TELAAH PEMIKIRAN SYEIKH THANTHAWI JAUHARI TERHADAP SAINS MODERN DALAM TAFSIR “AL JAWAHIRU FI TAFSIIRIL QURANIL KARIM”
Oleh
Dr. Abdul Majid Abdussalam al Muhtasib
Diterjemahkan oleh Hilman Fitri dari kitab “Ittijahaatut Tafsiir Fii ‘Ashri Rahiin” hal. 272- 279
As Syeikh Thanthawi Jauhari telah menyusun tafsir al Quran yang dia beri nama Al Jawahir Fi Tafsiiril Quranil Karim. Tafsir ini terdiri dari 25 juz. Tafsir ini mempunyai lampiran yang dia tambahkan. Dia memberikan alasan: “Amma Ba’d. sesungguhnya kami telah berketetapan hati dalam beberapa pembahasan kitab al jawahir fi tafsiril qurani, bahwa kami akan menyertainya dengan lampiran yang akan menjelaskan beberapa hal yang lupa kami bahas dalam tafsir tersebut….dan insyaallah kami akan mengemukakan hal hal yang kami pandang penting untuk memperluas wawasan ummat islam. Kami memulainya dengan surah al fatihah dan pertama-tama adalah basmalah. Demikian, hingga surah demi surah…. . dalam pendahuluan tafsirnya, dia membahas tentang motivasi yang memotivasinya untuk menyusun tafsir ini. Dia mengatakan, “Amma Ba’d. saya sesungguhnya diciptakan untuk mengandrungi keajaiban-keajaiban alam, mengagumi keindahan-keindahan natural, rindu akan keindahan yang ada di langit, kesempurnaan dan keelokan yang ada di muka bumi, ayat-ayat penjelas dan keajaiban-keajaiban yang riil…baru setelah saya memikirkan ummat Islam dan pendidikan-pendidikan keagamaannya, saya bisa mengupas banyak pemikir dan beberapa ulama’ yang mulia tentang makna-makna tersebut secara kontradiktif. Juga tentang pandangan terhadap makna-makna tersebut secara lalai dan main-main. Maka, amat minim di antara mereka orang yang berfikir tentang alam dan keajaiban-keajaiban yang terdapat di dalamnya. Sehingga untuk maksud tersebut, saya mulai menyusun sebuah buku. Semisal, Nidham al’Aalam wal Umam (tata dunia dan umat manusia). Jawahirul uluumi (mutiara-mutiara ilmu), Nahdhatul Ummat wa Hayatuha (kebangkitan dan kehidupan umat), dan risalah-risalah serta buku-buku yang lain. Dalam risalah dan buku tersebut, saya selalu mengintegrasikan ayat-ayat al Quran dengan keajaiban-keajaban alam. Dan saya jadikan ayat-ayat wahyu tersebut relevan dengan keajaiban-keajaiban ciptaan dan hukum makhluk-Nya.
Penulis ini juga membahas tentang masa-masa awal penyusunan tafsir ini, serta tentang tujuan dan orientasinya. Dia menjelaskan, bahwa tafsir ini merupakan tiupan rabbani, isyarat suci dan informasi-informasi simbolik. Yang diperintahkan melalui ilham, semisal pernyataan dia: “permulaan tafsir ini ditulis ketika saya masih mengajar di sekolah darul ulum. Saya mengemukakan beberapa ayat kepada murid-murid. Sebagian yang lain pernah dipublikasikan di majalah Al Malaaji al Abbasyiah. Inilah yang kini saya perhatikan dalam bidang tafsir, dengan tetap memohon pertolongan kepada Dzat Yang Maha Lembut dan Mengetahui, seraya berharap dengan segala hormat dalam hati, semoga Allah melapangkan dada, dan karenanya Dia memberikan hidayah kepada umat ini. Dan lenyaplah pandangan kejumudan dari pandangan kaum muslimin secara umum, sehingga mereka mampu memahami ilmu-ilmu alam….agar buku ini di antara umat ini benar-benar ada yang bangkit, yaitu mereka yang mampu mengungguli Eropa di bidang agraris, medis, pertambangan, matematika, arsitektur, astronomi serta sains-sains dan industry-industri lain.
