ONTOLOGI FITRAH KECERDASAN MANUSIA DALAM PANDANGAN ALQURAN


Diadara S.I.
A.    Latar Belakang Masalah
Allah menganugerahi manusia dengan potensi- potensi yang terdiri dari  العقلal aql القلب al qalb, النفس an nafs, dan الروح al ruhyang menjadikan ia sebagai makhluk paling sempurrna dimuka bumi. Dengan al aql akal manusia dapat berfikir, mampu membedakan baik dan buruk yang hak dan yang bathil. Dengan al qalb hati manusia dapat merasakan apa yang terjadi dalam dirinya, mentadaburi setiap kejadian yang ia alami. Sedangkan Al Ghazali (1996: 62) memandang nafs sebagai sifat-sifat hamba yang buruk, perbuatan dan akhlak yang tercela. Ia berpendapat bahwa nafs adalah musuh yang paling berbahaya, cobaan yang paling sulit, panyakit yang paling parah. Adapun ruh atau roh dalam bahasa Indonesia merupakan sesuatu (unsur) yang ada dalam jasad yang diciptakan Tuhan sebagai penyebab adanya hidup (kehidupan); nyawa- jika ruh sudah berpisah dari badan, berakhirlah kehidupan seseorang (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2002: 1179). Dengan kata lain, dengan al ruh lah potensi lainnya seperti al aql, al qalb an nafs ada.
Dilihat dari segi hakikatnya manusia memiliki kekhasan yang membedakan dan menjadi identitas kemanusiaannya. akal, kalbu dan nafsu menjadi tiga perangkat utama  yang membedakannya dengan makhluk lainnya, Akal merupakan alat untuk berfikir yang melahirkan Intelligence Ouotient (IQ), Kalbu meruapakan alat berzikir yang melahirkan Spritual Quotient (SQ), sedangkan nafsu merukan alat untuk ikhtiar yang mengandung dimensi Emotional Quotient (Sauri dkk, 2010: 77).  
Ash Shabuni (2003: 8) mendefinisikan Alquran dengan berkata:
Al Quran adalah kalam Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril alaihis salam, ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah, dimulai dari surat al Fatihah dan ditutup dengan surat an Naas.
Berkenaan dengan pendapat di atas, Allah memberikan Alquran  yang mana Alquran diturunkan sebagai petunjuk untuk mencerdaskan ummat manusia, sehingga manusia bisa hidup dalam hidayah-Nya, mendapat kelapangan, jaminan surga yang penuh kenikmatan bagi orang yang beriman dan beramal saleh.
Dengan demikian, sejatinya manusia sejak lahirnya telah memiliki potensi-potensi kecerdasan yang diberikan oleh Tuhan al aql, al qalb dan an nafs, dan al ruh. Kecerdasan-kecerdasan tersebut tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan pengalaman manusia, dan salah satu fiungsi potensi tersebut ialah untuk mentadaburi Alquran yang merupakan kitab pentunjuk bagi manusia. Oleh sebab itu, banyak sekali ayat- ayat Alquran yang menjelaskan mengenai tentang potensi- potensi tersebut.
Kembali pada pendapat Sauri dkk yang menyebutkan bahwa dengan akal manusia akan melahirkan IQ (intelligence quotient), SQ (spiritual quotient) dan dengan nafs akan melahirkan  dengan hati manusia akan melahirkan EQ (emotional quotient). Namun realitanya, pada saat ini kecerdasan manusia tidak lagi hanya bertumpu pada aspek kecerdasan intelektual atau IQ (intelligence quotient) yang ia miliki. Karena ia juga memiliki kecerdasan-kecerdasan lain selain IQ, yakni EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient).
Oleh sebab itu, kita tidak bisa mengatakan begitu saja seseorang memiliki IQ tinggi maka ia akan meraih sukses dalam hidupnya, mulai disangsikan dengan munculnya berbagai temuan ilmiah. Temuan mutakhir menunjukkan bahwa ternyata IQ setinggi- tingginya, hanya menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, sedangkan 80 persen ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lain, seperti kelas sosial hingga nasib baik, dan doa (Goleman, 1997 : 44).
Berkenaan dengan hal tersebut, keberhasilan seseorang dalam meraih sukses dan menemukan makna hidup bukan ditentukan dengan IQ yang tinggi, semakin terbukti jika dikaitkan dengan munculnya berbagai kasus yang melanda masyarakat modern. Berbagai kasus yang muncul, seperti semakin meningkatnya ketidakseimbangan emosi, keputusasaan, rapuhnya moral dalam keluarga dan masyarakat, meningkatnya korupsi dll.
Oleh karena itu, manusia harus pandai menggunakan serta mengelola potensi- potensi sehingga ia mampu mencapai tujuannya tersebut, kepada hal- hal yang lebih baik. Karena di dalam Alquran tertulis jelas mengenai potensi-.potensi tersebut melalui lafad al aql, al qalb, an nafs dan al ruh.
Maka beranjak dari kesenjangan-kesenjangan tersebut, di sini penulis merasa tertarik untuk mengkaji, mencari informasi, memahami, serta menjelaskan mengenai hakikat fitrah (al aql, al qalb, an nafs dan al ruh) yang Allah berikan kepada manusia dalam pandangan Alquran, serta hubungan antara fitrah atau potensi satu dengan yang lainnya, sehingga dengan fitrah- fitrah tersebutlah manusia menjadi makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna.
B.     Rumusan Masalah
Bertolak dari uraian yang dikemukakan di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah:
1.      Apakah yang dimaksud dengan ontologi?
2.      Bagaimanakah hakikat (العقل) al ‘aql, (القلب)  al qalb, (النفس)  an nafs dan (الروح)  al ruh?
3.      Bagaimana pandangan Alquran tentang fitrah kecerdasan-kecerdasan pada diri manusia?
C.    Tujuan
1.      Tujuan Umum
Secara umum makalah ini bertujuan untuk membantu para pembaca untuk memahami pandangan Alquran mengenai fitrah kecerdasan pada diri manusia.
2.      Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penyususnan makalah ini adalah untuk mengetahui;
a.       Apakah yang dimaksud dengan ontologi ;
b.      Bagaimanakah hakikat (العقل) al ‘aql, (القلب)  al qalb, (النفس)  an nafs dan (الروح)  al ruh;
c.       Pandangan Alquran tentang fitrah kecerdasan-kecerdasan pada diri manusia.
D.    Manfaat Penulisan
Dalam penelitian ini terdapat dua manfaat yaitu:
  1. Manfaat Teoritis
Secara teoretis, makalah ini dapat memberikan manfaat, yaitu dalam rangka memberi sumbangsih serta manfaat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Khususnya memperkaya konsep potensi kecerdasan manusia dalam pandangan Alquran sebagai referensi bagi penulisan atau penyusunan makalah yang relevan di kemudian hari.
  1. Manfaat Praktis
Diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif  terhadap pembelajaran filsafat serta bagi pembaca untuk memperluas wawasan serta pengetahuan mengenai hakikat potensi kecerdasan manusia dalam pandangan Alquran.

