Perdebatan dan Kontroversi Asal Harakat Lam ‘Amr

Hilman FD

Lam Amr:
Suatu objek kajian yang mengkaji suatu perintah yang disertai huruf-huruf tambahan.
Harakat Lam Amr:
Harakat lam ini adalah kasrah. Ibn Malik berpendapat bahwa secara bahasa lam ini berharakat fathah. Hal ini pun diungkapkan oleh al Faraa dari Bani Salim. Lam ini diperbolehkan disukunkan ketika ia terletak setelah huruf faa dan wawu. Disukunkannya ini lebih banyak penggunaannya daripada diberi harakat. Seperti فليبتجيبوا لي وليؤمنوا بي dalam Q.S. al Baqarah ayat 186. Diperbolehkan juga sukun setelah huruf tsumma. Hal itu bukan dikarenakan lemah atau dikarenakan darurat berbeda dengan yang berpendapat demikian. Hal ini sebagaimana bacaannya ahli nahwu Kufah, Qolun, al Bazzi yakni pada ثم اليقطع pada Q.S. al Hijr ayat 15.
Lam Amr apabila di awal ia dikashrahkan. Namun jikalau didahului huruf athaf yang tiga (wawu, faa, tsumma) boleh dikashrahkan atau disukunkan, seperti  وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ الْإِنْجِيلِ pada Q.S. al Maidah ayat 47.
Sehingga harakat asal dari lam amr itu ialah kashrah sedangkan menurut Bani Salim asal harakatnya ialah fathah. Oleh sebab itu harakat lam amr ini ialah kasrah namun alangkah baiknya disukunkan ketika terletak setelahwawu, faa dan tsumma.
Sebagian ahli Nahwu mengi’lal (menerangkan sebab) kasrahnya lam amr untuk membedakannya dengan lam taukid yang memasuki fi’il mudhari’. Sebagian yang lain mengi’lal kasrahnya itu karena diikutkan kepadalam jar. Hal ini dikarenakan fungsinya (amal-nya) itu berlawanan dengan lam jar dan terdapat sebuah kaidah bahwa “Sesuatu yang berlawanan disamakan dengan yang berlawanan itu” atau sebagaimana “Diikutkannya sesuatu yang sebanding dengan yang sebanding dengannya pula.” Adapun Ibn Ya’iis berpendapat  bahwa kasrahnya itu diikutkan kepada huruf jar.
Mengenai hal itu Ibn Jinni menerangkan “Ketahuilah bahwa laa jazm juga merupakan huruf tunggal yang terkadang bermakna seperti wawu dan faa athaf, hamzah istifham atau lam ibtida’. Terkadang juga difathahkan kecuali bahwa illat kasrahnya itu dalam fiil seperti huruf jar pada isim. Tidakkah kau lihat bahwa setiap huruf tersebut memiliki maknanya sendiri. Sehingga tidak keluar kepada ketentuan atau makna huruf lain. Pada satu segi lam jar diharuskan kasrah seperti لزيد مال و لجعفر untuk membedakan antara keduanya dengan lam ibtida’. Demikian juga diharuskan kasrah lam karena masuknya lam amr ke fiil sebagaimana masuknya lam jar kepada isim.
Kalaulah ada yang berpendapat bahwa dikasrahkannya lam amr untuk membedakannya dengan lam ibtida’ yang masuk ke dalam fiil mudhara’ah karena isim fi’il niscaya akan menjadi argumentasi yang kuat.
Sedangkan asy Sayuti menerangkan sebab dikashrahkannya itu karena daruratnya ibtida’.
Meskipun harakat kasrah lam amr itu merupakan asal harakat lam itu sendiri yang menasabkan fiil mudhari setelahnya hanya saja perbedaan keduanya yakni bahwa lam amr itu terletak di awal sedangkan lam yang  yang menasabkan fiil mudhari setelahnya itu harus berkaitan dengan fiil atau makna fi’il. Di mana al Anbari berkata “ Bahwa lam Jar yang menasabkan fiil mudhari yang berada setelahnya itu menggunakan an yang disembunyikan (mudhmarah) bukanlah lam amr, alasannya karena lam jar itu tidak terletak di awal akan tetapi bersambung dengan fi’il atau yang bermakna fi’il. Seperti جئت لتقوم dll. Sedangkan lam amr diperbolehkan berada di awal tanpa disambungkan dengan sesuatupun sebelumnya. Tidakkah kau lihat anda berkata ليقم زيد و ليذهب عمرو. Lam tersebut tidak berkaitan dengan fiil atau makna fiil sehingga jelaslah perbedaan keduanyawallahu a’lam.
Sebagian ahli nahwu menerangkan sebab fathahnya lam amr dalam dialek Banu Salim karena fathahnya kata setelahnya. Ibn Jinni berkata “al Farraa berkeyakinan bahwa sebagian orang arab yang memfathahkan lam ini dikarenakan fathahnya huruf ya setelahnya. Sehingga dengan perkataan ini membawa pengertian bahwa jikalau dikasrahkannya huruf mudhara’ah atau didhamahkannya tidak akan mengakibatkan lam ini menjadi fathah seperti ليكرم زيد عمرا و لتعلم ذلك.
Ibn Jinni pun berpendapat bahwa asal dari harakat lam amr ini ialah fathah lalu keluarlah ia dari harakat asalnya ini.
Asy Sayuti menerangkan sebab difathahkannya lam amr ini pada dialek Banu Salim untuk meringankan dalam pengucapannya.