Bagaimana tidak, sementara di dalam Al Quran sendiri terdapat ayat-ayat sains lebih dari tujuh ratus lima puluh ayat. Sedangkan mengenai ilmu fiqih, ayat-ayatnya yang jelas tidak lebih dari seratus lima puluh ayat. Dalam tafsir ini, saya telah meletakkan hukum-hukum, akhlak dan keajaiban-keajaiban alam yang dibutuhkan oleh muslim. Saya juga telah mengetengahkan keajaiban-keajaiban sainda dan makhluk di dalamnya. Sesuatu yang bisa menumbuhkan kerinduan kaum muslimin dan muslimat untuk mengambil pendirian tentang esensi makna-makna ayat yang menjelaskan tentang hewan, tumbuh-tumbuhan, bumi dan langit. Juga agar anda benar-benar tahu, wahai orang cerdas, bahwa tafsir ini merupakan tiupan rabbani, isyarat suci dan informasi- informasi simbolik, yang diperintahkan kepada saya dengan melalui ilham ini. Saya yakin, bahwa tafsir tersebut mempunyai kedudukan yang akan dikenal oleh makhluk, dan akan merupakan sebab kemajuan yang paling urgen bagi orang-orang tertindas di muka bumi.
Thanthawi Jauhari menyebut tafsirnya dengan nama Al Jawahir Fi Tafsiril Quranil Karim, sebab dia telah menjadikan mutiara sebagai pengganti baba tau fasal (pembahasan)-nya. Dari mutiara tersebut kemudian terurai intan pertama, kedua, dan seterusnya.
Metodologinya dalam menafsirkan al Quran adalah dengan memulai menafsirkan lafazh ayat-ayat yang dia kemukakan, lalu dibacanya dengan syarah, penjelasan dan penelitian. Dengan kata lain, dia merancang secara luas disiplin keilmuan modern yang beragam.
Kita tahu, Thanthawi Jauhari banyak mengutip penjelasan dari Taurat dan injil, utamanya injil Barnabas yang diklaimnya sesuai dengan al Quran. Dia juga menghujat beberapa kaum Nashrani dan orientalis.
Kita juga akan menemukannya terpengaruh dengan tendensi as Syaikh Muhammad Abduh dalam mereformasi masyarakat dan menyerang bid’ah, asumsi-asumsi (wahm), dan taklid.
Banyak hal-hal yang diletakkan dalam tafsirnya berupa gambar-gambar tumbuh-tumbuhan, hewan, pemandangan alam, eksperimen ilmiah, table-tabel ilmiah spesialis dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang transparansi yang menjadikan fakta tersebut benar-benar riil di depannya, layaknya fakta-fakta empiris. Sesuatu yang justru menjadikan sebagian ulama kaum muslimin mengeluarkan tafsirnya dari kitab-kitab tafsir yang popular yang bisa diterima oleh kaum muslimin.
Thanthawi Jauhari berpandangan, bahwa studi atas al Quran pada era sekarang merupakan studi yang menjadi beban, hasil analitik yang dangkal, keilmuan-keilmuan yang bersifat artifisial (tekstual). Dia juga mencerca ulama kaum muslimin agar mereka meningkatkan intelektualitasnya, agar mereka menyeru pada hati dan pikirannya, juga agar mereka terlibat dalam pendidikan jasmani dan peningkatan daya nalar. Seandainya mereka tidak melakukannya, tentu umat islam ini tidak akan pernah hidup dalam satu abad pun. Sebaliknya, mereka akan dihancurkan oleh bangsa lain. Yakni seperti pernyataan dia: “bahwa studi al Quran pada era sekarang merupakan hasil analitik yang dangkal, keilmuan-keilmuan yang bersifat artifisial (tekstual). Sehingga orang hanya terpaku pada lafazh, banyak penghafal namun miskin pemikir. Akhirnya kreativitas menjadi stagnan dan ilmu-ilmu pun menjadi mati. Utamanya bagi kalangan non Arab, yang nota bene pada era-era mutakhir, mereka tidak mengerti akan bahasa Arab, yang nota bene pada era-era mutaakhir, mereka tidak mengerti akan bahasa Arab. Maka realitas pun menjadi jauh, penglihatan menjadi terpejam, dan hati menjadi mati, sehingga ilmu lari ke Barat dan pihak Timur kehilangan bagian dasar dan atasnya secara cepat. Mari kita jadikan hari ini sebagai tonggak yang memisahkan antara masa lalu dengan masa yang akan datang. Para ulama, pasca kami harus memikirkan apa yang kami ketengahkan dengan cerdas. Mereka juga seharusnya mengkaji al Quran dengan metode seperti yang telah kami jelaskan. Hendaknya pandangan-pandangan mereka menjadi terbuka terhadap makna-makna tersebut, dan mereka seharusnya terlibat dalam pendidikan jasmani dalam rangka meningkatkan daya nalarnya. Seandainya mereka tidak melakukannya, tentu umat Islam ini tidak akan pernah hidup satu abad pun. Justru sebaliknya mereka akan dihancurkan oleh umat lain. Wahai para ulama’, kalian harus membangunkan daya nalar mereka. Dalam konteks inilah, saya tegaskan: kita adalah bangsa Arab, seyogyanya kita mengkaji al Quran yang kelak bisa kita wariskan sebagai sebuah kajian (studi) yang relevan bagi generasi mendatang. mari kita raih tangan-tangan putra-putri kita untuk menuju tempat yang sempurna.