E.     Metode Penulisan Makalah
Dalam penulisan makalah ini penulis mengunakan metode studi pustaka yaitu mencari informasi dari buku perpustakaan, artikel, koran maupun media internet, baik teori ataupun konsep yang dapat dijadikan landasan dalam penyusunan yang ada hubungannya dengan penulisan makalah ini.
F.     Sistematika Penulisan Makalah
Agar memudahkan peneliti secara umum, khususnya para pembaca mengenai isi dari makalah ini, yang berjudul “Ontologi Fitrah Kecerdasan Manusia dalam Panangan Alquran”.  Maka dalam makalah ini penulis membagi menyusunnya  ke dalam empat bagian, diantaranya Bab I, Pendahuluan yang terdiri dari, latar belakang masalah,  rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, maanfaat, metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II, Landasan Teoritis, yang meliputi:ontologi dan hakikat, hakikat (العقل) al ‘aql,  hakikat (القلب), hakikat (النفس), dah hakikat (الروح) .Bab III, Pembahasan, yang di dalamnya akan dipaarkan mengenai ayat-ayat qurniah yang membicarakan seputar kecerdasan manusia. Adapaun pada Bab IV, Penutup, dalam bab ini, akan dipaparkan mengenai kesimpulan dari pembahasan secara keseluruhan, serta dilanjut dengan rekomendasi atau saran.



















BAB II
LANDASAN TEORITIS
Pada bab ini, penulis akan menyampaikan teori- teori yang melandasi penulisan maklah ini, yaitu berkenaan dengan ontologi dan hakikat, fitrah, Alquran, hakikat العقل, hakikat القلب , hakikat النفس dan hakikat الروح , penjelasannya sebagai berikut:
A.    Ontologi
Secara bahasa, Susanto (2013: 27) mengatakan bahwa ontologi berasal dari bahasa Yunani, “ontos” yang berarti “yang ada” dan “logos” yang berarti “penyelidikan tentang”. Jadi ntologi membicarakan asas-asas rasional dari “yang ada”.
Adapun pengertian ontologi secara istilah, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Jalaluddin dan Idi (2007: 82) “ontologi berarti ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya: apakah hakikat dibalik alam nyata ini.”
Ontologi dalam bahasa Inggris Ontology ,  Al Khuli (1981: 329)  mengartikan kata tersebut ke dalam bahasa Arab dengan  علم الوجود"” ilmu al wujud.  Dengan demikian, hemat penulis ilmu al wujud merupakan ilmu yang mempelajari yang ada.
Selanjutnya, secara lebih rinci Surajiyo (2013: 151) menjelaskan mengenai ontologi, yakni sebagai berikut:
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaiman hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan.

Selanjutnya Suhartono (2008: 111-112) mengartikan Ontologi dengan beberapa definisi, diantaranya:
a.       Ontologi adalah studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang ciri-ciri esensial dari  yang ada dalam diri sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak.
b.      Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan kategori-kategori seperti: ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan, dan sebagainya.
c.       Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang ada , yaitu Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi, Sempurna, dan keberadaan segala sesuatu yang mutlak bergantung kepada-Nya.
d.      Cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau semu, apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya.
Sauri dkk (2004: 7) berpendapat bahwa dengan ontologi, diharapkan terjawab pertanyaan tentang:
·         Objek apa yang ditelaah ilmu?
·         Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut?
·          Bagaimana hubungan antara objek tadi dan daya tengkap manusia (seperti berfikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan?
Maka dari pemaparan sebelumnya mengenai ontologi, maka sedikit banyaknya dapat diketahui bahwa ontolgi merupakan suatu bidang atau cabang kajian filsafat yang membahas tentang keberadaan (eksistensi) atau hakikat dari sesuatu.
Berkenaan dengan hal tersebut, Hakikat secara bahasa menurut Munawwir (1996:282) adalah berasal dari kata الحق, yaitu yang tetap. Pada asalnya  hakikat    ikut   wazan فعيل   dengan  arti فاعل   yang diambil dari kalimat   حق الشئ إذا ثبت  (sesuatu yang tetap), atau dengan arti مفعول  yang diambil dari kalimat   حققته إذا ثبته  (sesuatu yang ditetapkan).
Dalam KBBI  (2008: 475) terdapat dua pengertian; (1) intisari atau dasar; (2) kenyataan yg sebenarnya (sesungguhnya).
Berkenaan dengan pembicaraan mengenai hakikat yang merupakan dasar ontologi, Bahkan hakikat menjadi ciri khas filsafat. Adapun Saebani (2009: 29) mengartikan filsafat dengan beberapa istilah diantaranya, pengetahuan tentang cara berfikir kritis, kritik yang radikal, berfikir kritis sistematis, pengetahuan tentang pemahaman universal terhadap semua persoalan, dan tentang kebenaran pemikiran yang tanpa batas. 
Oleh sebab itu, dalam makalah ini, penulis akan membahas ontologi atau hakikat fitrah kecerdasan manusia dalam pandangan Alquran.

B.     Alquran
Bamba (2009: 15) berpendapat bahwa Alquran merupakan bentuk mashdar dari wazan فعلان yang terambil dari fi’il قرأ، يقرأ قراءة وقرآنا، وقرأه، يقرؤه، ويقرؤه قرءاBerkenaan dengan hal tersebut, begitu pula Ash-Shidiqie  (1953: 10) menyatakan:
Secara bahasa Alquran ialah bacaan atau yang dibaca. Alquran adalah bentuk mashdar yang dengan arti isim maf’ul, yaitu maqru yang berarti yang dibaca. Sedangkan menurut istilah ahli agama, ialah nama bagi kalamullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad saw. yang ditulis dalam mushaf. Sedangkan menururt para Mutakallimin (ahli kalam), ialah kalam azali yang berdiri pada dzat Allah yang senantiasa bergerak (tak pernah diam) dan tak pernah ditimpa sesuatu bencana.

Secara singkat al-Zarqani (tt: 10) salah seorang ahli tafsir mendefinisikan Alquran sebagai Kitab yang dijadikan oleh Allah sebagai penutup kitab-kitab yang diturunkan, sebuah kitab yang diturunkan kepada penutup para Nabi (Muhammad s.a.w) dengan agama yang universal (mencakup keseluruhan agama samawi) serta kekal sampai akhir kiamat.
Menurut Ash-Shabuni (2003: 8) yang secara lebih luas mengatakan bahwa: Alquran adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (Mukjizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s, ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Naas.

Sehingga dengan kata lain, Alquran merupakan kitab ilahi yang diberikan kepada penutup para rasul dan nabi-Nya, yaitu Muhammad saw. Serta merupakan kitab suci yang terpelihara keasliannya. Bahkan seorang yang berakal tidak akan dapat membandingkan kitab Taurat dan Injil dalam bentuknya saat ini dengan Alquran dari segi keasliannya, dan kejelasannya dalam arah, topik, dan redaksionalnya, maupun dalam bentuk, substansi serta pengaruhnya. Namun orang yang berakal tersebut  hanya dapat berkata seperti yang diungkapkan oleh al Bushiri (Al Qardawi, 2000: 27) sebagai berikut:
“Jangan heran jika orang yang iri dan dengki mengingkarinya.
Pura-pura bodoh, sementara Alquran adalah sumber pemahaman kaum intelek.
Mata dapat mengingkari keberadaan matahari karena kerabunannya.
Dan mulut dapat mengingkari rasa air, karena sedang sakit.”

