AL QUR’AN SEBAGAI KONSTITUSI DAKWAH
14 Oktober 2013
Diterjemahkan oleh Hilman Fitri dari kitab “كيف نتعامل مع القران الكريم” by Yusuf Qardhawi.
Al Quran mempunyai tugas lain dalam kehidupan islami, di samping fungsinya sebagai metode aktivitas bagi kehidupan pribadi muslim, undang-undang hukum dan tasyri’ bagi masyarakat muslim atau bagi negara muslim, yaitu sebagai perundang-undangan dakwah Islamiyyah.
Universalitas al Quran
Al Quran merupakan kitab yang universal, diarahkan kepada semua manusia, sebagaimana firman Allah,
“….agar dia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam.” (Q.S al Furqon: 1)
Meskipun al Quran itu diturunkan dalam bahasa Arab. Barangsiapa yang membacanya dan merenunginya, akan tersirat adanya keuniversalan ini dalam ayat antara awal ayat setelah basmalah, alhamdulillahirabbil’aalamin segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam sampai akhir surat,
“Katakanlah, aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia.” (An-Naas: 1-3).
Inilah al Quran yang berbicara tentang Allah sebagai Tuhan semesta alam atau Tuhan semua manusia yang bukan hanya sebagai Tuhan bangsa Arab dan bukan Tuhan bangsa Israel seperti yang dikatakan dalam Taurat.
Seruan al Quran yang datang dari Allah tidak mengandung tabiat rasial, wilayah, dan kasta. Akan tetapi, seruan tersebut ditujukan kepada hal-hal berikut.
Pertama, kepada semua manusia, seperti firman Allah,
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu,……..” (Q.S. al Baqarah: 21)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…………...” (Q.S an Nisa: 1)
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu…..” (Q.S al Hujurat: 13)
Seruan semacam itu disebutkan dua puluh kali dalam al Quran. Yang semisal dengan redaksi yaa ayyuhal insaan disebutkan dua kali dalam al Quran, yakni pada ayat-ayat berikut,
“Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.” (Q.S al Infithar: 6)
“Hai manusia, Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (Q.S al Insyiqaq: 6)
Semisalnya dengan menggunakan redaksi bani adam, telah disebut sebanyak lima kali dalam al Quran, salah satunya seperti yang terlihat pada ayat berikut,
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid[534], Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S al A’raf: 31)
Redaksi semacamnya ditujukan kepada segenap hamba yang di idhafah-kan kepada Allah dengan ya mutakallim, yaitu redaksi pemuliaan dan penghormatan, seperti ayat berikut,
“Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, Sesungguhnya bumi-Ku luas, Maka sembahlah aku saja.” (Q.S al Ankabut: 56)
Atau, redaksi untuk melunakkan dan pendekatan, seperti ayat berikut.
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya…….” (Q.S az Zumar: 53)
Redaksi seperti ini telah berulang sampai lima kali dalam al Quran.
Kedua, kadang pula seruan tersebut ditujukan kepada pemeluk agama samawi yang lalu, baik Yahudi maupun Nasrani. Dan, al Quran telah memilih redaksi yang lunak dan familiar, yaitu yaa ahlal kitab, seperti pada ayat berikut,
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu,……” (Q.S ali Imraan: 64)
“Hai ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan Menyembunyikan kebenaran, Padahal kamu mengetahuinya?” (Q.S ali Imran: 71)
Redaksi semacam ini berulang sebanyak dua belas kali.
Ketiga, kadang kala ditujukan kepada kaum beriman. Redaksi ini adalah yaa ayyuhaladziina amanu yang tidak dijumpai selain dalam ayat-ayat Madaniyyah, setelah kaum muslimin menjadi sebuah komunitas dan prospektif. Redaksi seperti ini dalam al Quran terulang lebih dari sembilan puluh kali.
Seruan-seruan ini adalah hal yang baru di dunia. Ia telah mengejutkan pendengaran penduduk Jazirah Arab pada saat pertama kalinya yang sebelumnya tidak ada orang yang menyeru kecuali dengan redaksi wahai bani si fulan, wahai orang arab, atau wahai orang non arab. Adapun seruan dengan redaksi kemanusiaan dan keimanan belum pernah terdengar sama sekali.
Al Quran telah mendeklarasikan keuniversalitasan dakwahnya. Juga Rasulullah telah mendeklarasikan keuniversalitasan risalahnya dari hari pertama, yaitu risalah yang universal di semua tempat, konstan di segala zaman, dan komprehensif meliputi semua problematika manusia.
Demikian pula kesempatan pertama yang diberikan Rasulullah adalah mengirim utusan untuk menyampaikan beberapa surat beliau kepada para raja level dunia beserta para penguasa-penguasanya: mereka adalah Kaisar Romawi, Kaisar Persia, Najasyi al Habsyi, penguasa Syam, Mesir; dan lain-lainnya. Beliau mengajak mereka untuk masuk Islam agar mereka selamat di dunia dan di akhirat. Juga masuk Islam beserta rakyat mereka, kalau tidak, mereka menanggung dosa semua rakyat yang mereka pimpin. Dan, mereka harus mengupayakan itu atau membayar upeti.
Surat-surat beliau yang dikirim ke kaisar dan para penguasa. Ahli kitab diakhiri dengan mengutip ayat al Quran, yakni ayat berikut.