Kita juga akan menemukannya mengecam kaum muslimin, karena mereka selalu memperhatikan fiqih dan perbedaan-perbedaan fuqaha’, padahal ayat-ayat hukum tersebut, secara kuantitatif amat minim. Mereka malah tidak memperhatikan sains, padahal ayat-ayat yang menjelaskan masalah tersebut, secara kuantitaif, amat banyak. Misalnya, pernyataan dia: “Wahai orang cerdas, renungkanlah ilmu astronomi yang telah kami kemukakan kepada Anda. Sebab, umumnya orang pada galibnya hanya mengkaji ayat-ayat al Quran yang secara spesifik membahas hukum, sementara secara kuantitaif amat minim, serta perbedaan-perbedaan imam r.a. dalam beberapa masalah. Kalau kemudian mereka menyinggungnya, mereka mengatakan: ‘delik-delik serpihan masalah ini terdapat dalam kitab-kitab fiqih. Sehingga mereka telah memalingkan orang yang membaca tafsir pada kitab-kitab fiqih. Sungguh tepat, sebab tafsir tersebut untuk mengkaji masalah makro (global), bukan untuk menkaji delik-delik serpihannya. Adalah mengherankan, kalau perhatian tersebut benar-benar tidak diorientasikan kecuali pada ilmu fiqih. Ini merupakan kesalahan yang besar dan manipulasi yang bersifat destruktif, yang telah menimpa umat Islam. Lalu darimana masalah tersebut datang menghampiri islam?
Betapapun seluruh ilmu pengetahuan tersebut tetap dituntut. Semuanya ini status hukumnya adalah fardhu kifayah. Dimana ilmu pengetahuan tersebut bisa membuktikan tanda-tanda keindahan dan kebijakan Allah, yang tidak bisa dilepaskan oleh manusia. Bahkan melepaskannya, merupakan bahaya besar bagi umat Islam. Lalu mengapa seluruh ilmu pengetahuan tersebut secara makro tidak dikemukakan dalm tafsir. Sehingga pembacanya berpaling dari buku-buku tentang ilmu pengetahuan tersebut. Mengenai firman-Nya: ‘sesuangguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta penggantian siang dan malam merupakan bukti-bukti (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berfikir. (Q.S Ali Imran: 190) ini ada yang mengatakan: ‘Lihatlah, hal-hal yang ada di sini, dan mengenai delik-delik serpihan tersebut kembalikanlah pada ilmu astronomi yang statusnya merupakan fardhu kifayah dalam ilmu agama? Pemerintah-pemerintah Islam wajib mewujudkan adanya komunitas secara spesifik mencari ilmu tersebut. Termasuk keharusan untuk mendatangkan seluruh alat dan bahan-bahan untuk mereka, sehingga kemuliaan mereka sebelumnya akan terulang kembali. Sehingga, kita bisa melakukan kewajiban kita untuk mencari ilmu pengetahuan tersebut. Begitu pula, kita harus melakukannya untuk mencari ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan yang lain, bukan hanya ilmu fiqih. Al Quran telah mendorong untuk mencari ilmu astronomi dan alam, dengan dorongan yang amat intens dalam banyak ayat.
Thanthawi Jauhari telah memberikan tempat untuk visi dan paradigm ilmiahnya dalam menafsirkan al Quran dalam bentuk tanggapan atas sebuah penolakan, yang mengatakan bahwa keimanan kepada Allah tidak menuntut untuk melakukan semuanya. Thanthawi Jauhari mengatakan: “Orang yang membaca penjelasan ini akan mengatakan: “Bahwa kita tidak perlu terikat dengan semuanya ini. Bila kita mengimani Allh, maka keimanan kepada Allah tidak mengharuskannya untuk melakukan semua ini. Sebab, kami telah menganalisa dan menyakininya. Jawabnya, kami tegaskan: ‘mengapa para ulama Islam telah menyusun berpuluh-puluh kitab-kitab keislaman dalam bidang fiqih. Sedangkan ilmu fiqih tersebut di dalam al Quran hanya memiliki ayat yang secara kuantitaif amat minim. Tidak lebih dari seratus lima puluh ayat.”
