالمَنْهَلُّ العَذْبُ كَثِيْرُ الزِّحَامِ
"Orang-orang memadati pintu rumahnya. Tempat mengalirnya air tawar biasanya dipadati benda-benda lain."
وَإِذَا أَرَادَ اللهُ نَشْرَ فَضِيْلَةٍ # طُوِيَتْ أَتَاحَ لَهَا لِسَانَ حَسُوْدٍ
لَوْلَا اشْتِعَالُ النَّارِ فِيْمَا جَاوَرَتْ # مَا كَانَ يُعْرَفُ طِيْبُ عَرْفِ العُوْدِ
"Jika Allah hendak menebarkan anugrah-Nya, Dia biarkan lidah orang-orang yang dengki untuk berkata-kata. Jika api itu tidak membakar yang di dekatnya, niscaya tidak akan dikenal harumnya kasturi."
اصْبِرْ عَلَى مَضَضِ الْحَسُوْدِ # فَإِنَّ صَبْرَكَ قَاتِلُهُ
فَالنَّارُ تَأْكُلُ بَعْضَهَا # إِنْ لَمْ تَجِدْ مَا تَأْكُلُهُ
"Sabarlah terhadap perasaaan sakit hati yang disebabkan orang-orang dengki, karena kesabaranmu akan membunuhnya. Api akan saling bakar satu dengan lainnya, Kalau tidak ada benda yang dibakarnya."
إِذَا وَتَرْتَ امْرَأً فَاحْذَرْ عَدَاوَتَه # مَنْ يَزْرَعْ الشَّوْكَ لَا يَحْصُدْ بِهِ عِنَبًا
"Jika engkau salah memperlakukan seseorang, hati-hati terhadap permusuhannya,Barangsiapa yang menanam duri niscaya dia tidak mungkin akan menuai/memanen anggur."
قَدْ يَشِيْبُ الْفَتَى وَلَيْسَ عَجِيْبًا # أَنْ يُرَى النُّوْرُ فِي القَضِيْبِ الرَّطِيْبِ
Terkadang seorang pemuda bisa beruban dan itu bukan hal yang mengherankan. Bunga pun dapat keluar dari dahan yang basah (muda).
Definisi at-Tasybīh adh-Dhimnī
Sudah dibicarakan sebelumnya bahwa pada at-tasybīh at-tamtsīlī, al-maqlūb dan al-balīgh harus terdapat rukun-rukun at-tasybīh yang disebutkan secara jelas dan gamblang. Berbeda dengan at-tasybīh adh-dhimnī yang rukun-rukunnya tidak disebutkan secara jelas mengikuti kaidah-kaidah di atas. At-tasybīh hanya disebutkan secara samar atau dalam bentuk penyebutan kandungan maknanya (makna implisit). Hal tersebut bisa diketahui melalui pemahaman makna secara keseluruhan.
Ada beberapa ciri yang membedakan at-tasybīh adh-dhimnī dengan lainnya, di antaranya:
1. Terdiri dari dua kalimat atau dua bait sya'ir yang berdiri sendiri dan tidak memiliki ikatan makna secara langsung.
2. Kalimat yang kedua atau bait syair yang kedua disebut sebagai hujjah (bukti dan argumen) untuk meyakinkan pembaca atau pendengar mengenai suatu kebenaran.
Contohnya:
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا # إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَا تَجْرِيْ عَلَى اليَبَسِ
"Engkau mengharap keberhasilan tetapi engkau tidak jalani jalan menuju keberhasilan itu. Sesungguhnya kapal laut tidak mungkin berjalan di atas tanah kering."
فَإِنْ تَفُقِ الْأَنَامُ وَأَنْتَ مِنْهُمْ # فَإِنَّ الْمِسْكَ بَعْضُ دَمِ الْغَزَالِ
"Jika engkau berhasil mengungguli manusia lain dan engkau adalah bagian dari mereka. Sesungguhnya minyak misk (minyak kasturi) dibuat dari campuran darah kijang"
مَنْ يَهُنْ يَسْهُلِ الهَوَانُ عَلَيْهِ # مَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيْلَامٌ
"Barangsiapa yang menganggap mudah suatu kesulitan maka kesulitan-kesulitan lain akan menjadi mudah baginya. Kalau mayit terluka dia tidak akan merasa kesakitan."
يَزْدَحِمُ النَّاسُ عَلَى بَابِهِ # وَالمَنْهَلُّ العَذْبُ كَثِيْرُ الزِّحَامِ
"Orang-orang memadati pintu rumahnya. Tempat mengalirnya air tawar biasanya dipadati benda-benda lain."
وَإِذَا أَرَادَ اللهُ نَشْرَ فَضِيْلَةٍ # طُوِيَتْ أَتَاحَ لَهَا لِسَانَ حَسُوْدٍ
لَوْلَا اشْتِعَالُ النَّارِ فِيْمَا جَاوَرَتْ # مَا كَانَ يُعْرَفُ طِيْبُ عَرْفِ العُوْدِ
"Jika Allah hendak menebarkan anugrah-Nya, Dia biarkan lidah orang-orang yang dengki untuk berkata-kata. Jika api itu tidak membakar yang di dekatnya, niscaya tidak akan dikenal harumnya kasturi."
اصْبِرْ عَلَى مَضَضِ الْحَسُوْدِ # فَإِنَّ صَبْرَكَ قَاتِلُهُ
فَالنَّارُ تَأْكُلُ بَعْضَهَا # إِنْ لَمْ تَجِدْ مَا تَأْكُلُهُ
"Sabarlah terhadap perasaaan sakit hati yang disebabkan orang-orang dengki, karena kesabaranmu akan membunuhnya. Api akan saling bakar satu dengan lainnya, Kalau tidak ada benda yang dibakarnya."
إِذَا وَتَرْتَ امْرَأً فَاحْذَرْ عَدَاوَتَه # مَنْ يَزْرَعْ الشَّوْكَ لَا يَحْصُدْ بِهِ عِنَبًا
"Jika engkau salah memperlakukan seseorang, hati-hati terhadap permusuhannya,Barangsiapa yang menanam duri niscaya dia tidak mungkin akan menuai/memanen anggur."
قَدْ يَشِيْبُ الْفَتَى وَلَيْسَ عَجِيْبًا # أَنْ يُرَى النُّوْرُ فِي القَضِيْبِ الرَّطِيْبِ
Terkadang seorang pemuda bisa beruban dan itu bukan hal yang mengherankan. Bunga pun dapat keluar dari dahan yang basah (muda).
Kalau diperhatikan dengan seksama semua bait syair di atas, ternyata bait syair kedua tidak memiliki ikatan makna secara langsung dengan kalimat pertama, tetapi disebutkan sebagai hujjah (bukti) untuk meyakinkan kebenaran makna kalimat atau bait syair pertama.
3. At-Tasybīh at-Tamtsīlī
Definisi At-Tasybīh at-Tamtsīlī
At-tasybīh at-tamtsīlī (التشبيه التمثيلي), yaitu at-tasybīh yang wajh asy-syabah-nya terbentuk dari beberapa macam perkara (sifat). Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengajak untuk beriman kepada yang gaib, seperti iman kepada hari Kemudian (Kiamat). Sebagian orang menerima seruan dan ajakan tersebut dan menjadi mukmin. Namun sebagian orang mengingkarinya bahkan menentangnya yang kemudian menjadi kafir. Untuk menyikapi itu, al-Qur’an menggunakan uslūb al-bayān yaitu mendiskripsikan dan mengilustrasikan dunia dengan segala nikmatnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan memotivasi hamba-Nya untuk mengejar kehidupan akhirat yang kenikmatannya bersifat kekal dan abadi.
Untuk meyakinkan orang-orang kafir dengan hakikat tersebut al-Qur’an banyak menggunakan uslūb at-tasybīh. Jenis at-tasybīh ini berbeda dengan sebelumnya dimana al-musyabbah bih-nya terdiri dari beberapa sifat (kesamaan). Kalau al-musyabbah bih-nya terdiri dari beberapa perkara (sifat) maka biasanya wajh asy-syabah-nya terdiri dari beberapa macam sifat juga. At-tasybīh yang wajh asy-syabah-nya terdiri dari beberapa macam sifat dinamakan at-tasybīh at-tamtsīlī .
Contohnya dalam al-Qur’an disebutkan:
•
“Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapati sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam yang diliputi oleh ombak yang di atasnya ombak pula di atasnya lagi awan; gelap gulita yang tindih-bertindih apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya.“ (QS. an-Nūr [24]: 39-40)
Dalam ayat ini yang menjadi al-musyabbah (المشبه) adalah أعمال الكفار (perbuatan orang-orang kafir). Adapun yang menjadi al-musyabbah bih (المشبه به) terdiri dari beberapa perkara (sifat) di antaranya:
1. Bagaikan fatamorgana yang berada di tanah datar, kemudian orang yang kehausan menganggap itu adalah air, tetapi setelah mendekat ia tidak mendapatkan apa-apa. Jadi perbuatannya sia-sia.
2. Kegelapan yang pekat (gulita) di lautan yang penuh dengan ombak besar dan di atasnya ada awan gelap sampai-sampai ia tidak dapat melihat tangannya karena gelapnya.
Ādāt at-tasybīh-nya adalah hurup kāf pada kata سراب dan kāf pada kata ظلمات. Sedangkan wajh asy-syabah adalah:
1. Perbuatan yang menghasilkan sesuatu yang sia-sia
2. Kekayaan yang bertumpuk-tumpuk tetapi tidak ada manfaatnya kelak pada hari kiamat.
Contoh lain dalam al-Qur’an disebutkan:
•• • • •
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia itu adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dari langit lalu tumbuhlah dengan suburnya (karena air itu) tanam-tanaman bumi di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai (pula perhiasannya) dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau siang lalu kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.“ (QS. Yūnus [10]: 24)
Al-musyabbah pada ayat di atas adalahالحياة الدنيا (kehidupan dunia). Sedangkan al-musyabbah bih terdiri dari beberapa sifat yaitu; tanam-tanaman yang tumbuh karena air hujan di mana hasilnya akan dimakan oleh manusia dan binatang ternak, tetapi ketika tanaman tersebut sudah berbuah dan kelihatan indah, tinggal dipetik, tiba-tiba datang azab Allah yang membuat sirna semua itu seakan-akan tidak pernah ada sebelumnya.
Ādāt at-tasybīh ayat di atas adalah مثل dan wajh asy-syabah-nya adalah masing-masing dari keduanya (tanam-tanaman dan kehidupan dunia) tumbuh dan berkembang sehingga enak dipandang mata lalu setelah itu sirna semua bagaikan tidak pernah ada sebelumnya.
Contoh lain dalam al-Qur’an disebutkan:
“Perumpamaan mereka (orang-orang munafik) adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang kafir.“ (QS. al-Baqarah [2]: 17-19)
Al-musyabbah ayat di atas adalah perilaku orang-orang munafik yang pura-pura menampakkan dirinya beriman di hadapan orang-orang beriman. Manakala berpisah mereka menampakkan watak aslinya yaitu kembali ke kekafiran. Al-musyabbah bih terdiri dari beberapa sifat:
1. Orang yang berjalan malam hari dengan menyalakan api sebagai penerang, lalu nyala api tersebut menjadi sirna dan keadaan berubah menjadi gelap sehingga dia ragu-ragu harus berjalan ke mana karena tidak tahu arah.
2. Orang yang berjalan di tengah hujan lebat disertai suasana gelap, suara halilintar (petir) dan kilat. Kegelapan menghalanginya untuk sampai ke jalan yang benar, suara petir menyebabkannya mereka menutup telinga dengan jari-jari tangan. Kilat yang sewaktu-waktu menyambar matanya. Mereka berjalan ketika ada kilat dan diam ketika cahaya kilat itu hilang.
Ādāt at-tasybīh ayat di atas adalah مثل pada مثلهم dan hurup kaaf pada كصيب. Wajh asy-syabah terdiri dari beberapa sifat:
1. Kondisi yang muncul karena adanya hidayah (petunjuk) yang bersifat sementara setelah itu disertai kebingungan
2. Orang-orang yang diperlihatkan penyebab-penyebab mendapatkan hidayah (petunjuk), lalu mereka memanfaatkannya sedikit dan sebentar setelah itu kembali diliputi kegelapan dan kesesatan.
Definisi At-Tasybīh at-Tamtsīlī
At-tasybīh at-tamtsīlī (التشبيه التمثيلي), yaitu at-tasybīh yang wajh asy-syabah-nya terbentuk dari beberapa macam perkara (sifat). Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengajak untuk beriman kepada yang gaib, seperti iman kepada hari Kemudian (Kiamat). Sebagian orang menerima seruan dan ajakan tersebut dan menjadi mukmin. Namun sebagian orang mengingkarinya bahkan menentangnya yang kemudian menjadi kafir. Untuk menyikapi itu, al-Qur’an menggunakan uslūb al-bayān yaitu mendiskripsikan dan mengilustrasikan dunia dengan segala nikmatnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan memotivasi hamba-Nya untuk mengejar kehidupan akhirat yang kenikmatannya bersifat kekal dan abadi.