Demikianlah penjelasan mengenai definisi Alquran yang sekurang-kurangnya mengandung empat unsur meliputi:
1.      Kalamullah,
2.      Lafazh-lafazh berbahasa Arab,
3.      Diturunkan kepada Nabi Muhammad serta disampaikan secara mutawatir,
4.      Dimulai dari surat al Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.

C.    Hakikat  (العقل) Al ‘aql
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, Allah SWT menganugerakan manusia akal sebagai potensi kecerdasan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, maka hal tersebut pula lah yang membedakan manusia dengan hewan.
Secara bahasa Ibrahim (2002: 211) mengungkapkan bahwa akal berasal dari fi’il (عَقِلَ) (يَعْقَلُ)yaitu berasal dari bab تَعِبَ lalu dikatakan (الْعَقْلُ) yaitu bermakna sumber   sandaran dan intisari.
(عَقِلَ) (يَعْقَلُ) مِنْ بَاب تَعِبَ ثُمَّ أُطْلِقَ (الْعَقْلُ) الّذى هُوَ مَصْدَرٌ عَلَى الحِجَا و اللُّبِ.
Berkenaan dengan hal tersebut, Salim (2009: 14) mengartikan akal dengan dua makna, pertama, pengetahuan tentang hakikat sesuatu, sehingga menjadi ungkapan tentang ilmu yag memiliki tempat di dalam hati. Kedua, sesuatu yang dapat meraih ilmu. Rasulullah saw bersabda:
أَوَّلُ مَا خلق اللهُ العَقْلَ
“Hal yang pertama kali duciptakan oleh Allah adalah akal.”
Sebagaimana ungkapan Salim, salah satu makna akal ialah pengetahuan tentang hakikat sesuatu. Akal pula digunakan manusia untuk berfikir, memahamai segala kejadian realitia yang terjadi pada dirinya.
Berkenaan dengan hal tersebut, Sauri dkk (2010: 77) menyatakan bahwa:
Dengan potensi akal yang diberikan Sang pencipta, ia mampu untuk berfikir. Dengan berfikir ia mampu mengenal dirinya dan Tuhannya serta mengembangkan segala potensi yang diberikan Tuhannya, sehingga ia mampu mempertahankan hidup dan kehidupan, melahirkan kebudayaan dan peradaban.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa, Akal merupakan alat untuk berfikir yang melahirkan Intelligence Ouotient (IQ), yang mana Saepudin (2013) dalam salah satu blognya menjelaskan bahwa:
Intelliegence Quotient (IQ) adalah ukuran kemmapuan intelektual, analisis, logika, dan rasio seseorang. Dengan demikian hal ini berkaitan dengan keterampilan berbicara , kesadaran akan ruang kesadaran akan mengukur kecepatan kita untuk mempelajari hal- hal baru.
tersedia di: Ahmed-saepudin.blogspot.com.
 potensi akal yang benar-benar dikembangkan akan dapat berfungsi sebagai media pengembangan pendidikan akhlaq yang beradab dan berbudi luhur, karena akal sesuai dengan daya yang dimilikinya memungkinkan memperoleh pengetahuan yang dapat memberikan manfaat dan arahan bagi perilaku manusia (Al Asfahani, 1972: 235).
Akal dalam istilah mempunyai makna yang bermacam-macam dan banyak digunakan dalam kalimat majemuk, dibawah ini macam-macam akal, antara lain (Bidgoli, A.S., 1995, hal. 61 – 62).
1.      Akal instink (Intellect instinct), yaitu akal manusia di awal penciptaannya, yakni akal ini masih bersifat potensi dalam berpikir dan berargumentasi.
2.      Akal teoritis (Theoretical reason), yitu akal yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang ada dan tiada (berkaitan dengan ilmu ontologi), serta dalam hal tindakan dan etika mengetahui mana perbuatan yang mesti dikerjakannya dan mana yang tak pantas dilakukannya (berhubungan dengan ilmu fiqih dan akhlak).
3.      Akal praktis (Practical reason): Kemampuan jiwa manusia dalam bertindak, beramal dan beretika sesuai dengan ilmu dan pengetahuan teoritis yang telah diserapnya .
4.      Akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang dikenal dan niscaya diterima oleh semua orang karena logis dan riil.
5.      Juga akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang pasti dalam membentuk premis-premis argumen dimana meliputi proposisi badihi (jelas, gamblang) dan teoritis.
6.      Akal substansi (Intellect substance): sesuatu yang non materi dimana memiliki zat dan perbuatan.

D.    Hakikat (القلب) Al Qalb
Di samping akal yang digunakan untuk memahami realitas konkrit, manusia dianugrahi pula al qalb . Al qalb adalah daya rasa yang digunakan untuk memahami, dan menghayati yang memberikan kepada manusia potensi untuk mengetahui esensi atas segala sesuatu.
Al qalb dalam bahsa Indonesia disebut pula dengan hati. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2002: 487) disebutkan bahwa hati sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang di anggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian, perasaan dsb.
Ibrahim (2002:   346)
(القَلْبُ) مِنَ الفُؤَاد و مَعْرُوْفٌ وَ يُطْلَقُ عَلَى الْعَقْلِ وَ جَمْعُهُ (قُلُوْبٌ).
Adapun Salim (2009: 11) mengartikan hati (qalbu) dengan dua makna yaitu sebagai berikut:
Pertama: segumpal daging berbentuk kelenjar yang letakan di sisi kiri dada, ini merupakan daging khusus yang di dalamnya terdapat rongga. Dalam rongga ini terdapat darah hitam yang menjadi sumber dan tempat penyimpanan ruh. Kedua: sesuatu yang lembut (lathifah) yang bersifat rabbani dan ruhani. Hati inilah yang disebut yang menjadi sandaran jasad.
Dalam diri manusia jiwa mengalami kehidupan melalui akal, roh dalam tubuh. Tanpa mengkonsentrasikan akal tubuh tidak mampu berperan sebagai kendaraan jiwa, dan tubuh adalah kendaraan jiwa, mudahnya akal adalah kendaraan jiwa, dan tubuh adalah kendaraan akal. Banyak orang yang menyakini bahwa otaklah yang berfikir, hatilah yang merasakan. Tapi kenyataannya, akal memampukan akal untuk berfikir dengan konkret, hati dan fisik memampukan hati, faktor perasaan agar merasakan dengan jelas.
Potensi hati akan melahirkan suatu kecerdasan, yang disebut dengan kecerdasan spiritual atau SQ. (SQ) intinya adalah transendensi, yaitu proses penyebrangan pelampauan, penembusan makna yang lazim , khususnya dari wilayah material ke spiritual, dan dari bentuk yang kasara ke bentuk yang sublime. Dalam hal ini hidup bukan semata untuk memperoleh materi semata akan tetapi harus betul betul dihayati sebagai serangkaian amal bagi sesama manusia dan beribadah kepada Tuhan Saepudin (2013). tersedia di: Ahmed-saepudin.blogspot.com
E.     Hakikat(النفس)  An nafs
Menurut Adz- zakiy (2007: 102):
Nafs juga dipahami sebagai ruh akhir atau ruh yang diturunkan Allah swt, atau yang mendhohir ke dalam jasadiyah itu, menhidupkan qalbu, akal fikir, inderawi, dan menggerakan seluruh undur dan organ dari jasadiyah tersebut agar berinteraksi dengan lingkungannya dipermukaan bumi dan dunia ini.