Mengapa banyak karangan dalam bidang ilmu fiqih, sedangkan dalam bidang ilmu alam (eksak) amat minim, di mana bidang tersebut tidak pernah luput dari tiap surah. Bahkan, ia mencapai 750 ayat yang benar-benar tegas. Ditambah masih banyak ayat-ayat lain, yang maknanya mendekati bentuk yang tegas. Apakah boleh secara logic, atau syar’I, kaum muslimin mahir dalam bidang ilmu yang ayat-ayatnya, secara kuantitaif amat minim, sedangkan mereka bodoh akan keilmuan yang ayat-ayatnya, secara kuantitatif amat banyak.
Yang jelas harus ditegaskan, bahwa Syaikh Thanthawi Jauhari, dengan perbedaannya dengan kami dalam metodologi dan tendensinya, sesungguhnya menunjukkan niatan yang baik dalam mengambil pandangan tersebut. Dia sendiri telah menemukan jalan, yang seharusnya harus dilaluinya untuk membangkitkan umat Islam dengan kebangkitan baru dalam bidang kemajuan sainstis. Disamping, kebanyakan hal-hal yang kita temukan, dia selalu menyerukan kepada umat Islam dan para ulama nya yang menunjukkan adanya komitmen, kesadaran dan keikhlasannya. Kita juga melihatnya mengalami kegelisahan ketika tafsirnya dicekal di kerajaan Saudi Arabia. Akhirnya dia mengirim surat kepada Raja Abdul Aziz bin Sa’ud, Raja Najed dan Hijaz, yang berisi keprihatinan tentang pencekalan, larangan dan pembredelannya. Seperti pernyataan dia berikut ini: “saya serukan, wahai para penguasa, atas dasar Kitab atau Sunnah apa tafsir al Quran saya ini bisa masuk ke seluruh wilayah negeri Islam, Barat maupun Timur, yang mayoritas berada dalam genggaman kaum imperalis, yang notabene berbeda agama dengan kita, namun justru pintu itu ditutup di tempat lain, yaitu al Haramain yang nota bene merupakan dua temapat mulia, serta negeri Hijaz dan Najed yang lainnya. Kalian menghalang-halangi pendudukan kerajaan Saudi, termasuk para jama’ah, padahal di negeri-negeri mereka, mereka boleh membacanya? Bukankah penduduk Najed dan Hijaz lebih dekat kekerabatan dan nasabnya dengan kami? Apakah larangan semacam ini, jika tidak disertai argumentasi apapun, berarti memotong kekerabatan?.
Yang pasti, harus ditegaskan, bahwa mereka yang melarang tafsir tersebut mempertimbangkan secara seksama mengenai tendensi penulisnya, bahkan kegandrungannya yang begitu rupa untuk menundukkan ayat-ayat al Quran dan memaksanya agar memikul banyak masalah ilmu alam. Ini memang merupakan tindakan zhalim yang nyata, serta memalingkan al Quran dari tujuan luhurnya. Tidak lain adalah memberikan petunjuk kepada manusia, tentang kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.
Seandainya larangan ini menunjukkan satu hal, semata hanya menunjukkan adanya sikap wara’ (menjauhi masalah-masalah yang syubhat), serta menjaga al Quran dari penyimpangan seseorang dalam menafsirkannya.