Untuk meyakinkan orang-orang kafir dengan hakikat tersebut al-Qur’an banyak menggunakan uslūb at-tasybīh. Jenis at-tasybīh ini berbeda dengan sebelumnya dimana al-musyabbah bih-nya terdiri dari beberapa sifat (kesamaan). Kalau al-musyabbah bih-nya terdiri dari beberapa perkara (sifat) maka biasanya wajh asy-syabah-nya terdiri dari beberapa macam sifat juga. At-tasybīh yang wajh asy-syabah-nya terdiri dari beberapa macam sifat dinamakan at-tasybīh at-tamtsīlī .
Contohnya dalam al-Qur’an disebutkan:
•
“Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapati sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam yang diliputi oleh ombak yang di atasnya ombak pula di atasnya lagi awan; gelap gulita yang tindih-bertindih apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya.“ (QS. an-Nūr [24]: 39-40)
Dalam ayat ini yang menjadi al-musyabbah (المشبه) adalah أعمال الكفار (perbuatan orang-orang kafir). Adapun yang menjadi al-musyabbah bih (المشبه به) terdiri dari beberapa perkara (sifat) di antaranya:
1. Bagaikan fatamorgana yang berada di tanah datar, kemudian orang yang kehausan menganggap itu adalah air, tetapi setelah mendekat ia tidak mendapatkan apa-apa. Jadi perbuatannya sia-sia.
2. Kegelapan yang pekat (gulita) di lautan yang penuh dengan ombak besar dan di atasnya ada awan gelap sampai-sampai ia tidak dapat melihat tangannya karena gelapnya.
Ādāt at-tasybīh-nya adalah hurup kāf pada kata سراب dan kāf pada kata ظلمات. Sedangkan wajh asy-syabah adalah:
1. Perbuatan yang menghasilkan sesuatu yang sia-sia
2. Kekayaan yang bertumpuk-tumpuk tetapi tidak ada manfaatnya kelak pada hari kiamat.
Contoh lain dalam al-Qur’an disebutkan:
•• • • •
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia itu adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dari langit lalu tumbuhlah dengan suburnya (karena air itu) tanam-tanaman bumi di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai (pula perhiasannya) dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau siang lalu kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.“ (QS. Yūnus [10]: 24)
Al-musyabbah pada ayat di atas adalahالحياة الدنيا (kehidupan dunia). Sedangkan al-musyabbah bih terdiri dari beberapa sifat yaitu; tanam-tanaman yang tumbuh karena air hujan di mana hasilnya akan dimakan oleh manusia dan binatang ternak, tetapi ketika tanaman tersebut sudah berbuah dan kelihatan indah, tinggal dipetik, tiba-tiba datang azab Allah yang membuat sirna semua itu seakan-akan tidak pernah ada sebelumnya.
Ādāt at-tasybīh ayat di atas adalah مثل dan wajh asy-syabah-nya adalah masing-masing dari keduanya (tanam-tanaman dan kehidupan dunia) tumbuh dan berkembang sehingga enak dipandang mata lalu setelah itu sirna semua bagaikan tidak pernah ada sebelumnya.
Contoh lain dalam al-Qur’an disebutkan:
“Perumpamaan mereka (orang-orang munafik) adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang kafir.“ (QS. al-Baqarah [2]: 17-19)
Al-musyabbah ayat di atas adalah perilaku orang-orang munafik yang pura-pura menampakkan dirinya beriman di hadapan orang-orang beriman. Manakala berpisah mereka menampakkan watak aslinya yaitu kembali ke kekafiran. Al-musyabbah bih terdiri dari beberapa sifat:
1. Orang yang berjalan malam hari dengan menyalakan api sebagai penerang, lalu nyala api tersebut menjadi sirna dan keadaan berubah menjadi gelap sehingga dia ragu-ragu harus berjalan ke mana karena tidak tahu arah.
2. Orang yang berjalan di tengah hujan lebat disertai suasana gelap, suara halilintar (petir) dan kilat. Kegelapan menghalanginya untuk sampai ke jalan yang benar, suara petir menyebabkannya mereka menutup telinga dengan jari-jari tangan. Kilat yang sewaktu-waktu menyambar matanya. Mereka berjalan ketika ada kilat dan diam ketika cahaya kilat itu hilang.
Ādāt at-tasybīh ayat di atas adalah مثل pada مثلهم dan hurup kaaf pada كصيب. Wajh asy-syabah terdiri dari beberapa sifat:
1. Kondisi yang muncul karena adanya hidayah (petunjuk) yang bersifat sementara setelah itu disertai kebingungan
2. Orang-orang yang diperlihatkan penyebab-penyebab mendapatkan hidayah (petunjuk), lalu mereka memanfaatkannya sedikit dan sebentar setelah itu kembali diliputi kegelapan dan kesesatan.
2. AL-MAJĀZ
a. Al-Majāz dan al-Haqīqah
Semua lafaz (kata) dalam bahasa Arab memiliki dalālah (penunjukan makna). Lafaz-lafaz tersebut dilihat dari segi penunjukan maknanya terbagi menjadi dua: al-haqīqah dan al-majāz. Al-haqīqah (الحقيقة) adalah kata yang dipergunakan sesuai dengan penunjukan makna aslinya, seperti kata عين yang arti aslinya (hakikinya) adalah mata atau أسد yang arti hakikinya singa. Adapun al-majāz (المجاز) adalah kata yang dipergunakan pada tempat yang tidak sesuai dengan penunjukan makna aslinya, tetapi sudah terdapat perubahan atau perkembangan makna baru yang tidak sama dengan makna asli, seperti kata عين yang arti majazinya الجاسوس(mata-mata) atau asad أسد yang arti majazinya رجل شجاع (seorang pemberani).
a. Al-Majāz dan al-Haqīqah
Semua lafaz (kata) dalam bahasa Arab memiliki dalālah (penunjukan makna). Lafaz-lafaz tersebut dilihat dari segi penunjukan maknanya terbagi menjadi dua: al-haqīqah dan al-majāz. Al-haqīqah (الحقيقة) adalah kata yang dipergunakan sesuai dengan penunjukan makna aslinya, seperti kata عين yang arti aslinya (hakikinya) adalah mata atau أسد yang arti hakikinya singa. Adapun al-majāz (المجاز) adalah kata yang dipergunakan pada tempat yang tidak sesuai dengan penunjukan makna aslinya, tetapi sudah terdapat perubahan atau perkembangan makna baru yang tidak sama dengan makna asli, seperti kata عين yang arti majazinya الجاسوس(mata-mata) atau asad أسد yang arti majazinya رجل شجاع (seorang pemberani).
b. Dalālah (Penunjukan makna) Lafaz-lafaz dalam Bahasa Arab
Agar kita bisa memahami jenis lafaz dalam bahasa Arab diperlukan pemahaman mengenai pembagian lafaz secara umum. Para ulama meng-klasifikasikan lafaz (kata) dalam bahasa Arab menjadi 3 bagian:
Pertama, al-haqīqah al-lughawiyah (الحقيقة اللغوية), yaitu penunjukan makna kata berdasarkan arti bahasa, seperti kata أسد yang artinya singa.
Kedua, al-haqīqah al-‘Urfiyah (الحقيقة العرفية), yaitu penunjukan makna suatu kata berdasarkan arti 'urf (kebiasaan yang dipakai pada suatu komunitas atau kaum), seperti kata فعل yang arti 'urf-nya di kalangan ulama nahwu adalah kata kerja dengan tunjukan masa telah, sedang dan akan datang.
Ketiga, al-haqīqah asy-syar‘iyah (الحقيقة الشرعية), yaitu penunjukan makna suatu kata berdasarkan arti syara’ (hukum) seperti الصلاة yang artinya menurut syara’ adalah segala perkataan dan perbuatan yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan salam beserta memenuhi rukun-rukunnya.
Para ulama balāghah mensyaratkan penyusunan kata yang bermakna al-majāz harus adanya ‘alāqah (hubungan/kaitan) antara makna kata yang asli dengan makna yang sudah mengalami perubahan. Jika ‘alāqah antara makna kata yang asli (hakiki) dengan makna yang sudah mengalami perubahan (majazi) adalah al-musyābahah (unsur kesamaan), maka kalimat itu dinamakan isti‘ārah. Tetapi jika ‘alāqah antara makna kata yang asli dengan makna yang sudah mengalami perubahan adalah ghair al-musyābahah (tidak adanya unsur kesamaan) maka kalimat itu dinamakan al-majāz al-mursal.
Jadi masing-masing dari keduanya, baik al-isti‘ārah atau al-majāz al-mursal adalah bagian dari al-majāz. Pada pembahasan selanjutnya kita akan mengkaji uslūb al-majāz dengan semua jenis-jenisnya termasuk al-majāz al-‘aqlī.
Agar kita bisa memahami jenis lafaz dalam bahasa Arab diperlukan pemahaman mengenai pembagian lafaz secara umum. Para ulama meng-klasifikasikan lafaz (kata) dalam bahasa Arab menjadi 3 bagian:
Pertama, al-haqīqah al-lughawiyah (الحقيقة اللغوية), yaitu penunjukan makna kata berdasarkan arti bahasa, seperti kata أسد yang artinya singa.
Kedua, al-haqīqah al-‘Urfiyah (الحقيقة العرفية), yaitu penunjukan makna suatu kata berdasarkan arti 'urf (kebiasaan yang dipakai pada suatu komunitas atau kaum), seperti kata فعل yang arti 'urf-nya di kalangan ulama nahwu adalah kata kerja dengan tunjukan masa telah, sedang dan akan datang.
Ketiga, al-haqīqah asy-syar‘iyah (الحقيقة الشرعية), yaitu penunjukan makna suatu kata berdasarkan arti syara’ (hukum) seperti الصلاة yang artinya menurut syara’ adalah segala perkataan dan perbuatan yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan salam beserta memenuhi rukun-rukunnya.
Para ulama balāghah mensyaratkan penyusunan kata yang bermakna al-majāz harus adanya ‘alāqah (hubungan/kaitan) antara makna kata yang asli dengan makna yang sudah mengalami perubahan. Jika ‘alāqah antara makna kata yang asli (hakiki) dengan makna yang sudah mengalami perubahan (majazi) adalah al-musyābahah (unsur kesamaan), maka kalimat itu dinamakan isti‘ārah. Tetapi jika ‘alāqah antara makna kata yang asli dengan makna yang sudah mengalami perubahan adalah ghair al-musyābahah (tidak adanya unsur kesamaan) maka kalimat itu dinamakan al-majāz al-mursal.
Jadi masing-masing dari keduanya, baik al-isti‘ārah atau al-majāz al-mursal adalah bagian dari al-majāz. Pada pembahasan selanjutnya kita akan mengkaji uslūb al-majāz dengan semua jenis-jenisnya termasuk al-majāz al-‘aqlī.
c. Jenis-jenis al-Majāz
1). Al-Majāz al-‘Aqlī
Al-majāz al-‘aqlī ((المجاز العقلي, yaitu menyandarkan perbuatan (aktivitas) kepada suatu atau benda yang bukan aslinya karena adanya ‘alaqah ghair al-musyābahah (hubungan tidak adanya unsur kesamaan antara makna asli dan makna yang mengalami perubahan) dan qarīnah (susunan kalimat) yang mencegah terjadinya penyandaran makna ke lafaz tersebut. Dinamakan al-‘aqlī, karena al-majāz jenis ini bisa diketahui penunjukan maknanya dengan menggunakan akal.
Ada beberapa ‘alāqah yang diterdapat dalam al-majāz al-‘aqlī:
1. As-sababiyah (السببية), yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada penyebab langsung (pelaku).
Contohnya:
“Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang Tinggi supaya Aku sampai ke pintu-pintu,(yaitu) pintu-pintu langit, supaya Aku dapat melihat Tuhan Musa dan Sesungguhnya Aku memandangnya seorang pendusta". Demikianlah dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS. Ghāfir [40]: 36-37)
Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktifitas) membangun gedung yang menjulang disandarkan kepada seorang bernama Haman همن, padahal ia bukan pelaku sebenarnya. Yang membangun itu adalah العمال (para pekerja), tetapi Haman bertindak sebagai pengawas proses pembangunan itu.
2. Az-zamāniyah (الزمانية), yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada masa/waktu terjadinya.
Contohnya:
نَهَارُ المُؤْمِنِ صَائِمٌ ولَيْلُهُ قَائِمٌ
"Sore harinya orang mukmin itu berpuasa dan malamnya bangun (untuk ibadah).”
Pada contoh ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) puasa disandarkan kepada masa/waktu yaitu نهار (sore hari) padahal sore hari itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang melakukan puasa itu adalah seorang mukmin pada waktu sore hari.