Selanjutnya, Salim (2009: 12) nafs dengan dua istilah yaitu, sebagai berikut:
Pertama: mengandung makna yang mencakup kekuatan ghaib (marah) dan syahwat dalam diri manusia sebagaimana yang akan diterangkan. Kedua: nafs artinya kelumbatan sebagaimana yang sudah kita sebutkan, dan merupakan manusia sebenrnya dan jiwa serta zat manusia itu sendiri.
Kafrawi (1994, jilid 4: 342) Nafs (nafsu) adalah dipahami sebagai organ rohani manusia yang memiliki pengaruh yang paling banyak dan paling besar di antara anggota rohani lainnya yang mengeluarkan instruksi kepada anggota jasmani untuk melakukan suatu tindakan.
Dari term an nafs di dalamnya terdapat suatu kecerdasan yang disebut dengan kecerdasan emosional atau EQ, menurut Saepudin (2013):
(EQ) mempunyai dua arah dan dua dimensi, arah ke dalam (personal) berarti sebuah kesadaran diri (self aareness), penerimaan diri ( self acceptance), dan hormat diri (self respect) dan penguasaan diri (self mastery), dan arah keluar (interpersonal) berarti kemampuan memahami orang (to understand others), menerima orang (to accept others) mempercayai orang (to turts others) dan mempengaruhi orang ( to influence others).
Dengan demikian, nafs merupakan jiwa yang terdapat pada suatu jasad seseorang. Akan tetapi nafs juga dapat berarti nafsu, yang mana akan melahirkan suatu kecerdasan emosional. Potensi Kecerdasan emosional berbeda- berbeda tergantung pada pemiliknya. Oleh karena itu kita sebagai manusia yang dibekali fitrah tersebut haruslah menjaga dan mampu mengenadalikannya.  Adapun menegnai nafs dalam pandangan Alquran akan dipaparkan di bab selanjutnya.
F.     Hakikat (الروح) Al Ruh
Munawwir (1997: 545) menjelaskan الروح جمن : أروح = النّفسKata rȗh merupakan bentuk jamak dari arwah yang berarti rȗh, jiwa atau sukma. Sedangkan kata rȗh dalam mufrad memiliki beberapa arti, sesuai dengan penggunaanya. Rȗh adakalanya bermakna wahyu (al-Qur'an), malikat (الملاك) Malakat Jibril (روح القدس)rȗh juga dapat bermakna intisari atau hakekat.
Secara bahasa KBBI (2002: 1179) menyebutkan bahwa roh merupakan sesuatu (unsur) yang ada dalam jasad yang diciptakan Tuhan sebagai penyebab adanya hidup (kehidupan); nyawa- jika ruh sudah berpisah dari badan, berakhirlah kehidupan seseorang. Bisa juga dikatakan sebagai makhluk hidup yang tidak berjasad, tetapi berpikiran dan berperasaan (malikat, jin, setan, dsb).

Salim (2009: 12) mengartikan ruh dengan dua makna, yaitu sebagai berikut:
Pertama: jasad lembut yang sumbernya adalah rongga hati jasmani, kemudian menyebar melalui urat yang berdenyut ke seluruh bagian tubuh dan mengalir di dalamnya serta melimpahnya cahaya kehidupan, rasa, penghasilkan, pendengaran dan penciuman ke dalamnya anggota badan.  Kedua: kelembutan yang ada dalam diri manusia yang dapat mengetahui dan memahami, inilah yang kita terangkan dalam salah satu arti hati (qalbu).
Menurut Al Alusi (1415 H: 223) berpendapat bahwa ruh hakikat sederhana yang non materi yang ada dengan perintah allah SWT dan kehendak-Nya serta penciptaan-Nya dimana ia menjadikannya hidup dalam jasad. tidak ada keharusan untuk disingkap hakikat- hakikatnya yang khusus karena banyak benda yang misterius hakikatnya, karena itu perihal keadaanya yng misterius tidak harus kemudian ia mesti dinafikan, ini tersirat dalam firman- Nya:
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَما أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً (الإسراء :85)
“dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".  (QS. Al Isra [17]: 85).










BAB III
PEMBAHASAN

A.    Ayat- Ayat Quraniah Yang Membicarakan Seputar Fitrah Kecerdasan Manusia
1.      العقل (al ‘aql)
   Perkataan ‘aql pada Alquran tidak dinyatakan dalam bentuk kata terbitan (mashdar), namun ia didatangkan melalui kata kerja atau perbuatan seperti dalam surah al-Baqarah (2) ayat 75, al-‘Ankabut (29) ayat 43, al-Rum (30) ayat 24, al-Zukhruf (43) ayat 3 dan sebagainya lagi yang berjumlah 50 kali. Mana kala tafsiran daripada ayat-ayat tersebut pula menunjukkan bahawa ‘aql bermaksud ilmu pengetahuan, mengetahui dan kefahaman (‘Abd al-Karim, 2000: 26-27).
‘Imarah (2008: 10-12) telah menyenaraikan lafaz lain bagi ‘aql di dalam Alquran yaitu; qalb (jantung) berjumlah 132 kali, lub (fikiran) berjumlah 16 kali, nuha (kepintaran) berjumlah 2 kali, fikr (fikiran) berjumlah 18 kali, fiqh (kefahaman) 20 kali, tadabbur (penghayatan) berjumlah 4 kali, i’tibar (pengajaran) berjumlah 7 kali dan hikmah (kebijaksanaan) berjumlah 17 kali. Di samping itu, sebilangan ayat Alquran didapati mengakhiri sesuatu penerangan dengan menyeru manusia supaya berfikir menggunakan akal melalui lafaz; afala ta’qilun (apakah kamu tidak berakal?), afala tatafkarun (apakah kamu tidak berfikir) dan afala tubsirun (apakah kamu tidak memerhati?) (Al Qardawi, 1996: 13-21).
و قال الأصفهاني (1412 ه: 577) إنّ العَقْل يقال للقوّة المتهيّئة لقبول العلم، ويقال للعلم الذي يستفيده الإنسان بتلك القوّة
Menurut Al Asfahani (1412 H: 577) Akal adalah potensi yang tersedia untuk menerima ilmu atau ilmu yang dimanfaatkan manusia dengan potensinya.