Rabu, 30 Oktober 2013
Ruang TU SMA PGII 2 Bandung
Lihat, lampiran al jawahir fi tafsiril quranil karimi, Juz 1 hal. 2
Lihat, Al Jawahir Fi Tafsiril Quranil Karim (Pendahuluan), juz 1 hal. 2
lihat, Al Jawahir Fi Tafsiril Quranil Karim (Pendahuluan), juz 1 hal. 3
Lihat, Al Jawahir Fi Tafsiril Quranil Karim, juz. 2 hal. 122
Lihat ibid, juz. 1 hal. 7, juz 2 hal. 90-97
Lihat, ibid, juz 1 hal. 241, 243, 248, 251, 252, juz. 2 hal. 22, 31, 24
Lihat, ibid, juz 2 hal. 203 dan seterusnya Lihat, ibid, juz 1 hal. 207
Lihat, ibid, juz 25 hal. 55 dan seterusnya Lihat, ibid, juz 25 hal. 245
Dr. Abdul Majid Abdussalam al Muhtasib
Diterjemahkan oleh Hilman Fitri dari kitab “Ittijahaatut Tafsiir Fii ‘Ashri Rahiin” hal. 272- 279
As Syeikh Thanthawi Jauhari telah menyusun tafsir al Quran yang dia beri nama Al Jawahir Fi Tafsiiril Quranil Karim. Tafsir ini terdiri dari 25 juz. Tafsir ini mempunyai lampiran yang dia tambahkan. Dia memberikan alasan: “Amma Ba’d. sesungguhnya kami telah berketetapan hati dalam beberapa pembahasan kitab al jawahir fi tafsiril qurani, bahwa kami akan menyertainya dengan lampiran yang akan menjelaskan beberapa hal yang lupa kami bahas dalam tafsir tersebut….dan insyaallah kami akan mengemukakan hal hal yang kami pandang penting untuk memperluas wawasan ummat islam. Kami memulainya dengan surah al fatihah dan pertama-tama adalah basmalah. Demikian, hingga surah demi surah…. . dalam pendahuluan tafsirnya, dia membahas tentang motivasi yang memotivasinya untuk menyusun tafsir ini. Dia mengatakan, “Amma Ba’d. saya sesungguhnya diciptakan untuk mengandrungi keajaiban-keajaiban alam, mengagumi keindahan-keindahan natural, rindu akan keindahan yang ada di langit, kesempurnaan dan keelokan yang ada di muka bumi, ayat-ayat penjelas dan keajaiban-keajaiban yang riil…baru setelah saya memikirkan ummat Islam dan pendidikan-pendidikan keagamaannya, saya bisa mengupas banyak pemikir dan beberapa ulama’ yang mulia tentang makna-makna tersebut secara kontradiktif. Juga tentang pandangan terhadap makna-makna tersebut secara lalai dan main-main. Maka, amat minim di antara mereka orang yang berfikir tentang alam dan keajaiban-keajaiban yang terdapat di dalamnya. Sehingga untuk maksud tersebut, saya mulai menyusun sebuah buku. Semisal, Nidham al’Aalam wal Umam (tata dunia dan umat manusia). Jawahirul uluumi (mutiara-mutiara ilmu), Nahdhatul Ummat wa Hayatuha (kebangkitan dan kehidupan umat), dan risalah-risalah serta buku-buku yang lain. Dalam risalah dan buku tersebut, saya selalu mengintegrasikan ayat-ayat al Quran dengan keajaiban-keajaban alam. Dan saya jadikan ayat-ayat wahyu tersebut relevan dengan keajaiban-keajaiban ciptaan dan hukum makhluk-Nya.
Penulis ini juga membahas tentang masa-masa awal penyusunan tafsir ini, serta tentang tujuan dan orientasinya. Dia menjelaskan, bahwa tafsir ini merupakan tiupan rabbani, isyarat suci dan informasi-informasi simbolik. Yang diperintahkan melalui ilham, semisal pernyataan dia: “permulaan tafsir ini ditulis ketika saya masih mengajar di sekolah darul ulum. Saya mengemukakan beberapa ayat kepada murid-murid. Sebagian yang lain pernah dipublikasikan di majalah Al Malaaji al Abbasyiah. Inilah yang kini saya perhatikan dalam bidang tafsir, dengan tetap memohon pertolongan kepada Dzat Yang Maha Lembut dan Mengetahui, seraya berharap dengan segala hormat dalam hati, semoga Allah melapangkan dada, dan karenanya Dia memberikan hidayah kepada umat ini. Dan lenyaplah pandangan kejumudan dari pandangan kaum muslimin secara umum, sehingga mereka mampu memahami ilmu-ilmu alam….agar buku ini di antara umat ini benar-benar ada yang bangkit, yaitu mereka yang mampu mengungguli Eropa di bidang agraris, medis, pertambangan, matematika, arsitektur, astronomi serta sains-sains dan industry-industri lain.