3. Al-makāniyah (المكانية), yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada tempat terjadinya.
Contohnya:
• •
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. at-Taubah [9]: 72)
Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) mengalir disandarkan kepada الأنهار (sungai-sungai) padahal sungai-sungai itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang mengalir itu adalah المياه (air-air) yang bertempat di sungai-sungai.
4. Al-mashdariyah (المصدرية), yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada mashdarnya (kata dasar/asal).
Contohnya:
سَيَذْكُرُنِي قَوْمِيْ إِذَا جَدَّ جِدُّهُمْ # وَفِي اللَّيْلَةِ الظَّلْمَاءِ يُفْتَقَدُ البَدْرُ
“Kaumku akan teringat kepadaku apabila mereka menghadapi kesulitan. Pada malam yang gelap bulan purnama baru dirindukan (dicari-cari)”
Pada syair ini disebutkan bahwa aktivitas menghadapi kesusahan disandarkan kepada mashdar (kata dasar) yaitu جِدُّهُم padahal mashdar itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang mengalami kesusahan adalah orang-orang yang susah.
1). Al-Majāz al-‘Aqlī
Al-majāz al-‘aqlī ((المجاز العقلي, yaitu menyandarkan perbuatan (aktivitas) kepada suatu atau benda yang bukan aslinya karena adanya ‘alaqah ghair al-musyābahah (hubungan tidak adanya unsur kesamaan antara makna asli dan makna yang mengalami perubahan) dan qarīnah (susunan kalimat) yang mencegah terjadinya penyandaran makna ke lafaz tersebut. Dinamakan al-‘aqlī, karena al-majāz jenis ini bisa diketahui penunjukan maknanya dengan menggunakan akal.
Ada beberapa ‘alāqah yang diterdapat dalam al-majāz al-‘aqlī:
1. As-sababiyah (السببية), yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada penyebab langsung (pelaku).
Contohnya:
“Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang Tinggi supaya Aku sampai ke pintu-pintu,(yaitu) pintu-pintu langit, supaya Aku dapat melihat Tuhan Musa dan Sesungguhnya Aku memandangnya seorang pendusta". Demikianlah dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS. Ghāfir [40]: 36-37)
Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktifitas) membangun gedung yang menjulang disandarkan kepada seorang bernama Haman همن, padahal ia bukan pelaku sebenarnya. Yang membangun itu adalah العمال (para pekerja), tetapi Haman bertindak sebagai pengawas proses pembangunan itu.
2. Az-zamāniyah (الزمانية), yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada masa/waktu terjadinya.
Contohnya:
نَهَارُ المُؤْمِنِ صَائِمٌ ولَيْلُهُ قَائِمٌ
"Sore harinya orang mukmin itu berpuasa dan malamnya bangun (untuk ibadah).”
Pada contoh ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) puasa disandarkan kepada masa/waktu yaitu نهار (sore hari) padahal sore hari itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang melakukan puasa itu adalah seorang mukmin pada waktu sore hari.
3. Al-makāniyah (المكانية), yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada tempat terjadinya.
Contohnya:
• •
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. at-Taubah [9]: 72)
Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) mengalir disandarkan kepada الأنهار (sungai-sungai) padahal sungai-sungai itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang mengalir itu adalah المياه (air-air) yang bertempat di sungai-sungai.
4. Al-mashdariyah (المصدرية), yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada mashdarnya (kata dasar/asal).
Contohnya:
سَيَذْكُرُنِي قَوْمِيْ إِذَا جَدَّ جِدُّهُمْ # وَفِي اللَّيْلَةِ الظَّلْمَاءِ يُفْتَقَدُ البَدْرُ
“Kaumku akan teringat kepadaku apabila mereka menghadapi kesulitan. Pada malam yang gelap bulan purnama baru dirindukan (dicari-cari)”
Pada syair ini disebutkan bahwa aktivitas menghadapi kesusahan disandarkan kepada mashdar (kata dasar) yaitu جِدُّهُم padahal mashdar itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang mengalami kesusahan adalah orang-orang yang susah.
2). Al-Majāz al-Mursal
Al-majāz al-mursal (المجاز المرسل), yaitu suatu lafaz yang dipergunakan bukan pada makna aslinya karena adanya ‘alāqah ghair al-musyābahah disertai qarīnah yang mencegahnya dari makna asli. Majāz ini berbeda dengan al-kināyah, karena pada kalimat yang berbentuk kināyah tidak harus ada qarīnah yang mencegah suatu lafaz dari makna aslinya. Dinamakan al-mursal karena ia tidak dibatasi oleh pemaknaan tertentu. Oleh karenanya al-majāz al-mursal memiliki ‘alāqah yang banyak, di antaranya:
1. As-Sababiyah, ( (السببيةyaitu penggunaan suatu lafaz yang arti aslinya adalah ) سببsebab) terjadinya sesuatu, tetapi makna yang dimaksudkan adalah مسبب(akibat) dari sebab itu (musabbabun). Seperti lafaz يد(tangan) yang dipergunakan dengan makna نعمة (pemberian)
Contohnya: لِفلان عَلَيَّ يَدٌ لا أُنْكِرُها = Si fulan berjasa terhadapku dan itu tidak bisa kupungkiri.
Lafaz يد (tangan) dipergunakan dengan makna نعمة (pemberian), karena tangan (uluran tangan) yang menjadi perantara penyebab seseorang mendapatkan pemberian dari orang lain. Qarīnah-nya adalah علي يد , karena seseorang tidak mungkin memiliki tangan orang lain. Jadi artinya tangan yang menyebabkan terwujudnya suatu nikmat.
Contoh lain juga adalah sebagaimana perkataan Abū ath-Thayyib al-Mutanabbī ketika memuji Saif Al- Daulah :
لَهُ أَيادٍ عَلَيَّ سَابِغَةٌ # أُعَدُّ مِنْهَا وَلَا أُعَدِّدُهُ
"Dia banyak/sering memberi (mengulurkan tangannya) kepadaku. Sehingga aku merupakan bagian darinya dan aku tidak mampu menghitung (pemberiannya)”
Syair di atas mempergunakan lafaz يد (tangan) dengan makna نعمة (pemberian), karena tangan yang menjadi perantara (penyebab) seseorang mendapatkan rezeki atau nikmat. Qarīnah-nya adalah له أياد علي, karena seseorang tidak memiliki tangan orang lain. Jadi, maksudnta adalah "tangan yang menyebabkan terwujudnya suatu pemberian atau nikmat.". Qarinah yang lain سابغة, karena pemberian itu tidak bisa disifati dengan kelengkapan (universal).
Contoh lain juga adalah:رَعَتْ الماشية الغَيْثَ = Binatang ternak itu makan rumput-rumputan.
Lafazالغيث (hujan) dipergunakan dengan makna العُشْب (rumput), karena hujan yang menjadi penyebab rumput itu tumbuh. Qarīnah-nya adalah رعت الماشية, karena binatang ternak itu tidak mungkin makan air hujan. Maksudnya adalah air hujan yang menjadi penyebab rumput itu tumbuh.
2. Al-Musabbabiyah ( (المسببيةyaitu penggunaan suatu lafaz yang arti aslinya adalah مسبب(akibat) dari suatu sebab (musabbabun), tetapi makna yang dimaksudkan adalah سبب (sebab ) terjadinya sesuatu.
Contohnya: أمطرت السماء نباتا “Langit itu menurunkan hujan”
Lafaz النبات (tumbuhan/tanam-tanaman) dipergunakan dengan makna الغيث (hujan), karena tanam-tanaman itu tumbuh disebabkan adanya air hujan. karena hujan yang menjadi penyebab rumput itu tumbuh. Qarīnah-nya adalah أمطرت السماء karena langit itu tidak mungkin menurunkan tumbuh-tumbuhan. Jadi artinya tumbuhnya tanam-tanaman yang merupakan akibat dari adanya sebab yaitu hujan.
Contoh lain adalah:
“Dia-lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu rezki dari langit. dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah). (QS. Ghāfir [40]: 13)
Lafaz الرزق (rezeki/buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan) dipergunakan dengan makna الغيث (hujan), karena rezeki yang berupa buah-buahan dan tanaman itu tumbuh disebabkan adanya air hujan, karena hujan yang menjadi penyebab rezeki itu tumbuh. Qarīnah-nya adalah وينزل لكم من السماء, karena langit itu tidak mungkin menurunkan secara langsung rezeki dalam bentuk buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan. Artinya rezeki yang merupakan akibat dari adanya sebab yaitu hujan.
3. Al-Kulliyah ( الكلية) yaitu penggunaan suatu lafaz yang arti aslinya adalah الكل (keseluruhan), tetapi makna yang dimaksudkan adalah الجزء (sebahagiannya).
Contohnya, Firman Allah ketika mengisahkan tentang Nabi Nuh yang berdakwah kepada kaumnya tetapi sebagian dari mereka tidak mau beriman. Sikap mereka yang menolak dakwah Nabi Nuh dengan cara menutup telinga mereka dengan jari-jari tangan:
“Dan Sesungguhnya setiap kali Aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.” (QS. Nūh [71]: 7)
Lafaz الأصابع (jari-jari tangan) dipergunakan dengan الأنامل (ujung jari). karena ujung jari adalah bagian dari jari-jari tangan. Qarīnah-nya adalah في آذانهم جعلوا أصابعهم , karena seseorang tidak mungkin memasukkan semua jari tangannya ke dalam telinganya, tetapi yang dimasukkan adalah ujung jari. Jadi artinya, ujung jari yang merupakan sebagian dari jari-jari tangan.
4. Al-Juz’iyah الجزئية)) yaitu penggunaan suatu lafaz yang arti aslinya adalah الجزء (sebagian), tetapi makna yang dimaksudkan adalah الكل (keseluruhan).
Contohnya dalam firman Allah yang menetapkan hukuman kepada orang yang membunuh karena tersalah:
• •
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah….” (QS. an-Nisā’ [4]: 92)
Lafaz رقبة (leher) dipergunakan dengan makna العبد (hamba) secara keseluruhan, karena tidak mungkin memerdekakan sebagian dari anggota tubuhnya yaitu leher saja. Qarīnah yang mencegah lafaz رقبة dari makna aslinya adalah kata تحرير رقبة, tidak mungkin hanya memerdekakan leher saja tetapi yang dimerdekakan adalah seluruh anggota tubuh seorang.
5. I‘tibār Mā Kāna ( (اعتبار ما كانyaitu penggunaan suatu lafaz yang arti aslinya adalah اعتبار ما كان (memandang masa yang telah lewat), tetapi yang dimaksudkan اعتبار ما يكون (memandang masa yang setelahnya).
Contohnya dalam firman Allah yang mengisahkan tentang pengembalian harta anak yatim yang sebelumnya diamanahkan kepada pengasuhnya:
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.” (QS. an-Nisā’ [4]: 2)
Lafaz اليتامى dipergunakan dengan makna sesudah selesai masa yatim, yaitu masa baligh. Qarīnah yang mencegah kata اليتامى dari makna aslinya adalah seorang anak yatim dipastikan masih berumur kecil dan dan belum baligh sehingga ia tidak bisa diserahkan harta benda milik orang tuanya, karena ia tidak bisa membelanjakannya dengan baik dan benar.
6. I‘tibār Mā Yakūn اعتبار ما يكون) ) yaitu penggunaan suatu lafaz yang arti aslinya adalah اعتبار ما يكون (memandang masa yang setelahnya), tetapi yang dimaksudkan adalah اعتبار ما كان (memandang masa yang telah lewat).
Contohnya dalam firman Allah yang mengisahkan tentang mimpi orang yang berada di dalam penjara bersama Nabi Yusuf:
“Dan bersama dengan dia masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda. berkatalah salah seorang diantara keduanya: "Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur." dan yang lainnya berkata: "Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku membawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya dimakan burung." berikanlah kepada kami ta'birnya; Sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang pandai (mena'birkan mimpi). (QS. Yūsuf [12]: 36)
Lafaz خمراdipergunakan dengan makna العصير (sari/perasan anggur). Qarīnah yang mencegah kata خمرا dari makna aslinya أعصر (memeras), karena khamar itu tidak diperas tetapi yang diperas adalah buah anggur yang menghasilkan juice (perasan anggur) yang selanjutnya dicampur dengan zat-zat lain sehingga berubah menjadi khamar.
Al-majāz al-mursal (المجاز المرسل), yaitu suatu lafaz yang dipergunakan bukan pada makna aslinya karena adanya ‘alāqah ghair al-musyābahah disertai qarīnah yang mencegahnya dari makna asli. Majāz ini berbeda dengan al-kināyah, karena pada kalimat yang berbentuk kināyah tidak harus ada qarīnah yang mencegah suatu lafaz dari makna aslinya. Dinamakan al-mursal karena ia tidak dibatasi oleh pemaknaan tertentu. Oleh karenanya al-majāz al-mursal memiliki ‘alāqah yang banyak, di antaranya:
1. As-Sababiyah, ( (السببيةyaitu penggunaan suatu lafaz yang arti aslinya adalah ) سببsebab) terjadinya sesuatu, tetapi makna yang dimaksudkan adalah مسبب(akibat) dari sebab itu (musabbabun). Seperti lafaz يد(tangan) yang dipergunakan dengan makna نعمة (pemberian)
Contohnya: لِفلان عَلَيَّ يَدٌ لا أُنْكِرُها = Si fulan berjasa terhadapku dan itu tidak bisa kupungkiri.