Daya (kecerdasan) untuk memahami sesuatu dapat dipahami dari ayat :
 وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ (43)
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (QS. Al Ankabut [29]: 43)
Manusia memiliki kecerdasan logis yang berkaitan dengan panca indera. Ini diisyaratkan oleh Alquran antara lain dalam ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, dan lain-lain. Hal tersebut dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah swt. bagi orang-orang yang berakal (QS. Al-Baqarah [2]: 164):
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (164)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah: 2: 164).
Akal yang dimaksud di sini adalah kecerdasan rasional logis yang mengandalkan panca indera
Selanjutnya lafadz al aql disebutkan dengan bentuk fi’il  atau kata kerja, dan terkadang lafad al aql disandarkan kepada lafad al qalb atau hatiAdapun manfaat akal ialah sebagai potensi berfikir. Oleh karena itu akal dapat melahirkan suatu kecerdasan manusi ayang disebut dengan Intelligence Ouotient (IQ).
Manusia menggunakan kecerdasan intelektual yang berpusat pada akal, yang mana dengan akal manusia dapat membedakan baik dan buruk, yang haq dan yag bathil.
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (44)
mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?  (QS. Al Baqarah, 2: 44).

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ (10)
dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. Al Mulk, 67: 10).
Sedangkan fungsi utama al qalb atau hati ialah sebagai potensi untuk memahami sesuatu. Sehingga terdapat kaitan erat antara akal dengan hati, sebagaimana firman Allah:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (46)
“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (QS. Al Haj, 22: 46).
Al qurtubi (1964 juz 22: 77) menjelskan mengenai ayat tersebut dengan mengatakan bahwa : lafad al aql  disandarkan kepada lafad al qalb karena hati merupakan temapatnya akal, sebagaimana pontensi mendengar berada pada telinga.

2.      القلب (al qalb)
Ruqoyah (2008: 20) menyebutkan bahwa kata الفلب al qalb  dalam Alquran beserta derifasinya terulang sebanyak 168 kali, yang tersebar di 47 surat dengan 32 shigat.
Al qalb atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan hati, maka dengan hati manusia dapat meraskan segala hal yang ia alami semasa hidupnya. Berkenaan dengan itu, Ahmad (2009: 316- 317) menjelaskan bahwa ada beberapa jenis kerja hati, yaitu:
a.       Berpikir atau ‘aqala
b.      Memahami sesuatu atau faqiha
c.       Mengetahui atau ‘alima.
Lalu ia pun menjelaskan secara lebih rinci lagi, bahwa salah satu kerja hati ialah berpikir atau ‘aqala. Aqala adalah bentuk verb atau kata kerja dari akal. Alquran al karim tidak mengannggap akal itu sebuah benda, namun hanya salah satu kerja hati. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (46)
Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (QS Al Hajj, 22: 46).
Makna al qalb  dalam Alquran antara lain: العلم و الفهم  ilmu dan pemahaman sebagimana firman Allah:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ (37)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya.” (QS. Qaf, 50: 37).
Hati bukan hanya merupakan tempat kasih sayang, melainkan juga tempat ingatan dan pemahaman, sebagaimana firman Allah:
عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194)
"ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan" (QS. Asy Syu’araa, 26: 194).

