MAKNA DALAM TINJAUAN PARA LINGUIS

Secara bahasa kata ma’nâ diartikan oleh Al-Ashfahani (Syihabbudin,2001: 15) berasal dari ‘anâ yang salah satu maknanya ialah melahirkan seperti yang terdapat pada ungkapan ‘anatil ar-dlu binnabât (tanah menumbuhkan tanaman). Karena itu, makna diartikan sebagai perkara yang dilahirkan dari tuturan. Berdasarkan pernyataan tersebut di dalam Munjid (2003: 534-535) tertulis:
المعنى أصله عَنى ﹻ عَنْيًا وَ عِنَيَةً بما قاله كذا: اراده و قصده . تَعَنَّى. تَعَنِّيًا في الأمر: قصده. المعْنى ج مَعَانٍ : ما يُقصَد بشيء.
Adapun di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2008: 864) kata makna diartikan: 1. Ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dl tulisan kuno itu, 2. Maksud pembicara atau penulis, 3. Pengertian yang diberikan kpd suatu bentuk kebahasaan.
Sedangkan makna secara istilah, menurut Djajasudarma (2012: 7) adalah pertautan yang ada di antara unsur- unsur bahasa itu sendiri. Adapun  Aminuddin, (2008: 52) menjelaskan bahwa makna ialah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti. Berkenaan dengan itu, salah seorang ahli Linguistik Indonesia, Chaer (2009: 33) berpendapat bahwa makna adalah unsur dari sebuah kata atau lebih tepat sebagai gejala-dalam-ujaran (Utterance-internal-phenomeon).
Mengingat peranan makna begitu penting  dalam bahasa, maka seseorang harus memahami makna dalam komunikasi untuk mengetahui suatu ujaran dalam konteks yang tepat. Sebagaimana, Djajasudarma (2012: 8) mengungkapkan bahwa;
Mempelajari makna pada hakikatnya berarti mempelajari bagaimana sikap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa saling mengerti. Untuk menyusun kalimat yang dapat dimengerti, pemakai bahasa di tuntut untuk menaati kaidah gramatikal, atau tunduk kepada kaidah pilihan kata menurut sistem leksikal yang berlaku di dalam suatu bahasa.
Kembali kepada pembicaraan mengenai makna sebelumnya, di dalamnya dibahas pula  mengenai hubungan antara suatu kata dengan konsep atau makna dari kata tersebut, serta benda atau hal yang dirujuk oleh makna itu. Menguatkan dari pernyataan tersebut Aminuddin (2008: 80) mengatakan;
Terdapat dua unsur dasar dalam sistem tanda yang secara langsung memiliki hubungan dengan makna. Kedua unsur dasar itu adalah signifiant, sebagai unsur abstrak yang akhirnya terwujud dalam sign atau lambang, serta signifakanor yang dengan adanya makna dalam lambang itu mampu mengadakan penjulukan, melakukan proses berfikir, dan mengadakan konseptualisasi.
Senada dengan pendapat Aminuddin, de Saussure (Chaer, 2007: 286) juga menguatkan pernyataan sebelumnya Setiap tanda linguistic atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau “yang mengartikan” yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen signifie atau “yang diartikan”.
Berkenaan dengan hal tersebut. Odgen dan Richard menggambarkan antara kata, makna dan sesuatu yang diacu atau hubungan ketiganya yang disebut sebagai hubungan referensial, yang dijelaskan dalam bentuk segitiga semantik sebagai berikut:







Text Box: (عمر، 1998: 54 )
 