Lafaz يد (tangan) dipergunakan dengan makna نعمة (pemberian), karena tangan (uluran tangan) yang menjadi perantara penyebab seseorang mendapatkan pemberian dari orang lain. Qarīnah-nya adalah علي يد , karena seseorang tidak mungkin memiliki tangan orang lain. Jadi artinya tangan yang menyebabkan terwujudnya suatu nikmat.
Contoh lain juga adalah sebagaimana perkataan Abū ath-Thayyib al-Mutanabbī ketika memuji Saif Al- Daulah :
لَهُ أَيادٍ عَلَيَّ سَابِغَةٌ # أُعَدُّ مِنْهَا وَلَا أُعَدِّدُهُ
"Dia banyak/sering memberi (mengulurkan tangannya) kepadaku. Sehingga aku merupakan bagian darinya dan aku tidak mampu menghitung (pemberiannya)”
Syair di atas mempergunakan lafaz يد (tangan) dengan makna نعمة (pemberian), karena tangan yang menjadi perantara (penyebab) seseorang mendapatkan rezeki atau nikmat. Qarīnah-nya adalah له أياد علي, karena seseorang tidak memiliki tangan orang lain. Jadi, maksudnta adalah "tangan yang menyebabkan terwujudnya suatu pemberian atau nikmat.". Qarinah yang lain سابغة, karena pemberian itu tidak bisa disifati dengan kelengkapan (universal).
Contoh lain juga adalah:رَعَتْ الماشية الغَيْثَ = Binatang ternak itu makan rumput-rumputan.
Lafazالغيث (hujan) dipergunakan dengan makna العُشْب (rumput), karena hujan yang menjadi penyebab rumput itu tumbuh. Qarīnah-nya adalah رعت الماشية, karena binatang ternak itu tidak mungkin makan air hujan. Maksudnya adalah air hujan yang menjadi penyebab rumput itu tumbuh.
2. Al-Musabbabiyah ( (المسببيةyaitu penggunaan suatu lafaz yang arti aslinya adalah مسبب(akibat) dari suatu sebab (musabbabun), tetapi makna yang dimaksudkan adalah سبب (sebab ) terjadinya sesuatu.
Contohnya: أمطرت السماء نباتا “Langit itu menurunkan hujan”
Lafaz النبات (tumbuhan/tanam-tanaman) dipergunakan dengan makna الغيث (hujan), karena tanam-tanaman itu tumbuh disebabkan adanya air hujan. karena hujan yang menjadi penyebab rumput itu tumbuh. Qarīnah-nya adalah أمطرت السماء karena langit itu tidak mungkin menurunkan tumbuh-tumbuhan. Jadi artinya tumbuhnya tanam-tanaman yang merupakan akibat dari adanya sebab yaitu hujan.
Contoh lain adalah:
“Dia-lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu rezki dari langit. dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah). (QS. Ghāfir [40]: 13)
Lafaz الرزق (rezeki/buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan) dipergunakan dengan makna الغيث (hujan), karena rezeki yang berupa buah-buahan dan tanaman itu tumbuh disebabkan adanya air hujan, karena hujan yang menjadi penyebab rezeki itu tumbuh. Qarīnah-nya adalah وينزل لكم من السماء, karena langit itu tidak mungkin menurunkan secara langsung rezeki dalam bentuk buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan. Artinya rezeki yang merupakan akibat dari adanya sebab yaitu hujan.
3. Al-Kulliyah ( الكلية) yaitu penggunaan suatu lafaz yang arti aslinya adalah الكل (keseluruhan), tetapi makna yang dimaksudkan adalah الجزء (sebahagiannya).
Contohnya, Firman Allah ketika mengisahkan tentang Nabi Nuh yang berdakwah kepada kaumnya tetapi sebagian dari mereka tidak mau beriman. Sikap mereka yang menolak dakwah Nabi Nuh dengan cara menutup telinga mereka dengan jari-jari tangan:
“Dan Sesungguhnya setiap kali Aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.” (QS. Nūh [71]: 7)
Lafaz الأصابع (jari-jari tangan) dipergunakan dengan الأنامل (ujung jari). karena ujung jari adalah bagian dari jari-jari tangan. Qarīnah-nya adalah في آذانهم جعلوا أصابعهم , karena seseorang tidak mungkin memasukkan semua jari tangannya ke dalam telinganya, tetapi yang dimasukkan adalah ujung jari. Jadi artinya, ujung jari yang merupakan sebagian dari jari-jari tangan.
4. Al-Juz’iyah الجزئية)) yaitu penggunaan suatu lafaz yang arti aslinya adalah الجزء (sebagian), tetapi makna yang dimaksudkan adalah الكل (keseluruhan).
Contohnya dalam firman Allah yang menetapkan hukuman kepada orang yang membunuh karena tersalah:
• •
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah….” (QS. an-Nisā’ [4]: 92)
Lafaz رقبة (leher) dipergunakan dengan makna العبد (hamba) secara keseluruhan, karena tidak mungkin memerdekakan sebagian dari anggota tubuhnya yaitu leher saja. Qarīnah yang mencegah lafaz رقبة dari makna aslinya adalah kata تحرير رقبة, tidak mungkin hanya memerdekakan leher saja tetapi yang dimerdekakan adalah seluruh anggota tubuh seorang.
5. I‘tibār Mā Kāna ( (اعتبار ما كانyaitu penggunaan suatu lafaz yang arti aslinya adalah اعتبار ما كان (memandang masa yang telah lewat), tetapi yang dimaksudkan اعتبار ما يكون (memandang masa yang setelahnya).
Contohnya dalam firman Allah yang mengisahkan tentang pengembalian harta anak yatim yang sebelumnya diamanahkan kepada pengasuhnya:
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.” (QS. an-Nisā’ [4]: 2)
Lafaz اليتامى dipergunakan dengan makna sesudah selesai masa yatim, yaitu masa baligh. Qarīnah yang mencegah kata اليتامى dari makna aslinya adalah seorang anak yatim dipastikan masih berumur kecil dan dan belum baligh sehingga ia tidak bisa diserahkan harta benda milik orang tuanya, karena ia tidak bisa membelanjakannya dengan baik dan benar.
6. I‘tibār Mā Yakūn اعتبار ما يكون) ) yaitu penggunaan suatu lafaz yang arti aslinya adalah اعتبار ما يكون (memandang masa yang setelahnya), tetapi yang dimaksudkan adalah اعتبار ما كان (memandang masa yang telah lewat).
Contohnya dalam firman Allah yang mengisahkan tentang mimpi orang yang berada di dalam penjara bersama Nabi Yusuf:
“Dan bersama dengan dia masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda. berkatalah salah seorang diantara keduanya: "Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur." dan yang lainnya berkata: "Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku membawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya dimakan burung." berikanlah kepada kami ta'birnya; Sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang pandai (mena'birkan mimpi). (QS. Yūsuf [12]: 36)
Lafaz خمراdipergunakan dengan makna العصير (sari/perasan anggur). Qarīnah yang mencegah kata خمرا dari makna aslinya أعصر (memeras), karena khamar itu tidak diperas tetapi yang diperas adalah buah anggur yang menghasilkan juice (perasan anggur) yang selanjutnya dicampur dengan zat-zat lain sehingga berubah menjadi khamar.
3). Al-Isti‘ārah
a). Definisi Al-Isti‘ārah
Al-Isti‘ārah Menurut Etimologi
Al-isti‘ārah (الاستعارة) menurut bahasa berarti "meminta pinjaman". Ia berasal dari kata استعرت الشيء استعارة. Contohnya dalam suatu kalimat: استعار محمد كتابا من عمر )Muhammad meminjam buku dari Umar(. Pada contoh tersebut, tiga unsur yang harus terpenuhi, yaitu peminjam (Muhammad),orang yang dipinjami (Umar) dan barang yang dipinjam (buku). Proses ini dinamakan pinjam meminjam (Al-isti‘ārah).
Namun dalam ilmu Balāghah yang menjadi obyek dari proses pinjam meminjam adalah lafaz (kata). Dengan demikian, dalam al-isti‘ārah terdapat peminjaman makna suatu lafaz dari makna aslinya (makna hakiki) kepada makna baru (makna majazi). Misalnya lafaz أسد, makna aslinya berarti singa yang mengalami perubahan menjadi makna/arti baru yaituرجل شجاع )seorang yang memiliki sifat pemberani(. Lafaz بحر makna aslinya berarti laut yang mengalami perubahan menjadi makna baru yaitu رجل كريم (seorang yang memiliki sifat pemurah).
a). Definisi Al-Isti‘ārah
Al-Isti‘ārah Menurut Etimologi
Al-isti‘ārah (الاستعارة) menurut bahasa berarti "meminta pinjaman". Ia berasal dari kata استعرت الشيء استعارة. Contohnya dalam suatu kalimat: استعار محمد كتابا من عمر )Muhammad meminjam buku dari Umar(. Pada contoh tersebut, tiga unsur yang harus terpenuhi, yaitu peminjam (Muhammad),orang yang dipinjami (Umar) dan barang yang dipinjam (buku). Proses ini dinamakan pinjam meminjam (Al-isti‘ārah).
Namun dalam ilmu Balāghah yang menjadi obyek dari proses pinjam meminjam adalah lafaz (kata). Dengan demikian, dalam al-isti‘ārah terdapat peminjaman makna suatu lafaz dari makna aslinya (makna hakiki) kepada makna baru (makna majazi). Misalnya lafaz أسد, makna aslinya berarti singa yang mengalami perubahan menjadi makna/arti baru yaituرجل شجاع )seorang yang memiliki sifat pemberani(. Lafaz بحر makna aslinya berarti laut yang mengalami perubahan menjadi makna baru yaitu رجل كريم (seorang yang memiliki sifat pemurah).
Al-Isti‘ārah Menurut Terminologi
Al-isti‘ārah menurut istilah adalah lafaz yang dipergunakan pada makna yang bukan aslinya karena adanya ‘alaqah musyābahah (unsur kesamaan) disertai qarīnah (susunan kalimat) yang mencegah suatu kata dari makna asli tersebut. Contohnya: رأيت بحرا في السوق = saya melihat orang pemurah itu di pasar.
Untuk diingat bahwa al-isti‘ārah merupakan bagian dari al-majāz. Kesamaannya dengan al-majāz al-mursal dan al-majaz al-‘aqlī terletak pada keharusan adanya qarīnah (redaksi kalimat) yang mencegah suatu kata dari makna aslinya. Adapun perbedaannya terletak pada ‘alāqah, di mana pada al-majāz al-‘aqlī dan al-majāz al-mursal, ‘alāqah (hubungan) antara makna asli dan makna baru adalah ghair al-musyābahah (tidak ada unsur kesamaan). Sedangkan pada al-isti‘ārah, hubungan antara makna asli dan makna baru adalah al-musyābahah (adanya unsur kesamaan).
Kalau diperhatikan, Qarīnah (redaksi kalimat) pada contoh di atas tidak memungkinkan kita memaknai lafaz بحرا dengan makna aslinya. Karena بحرا (laut) tidak mungkin berada di pasar. Tetapi harus diartikan dengan makna baru yang sudah mengalami perubahan atau perkembangan makna (makna majazi) yaitu orang yang pemurah.
Al-isti‘ārah menurut istilah adalah lafaz yang dipergunakan pada makna yang bukan aslinya karena adanya ‘alaqah musyābahah (unsur kesamaan) disertai qarīnah (susunan kalimat) yang mencegah suatu kata dari makna asli tersebut. Contohnya: رأيت بحرا في السوق = saya melihat orang pemurah itu di pasar.
Untuk diingat bahwa al-isti‘ārah merupakan bagian dari al-majāz. Kesamaannya dengan al-majāz al-mursal dan al-majaz al-‘aqlī terletak pada keharusan adanya qarīnah (redaksi kalimat) yang mencegah suatu kata dari makna aslinya. Adapun perbedaannya terletak pada ‘alāqah, di mana pada al-majāz al-‘aqlī dan al-majāz al-mursal, ‘alāqah (hubungan) antara makna asli dan makna baru adalah ghair al-musyābahah (tidak ada unsur kesamaan). Sedangkan pada al-isti‘ārah, hubungan antara makna asli dan makna baru adalah al-musyābahah (adanya unsur kesamaan).