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Q.S ali Imran: 64)
Tuduhan sebagian Orientalis Seputar Universalitas Al Quran
Sebagian orientalis telah menuduh bahwa Nabi Muhammad saw, tidak memprogram pada beberapa periode dakwah pertama-selama di Mekkah, termasuk beberapa tahun di Madinah-dalam hal universalitas dakwah. Akan tetapi, mereka mengklaimnya sebagai dakwah untuk orang Arab, yaitu untuk orang-orang Mekkah dan sekitarnya dari kalangan kabilah-kabilah di Jazirah Arab. Demikian juga beliau dianggap tidak berfikir dalam menyeru kepada umat lainnya kecuali setelah tatanan di Madinah stabil. Di mana telah dilakukan melalui referendum dengan kaum Quraisy yang dikenal dengan referendum Hudaibiyyah yang cukup terkenal. Juga beliau menulis beberapa surat ke Kaisar Romawi, Kaisar Persia, Maququs, Najasyi, dan lain-lainnya.
Dalam rangka memperkuat tuduhan ini, mereka telah menyadarkan kepada beberapa ayat al Quran, seperti ayat-ayat berikut,
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Q.S asy Syu’araa: 214)
“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Quran dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.” (Q.S asy Syuraa: 7)
“Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya.”
Kalaulah mereka telah berpedoman dengan al Quran seputar masalah ini maka sungguh akan tampak terang kebenaran bagi mereka, seperti terangnya lampu bagi kedua mata-jika mereka memang menghendaki untuk mengetahui kebenaran. Mereka akan menemukan ayat-ayat yang dengan jelas berbicara tentang universalitas risalah Nabi Muhammad yang akan membantah semua tuduhan negatif. Juga menghilangkan setiap keraguan-raguan atau kesalahpahaman yang muncul dari analisis yang persial dalam sebagian ayat yang tidak menunjukkan kepada yang mereka kehendaki.
Dan, yang menakjubkan adalah bahwa ayat-ayat yang menjelaskan universalitas risalah, semuanya dari ayat-ayat al Quran Makiyyah berdasarkan konsensus ulama, seperti firman Allah berikut,
“dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S al Anbiyaa: 107)
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Q.S al Furqon: 1)
“Al Quran ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam.” (Q.S Shaad: 87)
“dan Al Quran itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat.” (Q.S al Qalam: 52)
“Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk". (Q.S Al A’raf: 158)
“dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Q.S Saba’:28)
Rasulullah juga memperkuat dengan bersabda, “Adalah Nabi diutus kepada kaumnya secara khusus dan kepada manusia secara keseluruhan.”
Adapun sebagian ayat, seperti ayat-ayat berikut,
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Q.S asy Syu’araa: 214)
“………… dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. …..” (Q.S al An’aam: 92)
Adalah untuk menerangkan periodisasi dakwah dan berkalanya. Adapun universalitas dakwah maka tidak diragukan ssama sekali keberadaannya, karena teks-teks sudah sangat jelas dan qath’I dalam hal ini, dan kiranya cukup apa yang sudah disampaikan.
Terjemahan Makna-Makna al Quran ke dalam Selain Bahasa Arab
Kalau al Quran berorientasi universal dan dalam waktu yang sama ia juga berbahasa Arab, maka menjadi keharusan orang Arab dari kalangan umat al Quran untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa selain Arab. Hal ini sebagai upaya siar dakwah al Quran, menyampaikan risalahnya, hingga semua manusia menerimanya dengan mantap.
Terjemahan yang kita maksudkan di sini bukan terjemahan harfiah yang tidak boleh, karena pendekatan itu tidak dapat menyampaikan isi al Quran beserta kandungannya. Akan tetapi, yang dibutuhkan dan relevan adalah penerjemahan secara maknawi.
Penerjemahan seperti ini menyerupai tafsir al Quran secara global ke berbagai bahasa selain Arab dan ia bukanlah merupakan al Quran yang qath’i. sedangkan al Quran adalah berbahasa Arab yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. adapun yang tidak berbahasa Arab adalah bukanlah al Quran. Untuk ini perlu ditambahkan keterangan si penafsir atau lembaga penafsir; ini adalah terjemahan makna al Quran atau tafsirnya, sebagaimana dipahami oleh salah seorang (penafsir) atau sebagaimana dipahami oleh lembaga dari kalangan para ulama yang berkompeten.
Sebagian tafsir bukanlah al Quran maka terjemahan juga bukanlah al Quran.
Disayangkan bahwa tidak dijumpai terjemahan maknawi al Quran yang mengkombinasikan kedetailan, kehalusan kata dan balaghah yang sekiranya diakui dengan mantap oleh para ahli dari kalangan muslimin.
Hingga bahasa inggris yang merupakan bahasa yang terbanyak dipakai oleh kaum muslimin, tidak mampu mencapai penerjemahan yang baik tersebut. Jika dikatakan terjemahan Abdullah Yusuf Ali yang cukup terkenal merupakan penerjemahan yang paling baik, meskipun demikian ada sebagian kalangan yang mengkritiknya. Dr. Abdullah Abbas an Nadawi dalam kitabnya Tarjamah Ma’anil Quranil Karim mengatakan bahwa ulama maknawi sepakat dengan penerjemahan al Quran dan penafsirannya bahwa al Quran tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris itu lebih bagus dari penerjemahan Bicktihal (seorang muslim Inggris) dari segi uslub dan kefasihan bahasa. Juga dari segi pemeliharaan terhadap akidah yang dianut oleh mayoritas ahlus sunnah dan kaum salaf.
Kalau memang demikian-yang selesai dengan bantuan ulama al Azhar dan India-mengapa tidak menyebar di antara kaum muslimin sebagaimana yang dikehendaki?
Inilah pendapat Dr. an Nadawi yang tidak diterima oleh banyak kalangan. Karea, dengan terjemahan ini banyak pengambiln, di mana sebagian instansi resmi di Mesir membatasi untuk menerbitkannya dan kadang-kadang melarang untuk mendistribusikannya.
Kami juga telah mengetahui dari sebagian teman bahwa penerjemahan Dr. Taqiyuddin al Hilali dan temannya, Muhsin Khan, termasuk terjemahan terbaik yang ada sekarang ini.