Sebagian ahli nahwu menerangkan sebab disukunkannya lam amr setelah huruf wawu, dan faa dikarenakan seringnya ia digunakan seperti itu, di mana Sibawaih berkata “Mereka mensukunkan lam amr yang terletak setelah huruf wawu dan faa dikarenakan seringnya mereka mengucapkannya. Sehingga menempati tempatnya huruf haa pada هو-هي karena mereka pun tidak melafadkannya kecuali dengan huruf sebelumnya seperti فلينظر وليضرب.  Lam amr itu seperti ‘ain kalimat sedangkan huruf mudhara’ah kalam-nya. Di mana Ridha Diin al Istiraabadzi “Perkataan mereka ولبضرب فلتضرب yakni wawu dan faa athaf-nya disertakan bersama lam amr dan huruf mudhara’ah- hal itu dikarenakan penggunaannya yang sering. Dengan faa dan wawu itu melengkapi kata tersebut sehingga dua huruf tersebut menjadi bagian kata setelahnya, lam amr jadi ain kalimat dan huruf mudhara’ah kalam-nya, lalu disukunkan lam amr-nya dan begitulah ia kemudian dibaca di dalam Alquran.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa disukunkannya lam setelah wawu dan faa li takhfif (meringankan/ melancarkan) dikarenakan wawu dan faa merupakn huruf yang bersendirian (munfaridan) lagi lemah sehingga tidak memungkinkannya berada tanpa adanya lam. Ibn Jinni berkata “Kapanpun wawu dan faa athaf bersambung dengan laam yang terletak setelah dua huruf itu maka diperbolehkan disukunkan lam itu li takhfif (untuk mempermudah). Seperti engkau berkata “وليقم زيد” , “فليقعد جعفر” hal itu diperbolehkan. Dikarenakan wawu dan faa merupakn huruf yang bersendirian (munfaridan) lagi lemah sehingga tidak memungkinkannya berada tanpa adanya lam. Sehingga tersambunglah lam dengan huruf sebelumnya karena butuhnya huruf itu pada lam tersebut.
Kha pada fi’il fakhadza dan lam pada fi’il ‘alima pada kalimat “فخذ و علم الله ذاك” anda diperbolehkan berkata “فليقم و ليقعد” .
Ibnu Ya’is berkata “ Terkadang lam ini disukunkan di takhfif karena didahului wawu dan faa athaf. Hal itu dikarenakan faa dan wawu itu tidak bisa bersendirian dari kata setelahnya maupun terletak tanpa kata setelahnya sehingga ia seperti bagian yang termasuk dalamnya maka lam seperti kha pada kata fakhadza dan  baa pada kata kabida sehingga dikatakan “fakhdzun dan kabdun” dengan demikian dikatakan وليقم زيد.
Sebagian ahli nahwu menganggap sukunnya lam setelah wawu dan faa itu karena asala dari lam itu sukun, lafalnya pun susah untuk diamalkan. Sebagaimana al Muraadi berpendapat “Kebanyakan berpendapat bahwa lam itu masuk pada bab al hamlu ‘ala ‘ain fi’il, penulis menjelaskan bahwa itu dilakukan terpisah dari aturan ittishol, yang sepertinya itu hamper tidak ditemukan melainkan dalam keadaan darurat dan ketika itu terjadi ia kembali ke asalnya. Asal lam ini sukun dikarenakan dua sebab yakni pertama,Musytarak, sehingga ia diutamakan daripada diberi harakat. Kedua,Mukhtashun, lafalnya itu sulit untuk beramal sebagaimana beramalnya ia dengan ba huruf jar.
Adapun sukunnya lam amr setelahtsumma , kebanyakan ahli nahwu mengikutkannya ke dalam aturan wawu dan faa.
Namun sebagian ulama yang lain mengingkari disukunkannya lam setelah tsumma, mereka menerangkan bahwa sebabnya karena tsumma  terdiri dari tiga huruf yang memungkinkannya untuk berdiri sendiri, dan ketika dimungkinkannya berdiri sendiri maka hendaklah ia ibtida’ dengan sukun sedangkan hal ini tidak diperbolehkan. Sebagimana yang dikatakan ibn Jinni bahwa “Adapun bacaannya al Kisaa’I dan yang lainnya “ثم ليقضوا تفثهم” pada Q.S. al Hajj 29 dan ثم اليقطع pada Q.S. al Hajj 15 hal itu ditolak oleh kalangan kami, hal itu karena tsumma  terdiri dari tiga huruf yang memungkinkannya untuk berdiri sendiri, dan ketika dimungkinkannya berdiri sendiri maka hendaklah ia ibtida’ dengan sukun sedangkan hal ini tidak diperbolehkan berdasarkan ijma’ dengan demikian para sahabat (ahli nahwu) kami menolak dan mengingkari hal itu serta tidak memperbolehkan hal itu terjadi.”
Ibn Ya’is berkata bahwa “bacaannya al Kisaa’I  “ثم ليقضوا تفثهم” pada Q.S. al Hajj 29 dan ثم اليقطع pada Q.S. al Hajj 15 itu merupakan qiraat yang lemah menurut kalangan kami karenatsumma  terdiri dari tiga huruf yang memungkinkannya untuk berdiri sendiri sehingga kalaulah disukunkannya huruf setelahnya yakni lam niscaya ketika ia terletak di awal maka sukunlah ia sedangkan hal itu tidak diperbolehkan.
Selanjutnya kami berpendapat bahwa harakat lam ini adalah kasrah, namun jika dimasuki wawu dan faa atau tsumma maka diperbolehkan dibaca kasrah atau sukun meskipun disukunkan ketika ada wawu, faa, dan dikasrahkan dengan laa lebih tepat. Mengenai hal ini Ibn Amr membaca ثم لِيقطع pada Q.S. al Hajj 15 dan فلينظر pada Q.S. al Kahfi 19 dan Q.S. ath Thariq ayat 5.

Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Badi' علم البديع

المشاكلة في البلاغة

Shalawat Istri Nu Bakti