Kalau diperhatikan, Qarīnah (redaksi kalimat) pada contoh di atas tidak memungkinkan kita memaknai lafaz بحرا dengan makna aslinya. Karena بحرا (laut) tidak mungkin berada di pasar. Tetapi harus diartikan dengan makna baru yang sudah mengalami perubahan atau perkembangan makna (makna majazi) yaitu orang yang pemurah.
b). Rukun-rukun al-Isti‘ārah
Dari penjabaran definisi yang disertai contoh di atas dapat disimpulkan bahwa suatu kalimat dinamakan al-isti‘ārah jika terpenuhi tiga unsur berikut:
1. المستعار منه = lafaz yang dipinjam darinya atau disebut juga المشبه به yaitu lafaz بحرا
2. المستعار له = lafaz yang dipinjam untuknya atau disebut juga المشبهyaitu lafaz رجل كريم
3. المستعار = sifat yang dipinjam yaitu lafaz الكرم
Dari penjabaran definisi yang disertai contoh di atas dapat disimpulkan bahwa suatu kalimat dinamakan al-isti‘ārah jika terpenuhi tiga unsur berikut:
1. المستعار منه = lafaz yang dipinjam darinya atau disebut juga المشبه به yaitu lafaz بحرا
2. المستعار له = lafaz yang dipinjam untuknya atau disebut juga المشبهyaitu lafaz رجل كريم
3. المستعار = sifat yang dipinjam yaitu lafaz الكرم
c). Makna Qarīnah dan Pembagiannya
Qarīnah (القرينة), yaitu susunan redaksi kalimat yang menunjukkan suatu makna sekaligus berfungsi sebagai petunjuk untuk memaknai suatu kata dengan makna baru (makna majāzī) dan bukan makna aslinya (makna haqīqī). Qarīnah adalah standar untuk mengetahui layak atau tidak layaknya suatu kalimat mengandung arti majaz. Para ulama Balagah membagi qarīnah menjadi dua, yaitu:
1. Qarīnah Lafzhiyah (قرينة لفظية) yaitu susunan redaksi kalimat yang mencegah pemaknaan kata sesuai dengan aslinya.
Contohnya: كَلَّمَنِيْ بَحْرٌ(saya diajak bicara oleh orang pemurah itu). Kata بحر makna aslinya adalah laut, kemudian ia dipinjam untuk makna yang baru كريم رجل (seorang pemurah). Qarīnah-nya adalah كلمني, karena seseorang tidak mungkin diajak berbicara oleh laut.
Contoh lain: قَتَلَ خَصْمَه بِحَادِّ لِسَانِه (ia membunuh musuhnya dengan ketajaman lidahnya). Kata قتل makna aslinya adalah membunuh, lalu ia dipinjam untuk makna yang baru yaitu إيلام قلبه (menyakiti hati). Qarīnah-nya adalah kalimat حاد لسانه (ketajaman lidah), karena لسان (lidah) tidak mungkin dipakai untuk membunuh.
2. Qarīnah Ghair Lafzhiyah (قرينة غير لفظية) yaitu faktor eksternal yang tidak berkaitan dengan redaksi kalimat yang menjadi petunjuk untuk memaknai suatu kata bukan dengan makna aslinya.
Qarīnah Ghair Lafzhiyah bisa berbentuk hal-hal berikut:
Dalālah al-Hāl ( دلالة الحال) yaitu penunjukan makna baru yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi ketika berbicara.
Contohnya: seseorang yang melihatالمرأة الجميلة (wanita cantik) dan menghampirinya lalu berkata: رأيت قمرا, maka kita tidak mungkin mengartikan قمر ini dengan makna selain المرأة الجميلة (wanita cantik), karena situasi dan kondisinya seperti itu. Jadi lafaz قمر dipinjam untuk menyebut المرأة الجميلة(wanita cantik), jenis qarīnah-nya adalah دلالة الحال..
Istihālah al-Ma‘nā(استحالة المعنى) yaitu penunjukan suatu kata yang mustahil (tidak masuk akal) kalau diartikan dengan makna aslinya, tetapi harus diartikan dengan makna baru.
Contohnya, firman Allah:
“Sesungguhnya kami, tatkala air Telah naik (sampai ke gunung) kami bawa (nenek moyang) kamu[1506], ke dalam bahtera.” (QS. al-Hāqqah [69]: 11)
Lafazh طغى yang merupakan isytiqoq (perubahan bentuk kata) dari kata طغيان, Ia dipinjam untuk menggantikan kata كثرة (yang banyak) dan melampaui batas tertentu. Letak kesamaannya adalah keduanya (air dan sifat manusia) terkadang melampaui batas. Karena terbentuk dari fi‘il mādhi yaitu طغى. Qarinah-nya adalah استحالة المعنى (kemustahilan makna) yaitu kemustahilan air itu melampaui batas, karena طغيان adalah sifat manusia.
Qarīnah (القرينة), yaitu susunan redaksi kalimat yang menunjukkan suatu makna sekaligus berfungsi sebagai petunjuk untuk memaknai suatu kata dengan makna baru (makna majāzī) dan bukan makna aslinya (makna haqīqī). Qarīnah adalah standar untuk mengetahui layak atau tidak layaknya suatu kalimat mengandung arti majaz. Para ulama Balagah membagi qarīnah menjadi dua, yaitu:
1. Qarīnah Lafzhiyah (قرينة لفظية) yaitu susunan redaksi kalimat yang mencegah pemaknaan kata sesuai dengan aslinya.
Contohnya: كَلَّمَنِيْ بَحْرٌ(saya diajak bicara oleh orang pemurah itu). Kata بحر makna aslinya adalah laut, kemudian ia dipinjam untuk makna yang baru كريم رجل (seorang pemurah). Qarīnah-nya adalah كلمني, karena seseorang tidak mungkin diajak berbicara oleh laut.
Contoh lain: قَتَلَ خَصْمَه بِحَادِّ لِسَانِه (ia membunuh musuhnya dengan ketajaman lidahnya). Kata قتل makna aslinya adalah membunuh, lalu ia dipinjam untuk makna yang baru yaitu إيلام قلبه (menyakiti hati). Qarīnah-nya adalah kalimat حاد لسانه (ketajaman lidah), karena لسان (lidah) tidak mungkin dipakai untuk membunuh.
2. Qarīnah Ghair Lafzhiyah (قرينة غير لفظية) yaitu faktor eksternal yang tidak berkaitan dengan redaksi kalimat yang menjadi petunjuk untuk memaknai suatu kata bukan dengan makna aslinya.
Qarīnah Ghair Lafzhiyah bisa berbentuk hal-hal berikut:
Dalālah al-Hāl ( دلالة الحال) yaitu penunjukan makna baru yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi ketika berbicara.
Contohnya: seseorang yang melihatالمرأة الجميلة (wanita cantik) dan menghampirinya lalu berkata: رأيت قمرا, maka kita tidak mungkin mengartikan قمر ini dengan makna selain المرأة الجميلة (wanita cantik), karena situasi dan kondisinya seperti itu. Jadi lafaz قمر dipinjam untuk menyebut المرأة الجميلة(wanita cantik), jenis qarīnah-nya adalah دلالة الحال..
Istihālah al-Ma‘nā(استحالة المعنى) yaitu penunjukan suatu kata yang mustahil (tidak masuk akal) kalau diartikan dengan makna aslinya, tetapi harus diartikan dengan makna baru.
Contohnya, firman Allah:
“Sesungguhnya kami, tatkala air Telah naik (sampai ke gunung) kami bawa (nenek moyang) kamu[1506], ke dalam bahtera.” (QS. al-Hāqqah [69]: 11)
Lafazh طغى yang merupakan isytiqoq (perubahan bentuk kata) dari kata طغيان, Ia dipinjam untuk menggantikan kata كثرة (yang banyak) dan melampaui batas tertentu. Letak kesamaannya adalah keduanya (air dan sifat manusia) terkadang melampaui batas. Karena terbentuk dari fi‘il mādhi yaitu طغى. Qarinah-nya adalah استحالة المعنى (kemustahilan makna) yaitu kemustahilan air itu melampaui batas, karena طغيان adalah sifat manusia.
d). Macam-macam al-Isti‘ārah
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa al-isti‘ārah adalah kalimat yang salah satu dari طرفا التشبيه (al-musyabbah dan al-musyabbah bih)-nya dibuang atau tidak disebutkan. Al-isti‘ārah dilihat dari penyebutan dan pengguguran salah satu dari tharafāi at-tasybīh dibagi menjadi dua macam, yaitu: al-isti‘ārah at-tashrīhiyah dan al-isti‘ārah al-Ma‘niyah
1. Al-isti‘ārah at-tashrīhiyah (الاستعارة التصريحية)yaitu tasybīh yang dibuang al-musyabbah-nya lalu diganti posisinya secara jelas dan tersurat oleh al-musyabbah bih. Dinamakan at-tashrīhiyah karena lafazh al-musyabbah bih-nya disebut secara jelas dan tersurat.
Contohnya: رأيت أسدا في الفصل = Saya melihat singa (seorang pemberani) di kelas."
Pada contoh di atas, seorang yang pemberani (رجل شجاع) diserupakan dengan أسدا (singa), karena sama-sama memiliki sifat keberanian. Kemudian dipinjam lafaz yang menunjukkan al-musyabbah bih yaitu أسدا (singa) untuk menggantikan kata al-musyabbah yaitu شجاع رجل (seorang yang pemberani), mengikuti aturan bernama al-isti‘ārah at-tashrīhiyah dengan qarīnah رأيت أسدا في الفصل yaitu redaksi kalimat ini tidak memungkinkan kita memaknainya dengan makna asli (makna haqīqī).
Contoh lain: لَمِعَتْ أَزْهَارُ السَّمَاءِ = Bintang-bintang di langit berkilauan.
Pada kalimat tersebut, bintang-bintang ( (نجومdiserupakan dengan bunga-bunga (أزهار), karena sama-sama memiliki sifat gemerlap. Kemudian dipinjam lafaz yang menunjukkan al-musyabbah bih, yaitu أزهارا (bunga-bunga) untuk menggantikan kata al-musyabbah, yaitu نجوم (bintang-bintang), mengikuti aturan bernama al-isti‘ārah at-tashrīhiyah dengan qarīnah لمعت أزهار السماء yaitu redaksi kalimat ini tidak memungkinkan kita memaknainya dengan makna asli (makna haqīqī).
Contoh lain:
••
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrāhīm [14]: 1)
Pada contoh di atas, diserupakan lafaz الضلالة (kesesatan) dengan الظلمات (kegelapan) dan lafaz الهداية (petunjuk) dengan النور (cahaya), karena sama-sama menyesatkan dan menyinari. Kemudian dipinjam lafaz yang menunjukkan al-musyabbah bih yaituالظلمات (kegelapan) dan النور menggantikan kata al-musyabbah yaitu الضلالة (kesesatan) dan الهداية (petunjuk), mengikuti aturan al-isti‘ārah at-tashrīhiyah dengan qarīnah
كتاب أنزلناه إليك لتخرج الناس من الظلمات إلى النور yaitu redaksi kalimat ini tidak memungkinkan kita memaknainya dengan makna asli (makna haqīqī).
Contoh lain:
“Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya.”(QS. Nūh [71]: 17)
Diserupakan بعثكم (membangkitkan) denganأنبتكم (menumbuhkan), karena sama-sama memiliki sifat kehidupan. Kemudian dipinjam lafaz yang menunjukkan al-musyabbah bih yaitu أنبتكم (menumbuhkan) untuk menggantikan kata al-musyabbah yaitu بعثكم (membangkitkan), mengikuti aturan bernama al-isti‘ārah at-tashrīhiyah dengan qarīnah والله أنبتكم من الأرض نباتا yaitu redaksi kalimat ini tidak memungkinkan kita memaknainya dengan makna asli (makna haqīqī).
Karena tempat berlangsungnya al-isti‘ārah itu terbentuk dari isim jāmid (isim ‘ain), maka ia dinamakan juga ash-ashliyyah. Kalau disebutkan secara lengkap menjadi al-isti‘ārah at-tashrīhiyah ash-ashliyyah الاستعارة التصريحية الأصلية))
2. Al-Isti‘ārah al-Ma‘niyah (الاستعارة المكنية) yaitu at-tasybīh yang al-musyabbah bih-nya dibuang lalu diganti secara samar dan tersirat dengan menyebutkan salah satu sifat atau sesuatu yang mesti dimiliki oleh al-musyabbah bih.
Contohnya: غَرَّدَ الشاعر بِقَصِيْدَة= Penyair itu berkicau (bernyanyi).
Pada contoh ini, البلبل (burung perkutut) diserupakan dengan الشاعر (penyair) karena suaranya sama-sama indah dan merdu. Kemudian dibuang lafaz al-musyabbah bih yaitu البلبل (burung perkutut) dan diganti dengan salah satu sifat atau sesuatu yang mesti dimilikinya yaitu التغريد (berkicau). Kemudian diambil perubahan kata التغريد yang bermakna الإنشاد (bernyanyi) dari fi’il غرد dengan makna أنشد, mengikuti aturan yang bernama al-isti‘ārah al-ma‘niyah.
