Pernyataan Bahwa Asal Mula Harakat Hamzah Al Wasl

DIADARA S.I.
Para ahli nahwu Kufah berpendapat bahwa asal mula harakat ialah hamzah al washl, yang mana ia mengikuti harakat ‘ain fi’il; sebagaimana  dikasrahkan pada kata أُضْرِبَ, mengikuti ‘ain fi’ilnya, dan didhamah kan pada kata أُدْخُل mengikuti dhammah ‘ain fi’ilnya. Hal tersebut terjadi karena bertemunya dua sukun.
Adapun para ahli nahwu Basrah berpendapat bahwa asal dari hamzah al washl harakaatnya menjadi kasrah. Dan menjadi dhamah dalam kalimat أُدْخُل dan yang lainnya. Hal tersebut terjadi agar tidak keluar dari kasrah kepada dhammah;  karena itu menjadi harakat-harakat tersebut menjadi berat. Hal yang seperti ini, karena di dalam kalam Arab tidak terdapat sesuatu terhadap wazan ف  fa fi’il nya dengan kasrah dan ع ‘ain fi’ilnya dengan dhamah.
Adapun para ahli nahwu Kufah berargumentasi : kami mengatakan demikian karena tatkala diharuskan menambahkan satu huruf yang tidak disukunkan maka mau tidak mau huruf itu harus diberi harakat dan harakat itu pun harus mengikuti ‘ain fi’il agar menyamainya. Selain itu juga terkadang orang Arab mencampurkan hal itu dalam perkataan mereka seperti مُنْتُنَّ didhamahkan ta karena dhammahnya mim walaupun pada asalnya ta  itu berharakat kasrah karena terambil dari fi’il أنتن jadi مُنْتِنُ. Selain itu juga terdapat dalam qira’at Hamzah dan al Kisa’i pada ayat فلأمه الثلث dikasrahkan hamzahnya dikarenakan mengikuti harakat lam.
Adapun orang-orang Kufah yang berpendapat bahwa asal dari hamzah washal itu sukun, mereka berargumentasi bahwa hamzah washal itu merupakan huruf tambahan pada suatu kata. Sehingga dikarenakan hanya sebagai tambahan maka diperkirakan huruf tersebut disukunkan itu lebih utama daripada diberi harakat. Ketika kita memasukkan huruf tambahan tersebut ke dalam sebuah fi’il mujarrad maka wajib untuk mengharakatinya dikarenakan bertemunya dua sukun dan tidak diperbolehkan memulai satu kata dengan sukun.
Adapun orang-orang bashrah mereka berhujah bahwa hamzah washal itu pada asalnya ialah berharakat kasrah. Yang diamksud dengan menbahkan huruf hamzah ialah kita mengucapkan fa fi’il  dengan sukun dan kalaulah kita tidak menambahkan hamzah didepannya maka fa fi’ilnya akan diharakati hal itu dikarenakan memulai suatu kata dengan sukun merupakan sesuatu yang mustahil terjadi maka mereka orang-orang Arab menambahkan hamzah agar kata itu tidak dimulai dengan sukun.
Adapun jawaban atas pernyataan orang-orang Kufah yakni “tatkala diharuskan menambahkan satu huruf yang tidak disukunkan maka mau tidak mau huruf itu harus diberi harakat dan harakat itu pun harus mengikuti ‘ain fi’il agar menyamainya” kami jawab bahwa pemberian harakat seperti itu bukanlah qiyas yang berlaku secara umum tapi hanya pada beberapa tempat saja pada beberapa perkataan yang sedikit. Sehingga mengikuti ‘ain fi’il itu hukumnya boleh bukan wajib. Bukankah Anda melihat diperbolehkan berkata مُنْتِنُ dengan mengkasrahkan ta nya pada kata مُنْتُنُ sehingga kata tersebut sejalan dengan asalnya yakni مُنْتِنُ.
Selain itu juga terdapat contoh lainnya yang menunjukkan bahwa harakat sebenarnya dari hamzah washal adalah kasrah ialah kata اَذْهَبْ yang jika hamzah washal itu harus senantiasa mengikuti ain fi’il maka ia akan dibaca adzhab namun hal tersebut tidak diperbolehkan sehingga diganti dengan harakat kasrah maka ketika itu terjadi diketahuilah bahwa asal hamzah washal itu ialah kashrah adapun pada kata أُدْخُلْ didhamahkan hamzah washalnya karena ketika tidak digantikan harakat kasrah dengan dhammah maka ia akan berat dalam pengucapannya.

Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

KAJIAN BALAGHAH: JINAS

المشاكلة في البلاغة