Memang harus berupaya keras membentuk koordinasi spektakuler dalam upaya menerjemahkan al Quran maknawi ke dalam berbagai bahasa di dunia ini, baik di Barat maupun di Timur. Inilah tanggung jawab umat Islam dengan solidaritas dan tanggung jawab berbagai lembaga keagamaan internasional seperti al Azhar asy Syarif, Rabithah alal al Islami, Majma’ al Malik Fahd di Madinah, dan berbagai universitas Islam di seluruh dunia. Semuanya bertanggung jawab atau harus menanggung dalam memikul beban ini dengan mendirikan lembaga internasional al Quranul Karim. Inilah yang sempat diserukan oleh teman kami, Dr. Hasan al Ma’asyirji sejak beberapa tahun yang lalu.
Kaum muslimin masih sangat terbatas sekali dalam upaya dakwah Islam internasional. Hal ini baik dalam dimensi bahasa yang berbeda dan beberapa konteks yang dipahami oleh setiap komunitas. Terutama, dengan perangkat modern yang canggih, terumata setelah era parabola, internet, dan beberapa perangkat yang kompetibel. Semua ini telah berada dalam genggaman manusia modern
Metodologi Dakwah dalam Al Quran
Al Qurn telah menggambarkan metodologi dakwah dengan jelas dalam beberapa ayat yang banyak. Yang secara global tersirat dalam firman Allah,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. …….” (Q.S an Nahl: 125)
Inilah khithab Rasulullah dan bagi semua orang yang tersampaikan khithab setelah beliau, yakni sebagai berikut.
a. Membidik Rasio dan Hati
Hal itu mengandung dakwah dengan bijaksana (hikmah) yang memuaskan rasio, wejangan yang menggerakan hati. Hikmah tersebut ada ahlinya, yaitu orang-orang yang menonjol analisis rasionalnya. Demikian juga wejangan juga ada ahlinya, atau rasio dengan instuisi. Sebagaimana hal instuisi dan rasio yang keduanya memberikan faedah dalam ayat al Quran. Bahkan, inilah metode al Quran yang telah mengkombinasikan antara hilangnya rasional dan terabaikannya intuisi. Sebagaimana sangat ditegaskan dalam al Quran secara keseluruhan, baik yang makki maupun madani. Dakwah ini harus dilakukan secara argumentatif dan meyakinkan (nyata) sebagaimana difirmankan Allah kepada Rasul,
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". (Q.S Yusuf: 108)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang yang mengikuti Nabi Muhammad saw harus menjadi penyeru (da’i) kepada Allah yang dalam dakwahnya dilakukan secara argumentatif dan nyata. Hal ini yang mengharuskannya mengetahui dakwah dan seluk beluknya, termasuk materinya dalam bidang akidah, syariat, dan akhlak. Demikian juga harus memiliki pendekatan untuk memproyeksikan tentang Allah, alam, manusia, dan kehidupan, juga kemampuan untuk memecahkan berbagai problematika manusia, serta berbagai metode untuk mengintegrasikan antara pemikiran seseorang dan suluknya (tingkah laku serta cara hidup yang dilaluinya).
b. Berdialog dengan Cara yang Terbaik
Kalau metode al Quran mengindikasikan dakwah orang-orang yang sepakat dengan hikmah dan nasihat baik, maka ia juga mengindikasikan melalui dialog dengan para lawan melalui pendekatan dialog yang terbaik dan terhalus, yaitu apa yang ditunjukkan oleh Allah dalam firman-Nya,
“…….dan bantahlah mereka dengan cara yang paling baik…” (Q.S an Nahl: 125)
Perlu kita perhatikan bahwa al Quran mencukupkan nasihat dengan cara yang baik, akan tetapi tidak menganggap cukup dalam hal berdialog kecuali dengan cara yang paling baik. Maksudnya, kalau ada dua cara untuk berdebat atau berdialog; cara yang baik dan cara yang terbaik maka seorang muslim disuruh untuk berdialog dengan cara para lawan melalui cara yang terbaik.
Mengapa al Quran membedakan antara nasihat, debat, atau dialog? Karena, nasehat biasanya adalah untuk sesama pemeluk agama (Islam). Akan tetapi, debata atau dialog adalah dengan mereka yang tidak seagama. Yang seagama cukup menyampaikan kepada mereka dengan cara yang baik, tetapi dengan yang tidak seagama membutuhkan kepada cara yang lebih baik bahkan yang terbaik.
Di bawah ini adalah beberapa contoh yang diajarkan al Quran kepada kita, misalnya firman Allah dalam perdebatan kepada kaum musyrikin.
“…….dan Sesungguhnya Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. Saba: 24)
Mereka tidak diklaim sebagai kelompok (dengan istilah) tersesat, tetapi menggunakan redaksi wa inna au iyyakum “dan sesungguhnya kami atau kamu” untuk melunakkan dan mendekatkan mereka dengan kaum muslimin. Setelah itu dikatakan,
“Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang Kami perbuat dan Kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat".” (Q.S Saba: 25)
Redaksi kasarnya adalah “dan kami tidak menanyakan (pertanggungjawaban) akan dosa yang kalian lakukan”, tetapi mereka tidak dinyatakan secara jelas dengan dosa. Sehingga, perasaan mereka tidak terluka dan panas dada mereka. Akan tetapi, Nabi ingin membuka hati dan akal mereka terhadap seruan Islam.
Kalau hal ini adalah perkataan untuk kaum musyrikin maka bisa anda terka bagaimana perkataan terhadap ahli kitab, yaitu ahli Taurat dan ahli Injil?