Bagaimana tidak, sementara di dalam Al Quran sendiri terdapat ayat-ayat sains lebih dari tujuh ratus lima puluh ayat. Sedangkan mengenai ilmu fiqih, ayat-ayatnya yang jelas tidak lebih dari seratus lima puluh ayat. Dalam tafsir ini, saya telah meletakkan hukum-hukum, akhlak dan keajaiban-keajaiban alam yang dibutuhkan oleh muslim. Saya juga telah mengetengahkan keajaiban-keajaiban sainda dan makhluk di dalamnya. Sesuatu yang bisa menumbuhkan kerinduan kaum muslimin dan muslimat untuk mengambil pendirian tentang esensi makna-makna ayat yang menjelaskan tentang hewan, tumbuh-tumbuhan, bumi dan langit. Juga agar anda benar-benar tahu, wahai orang cerdas, bahwa tafsir ini merupakan tiupan rabbani, isyarat suci dan informasi- informasi simbolik, yang diperintahkan kepada saya dengan melalui ilham ini. Saya yakin, bahwa tafsir tersebut mempunyai kedudukan yang akan dikenal oleh makhluk, dan akan merupakan sebab kemajuan yang paling urgen bagi orang-orang tertindas di muka bumi.
Thanthawi Jauhari menyebut tafsirnya dengan nama Al Jawahir Fi Tafsiril Quranil Karim, sebab dia telah menjadikan mutiara sebagai pengganti baba tau fasal (pembahasan)-nya. Dari mutiara tersebut kemudian terurai intan pertama, kedua, dan seterusnya.
Metodologinya dalam menafsirkan al Quran adalah dengan memulai menafsirkan lafazh ayat-ayat yang dia kemukakan, lalu dibacanya dengan syarah, penjelasan dan penelitian. Dengan kata lain, dia merancang secara luas disiplin keilmuan modern yang beragam.
Kita tahu, Thanthawi Jauhari banyak mengutip penjelasan dari Taurat dan injil, utamanya injil Barnabas yang diklaimnya sesuai dengan al Quran. Dia juga menghujat beberapa kaum Nashrani dan orientalis.
Kita juga akan menemukannya terpengaruh dengan tendensi as Syaikh Muhammad Abduh dalam mereformasi masyarakat dan menyerang bid’ah, asumsi-asumsi (wahm), dan taklid.
Banyak hal-hal yang diletakkan dalam tafsirnya berupa gambar-gambar tumbuh-tumbuhan, hewan, pemandangan alam, eksperimen ilmiah, table-tabel ilmiah spesialis dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang transparansi yang menjadikan fakta tersebut benar-benar riil di depannya, layaknya fakta-fakta empiris. Sesuatu yang justru menjadikan sebagian ulama kaum muslimin mengeluarkan tafsirnya dari kitab-kitab tafsir yang popular yang bisa diterima oleh kaum muslimin.
Thanthawi Jauhari berpandangan, bahwa studi atas al Quran pada era sekarang merupakan studi yang menjadi beban, hasil analitik yang dangkal, keilmuan-keilmuan yang bersifat artifisial (tekstual). Dia juga mencerca ulama kaum muslimin agar mereka meningkatkan intelektualitasnya, agar mereka menyeru pada hati dan pikirannya, juga agar mereka terlibat dalam pendidikan jasmani dan peningkatan daya nalar. Seandainya mereka tidak melakukannya, tentu umat islam ini tidak akan pernah hidup dalam satu abad pun. Sebaliknya, mereka akan dihancurkan oleh bangsa lain. Yakni seperti pernyataan dia: “bahwa studi al Quran pada era sekarang merupakan hasil analitik yang dangkal, keilmuan-keilmuan yang bersifat artifisial (tekstual). Sehingga orang hanya terpaku pada lafazh, banyak penghafal namun miskin pemikir. Akhirnya kreativitas menjadi stagnan dan ilmu-ilmu pun menjadi mati. Utamanya bagi kalangan non Arab, yang nota bene pada era-era mutakhir, mereka tidak mengerti akan bahasa Arab, yang nota bene pada era-era mutaakhir, mereka tidak mengerti akan bahasa Arab. Maka realitas pun menjadi jauh, penglihatan menjadi terpejam, dan hati menjadi mati, sehingga ilmu lari ke Barat dan pihak Timur kehilangan bagian dasar dan atasnya secara cepat. Mari kita jadikan hari ini sebagai tonggak yang memisahkan antara masa lalu dengan masa yang akan datang. Para ulama, pasca kami harus memikirkan apa yang kami ketengahkan dengan cerdas. Mereka juga seharusnya mengkaji al Quran dengan metode seperti yang telah kami jelaskan. Hendaknya pandangan-pandangan mereka menjadi terbuka terhadap makna-makna tersebut, dan mereka seharusnya terlibat dalam pendidikan jasmani dalam rangka meningkatkan daya nalarnya. Seandainya mereka tidak melakukannya, tentu umat Islam ini tidak akan pernah hidup satu abad pun. Justru sebaliknya mereka akan dihancurkan oleh umat lain. Wahai para ulama’, kalian harus membangunkan daya nalar mereka. Dalam konteks inilah, saya tegaskan: kita adalah bangsa Arab, seyogyanya kita mengkaji al Quran yang kelak bisa kita wariskan sebagai sebuah kajian (studi) yang relevan bagi generasi mendatang. mari kita raih tangan-tangan putra-putri kita untuk menuju tempat yang sempurna.