Hati manusia adalah tempat harapan dan ketakutannya, fondasi kehidupan moral dan spiritualnya, dapat diketahui firman Allah:
لَا يَزَالُ بُنْيَانُهُمُ الَّذِي بَنَوْا رِيبَةً فِي قُلُوبِهِمْ إِلَّا أَنْ تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (110)
“Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu Senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur[661]. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah, 9: 110).
Hati merupakan tempat kasih-sayang dan kenikmatan, hal tersebut sesuai dengan firman Allah:
وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ (88)
“Musa berkata: "Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, Ya Tuhan Kami - akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan Kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, Maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih." (QS. Yunus, 10: 88).
Musawa Lari (tt: 37) ketika membahas mengenai fitrah atau potensi manusia dengan mengatakan:
Alquran menegaskan bahwa dalam fitrah diri manusia terdapat kecenderungan menju keimanan dan penolkan terhadap tindak kejahatan dan kedurhakaan. Allah tidak hanya menepatkan dalam fitrah diri manusia keimanan kepada Yang Maha Mencipta dan menganugerahinya kemampuan untuk mengenal Allah namun Di juga telah menciptakan di dalamnya dorongan- dorongan alamiah menuju kebaikan dan penolakan terhadap perbuatan buruk, dosa, dan tindakan- tindakan yang merendahkan martabat manusia.
Berkenan dengan pendapat di atas, sebelumnya sempat disinggung mengenai hati yang akan melahirkan suatu kecerdasan yang dikenal dikengan kecerdasan spiritual atau SQ. dikatakan demikian karena hati tempatnya perasaan atau مكان العاطفة, tempat merasakan semua hal yang dialami oleh manusia, dan merupakan pusat kecerdasan spiritual. Sebagai pusat kecerdasan spiritual, hati memiliki kedudukan dan menjalankan fungsi yang sentral pula dalam diri manusia. Oleh karena itu, sangatlah penting manusia dapat mengendalikan kecerdasan spiritualnya. Karena dasar fitrah hati nurani manusia selalu menyeru kepada kebaikan, hal tersebut penting agar manusia tidak terjerumus dari fitrahnya yang menyebabkan kepada kehancuran akan dirinya sendiri.
3.      النفس (an nafs)
Baharuddin (2004: 94) menjelaskan dalam Alquran kata nafs digunakan dalam berbagai bentuk dan aneka makna. Kata nafs ini dijumpai sebanyak 297 kali, masing-masing dalam bentuk mufrad (singular) sebanyak 140 kali, sedangkan dalam bentuk jamak terdapat dua versi, yaitu nufus sebanyak 2 kali, dan anfus sebanyak 153 kali, dan dalam bentuk  fiil ada dua kali.
Al Ghazali (1996: 62) memandang nafs sebagai sifat-sifat hamba yang buruk, perbuatan dan akhlak yang tercela. Ia berpendapat bahwa nafs adalah musuh yang paling berbahaya, cobaan yang paling sulit, panyakit yang paling parah. Berkenaan dengan hal tersebut, Al Thusy (tt: 164) menjelaskan bahwa sifat-sifat buruk tersebut terbagi dua, yaitu: 1) yang diperbuat, seperti kemaksiyatan dan pelanggaran, 2) akhlak yang hina, yang dibenci oleh dirinya karenanya si pemilik nafs tersebut berusaha untuk mengalahkan dan melenyapkannya. Upaya pembersihan nafs dilakukan melalui perjuangan spiritual terus menerus (mujahadah).
Adapun menurut Fazlurrahman, (2008: 17) sebaiknya nafs dipahami sebagai keadaan, aspek-aspek, watak-watak, atau kecenderungan dari pribadi manusia yang bersifat mental (yang berbeda dari fisikal), asalkan akal tidak dipahami sebagai substansi yang terpisah. Nafs meliputi: kesombongan ( الكبر), kemarahan (الغضب ), kebencian (الحقد ), iri dengki (الحسد ), tidak sabar dan bertahan (قلة الاحتمال ), dan sebagainya  Al Siraaj (tt : 164).
Menurut Al-Jilli yang dikutip oleh Jumantoro (2005: 160) berpendapat bahwa jiwa dibagi menjadi lima macam:
a.       Nafs Hayawaniyah (jiwa kebinatangan), yaitu jiwa yang patuh secara pasif kepada dorongan-dorongan alami.
b.      Nafs Ammarah (jiwa yang memerintah), yaitu jiwa yang suka memperturutkan kesenangan syahwat, tanpa mempedulikan perintah dan larangan Tuhan.
c.       Nafs Mulhamah (jiwa yang memperoleh ilham), yaitu jiwa yang mendapat bimbingan Tuhan untuk berbuat kebaikan.
d.      Nafs Lawwamah (jiwa yang menyesali diri), yaitu jiwa yang goyah dalam pendiriannya.
e.       Nafs Muthmainnah (jiwa yang tenteram), yaitu jiwa yang menuju Tuhan dalam keadaan tenang dan berada di sisi Tuhan dalam keadaan tenteram.
Selain pembagian di atas nafs (jiwa manusia) dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, sebagai beirkut:
a.       Nafs Ammarah bi As-Su’ (jiwa yang mengajak manusia untuk berbuat jelek), ini adalah jenis jiwa yang belum jinak dan ini adalah jiwa yang dimiliki oleh orang yang berpredikat muslim.
b.      Nafs Mulhimah, jiwa yang mengajak jelek yang dimiliki oleh orang yang ada pada tingkat mukmin.
c.       Nafs Lawwamah, yaitu yang berada pada tingkatan ma’rifat (arif).
d.      Nafs Muthmainnah (jiwa yang tenang), yaitu jiwa yang dimiliki oleh orang sufi yang berada pada tingkatan muwahhid.
Secara terperinci, Taufiq (2006:70-73) menjelaskan kata nafs (nafsu) dalam Alquran memiliki berberapa makna diantaranya: 1) Jiwa atau sesuatu yang memiliki eksistensi dan hakikat. Nafs (nafsu) dalam artian ini terdiri atas tubuh dan ruh dalam surat (Al maidah [5]: 45), 2) nyawa yang memicu adanya kehidupan seperti yang ada pada surat (At Taubah [9]: 55), 3) Dari atau suatu tempat di mana hati nurani bersemayam seperti yang ada pada surat (An Nisa [4]: 79), 4) Suatu sifat pada diri manusia yang memiliki kecenderungan kepada kebaikan dan juga kejahatan, sebagaimana tampak pada surat (Al Maidah [5]: 30), 5) Sifat pada diri manusia yang berupa perasaan dan indra yang ditinggalkannya ketika ia tertidur contohnya pada surat (Az Zumar [39]: 42), 6) Satu gaya bahasa yang majemuk yang berarti ‘saling’. Bila dikatakan, “Hormatilah dirimu”, maka yang dimaksud adalah satu anjuran agar satu dengan yang lainnya saling menghormati, seperti yang ada pada surat (Al Baqarah [2]: 54), 7) Satu kata umum yang berlaku untuk lelaki, wanita, dan juga kaum (kabilah) seperti pada surat (An Nahl [16]: 72), 8) Seseorang tertentu (yakni Adam as.) seperti pada surat (An Nisa [4]:1).
Bertolak dari itu semua, nafs merupakan salah satu fitrah kecerdasan manusia yang pada saat ini dikenal dengan istilah emotional question EQ. Menurut Salovey, kecerdasan emosional berada dalam lima kawasan utama. Pertama, mengenali emosi diri, yaitu kesadaran diri untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kedua, mengelola emosi. Ini kemampuan seseorang dalam mengungkap dan menangani perasan-perasaannya dengan pas pada obyek yang tepat. Ketiga, memotivasi dan memahami diri sendiri. Memotivasi, menguasai, dan menahan diri, tidak cepat merasa puas, mengendalikan dorongan hati serta kemampuan berkreasi adalah hal yang sangat penting. Orang yang memiliki keterampilan ini cenderung lebih produktif dalam berbagai hal yang mereka kerjakan. Keempat, mengenal emosi orang lain. Ini merupakan keterampilan bergaul‖, karena memiliki empati. Orang yang empatik lebih mampu mengkaji sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang lain. Kelima, membina hubungan. Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Orang yang baik dalam keterampilan ini akan sukses dalam hidup yang mengandalkan pergaulan dengan orang lain (Goleman, 1997:58-59).
Sebagaimana yag telah disebutkan sebelumnya an nafs dapat pula berupa suatu sifat pada diri manusia yang memiliki kecenderungan kepada kebaikan dan juga kejahatan, sebagaimana tampak dalam ayat Alquran, sebagai berikut:
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ (30)
“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi” (Al Maidah [5]: 30).

وَجَاءُوا عَلَى قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ (18)
“mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya'qub berkata: "Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku[746]). dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." (QS. Yusuf [12]:18).