Sesungguhnya al Quran memperlakukan dengan cara (redaksi) yang menggembirakan dan tidak menakut-nakuti, mendekatkan dan tidak menjauhkan. Cukuplah al Quran menyeru kepada mereka dengan sebutan yang menyenangkan, yaitu dengan sebutan yaa ahlal kitab, supaya memberikan kesan kepada mereka dekat dengan sebutan ahli Quran. Oleh karena itu, semuanya merupakan ahli agama samawi.
Al Quran mengajarkan kita bagiaman seharusnya kita berdebat dengan mereka. Firman Allah,
“dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri". (Q.S. al Ankabut: 46)
Al Quran mengajak kita untuk menggunakan sebaik-baik cara dalam mendebat mereka dan menekankan pada masalah yang disepakati, bukannya pada masalah-masalah yang menjadi perbedaan antara kita dan mereka. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi di situ ada beberapa bagian yang menyatu antara kita dan mereka. Di sini hendaknya kita menampakknya saat berdialog. Sebagaimana firman Allah,
“…….dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu……” (Q.S Al Ankabuut: 46)
Hal ini yang perlu kita tampakkan dan yakinkan pada zama ini, sebagaimana dalam kuliah kami tentang “dialog Islam-Kristen” di Universitas Qatar bahwa kita dan ahli kitab berada pada satu parit, yaitu parit keimanan terhadap Allah (lawan komunis), parit keutamaan (lawan hedonisme), serta parit nilai-nilai ruh dan moral secara keseluruhan secara umum (lawan pembolehan terhadap sesuatu yang sudah pasti). Kalau di antara kita dengan mereka ada perbedaan, maka hal itu tidak diragukan lagi adalah dalam masalah dasar akidah.
c. Berkomunikasi kepada Setiap Bangsa dengan Bahasa Mereka
Di antara petunjuk dari al Quran dalam masalah dakwah adalah bahwa berkomunikasi dengan setiap kaum harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa yang mereka pahami, tidak dengan bahasa yang aing bagi mereka. Sebagaimana firman Allah,
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka….”(Q.S Ibrahim: 4)
Telah kami jelaskan dalam tulisan kami sebelumnya bahwa kami memahami (bahasa kaum) dalam ayat ini dengan pengertian yang lebih dalam. Tidak sekedar menyampaikan kepada orang inggris dengan bahasa inggris, orang rusia dengan bahasa rusia, dan kepada orang cina dengan bahasa cina. Akan tetapi, lebih daripada ini bahwa setiap kaum memiliki bahasa komunikasi tersendiri, yaitu bahasa berkebudayaan bukan bahasa Badui, bahasa orang-orang Barat bukan bahasa orang-orang timur, dan bahasa mereka yang sudah sampai ke bulan bukan bahasa mereka yang hidup di hutan belantara.
Demikian juga harus menyampaikan dakwah kepada setiap kaum sesuai dengan kapasitas dan level mereka, dengan cara yang pas bagi mereka dan dengan bahasa yang mampu dicerna oleh rasio mereka. Janganlah anda berkomunikasi kepada kaum dengan bahasa kaum lain.
Hal ini seperti dikatakan oleh sayyidina Ali r.a. “berbicaralah kepada manusia dengan sesuatu yang mereka ketahui, tinggalkanlah sesuatu yang mereka tentang. Adakah kamu senang berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Jika kamu berbicara dengan kaum suatupembicaraan yang tidak sampai kepada akal mereka, maka bagi sebagian mereka adalah fitnah!”
Diriwayatkan oleh secara marfu’, “Aku diperintahkan untuk berkomunikasi dengan manusia sesuai dengan kapasitas akal mereka.”
d. Berdalil yang Baik dengan Menggunakan Ayat-ayat al Quran
Termasuk yang harus diperhatikan oleh seorang dai adalah kehati-hatian dan kemantapan dalam berdalail dan berargumentasi yang baik dengan menggunakan al Quran dan ayat-ayatnya sesuai dengan aturannya, baik dari segi hukum, pengetahuan, maupun pemikiran. Jika ia mampu berargumentasi yang baik dengan al Quran dan peletakannya sesuai dengan tempatnya, maka hilanglah keraguan, terputuslah setiap alasan, dan diamlah setiap lawan. Karena, tidak ada dalil setelah al Quran dan tidak ada pembicaraan setelah kalam Allah, firman Allah,
“….Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan-(nya) daripada Alah?” (Q.S. An Nisa: 87)
“….Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (Q.S. An Nisa; 122)
“apakah hukum jahiliayh yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakh yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Q.S Al Maidah: 50)
Untuk ini, seorang mukmin tidak mempunyai dalil di depan dalil al Quran yang jelas kecuali ia katakan, “kami percaya dan membenarkan atau kami mendengar dan kami ta’at”, sebagaimana firman Allah,
“dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S al Ahzab: 36)
Seorang laki-laki masuk menemui Khalifah al Makmun, ia berjalan di antara manusia. Ia menyuruh mereka berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran, tanpa diperintah oleh sang Khalifah, Lalu, Khalifah al Makmun berkata padanya, “Mengapa kau memerintah dan melarang, sedangkan Allah telah menjadikan hal itu kepada kita? Dan, kita termasuk orang-orang yang difirmankan Allah,
“ (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S al Hajj: 41)
Laki-laki itu pun menjawab, “Baginda benar wahai Amirul mukminin. Baginda sebagaimana engkau telah memposisikan dirimu sebagai sultan dan pemimpin. Sedangkan, kami adalah para penolongmu dan pembantumu. Tiada yang mengingkari hal itu kecuali orang yang bodoh dengan al Quran dan hadits Rasulullah. Allah berfirman,
“dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S at Taubah: 71)
Dan Rasulullah bersabda: “seorang mukmin bagi seorang mukmin lainnya adalah bagaikan bangunan yang saling memperkuat satu dengan lainnya.”