Contoh lain:
وَإِذَا الْمَنِيَّةُ أَنْشَبَتْ أَظْفَارَهَا # أَلْفَيْتَ أَنَّ كُلَّ تَمِيْمَةٍ لَا تَنْفَعُ
Jika kematian itu sudah menancapkan kuku-kukunya. Engkau akan mengetahui bahwa segala azimat itu tidak ada manfaatnya
Pada bait syair ini السَّبَعُ atau الحيوان المُفْتَرِس(binatang buas) diserupakan dengan المنية (kematian) karena sama-sama mematikan. Kemudian dibuang lafazh al-musyabbah bih yaitu السبع (binatang buas) dan diganti dengan salah satu sifat atau sesuatu yang mesti dimilikinya yaituأنشبت أظفارها (menerkam/mencengkeram dengan kuku-kukunya), mengikuti aturan al-isti‘ārah al-ma‘niyah.
Contoh lain dalam ayat Al Quran:
•
“Ia Berkata "Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku Telah lemah dan kepalaku Telah ditumbuhi uban, dan Aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku.” (QS. Maryam [19]: 4)
Pada ayat di atas الشيب (uban) diserupakan dengan النار (api), karena sama-sama berwarna putih dan merata. Kemudian dibuang lafaz al-musyabbah bih yaitu النار (api) dan diganti dengan salah satu sifat atau sesuatu yang mesti dimilikinya yaitu الاشتعال (menyala). Kemudian diambil perubahan kata الاشتعال yang bermakna الانتشار dari fi’il اشتعل dengan makna انتشر, mengikuti aturan yang bernama al-isti‘ārah al-ma‘niyah.
Karena tempat berlangsungnya al-isti‘ārah itu terbentuk dari fi‘il atau isim musytāq, maka ia dinamakan juga at- tab‘iyyah. Kalau disebutkan secara lengkap menjadi al-isti‘ārah al-ma‘niyah at-tab‘iyyah.
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa al-isti‘ārah adalah kalimat yang salah satu dari طرفا التشبيه (al-musyabbah dan al-musyabbah bih)-nya dibuang atau tidak disebutkan. Al-isti‘ārah dilihat dari penyebutan dan pengguguran salah satu dari tharafāi at-tasybīh dibagi menjadi dua macam, yaitu: al-isti‘ārah at-tashrīhiyah dan al-isti‘ārah al-Ma‘niyah
1. Al-isti‘ārah at-tashrīhiyah (الاستعارة التصريحية)yaitu tasybīh yang dibuang al-musyabbah-nya lalu diganti posisinya secara jelas dan tersurat oleh al-musyabbah bih. Dinamakan at-tashrīhiyah karena lafazh al-musyabbah bih-nya disebut secara jelas dan tersurat.
Contohnya: رأيت أسدا في الفصل = Saya melihat singa (seorang pemberani) di kelas."
Pada contoh di atas, seorang yang pemberani (رجل شجاع) diserupakan dengan أسدا (singa), karena sama-sama memiliki sifat keberanian. Kemudian dipinjam lafaz yang menunjukkan al-musyabbah bih yaitu أسدا (singa) untuk menggantikan kata al-musyabbah yaitu شجاع رجل (seorang yang pemberani), mengikuti aturan bernama al-isti‘ārah at-tashrīhiyah dengan qarīnah رأيت أسدا في الفصل yaitu redaksi kalimat ini tidak memungkinkan kita memaknainya dengan makna asli (makna haqīqī).
Contoh lain: لَمِعَتْ أَزْهَارُ السَّمَاءِ = Bintang-bintang di langit berkilauan.
Pada kalimat tersebut, bintang-bintang ( (نجومdiserupakan dengan bunga-bunga (أزهار), karena sama-sama memiliki sifat gemerlap. Kemudian dipinjam lafaz yang menunjukkan al-musyabbah bih, yaitu أزهارا (bunga-bunga) untuk menggantikan kata al-musyabbah, yaitu نجوم (bintang-bintang), mengikuti aturan bernama al-isti‘ārah at-tashrīhiyah dengan qarīnah لمعت أزهار السماء yaitu redaksi kalimat ini tidak memungkinkan kita memaknainya dengan makna asli (makna haqīqī).
Contoh lain:
••
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrāhīm [14]: 1)
Pada contoh di atas, diserupakan lafaz الضلالة (kesesatan) dengan الظلمات (kegelapan) dan lafaz الهداية (petunjuk) dengan النور (cahaya), karena sama-sama menyesatkan dan menyinari. Kemudian dipinjam lafaz yang menunjukkan al-musyabbah bih yaituالظلمات (kegelapan) dan النور menggantikan kata al-musyabbah yaitu الضلالة (kesesatan) dan الهداية (petunjuk), mengikuti aturan al-isti‘ārah at-tashrīhiyah dengan qarīnah
كتاب أنزلناه إليك لتخرج الناس من الظلمات إلى النور yaitu redaksi kalimat ini tidak memungkinkan kita memaknainya dengan makna asli (makna haqīqī).
Contoh lain:
“Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya.”(QS. Nūh [71]: 17)
Diserupakan بعثكم (membangkitkan) denganأنبتكم (menumbuhkan), karena sama-sama memiliki sifat kehidupan. Kemudian dipinjam lafaz yang menunjukkan al-musyabbah bih yaitu أنبتكم (menumbuhkan) untuk menggantikan kata al-musyabbah yaitu بعثكم (membangkitkan), mengikuti aturan bernama al-isti‘ārah at-tashrīhiyah dengan qarīnah والله أنبتكم من الأرض نباتا yaitu redaksi kalimat ini tidak memungkinkan kita memaknainya dengan makna asli (makna haqīqī).
Karena tempat berlangsungnya al-isti‘ārah itu terbentuk dari isim jāmid (isim ‘ain), maka ia dinamakan juga ash-ashliyyah. Kalau disebutkan secara lengkap menjadi al-isti‘ārah at-tashrīhiyah ash-ashliyyah الاستعارة التصريحية الأصلية))
2. Al-Isti‘ārah al-Ma‘niyah (الاستعارة المكنية) yaitu at-tasybīh yang al-musyabbah bih-nya dibuang lalu diganti secara samar dan tersirat dengan menyebutkan salah satu sifat atau sesuatu yang mesti dimiliki oleh al-musyabbah bih.
Contohnya: غَرَّدَ الشاعر بِقَصِيْدَة= Penyair itu berkicau (bernyanyi).
Pada contoh ini, البلبل (burung perkutut) diserupakan dengan الشاعر (penyair) karena suaranya sama-sama indah dan merdu. Kemudian dibuang lafaz al-musyabbah bih yaitu البلبل (burung perkutut) dan diganti dengan salah satu sifat atau sesuatu yang mesti dimilikinya yaitu التغريد (berkicau). Kemudian diambil perubahan kata التغريد yang bermakna الإنشاد (bernyanyi) dari fi’il غرد dengan makna أنشد, mengikuti aturan yang bernama al-isti‘ārah al-ma‘niyah.
Contoh lain:
وَإِذَا الْمَنِيَّةُ أَنْشَبَتْ أَظْفَارَهَا # أَلْفَيْتَ أَنَّ كُلَّ تَمِيْمَةٍ لَا تَنْفَعُ
Jika kematian itu sudah menancapkan kuku-kukunya. Engkau akan mengetahui bahwa segala azimat itu tidak ada manfaatnya
Pada bait syair ini السَّبَعُ atau الحيوان المُفْتَرِس(binatang buas) diserupakan dengan المنية (kematian) karena sama-sama mematikan. Kemudian dibuang lafazh al-musyabbah bih yaitu السبع (binatang buas) dan diganti dengan salah satu sifat atau sesuatu yang mesti dimilikinya yaituأنشبت أظفارها (menerkam/mencengkeram dengan kuku-kukunya), mengikuti aturan al-isti‘ārah al-ma‘niyah.
Contoh lain dalam ayat Al Quran:
•
“Ia Berkata "Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku Telah lemah dan kepalaku Telah ditumbuhi uban, dan Aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku.” (QS. Maryam [19]: 4)
Pada ayat di atas الشيب (uban) diserupakan dengan النار (api), karena sama-sama berwarna putih dan merata. Kemudian dibuang lafaz al-musyabbah bih yaitu النار (api) dan diganti dengan salah satu sifat atau sesuatu yang mesti dimilikinya yaitu الاشتعال (menyala). Kemudian diambil perubahan kata الاشتعال yang bermakna الانتشار dari fi’il اشتعل dengan makna انتشر, mengikuti aturan yang bernama al-isti‘ārah al-ma‘niyah.
Karena tempat berlangsungnya al-isti‘ārah itu terbentuk dari fi‘il atau isim musytāq, maka ia dinamakan juga at- tab‘iyyah. Kalau disebutkan secara lengkap menjadi al-isti‘ārah al-ma‘niyah at-tab‘iyyah.
Apabila dilihat dari asal pembentukan lafaznya, al-isti‘ārah dibagi menjadi dua macam; yaitu:
1. Al-Isti‘ārah ash-Ashliyyah (الاستعارة الأصلية) yaitu lafaz yang tempat berlangsungnya al-isti‘ārah itu terbentuk dari isim jāmid seperti أسد, بحر , الظلمات, النورdan lain-lain.
Contohnya:
• رَأَيْتُ أَسَدًا فِي الْفَصْلِ
• رَأَيْتُ بَحْرًا فِي السُّوْقِ
• كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ
2. Al-Isti‘ārah at-Tab‘iyyah (الاستعارة التبعية) yaitu lafaz yang tempat berlangsungnya al-isti‘ārah itu terbentuk dari fi‘il atau isim musytāq (isim fā‘il, isim maf‘ūl dan lain-lain) seperti غرد, أنشبت, اشتعل dan lain sebagainya.
Contohnya:
• غَرَدَ الشَّاعِرُ بِقَصِيْدَةٍ
• وَإِذَا الْمَنِيَّةُ أَنْشَبَتْ أَظْفَارَهَا
• وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا
1. Al-Isti‘ārah ash-Ashliyyah (الاستعارة الأصلية) yaitu lafaz yang tempat berlangsungnya al-isti‘ārah itu terbentuk dari isim jāmid seperti أسد, بحر , الظلمات, النورdan lain-lain.
Contohnya:
• رَأَيْتُ أَسَدًا فِي الْفَصْلِ
• رَأَيْتُ بَحْرًا فِي السُّوْقِ
• كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ
2. Al-Isti‘ārah at-Tab‘iyyah (الاستعارة التبعية) yaitu lafaz yang tempat berlangsungnya al-isti‘ārah itu terbentuk dari fi‘il atau isim musytāq (isim fā‘il, isim maf‘ūl dan lain-lain) seperti غرد, أنشبت, اشتعل dan lain sebagainya.
Contohnya:
• غَرَدَ الشَّاعِرُ بِقَصِيْدَةٍ
• وَإِذَا الْمَنِيَّةُ أَنْشَبَتْ أَظْفَارَهَا
• وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا
"Perlu dicatat bahwa semua bentuk al-isti‘ārah at-tab‘iyyah qarīnah-nya pasti al-ma‘niyyah."
3. AL-KINĀYAH
a. Definisi Al-Kināyah
Al-kināyah (الكناية) adalah lafaz yang dipergunakan bukan pada makna aslinya sekalipun tidak ada qarīnah yang mencegahnya dari makna tersebut. Dalam pembahasan ilmu al-bayān, al-kināyah menempati posisi pertengahan antara al-haqīqah dan al-majāz. Al-kināyah tidak digolongkan ke jenis al-haqīqah, karena lafazh tersebut tidak ditujukan untuk penunjukan makna aslinya, dan bukan juga dikelompokkan ke jenis al-majāz karena pada kalimat yang mengandung kināyah tidak disyaratkan adanya qarīnah yang mencegah suatu makna dari penunjukan makna aslinya. Sementara pada al-majāz disyaratkan adanya qarīnah yang mencegah suatu makna dari penunjukan makna aslinya.
Contohnya: محمد طويل النَّجَاد, makna aslinya adalah Muhammad mempunyai sarung pedang yang panjang. Tetapi bukan makna ini yang dimaksudkan dari kalimat tersebut. Makna kināyah-nya adalah Muhammad adalah seorang pemberani. Karena seorang yang memiliki sarung pedang panjang dipastikan memiliki postur tubuh tinggi. Orang yang berpostur tubuh tinggi dipastikan seorang pemberani.
Contoh lain: عَلِيٌّ كثير الرَّماد, makna aslinya adalah Ali mempunyai banyak arang (abu). Tetapi bukan makna ini yang dimaksudkan dari kalimat tersebut. Makna kināyah-nya adalah Ali adalah seorang pemurah (dermawan). Karena seorang yang memiliki banyak arang dipastikan sering memasak dan orang yang sering memasak sudah tentu karena banyaknya atau seringnya tamu yang datang ke rumah orang tersebut.