Dari gambar segitiga tersebut, maka jelaslah bahwa makna suatu konsep yang terbentuk dari tiga unsur yaitu : lambang (الرمز), pikiran ( الفكرة) dan objek atau sesuatu yang dirujuk (الشيء الخارجي).
Menurut Zawin (1986: 89) Hubungan-hubungan antara konsep-konsep yang telah disebutkant diatas dapat dikaitkan sebagai berikut:
1.      Thought dapat merujuk kepada kata (word), dan kata yang terucap maupun tertulis dapat merujuk kepada fikroh thought.
2.      Thought dapat merujuk kepada objek atau reference, dan begitu pula objek atau reference dapat merujuk kepada thought.
3.      Kata (word) tidak dapat merujuk kepada objek atau reference, dan begitu pula objek atau reference tidak dapat merujuk kepada Kata (word).
Maka jelaslah bagi kita bahwa makna merupakan suatu  konsep  yang didapatkan pada suatu simbol atau lambang bahasa dan makna itu pun merupakan hubungan diantara berbagai unsur bahasa. Serta dapat dikatakan bahwa makna juga dapat berarti  hubungan antara bahasa yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa dengan seseorang yang diajak bicara dengannya sehingga dapat saling dimengerti oleh kedua belah pihak.
1.      Aspek Makna
Djajasudarma (2009: 3) mengatakan bahwa aspek makna dapat dapat dibedakan atas:
a.       Sense (Pengertian)
b.      Feeling (Perasaan)
c.       Tone (Nada)
d.      Intension (Tujuan)
Adapun penjelasan mengenai ke empak aspek makna tersebut, ialah sebagai berikut:
a.       Sense (Pengertian)
Aspek makna pengertian ini dapat dicapai apabila antara pembicara/penulis dan kawan bicara berbahasa sama (Djajasudarma, 2009: 3).
Contoh:
1)      hari ini hujan
2)      hari ini mendung
Di dalam komunikasi tersebut tentu ada unsur pendengar (ragam lisan) dan pembaca (ragam tulis), yang mempunyai pengertian yang sama terhadap satuan-satuan hari, ini, hujan, dan mendung.
b.      Feeling (perasaan)
Aspek makna perasaan berhubungan dengan sikap pembicara dengan situasi pembicaraan (Djajasudarma, 2009: 4).
Pada dasarnya, setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan feeling atau nilai rasa, begitupula setiap kata ada maknanya yang mempunyai hubungan dengan perasaan. Begitupula dalam kehidupan sehari-hari selamanya kita berhubungan dengan rasa dan perasaan, seperti sedih, kesal, gembira dll. Misalnya, ungkapan “Saya turut berduka cita” tidak mungkin pada situasi gembira, karena ekspresi tersebut dating pada situasi kesedihan. Dengan demikian, kata-kata yang terucap memiliki makna sesuai dengan perasaan.
c.       Tone (nada)
Aspek nada tone adalah “an attitude to his listener” (sikap pembicaraan terhadap kawan bicara) atau dikatakan pula sikap penyair atau penulis terhadap pembaca (Djajasudarma, 2009: 5).
Berkaitan dengan hal tersebut, Pateda (2010: 94) menjelaskan bahwa Aspek makna yang berhubungan dengan nada lebih banyak dinyatakan oleh hubungan antara pembicara dengan pendegar, antara penulis dan pembaca.
Kita tidak mungkin berbicara kepada yang lebih tua umurnya dengan kata-kata yang tidak pantas dikatakan. Sebagai contoh: kalimat “Pak, silahkan makan!” kita tidak akan menggunakan kata-kata. “hei pak, makan sana!”.
d.      Intension (Tujuan)
Aspek makna tujuan ini adalah “his, aim, conscious or unconscious, the effect he is endeavoring to promote” (tujuan atau maksud, baik disadari maupun tidak, akibat dari usaha peningkatan) (Djajasudarma, 2009: 6).
Pada dasarnya, apabila kita mengatakan sesuatu kepada seesorang, maka memang ada suatu maksud yang kita tuju atau yang kita inginkan kepada lawan bicara. Misalnya dengan mengatakan, “Malas kau!” maka tujuannya supaya kawan bicara mengubah kelakuan (tindakan) yang tidak diinginkan tersebut.

2.      Pendekatan Makna
Mengenai bahasan pendekatan makna ini, penulis mengambil pendapat Pateda (2010: 86-87 ) dalam bukunya yang berjudul “Semantik Leksikal”. Ia menjelaskan bahwa  makna dapat dibicarakan dari dua pendekatan, yakni pendekatan analitik atau referensial dan pendekatan operasional. Pendekatan analitik ingin mencari makna dengan cara menguraikannya atas segmen-segmen utama, sedangkan pendekatan operpasional ingin mempelajari kata dalam penggunaannya. Contoh dari pendekatan analitik kata istri dapat diuraikan menjadi:
-          Perempuan
-          Telah bersuami
-          Kemungkinan telah beranak
-          Berfungsi sebagai pendamping suami
Jika kata istri dilihat dari segi pendekatan operasional, akan terlihapt dari kemungkinan-kemungkinan pemunculannya dalam kalimat-kalimat, misalnya sebagai berikut:
-          Si Dula mempunyai istri
-          Istri si Ali telah meninggal

-          Apakah istrimu sudah naik haji?
***DiadaraF***

Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

KAJIAN BALAGHAH: JINAS

المشاكلة في البلاغة