Khalifah al Makmun takjub dengan perkataannya. Lalu ia menggembirakannya seraya berkata, “Sepertimu boleh memerintahkan kebaikan, teruskanlah apa yang telah kaulakukan dengan urusan kami dan pendapat kami.”
Demikianlah ketika seorang laki-laki telah berargumentasi secara baik dengan al Quran dan Sunnah, maka terputuslah argumentasi sang Khalifah. Dan ia tidak menemukan setelah itu, pernyataan seorang laki-laki terhadap sesuatu di mana ia ada di dalamnya.
Berbalik dengan itu, datang seorang penasihat kepada al Makmun dan menasihatinya dengan perkataan kasar. Lalu, al Makmun berkata, “Hai orang laki-laki! Berlakulah yang ramah, sesungguhnya Allah telah mengutus orang yang lebih baik darimu kepada orang yang lebih jahat dariku.” Dan al Makmun menyuruhnya untuk bertindak ramah,” Nabi Musa dan Nabi Harun diutus menghadapi Fir’aun, lalu Allah mewasiatkan kepada mereka berdua dengan firman-Nya,
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Q.S Thaha: 44)
Di sini posisi al Makmun lebih kuat, karena ia mengambil dalil al Quran. Dengan demikian maka orang laki-laki tersebut tidak mendapatkan jawaban bagi pertanyaannya.
Hendaklah seorang muslim berusaha untuk memelihara kondisi ini untuk berargumentasi dengan yang disepakati, bukan dengan yang masih diperselisihkan. Karena, dalil yang diambil dari sesuatu yang masih belum pasti, akan menjatuhkan pendapatnya.
Ketika berbicara tentang kekomprehensifan al Quran-misalnya- sebagian orang berargumentasi dengan firman Allah,
“….Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al Kitab…” (Q.S al An’aam: 38)
Adapun kata “kitab” dalam ayat tersebut ada kemungkinan bermakna al Quran, maka argumentasi tersebut benar. Juga ada kemungkinan bermakna lauh mahfudz, satu tempat di mana Allah telah menentukan semua taqdir makhluk, sebagaimana firman-Nya,
“….Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (lauh mahfudz).” (Q.S Yasin: 12)
“….Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Allah).” (Q.S al Ahzab: 6)
Yang pertama di sini berargumentasi akan kekomprehensifan al Quran dengan firman Allah,
“….Dan Kami turunkan kepadamu al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.S an Nahl: 89)
Yang sangat jelas menunjukkan apa yang dimaksud. Yang semisal dengan itu adalah akhir surat Yusuf,
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Q.S. Yusuf: 111)
Demikian juga seorang dai menghindari argumentasi dengan sesuatu yang tidak ada dalilnya. Contoh untuk hal itu adalah sebagian orang berargumentasi bahwa di antara buah dari ketakwaan kepada Allah adalah Dia akan mengajarinya sesuatu yang belum ia ketahui, dengan dalil firman Allah,
“….dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarimu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S Al Baqarah: 282)
Yang benar ayat ini tidak menunjukkan akan hal tersebut, karena ayat tersebut bukan merupakan perintah dan jawaban. Akan tetapi, bisa jadi benar kalau redaksinya adalah wat taqullah yu’allikumullah. Adapun ayat atau paragraf ayat tersebut mengandung perintah bertakwa kepada Allah, sebagaimana ia merupakan ketentuan Al Quran ketika mengkomparatifkan perintah dan larangan dengan takwa. Kemudian, setelah itu Allah berfirman, wa yu’allikumullah, yaitu beberapa perintah dan hukum. Ia menerangkan kalimat yang berdiri sendiri, sebagaimana firman Allah dalam ayat lain,
“….Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat…” (Q.S an Nisa: 176)
Adapun argumentasi terhadap pernyataan tersebut, seharusnya mengambil dalil firman Allah,
“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Q.S al Anfal: 29)
Maksudnya adalah cahaya (nuur) yang dengan cahaya tersebut kamu sekalian dapat membedakan antara yang hak dan yang batil.
Misalnya juga firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman (kepada Para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S al Hadid: 28)
Bahkan, ia bisa berargumentasi dengan secara umum dari firman Allah,
“….Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (Q.S ath Thalaq: 2)
Karena ia meliputi jalan keluar (solusi) dari beberapa syubhat dan yang menyebabkan syubhat.
Diterjemahkan oleh Hilman Fitri dari kitab “كيف نتعامل مع القران الكريم” by Yusuf Qardhawi.
Al Quran mempunyai tugas lain dalam kehidupan islami, di samping fungsinya sebagai metode aktivitas bagi kehidupan pribadi muslim, undang-undang hukum dan tasyri’ bagi masyarakat muslim atau bagi negara muslim, yaitu sebagai perundang-undangan dakwah Islamiyyah.
Universalitas al Quran
Al Quran merupakan kitab yang universal, diarahkan kepada semua manusia, sebagaimana firman Allah,
“….agar dia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam.” (Q.S al Furqon: 1)
Meskipun al Quran itu diturunkan dalam bahasa Arab. Barangsiapa yang membacanya dan merenunginya, akan tersirat adanya keuniversalan ini dalam ayat antara awal ayat setelah basmalah, alhamdulillahirabbil’aalamin segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam sampai akhir surat,
“Katakanlah, aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia.” (An-Naas: 1-3).
Inilah al Quran yang berbicara tentang Allah sebagai Tuhan semesta alam atau Tuhan semua manusia yang bukan hanya sebagai Tuhan bangsa Arab dan bukan Tuhan bangsa Israel seperti yang dikatakan dalam Taurat.
Seruan al Quran yang datang dari Allah tidak mengandung tabiat rasial, wilayah, dan kasta. Akan tetapi, seruan tersebut ditujukan kepada hal-hal berikut.