Contoh lain: عُمَر كَلْبُه لا يَنْبَحُ طارقا, makna aslinya adalah Umar memiliki anjing yang tidak pernah menyalak (menggonggong). Tetapi bukan makna ini yang dimaksudkan dari kalimat tersebut. Makna kināyah-nya adalah Umar adalah seorang pemurah (dermawan). Karena seseorang yang memiliki anjing tetapi tidak pernah menyalak (menggonggong) menandakan tuannya sering menerima tamu sehingga anjing itu tidak bisa membedakan orang yang datang untuk bertamu atau tujuan-tujuan lain.
Contoh lain: بَكْرٌ مَهْزُول الفَصِيْل, makna aslinya adalah Bakr memiliki anak onta yang kurus. Tetapi bukan makna ini yang dimaksudkan dari kalimat tersebut. Makna kināyah-nya adalah Bakr adalah orang yang pemurah (dermawan). Penyebab anak onta itu kurus karena ia tidak meminum air susu yang cukup, berhubung air susu yang diperas dari ibu onta tersebut terlalu sering atau terlalu banyak dihidangkan kepada para tetamu.
Contoh lain: زيد رفيع العِمَاد, makna aslinya adalah Zaid mempunyai tonggak kemah yang tinggi. Tetapi bukan makna ini yang dimaksudkan dari kalimat tersebut. Makna kināyah-nya adalah Zaid adalah seorang pemuka (yang ditokohkan) di sukunya. Seorang yang memiliki tonggak kemah yang tinggi dipastikan karena banyak dan seringnya orang bertandang ke kemahnya untuk meminta nasehat dan saran. Orang seperti itu dipastikan seorang pemuka yang ditokohkan di sukunya.
a. Definisi Al-Kināyah
Al-kināyah (الكناية) adalah lafaz yang dipergunakan bukan pada makna aslinya sekalipun tidak ada qarīnah yang mencegahnya dari makna tersebut. Dalam pembahasan ilmu al-bayān, al-kināyah menempati posisi pertengahan antara al-haqīqah dan al-majāz. Al-kināyah tidak digolongkan ke jenis al-haqīqah, karena lafazh tersebut tidak ditujukan untuk penunjukan makna aslinya, dan bukan juga dikelompokkan ke jenis al-majāz karena pada kalimat yang mengandung kināyah tidak disyaratkan adanya qarīnah yang mencegah suatu makna dari penunjukan makna aslinya. Sementara pada al-majāz disyaratkan adanya qarīnah yang mencegah suatu makna dari penunjukan makna aslinya.
Contohnya: محمد طويل النَّجَاد, makna aslinya adalah Muhammad mempunyai sarung pedang yang panjang. Tetapi bukan makna ini yang dimaksudkan dari kalimat tersebut. Makna kināyah-nya adalah Muhammad adalah seorang pemberani. Karena seorang yang memiliki sarung pedang panjang dipastikan memiliki postur tubuh tinggi. Orang yang berpostur tubuh tinggi dipastikan seorang pemberani.
Contoh lain: عَلِيٌّ كثير الرَّماد, makna aslinya adalah Ali mempunyai banyak arang (abu). Tetapi bukan makna ini yang dimaksudkan dari kalimat tersebut. Makna kināyah-nya adalah Ali adalah seorang pemurah (dermawan). Karena seorang yang memiliki banyak arang dipastikan sering memasak dan orang yang sering memasak sudah tentu karena banyaknya atau seringnya tamu yang datang ke rumah orang tersebut.
Contoh lain: عُمَر كَلْبُه لا يَنْبَحُ طارقا, makna aslinya adalah Umar memiliki anjing yang tidak pernah menyalak (menggonggong). Tetapi bukan makna ini yang dimaksudkan dari kalimat tersebut. Makna kināyah-nya adalah Umar adalah seorang pemurah (dermawan). Karena seseorang yang memiliki anjing tetapi tidak pernah menyalak (menggonggong) menandakan tuannya sering menerima tamu sehingga anjing itu tidak bisa membedakan orang yang datang untuk bertamu atau tujuan-tujuan lain.
Contoh lain: بَكْرٌ مَهْزُول الفَصِيْل, makna aslinya adalah Bakr memiliki anak onta yang kurus. Tetapi bukan makna ini yang dimaksudkan dari kalimat tersebut. Makna kināyah-nya adalah Bakr adalah orang yang pemurah (dermawan). Penyebab anak onta itu kurus karena ia tidak meminum air susu yang cukup, berhubung air susu yang diperas dari ibu onta tersebut terlalu sering atau terlalu banyak dihidangkan kepada para tetamu.
Contoh lain: زيد رفيع العِمَاد, makna aslinya adalah Zaid mempunyai tonggak kemah yang tinggi. Tetapi bukan makna ini yang dimaksudkan dari kalimat tersebut. Makna kināyah-nya adalah Zaid adalah seorang pemuka (yang ditokohkan) di sukunya. Seorang yang memiliki tonggak kemah yang tinggi dipastikan karena banyak dan seringnya orang bertandang ke kemahnya untuk meminta nasehat dan saran. Orang seperti itu dipastikan seorang pemuka yang ditokohkan di sukunya.
Ada dua hal yang membedakan antara al-kināyah dengan al-haqīah dan al-majāz; yaitu:
1. Makna asli dalam kalimat yang mengandung al-kināyah tidak mesti sesuai dengan kenyataan. Bisa saja seseorang berkata: علي كثير الرماد dengan makna kināyah-nya Ali itu pemurah, sekalipun pada kenyataannya ia tidak memiliki abu (arang) banyak di dapurnya.
2. Pada kalimat yang mengandung al-kināyah, tidak disyaratkan adanya Qarīnah yang mencegah suatu lafaz dari makna aslinya, berbeda dengan al-majāz yang mengharuskan adanya Qarīnah yang mencegah suatu lafazh dari makna aslinya.
1. Makna asli dalam kalimat yang mengandung al-kināyah tidak mesti sesuai dengan kenyataan. Bisa saja seseorang berkata: علي كثير الرماد dengan makna kināyah-nya Ali itu pemurah, sekalipun pada kenyataannya ia tidak memiliki abu (arang) banyak di dapurnya.
2. Pada kalimat yang mengandung al-kināyah, tidak disyaratkan adanya Qarīnah yang mencegah suatu lafaz dari makna aslinya, berbeda dengan al-majāz yang mengharuskan adanya Qarīnah yang mencegah suatu lafazh dari makna aslinya.
b. Macam-macam al-Kināyah
1. Kināyah Shifah (كناية عن صفة) yaitu kināyah yang disebutkan zatnya (makna hakiki) tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dari zat tersebut.
Contohnya: زيد كثير الرماد. Disebutkan makna hakikinya (banyak abu) tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dari zat tersebut yaitu dermawan (pemurah).
Contoh lain: فلان يَدُبُّ على العَصَاDisebutkan makna hakikinya (berjalan dengan tongkat) tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dari zat tersebut yaitu lanjut usia (tua umurnya). Orang yang berjalan dengan memakai tongkat biasanya adalah orang yang sudah tua atau pikun.
Contoh lain: عائشة نَئُوْمَةُ الضُّحَى. Disebutkan makna hakikinya (tidur pada waktu dhuha) tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dari zat tersebut (kaya). Seorang perempuan yang tidur pada waktu dhuhā biasanya karena tidak ada pekerjaan yang dikerjakannya. Dia mempunyai banyak pembantu dan pesuruh. Semua pekerjaan dikerjakan oleh pembantunya. Orang yang tidur waktu dhuhā biasanya adalah orang yang kehidupannya mapan dan kaya.
Contoh lain: فاطمة نَاعِمَة الكَفَّيْن. Disebutkan makna hakikinya (tangannya halus) tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dari zat tersebut (hidup mewah/kaya). Seorang perempuan yang halus tangannya karena tidak ada pekerjaan yang membuat tangannya berbekas. Dia mempunyai banyak pembantu dan pesuruh. Semua pekerjaan dikerjakan oleh pembantunya. Orang yang halus tangannya biasanya adalah orang yang kehidupannya mapan dan kaya.
Al-Mutanabbī memuji Saif ad-Daulah ketika berhasil mengalahkan suku Banī Kilāb yang memberontak. Peristiwa tersebut beliau abadikan dalam sebuah syairnya:
فَمَسَّاهُمْ وَبُسْطُهُمْ حَرِيْرٌ # وَصَبَّحَهُمْ وَبُسْطُهُمْ تُرَابٌ
"Pada waktu sore hari (sebelum berperang) mereka masih beralaskan sutera. Pada waktu pagi hari (setelah berperang dan kalah) mereka beralaskan tanah."
Disebutkan makna hakikinya حرير (beralaskan sutera) tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dari zat tersebut (kemuliaan/kemewahan). Disebutkan makna hakikinya تراب (beralaskan tanah) tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dari zat tersebut (kehinaan/hidup melarat). Seorang yang beralaskan sutera biasanya adalah orang yang kehidupannya mulia dan kaya. Tetapi sebaliknya orang yang beralaskan tanah biasanya adalah orang yang kehidupannya hina dan melarat.
2. Kināyah Maushūf (كناية عن موصوف) yaitu kināyah yang disebutkan sifatnya (makna hakiki), tetapi yang dimaksudkan adalah zat dari sifat tersebut.
Contohnya: هو حارس على مَالِه. Disebutkan makna hakikinya (menjaga harta bendanya), tetapi yang dimaksudkan adalah zat dari sifat tersebut (bakhil/kikir).
Contoh lain: هو فَتًى رِيَاضِيٌّ. Disebutkan makna hakikinya (pemuda yang suka olah raga), tetapi yang dimaksudkan adalah zat dari sifat tersebut (pemuda yang kuat dan kekar).
Contoh lain: أحمد صَفَا لِي مَجْمَعَ قَلْبِه si Ahmad mengungkapkan kepadaku isi hatinya. Disebutkan makna hakikinya (tempat berkumpulnya hati), tetapi yang dimaksudkan adalah zat dari sifat tersebut yaitu isi hatinya.
Contoh lain:
تَطَوَّرَتْ وَسَائِلُ الْاِنْتِقَالِ وَالسَّفَرِ مِنْ سَفِيْنَةِ الصَّحْرَاءِ إِلَى مَاخِرَةِ الْبِحَارِ وَمِنْ ذَوَاتِ الصَّهِيْلِ إِلَى بَنَاتِ الْهَوَاءِ
Terdapat beberapa al-Kinayah pada kalimat ini; disebutkan makna hakikinyaسفينة الصحراء (kapal padang pasir), ماخرة البحار (pemecah laut), ذوات الصهيل (suara ringkikan), بنات الهواء (anak perempuan udara) tetapi yang dimaksudkan adalah zat dari sifat tersebut yaitu yang pertama kināyah untuk الجمل (onta), yang kedua kināyah untuk السفينة(kapal laut), yang ketiga kināyah untuk الخيل(kuda) dan yang keempat kinayah untuk الطائرة (pesawat).
3. Kināyah Nisbah (كناية عن نسبة ) yaitu kināyah yang disebutkan sifatnya dengan ketentuan ia tidak disandarkan kepada zat/orang yang memiliki sifat tersebut tetapi disandarkan kepada sesuatu yang berkaitan erat atau merupakan kemestian dari zat tersebut.
Contohnya: الشجاعة بين أَثْوَابِه. Disebutkan sifat الشجاعة (keberanian). Ia tidak disandarkan kepada zat atau orang yang memiliki sifat tersebut tetapi disandarkan kepada sesuatu yang berkaitan erat dengan orang tersebut yaitu pakaian.
Contoh lain: المَجْدُ يَتْبَعُ ظِلَّه. Disebutkan sifat المجد (kemuliaan). Ia tidak disandarkan kepada zat atau orang yang memiliki sifat tersebut tetapi disandarkan kepada sesuatu yang berkaitan dengannya yaitu bayangannya.
Contoh lain: يَسِيْرُ الزُّهْدُ مَعَكَ جَنْبًا إلى جَنْب. Disebutkan sifat الزهد (tidak mengejar dunia). Ia tidak disandarkan kepada zat atau orang yang memiliki sifat tersebut, tetapi disandarkan kepada sesuatu yang berkaitan dengannya yaitu mengikutinya dari satu sisi ke sisi lain.
Contoh lain dalam sebuah syair:
فَمَا جَازَهُ جُوْدٌ وَلاَ حَلَّ دُوْنَهُ # وَلَكِنْ يَسِيْرُ الجُوْدِ حَيْثُ يَسِيْرُ
"Orang tersebut tidak bisa terlewati dan terpisahkan dari sifat kemurahan. Tetapi kemurahan itu selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi."
Disebutkan sifat الجود (pemurah). Ia tidak disandarkan kepada zat atau orang yang memiliki sifat tersebut tetapi disandarkan kepada sesuatu yang berkaitan dengannya yaitu ia berjalan mengikutinya ke mana saja ia berjalan.
