Apakah diperbolehkan atau tidak mewaqafkan suatu kata dengan sukun lalu memindahkan harakatnya dalam keadaan manshub ke huruf sebelumnya?

DIADARA SHOLIHATI I.
Orang-orang Kufah berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan seperti berkata رَأَيتُ البَكَرْ dengan memfathahkan kaf-nya yang dalam keadaan nashab.
Sedangkan orang-orang Bashrah mereka tidak membolehkannya.
Namun dua golongan tersebut bersepakat untuk membolehkannya dalam keadaan rafa’ dan jar, seperti,
"هذا البكُرْ" "مرت بالبكِرْ"
Rafa dengan dhammah dan jar dengan kasrah.
Adapun orang Kufah berhujjah bahwa kami sepakat diperbolehkannya hal itu ketika marfu’ dan khafadh seperti,
"هذا البكُرْ" "مرت بالبكِرْ"
Untuk mencegah terjadinya dua sukun ketika waqf. Sehingga mereka memilih dhammah untuk rafa’ dan kasrah untuk khafadh dikarenakan harakat itu digunakan ketika diwashalkan maka sangat diutamakan dalam keadaan yang lainnya sebagaimana perkataan beberapa penyair berikut ini,
1.    أنا ابْنُ مَاوِيَّةَ إذ جَدَّ الَّنقُزْ
2.    أنا جريرٌ كُنْيَتِي أَبُو عَمِرْ ... أَضْرِبُ بالسَّيْفِ وسَعْدٌ في القَصِرْ
أجُبُنًا وغَيرَة خَلْفَ السِّتِرْ
3.    أَرَتْنِي حِجْلًا على سَاقِهَا ... فَهَشَّ الفُؤَادُ لِذَاكَ الحِجِلْ
فقلت ولم أُخْفِ عن صَاحِبِي: ... ألا بِأبِي أَصْلُ تلك الرِّجِل
4.    عَلَّمَنَا إِخْوَانُنَا بَنُو عِجِلْ ... شُرْبَ النبيذ واصْطِفَافًا بالرِّجِلْ
Maka ketika hal itu ditetapkan dalam keadaan marfu dan jar maka demikian juga ketika nashab hal itu dilakukan, karena kaf pada kalimat رَأَيتُ البَكر” dalam keadaan nashab itu sukun sebagaimana sukunnya pada kalimat "هذا البكر" "مرت بالبكر" yang dalam keadaan rafa’ dan jar. Dan sebagaimana juga diharakatkannya kaf ketia rafa’ dan jar  untuk mencegah bertemunya dua sukun maka seyogyanya juga dilakukan ketika nashab untuk mencegah bertemunya dua sukun. Dan sebagaimana juga mereka memilih dhammah untuk rafa’ dan kasrah untuk khafadh maka seyogyanya juga mereka milih fathah untuk nashab.
Adapun orang-orang Basrah berhujjah bahwa hal itu tidak diperbolehkan karena asal keadaan sebuah kata itu ialah nakirah maka hendaklah ketika dalam keadaan nashab dikatakan بكرًا , sehingga tidak diperbolehkan memberi harakat ain-nya ketika tidak bertemunya dua sukun sebagaimana yang terjadi ketika rafa’ dan jar, seperti  "هذا البكْرْ" "مرت بالبكْرْ" .
Adapun saya sependapat dengan pendapatnya orang-orang Kufah.
Adapun jawaban atas argumentasi yang dikemukakan orang-orang Basrah yng mengatakan “asal keadaan sebuah kata itu ialah nakirah, maka ketika dilarang memberi harakat ain lalu dijadikan ma’rifat dengan alif lam karena kalimat itu tidak tetap.” Kami katakan “itu pendapat yang buruk, karena mengandung bahwa sebuah isim dalam keadaan ma’rifat karena adanya lam ta’rif pada kalimat nakirah sedangkan pada dasarnya hal tersebut tidak harus selalu begitu. Dan sebagaimana juga diharakatkannya kaf ketia rafa’ dan jar  untuk mencegah bertemunya dua sukun maka seyogyanya juga dilakukan ketika nashab untuk mencegah bertemunya dua sukun.


Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

KAJIAN BALAGHAH: JINAS

المشاكلة في البلاغة