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (151)
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar[518]". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). (QS. Al An’am [6]: 151).
Kecerdasan yang dimaksud dalam ayat di atas berorientasi pada kecerdasan emosional, atau kecerdasan sosial yang menekankan agar manusia membangun hubungan sosial, memupuk empati, berperilaku jujur, memiliki motivasi dan berbagai perilaku sosial positif lainnya yang muncul dari dorongan moral yang baik.
Nafs yang sebagai sisi dalam kejiwaan manusia yang dapat melahirkan berbgai macam tingkah laku, sebagaimana yang terdapat pada firman Allah:
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ (11)
“bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS. Ar Ra’d [13]: 11).
Dengan demikian dari pemaparan sebelumnya dapat dipahami  bahwa semua perilaku manusia hakekatnya disetir oleh jiwa atau nafs-nya. Oleh karena itu, manusia sudah sepatutnya pintar dalam pengatur emosinya.
4.      الروح (ar ruh)
Dengan menggunakan kitab fathurrahman dan mu’jam alfadzuul quranil kariim penulis menemukan lafadz rȗh  dalam Alquran terulang sebanyak 21 kali yang tersebar di 20 surat dalam Alquran dengan konteks dan makna yang berbeda.
Adapun beberapa ayat- ayat Alquran yang berkaitan dengan ruh ialah sebagai berikut:
·         Ruh yang bermakna rahmat atau pertolongan
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كانُوا آباءَهُمْ أَوْ أَبْناءَهُمْ أَوْ إِخْوانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ خالِدِينَ فِيها رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ  (المجادلة :22)
kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan[1462] yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. (QS. Al Mujadilah [58]: 22).
·          Ruh yang bermakna wahyu atau Alquran
يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنْذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ (النحل : 2)
Dia menurunkan Para Malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, Yaitu: "Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku". (QS. An Nahl [16]: 2).
·         Ruh yang bermakna kehidupan
فَإِذا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ ساجِدِينَ (ص : 72)
“Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya". (QS. Shad [38]: 72)
·         Ruh yang bermakna Malaikat JIbril
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدىً وَبُشْرى لِلْمُسْلِمِينَ            (النحل : 102)
Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS. An Nahl [16]: 102).
Adapun makna ruh yang relevan dalam penulisan makalah ini ialah, ruh yang bermakna kepada kehidupan seseorang. Penulis menyebutkan al ruh sebagai potensi, karena al ruh sebagai potensi kehidupan manusia. Maka dengan adanya ruh , potensi- potensi lain ada dan nyata dalam suatu jasad seseorang.
B.     Hubungan antara Al ‘Aql, Al Qalb, An Nafs Dan Al Ruh  Sebagai Fitrah Yang Dimiliki Manusia
Yang menjadi pembahsan fitrah kecerdasan manusia dalam makalah ini ialah al aql, al qalb dan an nafs, yang mana ketiganya merupakan IQ, SQ dan EQ. Adapaun penulis menambahkan dengan al ruh di sini ialah tak lain karena ketiga unsur potensi kecerdasan tersebut tidak akan hidup atau tidak akan ada jika tidak ada ruh dalam diri manusia. Maka dengan kata lain, hemat penulis bahwa ruh lah penyebab adanya ketiga unsur tersebut.
 Selanjutnya, Agustian (2001: 46-47) menjelaskan bahwa IQ Berada pada dimensi Islam, EQ terletak pada dimensi iman, dan SQ terletak pada dimensi ihsan. Dengan kata lain, IQ dibimbing oleh Islam, SQ dibimbing oleh iman dan SQ dibimbing ihsan. Jika ketiga fungsi otak berfungsi dengan baik, maka akan melahirkan manusia yang paripurna atau insan kamil.
Kecerdasan manusia yang berpusat pada otak sejalan dengan hadis Nabi sebagai berikut:
 و عبّر علي (2003: 177) حديث النّبي الذي ورد فيه معنى القلب المادي والمعنوي فهو قول الرسول: ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب.
Dalam diri manusia ada segunpal daging, jika daging itu jelek baik, maka baiklah manusia itu. Jika daging itu jelek, maka jeleklah manusia itu. Itulah hati Qalb.

Fitrah kecerdasan yang ada pada diri manusia baik al aql, al qalb maupun an nafs memiliki keterkaitan yang erat satu sama lainnya. Sehingga dengan ke empat unsur yang melekat pada diri manusia, manusia hidup sebagai manusia yang utuh, yang sempurna disbanding dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Maka penulis mengilustrasikan hubungan keempatnya kepada gambar sebagai berikut:















Maka dari ilustrasi gambar yang penulis paparkan di atas maka diri manusia terdiri dari beberapa unsur yaitu, ar rûh, an nafs, al qalb dan al ‘aql. Namun pada dasarnya rȗh lah yang menjadi pokok dari unsur tersebut, karena tanpa adanya ar ruh, an nafs, al qalb dan al ‘aql tidak mungkin ada di dalam diri manusia.
Unsur yang kedua setelah rûh adalah an nafs, an nafs ini memiliki dua kecenderungan. Pertama kecenderungan kepada kebaikan. Kedua, kecenderungan kepada keburukan. Namun, dari ke dua kecenderungan ini an nafs lebih cenderung kepada menggerakan manusia kepada keburukan. Sebagaimana yang diinformasikan oleh Allah dalam Q.S Yusuf ayat 53, sebagai berikut:
!$tBur äÌht/é& ûÓŤøÿtR 4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/ žwÎ) $tB zOÏmu þÎn1u 4 ¨bÎ) În1u Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÎÌÈ  
dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
Selanjutnya unsur yang ke tiga adalah al qalb, yang dijelaskan oleh kebanyakan ulama bahwa ia merupakan tempatnya unsur ke emnpat yakni al ‘aqlAl Qalb memiliki fungsi untuk mengekang kecenderungan yang ditimbulkan oleh an nafs, sebagaimana yang diketahui, bahwa an nafs senantiasa menyuruh kepada keburukan. Namun al qalb tidak akan berfungsi demikian jikalau unsur yang ke empat tersebut tidak didayagunakan sebagai mestinya.
struktur jiwa manusia terdiri daripada al qalb, al ruh, an nafs dan al ‘aql. Unsur yang empat ini menjurus kepada satu makna iaitu latifah atau al-ruh al-rabbaniyyah yang merupakan intipati manusia yang memiliki daya serap, mengetahui dan mengenal sekaligus menjadi objek pertanggungjawaban di atas segala perbuatan yang dilakukannya.
Seseorang yang dapat menjaga serta mengelola bahkan mengembangkan fitrah yang dibeikan Allah kearah kebaikan, maka dia seseorang yang dapat menyeimbangkan IQ, ES dan SQ yang kemudian melahirkan kecerdasan spiritual. Alquran juga membuktikan bahwa jika kecerdasan-kecerdasan manusia saling bekerja sama dengan baik. Dengan demikian, akan melahirkan manusia yang tidak mudah putus asa, dan mampu menemukan makna dibalik peristiwa yang sedang terjadi, dan berujung pada ketundukan manusia kepada Tuhan dengan amal shaleh yang ia perbuat. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Ali-Imran :191:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali-Imran [3] : 191).
Demikian lah penjelasan mengenai hubungan ke empat fitrah yang dimiliki manusia,  maka dengan ke empat unsur tersebutlah yang membuat manusia menjadi ciptaan Tuhan yang paling lengkap  dan sempurna. Maka singkat peneliti bahwa an nafs, al qalb dan al aql tidak akan hidup dalam sutu jasad yang hidup tanpa adanya rȗh dalam dirinya. Dengan kata lain ar rȗh merupakan tingkat tertinggi dari pada yang lainnya, karena tanpa adanya rȗh seseorang tidak bisa memiliki an nafs, al qalb maupun al aql.

















BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Kesimpulan Umum
Dari pemaparan mengenai makalah ini, maka di sini penulis memberikan kesimpulan umum, yaitu fitrah kecerdasan manusia dalam pandangan Alquran. Dengan demikian dapat dipahami bahwa di dalam Alquran banyak sekali kata yang menunjukkan tentang fitrah kecerdasan manusia. Sekalipun Alquran menggunakan kata yang beragam, seperti al aql, al qalb, an nafs,  namun jika ditelaah diperoleh suatu kesimpulan, bahwa dari seluruh kata itu tersimpul dalam satu makna yakni kekuatan kecerdasan dalam diri manusia.
2.      Kesimpulan Khusus
Adapun kesimpulan khusus dari penulisan makalah ini ialah: sejak lahir manusia sudah dibekali fitrah atau potensi yang berupa العقل , القلب , النفس dan ألروح . akal merupakan pengetahuan tentang hakikat sesuatu. Akal pula digunakan manusia untuk berfikir, memahamai segala kejadian realitia yang terjadi pada dirinya, dan merupakan sebuah hubungan yang sinergis dan sangat urgen sekali karena dalam setiap melakukan suatu aktifitas, akal akan selalu berperan untuk memprediksi dan memililah-milah hal yang baik untuk dikerjakan. Hasil dari akal ilah kecerdasan intelektual atau IQ.
 Selanjutnya  hati di anggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian, maka dari hati akan lahirlah suatu kecerdasa yaitu kecerdasan spiritual atau SQ dengan kekuatan ini manusia memungkinkan menemukan makna-makna dibalik seluruh pengalaman hidupnya. Adapun nafsu merupakan jiwa secara bahasa, namun ia akan melahirkan sebuah kecerdasan yaitu kecerdasan emosional, atau EQ, an nafs dapat pula berupa suatu sifat pada diri manusia yang memiliki kecenderungan kepada kebaikan dan juga kejahatan, sebagaimana tampak dalam ayat Alquran (Al Maidah [5]: 30). Adapun mengenai al ruh sebagai potensi, karena al ruh sebagai potensi kehidupan manusia. Maka dengan adanya ruh , potensi- potensi lain ada dan nyata dalam suatu jasad seseorang.
Alquran telah menjelaskan mengenai fitrah atau potensi- potensi tersebut al aql, al qalb, an nafs  bahkan ar ruh. Yang mana akal memang lebih di tujukan kepada suatu hal yang bersifat berfikir. Al qalb  hati ada yang bermakna memahami dan ilmu, dan salah satu konsep an nafs sebagai sisi dalam kejiwaan manusia yang dapat melahirkan berbgai macam tingkah laku. Dan ruh ialah sebagai substansi yang bersifat non materi yang ada pada diri manusia, dan sebagai potensi hidup fitrah- fitrah lain maupun manusia itu sendiri.
.
B.     Rekomendasi
Penulis ingin menyampaikan beberapa rekomendasi diantaranya ialah:
  1. Alangkah baiknya kita dapat menyeimbangakan segala potensi yang diberikan oleh Allah baik IQ, SQ dan EQSehingga menjadi insan kamil yang memiliki jiwa yang tenang, yang kembali pada Tuhan dan masuk surganya dengan ridho dan diridhoi.
  2. Mudah - mudahan karya tulis yang singkat ini dapat dijadikan kontribusi dan tambahan wawasan, khususnya bagi saya dan umumnya bagi para pembaca.
  3. Kepada masyarakat umum, hendaklah kalian senantiasa bertafakkur atas setiap apa yang Allah perintahkan kepada hambanya. karena tidaklah Dia memerintahkan untuk ataupun melarang berbuat melainkan Dia telah mengetahui akan adanya manfaat serta mandharat dintara keduanya








DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-Karim Nawfan ‘Abiydat. 2000. Al-Dilalah al-‘Aqliyyah fi al-Quran. Urdun: Dar al-Nafa’is.
‘Imarah, M. (2008). Maqam al-‘Aql fi al-Islam. Qahirah: Nahdah Misr.
Agustian, A. G. (2003). Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan. Jakarta: Penerbit Arga.
Ahmad, A. A. (2009). Fiqih Cinta. Bandung: Pustaka Hidayah.
Al Alusi, S. (11415 H). Ruh al Ma’ani: Jilid 15. Beirut : Daar al Fikr.
Al Asfahani, R. (1972). Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr.
Al Ghazali, A. H. (1996).  Minhaj al Abidin ila Jannah Rab al Alamin.  Damaskus: As Sairwan.
Al Khuli. M.A. (1981). Qamus At Tarbiyah. Lebanon: Dar Elilm Lil Malarin.
Al Munawwir. A.W. (1997). Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.
Al Qardawi, Y. (1993). Syari’at Al Islam Shalihah Li Al Tathbiq Likulli Zamaanin Wa Makaanin. Kairo: Dar Al Shahwah.
Al Qardawi, Y. (1996). Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Quran al-Karim. Qahirah: Maktabah Wahbah.
Al Qurthubi, S. (1946). Tafsir Al Qurthubi Juz 22. (Al Maktabah Al Syamilah). Kairo: Dar al Kutub al Mishriyah.
Al Siraaj, A. N. (tt).  Al Luma’, Kairo: maktabah atsaqafah Ad Diniyah.
Al Zurqoni. M. A. (tt). Manahilu Al ‘Irfan fi ‘Ulum Alquran. (Al maktabah Al syamilah). Kairo: Mathba’ ‘Isa al Baaqiy al Halabiy wa Syurakaahu.
Ash Shabuni. (2003). Al Tibyan Fi al ‘Ulum Alquran. Beirut: Dar al Kutub Alislamiyah.
Ash Shidiqie, M. H. (1953). Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Baharuddin. (2004). Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bamba, A. (2009). Asma Alquran Alkarim wa Asma suwari wa Ayaatihi: Mu’jam Mausuu’i Muyassar. Dubai: Markaz Jaami’atu Al Maajid Li Al Tsaqofah Wa Al Turats.
Bidgoli, A.S. (1995). Revelation and Reason in The Thought of of Tabâtabâ'î, with Special Reference to The Question of Freedom in Islam. Tersedia pada: http://digitool.library.mcgill.ca/R/?func=dbinjump-full&object_id=23240 &local_base=GEN01-MCG02. Diakses pada Tanggal: 26 Januari 2011.
Fazlurrahman, M. (1980). Major Themes of The Qur’an. Chicago, Bibliotheca,
Goleman, D. (1997). Emotional Intelligence, diterjemahkan oleh T. Hermaya, Kecerdasan Emosional. Jakarta: Ramedia Pustaka Utama.
Hamdani Bakran Adz-Dzakiy, Psikologi Kenabian; Prophetic Psychology: Menghidupkan Potensi dan Kepribadian Kenabian dalam Diri, (Yogyakarta, Beranda Publishing, 2007), hlm. 105
Ibrahim, R. A. (2002). Mu’jam Al Mushtalahat Al Muhtalahat Al Islamiyah: Fi Al Mishbah Al Munir. Kairo: Daar Aafaq Al ‘Arabiyah.
Jalaluddin dan Idi. A. (2007). Filsafat Pendidikan. Yoyakarta: Ar-Ruzz Media .
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Tasawuf, UNSIQ, Amzah, 2005.
Kafrawi, R. (1994). jilid 4. Ensiklopedi Islam. Jakarta:  PT Ichtiar baru Van Hoeve.
Ruqoyah. (2008). Analisis Semantik kata Qalbu dalam Al- Qur'an (Studi deskriptif kata Qalbu dan Derivasi-derivasinya dalam Al- Qur'an)Skripsi FPBS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Saepudin, A (2013). Belajar Dengan Mudah tersedia di: Ahmed-saepudin.blogspot.com. Diakses pada: 20 Feb 2013
Salim, A.H. (2009). Menyembuhkan Penyakit Jiwa dan Fisik. Jakarta: Gema Insani.
Sauri, S, dkk. (2010). Filsafat Ilmu Pendidikan Agama. Bandung: CV. Arfino Raya.
Surajiyo. (2007). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Surajiyo. (2013). Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Karsa.
Susanto. A. (2013). Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Taufiq, M. I. (2006). Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, Jakarta: Gema Insani.

Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

KAJIAN BALAGHAH: JINAS

المشاكلة في البلاغة