1. Kināyah Shifah (كناية عن صفة) yaitu kināyah yang disebutkan zatnya (makna hakiki) tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dari zat tersebut.
Contohnya: زيد كثير الرماد. Disebutkan makna hakikinya (banyak abu) tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dari zat tersebut yaitu dermawan (pemurah).
Contoh lain: فلان يَدُبُّ على العَصَاDisebutkan makna hakikinya (berjalan dengan tongkat) tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dari zat tersebut yaitu lanjut usia (tua umurnya). Orang yang berjalan dengan memakai tongkat biasanya adalah orang yang sudah tua atau pikun.
Contoh lain: عائشة نَئُوْمَةُ الضُّحَى. Disebutkan makna hakikinya (tidur pada waktu dhuha) tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dari zat tersebut (kaya). Seorang perempuan yang tidur pada waktu dhuhā biasanya karena tidak ada pekerjaan yang dikerjakannya. Dia mempunyai banyak pembantu dan pesuruh. Semua pekerjaan dikerjakan oleh pembantunya. Orang yang tidur waktu dhuhā biasanya adalah orang yang kehidupannya mapan dan kaya.
Contoh lain: فاطمة نَاعِمَة الكَفَّيْن. Disebutkan makna hakikinya (tangannya halus) tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dari zat tersebut (hidup mewah/kaya). Seorang perempuan yang halus tangannya karena tidak ada pekerjaan yang membuat tangannya berbekas. Dia mempunyai banyak pembantu dan pesuruh. Semua pekerjaan dikerjakan oleh pembantunya. Orang yang halus tangannya biasanya adalah orang yang kehidupannya mapan dan kaya.
Al-Mutanabbī memuji Saif ad-Daulah ketika berhasil mengalahkan suku Banī Kilāb yang memberontak. Peristiwa tersebut beliau abadikan dalam sebuah syairnya:
فَمَسَّاهُمْ وَبُسْطُهُمْ حَرِيْرٌ # وَصَبَّحَهُمْ وَبُسْطُهُمْ تُرَابٌ
"Pada waktu sore hari (sebelum berperang) mereka masih beralaskan sutera. Pada waktu pagi hari (setelah berperang dan kalah) mereka beralaskan tanah."
Disebutkan makna hakikinya حرير (beralaskan sutera) tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dari zat tersebut (kemuliaan/kemewahan). Disebutkan makna hakikinya تراب (beralaskan tanah) tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dari zat tersebut (kehinaan/hidup melarat). Seorang yang beralaskan sutera biasanya adalah orang yang kehidupannya mulia dan kaya. Tetapi sebaliknya orang yang beralaskan tanah biasanya adalah orang yang kehidupannya hina dan melarat.
2. Kināyah Maushūf (كناية عن موصوف) yaitu kināyah yang disebutkan sifatnya (makna hakiki), tetapi yang dimaksudkan adalah zat dari sifat tersebut.
Contohnya: هو حارس على مَالِه. Disebutkan makna hakikinya (menjaga harta bendanya), tetapi yang dimaksudkan adalah zat dari sifat tersebut (bakhil/kikir).
Contoh lain: هو فَتًى رِيَاضِيٌّ. Disebutkan makna hakikinya (pemuda yang suka olah raga), tetapi yang dimaksudkan adalah zat dari sifat tersebut (pemuda yang kuat dan kekar).
Contoh lain: أحمد صَفَا لِي مَجْمَعَ قَلْبِه si Ahmad mengungkapkan kepadaku isi hatinya. Disebutkan makna hakikinya (tempat berkumpulnya hati), tetapi yang dimaksudkan adalah zat dari sifat tersebut yaitu isi hatinya.
Contoh lain:
تَطَوَّرَتْ وَسَائِلُ الْاِنْتِقَالِ وَالسَّفَرِ مِنْ سَفِيْنَةِ الصَّحْرَاءِ إِلَى مَاخِرَةِ الْبِحَارِ وَمِنْ ذَوَاتِ الصَّهِيْلِ إِلَى بَنَاتِ الْهَوَاءِ
Terdapat beberapa al-Kinayah pada kalimat ini; disebutkan makna hakikinyaسفينة الصحراء (kapal padang pasir), ماخرة البحار (pemecah laut), ذوات الصهيل (suara ringkikan), بنات الهواء (anak perempuan udara) tetapi yang dimaksudkan adalah zat dari sifat tersebut yaitu yang pertama kināyah untuk الجمل (onta), yang kedua kināyah untuk السفينة(kapal laut), yang ketiga kināyah untuk الخيل(kuda) dan yang keempat kinayah untuk الطائرة (pesawat).
3. Kināyah Nisbah (كناية عن نسبة ) yaitu kināyah yang disebutkan sifatnya dengan ketentuan ia tidak disandarkan kepada zat/orang yang memiliki sifat tersebut tetapi disandarkan kepada sesuatu yang berkaitan erat atau merupakan kemestian dari zat tersebut.
Contohnya: الشجاعة بين أَثْوَابِه. Disebutkan sifat الشجاعة (keberanian). Ia tidak disandarkan kepada zat atau orang yang memiliki sifat tersebut tetapi disandarkan kepada sesuatu yang berkaitan erat dengan orang tersebut yaitu pakaian.
Contoh lain: المَجْدُ يَتْبَعُ ظِلَّه. Disebutkan sifat المجد (kemuliaan). Ia tidak disandarkan kepada zat atau orang yang memiliki sifat tersebut tetapi disandarkan kepada sesuatu yang berkaitan dengannya yaitu bayangannya.
Contoh lain: يَسِيْرُ الزُّهْدُ مَعَكَ جَنْبًا إلى جَنْب. Disebutkan sifat الزهد (tidak mengejar dunia). Ia tidak disandarkan kepada zat atau orang yang memiliki sifat tersebut, tetapi disandarkan kepada sesuatu yang berkaitan dengannya yaitu mengikutinya dari satu sisi ke sisi lain.
Contoh lain dalam sebuah syair:
فَمَا جَازَهُ جُوْدٌ وَلاَ حَلَّ دُوْنَهُ # وَلَكِنْ يَسِيْرُ الجُوْدِ حَيْثُ يَسِيْرُ
"Orang tersebut tidak bisa terlewati dan terpisahkan dari sifat kemurahan. Tetapi kemurahan itu selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi."
Disebutkan sifat الجود (pemurah). Ia tidak disandarkan kepada zat atau orang yang memiliki sifat tersebut tetapi disandarkan kepada sesuatu yang berkaitan dengannya yaitu ia berjalan mengikutinya ke mana saja ia berjalan.
Di bawah ini ada beberapa bentuk kinayah yang sering dipergunakan orang Arab dalam berkomunikasi:
Contohnya:
فلان لا يَضَعُ العَصَا عن عاتِقِه = Si fulan tidak melepas (meletakkan) tongkatnya dari bahunya. (Kināyah untuk orang yang sering bepergian).
لَبِسَ فلان جِلْدَ النَّمِر = Si fulan memakai kulit macan tutul (berwarna kulitnya). (Kināyah untuk orang yang memusuhi).
فلان عَرِيْض القِفَا = Si fulan lebar tengkuknya. (Kināyah untuk orang yang bodoh dan dungu).
فلان عريض الوِسَاد = Si fulan lebar bantalnya/lehernya (lebarnya tidak sesuai dengan postur tubuhnya. (Kināyah untuk orang yang dungu dan bodoh.
يَمْشِي فلان على ثَلاث = Si fulan berjalan dengan tiga kaki (kedua kakinya dan tongkat. (Kināyah untuk orang tua atau pikun).
أَلْقَى فلان عصاه = Si fulan sudah melempar tongkatnya. (Kināyah untuk orang yang meninggal dunia).
يُشَارُ إِلَيْهِ بالبَنَان = Dia diisyaratkan (diangkatkan/ditunjuki) dengan tanda ibu jari. (Kināyah untuk orang yang hebat (pemenang atau juara).
اتقوا هادم اللذات = Takutlah kalian dari yang menghancurakan kelezatan.( Kināyah untuk kematian).
هذا الخطيب بَلِيل الرِّيْق قليل الحركات= Khathib ini basah air liurnya, sedikit bergerak. (Kināyah untuk orang yang fasih berbicara/berpidato atau berorasi). Seorang yang pandai berpidato biasanya air liurnya basah terus karena fasih dan lancarnya. Kata-kata yang diucapkan mengalir bagaikan air dan ia tidak perlu banyak berisyarat dengan tangannya karena kata-kata yang diucapkannya bisa langsung dipahami oleh pendengar.
فلان نَقِيُّ الثوب = Si fulan bajunya bersih.( Kināyah untuk orang yang bersih dari aib/cela).
أشكو إليك قِلَّة الفِئْرَان في بيتي= Aku mengadu kepadamu tentang tidak adanya tikus di rumahku. (Kināyah untuk orang yang hidupnya miskin sampai-sampai tikus tidak mau tinggal di rumahnya karena tidak ada yang dimakan).
أَيُحِبُّ أَحَدُكم أن يأكل لحم أخيه= Apakah salah seorang dari kalian /rela memakan daging saudaranya? (Kināyah untuk orang yang suka ghibah (menyebut kejelekan orang lain).
Contoh lain, dalam sebuah syair disebutkan:
إِنَّ الَّذِيْ مَلَأَ اللُّغَاتِ مَحَاسِنًا # جَعَلَ الجَمَالُ وَسِرَّهُ فِي الضَّادِ
"Sesungguhnya hal yang memenuhi bahasa itu dengan kebaikan adalah Ia menjadikan keindahan dan rahasianya pada bahasa Dhad"
Bahasa Dhād adalah kināyah untuk bahasa Arab karena ia adalah satu-satunya bahasa yang memiliki makhraj huruf الضاد.
Contohnya:
فلان لا يَضَعُ العَصَا عن عاتِقِه = Si fulan tidak melepas (meletakkan) tongkatnya dari bahunya. (Kināyah untuk orang yang sering bepergian).
لَبِسَ فلان جِلْدَ النَّمِر = Si fulan memakai kulit macan tutul (berwarna kulitnya). (Kināyah untuk orang yang memusuhi).
فلان عَرِيْض القِفَا = Si fulan lebar tengkuknya. (Kināyah untuk orang yang bodoh dan dungu).
فلان عريض الوِسَاد = Si fulan lebar bantalnya/lehernya (lebarnya tidak sesuai dengan postur tubuhnya. (Kināyah untuk orang yang dungu dan bodoh.
يَمْشِي فلان على ثَلاث = Si fulan berjalan dengan tiga kaki (kedua kakinya dan tongkat. (Kināyah untuk orang tua atau pikun).
أَلْقَى فلان عصاه = Si fulan sudah melempar tongkatnya. (Kināyah untuk orang yang meninggal dunia).
يُشَارُ إِلَيْهِ بالبَنَان = Dia diisyaratkan (diangkatkan/ditunjuki) dengan tanda ibu jari. (Kināyah untuk orang yang hebat (pemenang atau juara).
اتقوا هادم اللذات = Takutlah kalian dari yang menghancurakan kelezatan.( Kināyah untuk kematian).
هذا الخطيب بَلِيل الرِّيْق قليل الحركات= Khathib ini basah air liurnya, sedikit bergerak. (Kināyah untuk orang yang fasih berbicara/berpidato atau berorasi). Seorang yang pandai berpidato biasanya air liurnya basah terus karena fasih dan lancarnya. Kata-kata yang diucapkan mengalir bagaikan air dan ia tidak perlu banyak berisyarat dengan tangannya karena kata-kata yang diucapkannya bisa langsung dipahami oleh pendengar.
فلان نَقِيُّ الثوب = Si fulan bajunya bersih.( Kināyah untuk orang yang bersih dari aib/cela).
أشكو إليك قِلَّة الفِئْرَان في بيتي= Aku mengadu kepadamu tentang tidak adanya tikus di rumahku. (Kināyah untuk orang yang hidupnya miskin sampai-sampai tikus tidak mau tinggal di rumahnya karena tidak ada yang dimakan).
أَيُحِبُّ أَحَدُكم أن يأكل لحم أخيه= Apakah salah seorang dari kalian /rela memakan daging saudaranya? (Kināyah untuk orang yang suka ghibah (menyebut kejelekan orang lain).
Contoh lain, dalam sebuah syair disebutkan:
إِنَّ الَّذِيْ مَلَأَ اللُّغَاتِ مَحَاسِنًا # جَعَلَ الجَمَالُ وَسِرَّهُ فِي الضَّادِ
"Sesungguhnya hal yang memenuhi bahasa itu dengan kebaikan adalah Ia menjadikan keindahan dan rahasianya pada bahasa Dhad"
Bahasa Dhād adalah kināyah untuk bahasa Arab karena ia adalah satu-satunya bahasa yang memiliki makhraj huruf الضاد.
Comments
Post a Comment