Pertama, kepada semua manusia, seperti firman Allah,
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu,……..” (Q.S. al Baqarah: 21)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…………...” (Q.S an Nisa: 1)
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu…..” (Q.S al Hujurat: 13)
Seruan semacam itu disebutkan dua puluh kali dalam al Quran. Yang semisal dengan redaksi yaa ayyuhal insaan disebutkan dua kali dalam al Quran, yakni pada ayat-ayat berikut,
“Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.” (Q.S al Infithar: 6)
“Hai manusia, Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (Q.S al Insyiqaq: 6)
Semisalnya dengan menggunakan redaksi bani adam, telah disebut sebanyak lima kali dalam al Quran, salah satunya seperti yang terlihat pada ayat berikut,
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid[534], Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S al A’raf: 31)
Redaksi semacamnya ditujukan kepada segenap hamba yang di idhafah-kan kepada Allah dengan ya mutakallim, yaitu redaksi pemuliaan dan penghormatan, seperti ayat berikut,
“Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, Sesungguhnya bumi-Ku luas, Maka sembahlah aku saja.” (Q.S al Ankabut: 56)
Atau, redaksi untuk melunakkan dan pendekatan, seperti ayat berikut.
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya…….” (Q.S az Zumar: 53)
Redaksi seperti ini telah berulang sampai lima kali dalam al Quran.
Kedua, kadang pula seruan tersebut ditujukan kepada pemeluk agama samawi yang lalu, baik Yahudi maupun Nasrani. Dan, al Quran telah memilih redaksi yang lunak dan familiar, yaitu yaa ahlal kitab, seperti pada ayat berikut,
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu,……” (Q.S ali Imraan: 64)
“Hai ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan Menyembunyikan kebenaran, Padahal kamu mengetahuinya?” (Q.S ali Imran: 71)
Redaksi semacam ini berulang sebanyak dua belas kali.
Ketiga, kadang kala ditujukan kepada kaum beriman. Redaksi ini adalah yaa ayyuhaladziina amanu yang tidak dijumpai selain dalam ayat-ayat Madaniyyah, setelah kaum muslimin menjadi sebuah komunitas dan prospektif. Redaksi seperti ini dalam al Quran terulang lebih dari sembilan puluh kali.
Seruan-seruan ini adalah hal yang baru di dunia. Ia telah mengejutkan pendengaran penduduk Jazirah Arab pada saat pertama kalinya yang sebelumnya tidak ada orang yang menyeru kecuali dengan redaksi wahai bani si fulan, wahai orang arab, atau wahai orang non arab. Adapun seruan dengan redaksi kemanusiaan dan keimanan belum pernah terdengar sama sekali.
Al Quran telah mendeklarasikan keuniversalitasan dakwahnya. Juga Rasulullah telah mendeklarasikan keuniversalitasan risalahnya dari hari pertama, yaitu risalah yang universal di semua tempat, konstan di segala zaman, dan komprehensif meliputi semua problematika manusia.
Demikian pula kesempatan pertama yang diberikan Rasulullah adalah mengirim utusan untuk menyampaikan beberapa surat beliau kepada para raja level dunia beserta para penguasa-penguasanya: mereka adalah Kaisar Romawi, Kaisar Persia, Najasyi al Habsyi, penguasa Syam, Mesir; dan lain-lainnya. Beliau mengajak mereka untuk masuk Islam agar mereka selamat di dunia dan di akhirat. Juga masuk Islam beserta rakyat mereka, kalau tidak, mereka menanggung dosa semua rakyat yang mereka pimpin. Dan, mereka harus mengupayakan itu atau membayar upeti.
Surat-surat beliau yang dikirim ke kaisar dan para penguasa. Ahli kitab diakhiri dengan mengutip ayat al Quran, yakni ayat berikut.
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Q.S ali Imran: 64)
Tuduhan sebagian Orientalis Seputar Universalitas Al Quran
Sebagian orientalis telah menuduh bahwa Nabi Muhammad saw, tidak memprogram pada beberapa periode dakwah pertama-selama di Mekkah, termasuk beberapa tahun di Madinah-dalam hal universalitas dakwah. Akan tetapi, mereka mengklaimnya sebagai dakwah untuk orang Arab, yaitu untuk orang-orang Mekkah dan sekitarnya dari kalangan kabilah-kabilah di Jazirah Arab. Demikian juga beliau dianggap tidak berfikir dalam menyeru kepada umat lainnya kecuali setelah tatanan di Madinah stabil. Di mana telah dilakukan melalui referendum dengan kaum Quraisy yang dikenal dengan referendum Hudaibiyyah yang cukup terkenal. Juga beliau menulis beberapa surat ke Kaisar Romawi, Kaisar Persia, Maququs, Najasyi, dan lain-lainnya.
Dalam rangka memperkuat tuduhan ini, mereka telah menyadarkan kepada beberapa ayat al Quran, seperti ayat-ayat berikut,
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Q.S asy Syu’araa: 214)
“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Quran dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.” (Q.S asy Syuraa: 7)
“Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya.”
Kalaulah mereka telah berpedoman dengan al Quran seputar masalah ini maka sungguh akan tampak terang kebenaran bagi mereka, seperti terangnya lampu bagi kedua mata-jika mereka memang menghendaki untuk mengetahui kebenaran. Mereka akan menemukan ayat-ayat yang dengan jelas berbicara tentang universalitas risalah Nabi Muhammad yang akan membantah semua tuduhan negatif. Juga menghilangkan setiap keraguan-raguan atau kesalahpahaman yang muncul dari analisis yang persial dalam sebagian ayat yang tidak menunjukkan kepada yang mereka kehendaki.
