KHILAFAH DAN KERAJAAN DALAM PANDANGAN IBNU KHALDUN
Hilman Fitri S.Pd
Pendidik di SDIT Uswatun Hasanah Kota Banjar
Di dalam kitab “Muqaddimah” karya sang
sejahrawan sekaligus bapak sosial dari dunia Islam dan Barat, dialah Ibnu
Khaldun, dalam kitab tersebut bahwasannya Ibn Kholdun telah memberikan
penjelasannya dalam bab yang khusus (128). Diantara pernyataannya ialah “Bahwa
berpindahnya Khilafah kepada kerajaan diakibatkan daripada keadaan masyarakat yang berkembang pada masa itu, dengan
kata lain tujuan akhir dari adanya kekuasaan ashabiyyah yang mengendalikan
masyarakat pada waktu itu sehingga timbullah kememimpinan dalam bentuk kerajaan
bukan lagi kekhilafahan.
Selanjutnya, setelah Ibnu Kholdun menerangkan
bahwa sikap ashbiyyah (fanatik golongan) itu tidak lain hanyalah menuju kepada
kebathilan dan kerajaan yang menuju kepada kebenaran. Beliau menetapkan,
bahwasannya kerajaan yang menjalankan kepemimpinannya dengan cara bathil,
itulah yang dicela syara’. Sedangkan kerajaan yang menjalankan kepemimpinannya
dengan haq serta untuk menjalankan kebenaran ilahi, maka tidaklah ia tercela
dalam pandangan syara’.
Kita dapati bahwa ada keterangan bahwasannya
syara’ mencela kerajaan dengan penguasanya orang yang mementingkan keadaan diri
sendiri dan menyimpang dari jalan Allah. Sehingga ketika suatu kerajaan yang
menuntun serta membimbing rakyatnya kepada pengamalana agama yang benar serta
mengendalikan rakyatnya dari hawa nafsu yang membinasakan maka syara’ tidaklah
mencelanya. Hal ini dikarenakan mengajak ummat kepada penyembahan kepada Allah
saja, memerangi musuh Allah, tentulah tidak tercela.
Ibnu Khaldun, sesudah menerangkan bagaimana ‘ashabiyyah
membuat perkembangan khilafah ke arah
kerajaan, yakni kepemimpinan negara dipimpin oleh Mu’awiyyah, kemudian dipimpin
oleh Marwan dan anaknya, Ia berkata: “Apabila seseorang yang telah memegang
tampuk kerajaan dan digunakannya untuk menegakkan kebenaran, maka tidaklah
perlu diganggu gugat. Karena walaupun mereka bersifat raja, namun mereka
mencari kebenaran dengan segala upaya, terkecuali dalam keadaan yang memaksa
mereka berbuat lain, seperti takut terjadi perpecahan dalam kalangan
masyarakat.”

Comments
Post a Comment