Kita juga akan menemukannya mengecam kaum muslimin, karena mereka selalu memperhatikan fiqih dan perbedaan-perbedaan fuqaha’, padahal ayat-ayat hukum tersebut, secara kuantitatif amat minim. Mereka malah tidak memperhatikan sains, padahal ayat-ayat yang menjelaskan masalah tersebut, secara kuantitaif, amat banyak. Misalnya, pernyataan dia: “Wahai orang cerdas, renungkanlah ilmu astronomi yang telah kami kemukakan kepada Anda. Sebab, umumnya orang pada galibnya hanya mengkaji ayat-ayat al Quran yang secara spesifik membahas hukum, sementara secara kuantitaif amat minim, serta perbedaan-perbedaan imam r.a. dalam beberapa masalah. Kalau kemudian mereka menyinggungnya, mereka mengatakan: ‘delik-delik serpihan masalah ini terdapat dalam kitab-kitab fiqih. Sehingga mereka telah memalingkan orang yang membaca tafsir pada kitab-kitab fiqih. Sungguh tepat, sebab tafsir tersebut untuk mengkaji masalah makro (global), bukan untuk menkaji delik-delik serpihannya. Adalah mengherankan, kalau perhatian tersebut benar-benar tidak diorientasikan kecuali pada ilmu fiqih. Ini merupakan kesalahan yang besar dan manipulasi yang bersifat destruktif, yang telah menimpa umat Islam. Lalu darimana masalah tersebut datang menghampiri islam?
Betapapun seluruh ilmu pengetahuan tersebut tetap dituntut. Semuanya ini status hukumnya adalah fardhu kifayah. Dimana ilmu pengetahuan tersebut bisa membuktikan tanda-tanda keindahan dan kebijakan Allah, yang tidak bisa dilepaskan oleh manusia. Bahkan melepaskannya, merupakan bahaya besar bagi umat Islam. Lalu mengapa seluruh ilmu pengetahuan tersebut secara makro tidak dikemukakan dalm tafsir. Sehingga pembacanya berpaling dari buku-buku tentang ilmu pengetahuan tersebut. Mengenai firman-Nya: ‘sesuangguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta penggantian siang dan malam merupakan bukti-bukti (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berfikir. (Q.S Ali Imran: 190) ini ada yang mengatakan: ‘Lihatlah, hal-hal yang ada di sini, dan mengenai delik-delik serpihan tersebut kembalikanlah pada ilmu astronomi yang statusnya merupakan fardhu kifayah dalam ilmu agama? Pemerintah-pemerintah Islam wajib mewujudkan adanya komunitas secara spesifik mencari ilmu tersebut. Termasuk keharusan untuk mendatangkan seluruh alat dan bahan-bahan untuk mereka, sehingga kemuliaan mereka sebelumnya akan terulang kembali. Sehingga, kita bisa melakukan kewajiban kita untuk mencari ilmu pengetahuan tersebut. Begitu pula, kita harus melakukannya untuk mencari ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan yang lain, bukan hanya ilmu fiqih. Al Quran telah mendorong untuk mencari ilmu astronomi dan alam, dengan dorongan yang amat intens dalam banyak ayat.
Thanthawi Jauhari telah memberikan tempat untuk visi dan paradigm ilmiahnya dalam menafsirkan al Quran dalam bentuk tanggapan atas sebuah penolakan, yang mengatakan bahwa keimanan kepada Allah tidak menuntut untuk melakukan semuanya. Thanthawi Jauhari mengatakan: “Orang yang membaca penjelasan ini akan mengatakan: “Bahwa kita tidak perlu terikat dengan semuanya ini. Bila kita mengimani Allh, maka keimanan kepada Allah tidak mengharuskannya untuk melakukan semua ini. Sebab, kami telah menganalisa dan menyakininya. Jawabnya, kami tegaskan: ‘mengapa para ulama Islam telah menyusun berpuluh-puluh kitab-kitab keislaman dalam bidang fiqih. Sedangkan ilmu fiqih tersebut di dalam al Quran hanya memiliki ayat yang secara kuantitaif amat minim. Tidak lebih dari seratus lima puluh ayat.”