Dan, yang menakjubkan adalah bahwa ayat-ayat yang menjelaskan universalitas risalah, semuanya dari ayat-ayat al Quran Makiyyah berdasarkan konsensus ulama, seperti firman Allah berikut,
“dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S al Anbiyaa: 107)
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Q.S al Furqon: 1)
“Al Quran ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam.” (Q.S Shaad: 87)
“dan Al Quran itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat.” (Q.S al Qalam: 52)
“Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk". (Q.S Al A’raf: 158)
“dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Q.S Saba’:28)
Rasulullah juga memperkuat dengan bersabda, “Adalah Nabi diutus kepada kaumnya secara khusus dan kepada manusia secara keseluruhan.”
Adapun sebagian ayat, seperti ayat-ayat berikut,
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Q.S asy Syu’araa: 214)
“………… dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. …..” (Q.S al An’aam: 92)
Adalah untuk menerangkan periodisasi dakwah dan berkalanya. Adapun universalitas dakwah maka tidak diragukan ssama sekali keberadaannya, karena teks-teks sudah sangat jelas dan qath’I dalam hal ini, dan kiranya cukup apa yang sudah disampaikan.
Terjemahan Makna-Makna al Quran ke dalam Selain Bahasa Arab
Kalau al Quran berorientasi universal dan dalam waktu yang sama ia juga berbahasa Arab, maka menjadi keharusan orang Arab dari kalangan umat al Quran untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa selain Arab. Hal ini sebagai upaya siar dakwah al Quran, menyampaikan risalahnya, hingga semua manusia menerimanya dengan mantap.
Terjemahan yang kita maksudkan di sini bukan terjemahan harfiah yang tidak boleh, karena pendekatan itu tidak dapat menyampaikan isi al Quran beserta kandungannya. Akan tetapi, yang dibutuhkan dan relevan adalah penerjemahan secara maknawi.
Penerjemahan seperti ini menyerupai tafsir al Quran secara global ke berbagai bahasa selain Arab dan ia bukanlah merupakan al Quran yang qath’i. sedangkan al Quran adalah berbahasa Arab yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. adapun yang tidak berbahasa Arab adalah bukanlah al Quran. Untuk ini perlu ditambahkan keterangan si penafsir atau lembaga penafsir; ini adalah terjemahan makna al Quran atau tafsirnya, sebagaimana dipahami oleh salah seorang (penafsir) atau sebagaimana dipahami oleh lembaga dari kalangan para ulama yang berkompeten.
Sebagian tafsir bukanlah al Quran maka terjemahan juga bukanlah al Quran.
Disayangkan bahwa tidak dijumpai terjemahan maknawi al Quran yang mengkombinasikan kedetailan, kehalusan kata dan balaghah yang sekiranya diakui dengan mantap oleh para ahli dari kalangan muslimin.
Hingga bahasa inggris yang merupakan bahasa yang terbanyak dipakai oleh kaum muslimin, tidak mampu mencapai penerjemahan yang baik tersebut. Jika dikatakan terjemahan Abdullah Yusuf Ali yang cukup terkenal merupakan penerjemahan yang paling baik, meskipun demikian ada sebagian kalangan yang mengkritiknya. Dr. Abdullah Abbas an Nadawi dalam kitabnya Tarjamah Ma’anil Quranil Karim mengatakan bahwa ulama maknawi sepakat dengan penerjemahan al Quran dan penafsirannya bahwa al Quran tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris itu lebih bagus dari penerjemahan Bicktihal (seorang muslim Inggris) dari segi uslub dan kefasihan bahasa. Juga dari segi pemeliharaan terhadap akidah yang dianut oleh mayoritas ahlus sunnah dan kaum salaf.
Kalau memang demikian-yang selesai dengan bantuan ulama al Azhar dan India-mengapa tidak menyebar di antara kaum muslimin sebagaimana yang dikehendaki?
Inilah pendapat Dr. an Nadawi yang tidak diterima oleh banyak kalangan. Karea, dengan terjemahan ini banyak pengambiln, di mana sebagian instansi resmi di Mesir membatasi untuk menerbitkannya dan kadang-kadang melarang untuk mendistribusikannya.
Kami juga telah mengetahui dari sebagian teman bahwa penerjemahan Dr. Taqiyuddin al Hilali dan temannya, Muhsin Khan, termasuk terjemahan terbaik yang ada sekarang ini.
Memang harus berupaya keras membentuk koordinasi spektakuler dalam upaya menerjemahkan al Quran maknawi ke dalam berbagai bahasa di dunia ini, baik di Barat maupun di Timur. Inilah tanggung jawab umat Islam dengan solidaritas dan tanggung jawab berbagai lembaga keagamaan internasional seperti al Azhar asy Syarif, Rabithah alal al Islami, Majma’ al Malik Fahd di Madinah, dan berbagai universitas Islam di seluruh dunia. Semuanya bertanggung jawab atau harus menanggung dalam memikul beban ini dengan mendirikan lembaga internasional al Quranul Karim. Inilah yang sempat diserukan oleh teman kami, Dr. Hasan al Ma’asyirji sejak beberapa tahun yang lalu.