Mengapa banyak karangan dalam bidang ilmu fiqih, sedangkan dalam bidang ilmu alam (eksak) amat minim, di mana bidang tersebut tidak pernah luput dari tiap surah. Bahkan, ia mencapai 750 ayat yang benar-benar tegas. Ditambah masih banyak ayat-ayat lain, yang maknanya mendekati bentuk yang tegas. Apakah boleh secara logic, atau syar’I, kaum muslimin mahir dalam bidang ilmu yang ayat-ayatnya, secara kuantitaif amat minim, sedangkan mereka bodoh akan keilmuan yang ayat-ayatnya, secara kuantitatif amat banyak.
Yang jelas harus ditegaskan, bahwa Syaikh Thanthawi Jauhari, dengan perbedaannya dengan kami dalam metodologi dan tendensinya, sesungguhnya menunjukkan niatan yang baik dalam mengambil pandangan tersebut. Dia sendiri telah menemukan jalan, yang seharusnya harus dilaluinya untuk membangkitkan umat Islam dengan kebangkitan baru dalam bidang kemajuan sainstis. Disamping, kebanyakan hal-hal yang kita temukan, dia selalu menyerukan kepada umat Islam dan para ulama nya yang menunjukkan adanya komitmen, kesadaran dan keikhlasannya. Kita juga melihatnya mengalami kegelisahan ketika tafsirnya dicekal di kerajaan Saudi Arabia. Akhirnya dia mengirim surat kepada Raja Abdul Aziz bin Sa’ud, Raja Najed dan Hijaz, yang berisi keprihatinan tentang pencekalan, larangan dan pembredelannya. Seperti pernyataan dia berikut ini: “saya serukan, wahai para penguasa, atas dasar Kitab atau Sunnah apa tafsir al Quran saya ini bisa masuk ke seluruh wilayah negeri Islam, Barat maupun Timur, yang mayoritas berada dalam genggaman kaum imperalis, yang notabene berbeda agama dengan kita, namun justru pintu itu ditutup di tempat lain, yaitu al Haramain yang nota bene merupakan dua temapat mulia, serta negeri Hijaz dan Najed yang lainnya. Kalian menghalang-halangi pendudukan kerajaan Saudi, termasuk para jama’ah, padahal di negeri-negeri mereka, mereka boleh membacanya? Bukankah penduduk Najed dan Hijaz lebih dekat kekerabatan dan nasabnya dengan kami? Apakah larangan semacam ini, jika tidak disertai argumentasi apapun, berarti memotong kekerabatan?.
Yang pasti, harus ditegaskan, bahwa mereka yang melarang tafsir tersebut mempertimbangkan secara seksama mengenai tendensi penulisnya, bahkan kegandrungannya yang begitu rupa untuk menundukkan ayat-ayat al Quran dan memaksanya agar memikul banyak masalah ilmu alam. Ini memang merupakan tindakan zhalim yang nyata, serta memalingkan al Quran dari tujuan luhurnya. Tidak lain adalah memberikan petunjuk kepada manusia, tentang kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.
Seandainya larangan ini menunjukkan satu hal, semata hanya menunjukkan adanya sikap wara’ (menjauhi masalah-masalah yang syubhat), serta menjaga al Quran dari penyimpangan seseorang dalam menafsirkannya.
Rabu, 30 Oktober 2013
Ruang TU SMA PGII 2 Bandung
Lihat, lampiran al jawahir fi tafsiril quranil karimi, Juz 1 hal. 2
Lihat, Al Jawahir Fi Tafsiril Quranil Karim (Pendahuluan), juz 1 hal. 2
lihat, Al Jawahir Fi Tafsiril Quranil Karim (Pendahuluan), juz 1 hal. 3
Lihat, Al Jawahir Fi Tafsiril Quranil Karim, juz. 2 hal. 122
Lihat ibid, juz. 1 hal. 7, juz 2 hal. 90-97
Lihat, ibid, juz 1 hal. 241, 243, 248, 251, 252, juz. 2 hal. 22, 31, 24
Lihat, ibid, juz 2 hal. 203 dan seterusnya Lihat, ibid, juz 1 hal. 207
Lihat, ibid, juz 25 hal. 55 dan seterusnya Lihat, ibid, juz 25 hal. 245
Comments
Post a Comment