Kaum muslimin masih sangat terbatas sekali dalam upaya dakwah Islam internasional. Hal ini baik dalam dimensi bahasa yang berbeda dan beberapa konteks yang dipahami oleh setiap komunitas. Terutama, dengan perangkat modern yang canggih, terumata setelah era parabola, internet, dan beberapa perangkat yang kompetibel. Semua ini telah berada dalam genggaman manusia modern
Metodologi Dakwah dalam Al Quran
Al Qurn telah menggambarkan metodologi dakwah dengan jelas dalam beberapa ayat yang banyak. Yang secara global tersirat dalam firman Allah,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. …….” (Q.S an Nahl: 125)
Inilah khithab Rasulullah dan bagi semua orang yang tersampaikan khithab setelah beliau, yakni sebagai berikut.
a. Membidik Rasio dan Hati
Hal itu mengandung dakwah dengan bijaksana (hikmah) yang memuaskan rasio, wejangan yang menggerakan hati. Hikmah tersebut ada ahlinya, yaitu orang-orang yang menonjol analisis rasionalnya. Demikian juga wejangan juga ada ahlinya, atau rasio dengan instuisi. Sebagaimana hal instuisi dan rasio yang keduanya memberikan faedah dalam ayat al Quran. Bahkan, inilah metode al Quran yang telah mengkombinasikan antara hilangnya rasional dan terabaikannya intuisi. Sebagaimana sangat ditegaskan dalam al Quran secara keseluruhan, baik yang makki maupun madani. Dakwah ini harus dilakukan secara argumentatif dan meyakinkan (nyata) sebagaimana difirmankan Allah kepada Rasul,
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". (Q.S Yusuf: 108)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang yang mengikuti Nabi Muhammad saw harus menjadi penyeru (da’i) kepada Allah yang dalam dakwahnya dilakukan secara argumentatif dan nyata. Hal ini yang mengharuskannya mengetahui dakwah dan seluk beluknya, termasuk materinya dalam bidang akidah, syariat, dan akhlak. Demikian juga harus memiliki pendekatan untuk memproyeksikan tentang Allah, alam, manusia, dan kehidupan, juga kemampuan untuk memecahkan berbagai problematika manusia, serta berbagai metode untuk mengintegrasikan antara pemikiran seseorang dan suluknya (tingkah laku serta cara hidup yang dilaluinya).
b. Berdialog dengan Cara yang Terbaik
Kalau metode al Quran mengindikasikan dakwah orang-orang yang sepakat dengan hikmah dan nasihat baik, maka ia juga mengindikasikan melalui dialog dengan para lawan melalui pendekatan dialog yang terbaik dan terhalus, yaitu apa yang ditunjukkan oleh Allah dalam firman-Nya,
“…….dan bantahlah mereka dengan cara yang paling baik…” (Q.S an Nahl: 125)
Perlu kita perhatikan bahwa al Quran mencukupkan nasihat dengan cara yang baik, akan tetapi tidak menganggap cukup dalam hal berdialog kecuali dengan cara yang paling baik. Maksudnya, kalau ada dua cara untuk berdebat atau berdialog; cara yang baik dan cara yang terbaik maka seorang muslim disuruh untuk berdialog dengan cara para lawan melalui cara yang terbaik.
Mengapa al Quran membedakan antara nasihat, debat, atau dialog? Karena, nasehat biasanya adalah untuk sesama pemeluk agama (Islam). Akan tetapi, debata atau dialog adalah dengan mereka yang tidak seagama. Yang seagama cukup menyampaikan kepada mereka dengan cara yang baik, tetapi dengan yang tidak seagama membutuhkan kepada cara yang lebih baik bahkan yang terbaik.
Di bawah ini adalah beberapa contoh yang diajarkan al Quran kepada kita, misalnya firman Allah dalam perdebatan kepada kaum musyrikin.
“…….dan Sesungguhnya Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. Saba: 24)
Mereka tidak diklaim sebagai kelompok (dengan istilah) tersesat, tetapi menggunakan redaksi wa inna au iyyakum “dan sesungguhnya kami atau kamu” untuk melunakkan dan mendekatkan mereka dengan kaum muslimin. Setelah itu dikatakan,
“Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang Kami perbuat dan Kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat".” (Q.S Saba: 25)
Redaksi kasarnya adalah “dan kami tidak menanyakan (pertanggungjawaban) akan dosa yang kalian lakukan”, tetapi mereka tidak dinyatakan secara jelas dengan dosa. Sehingga, perasaan mereka tidak terluka dan panas dada mereka. Akan tetapi, Nabi ingin membuka hati dan akal mereka terhadap seruan Islam.
Kalau hal ini adalah perkataan untuk kaum musyrikin maka bisa anda terka bagaimana perkataan terhadap ahli kitab, yaitu ahli Taurat dan ahli Injil?
Sesungguhnya al Quran memperlakukan dengan cara (redaksi) yang menggembirakan dan tidak menakut-nakuti, mendekatkan dan tidak menjauhkan. Cukuplah al Quran menyeru kepada mereka dengan sebutan yang menyenangkan, yaitu dengan sebutan yaa ahlal kitab, supaya memberikan kesan kepada mereka dekat dengan sebutan ahli Quran. Oleh karena itu, semuanya merupakan ahli agama samawi.
Al Quran mengajarkan kita bagiaman seharusnya kita berdebat dengan mereka. Firman Allah,
“dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri". (Q.S. al Ankabut: 46)
Al Quran mengajak kita untuk menggunakan sebaik-baik cara dalam mendebat mereka dan menekankan pada masalah yang disepakati, bukannya pada masalah-masalah yang menjadi perbedaan antara kita dan mereka. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi di situ ada beberapa bagian yang menyatu antara kita dan mereka. Di sini hendaknya kita menampakknya saat berdialog. Sebagaimana firman Allah,
“…….dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu……” (Q.S Al Ankabuut: 46)
Hal ini yang perlu kita tampakkan dan yakinkan pada zama ini, sebagaimana dalam kuliah kami tentang “dialog Islam-Kristen” di Universitas Qatar bahwa kita dan ahli kitab berada pada satu parit, yaitu parit keimanan terhadap Allah (lawan komunis), parit keutamaan (lawan hedonisme), serta parit nilai-nilai ruh dan moral secara keseluruhan secara umum (lawan pembolehan terhadap sesuatu yang sudah pasti). Kalau di antara kita dengan mereka ada perbedaan, maka hal itu tidak diragukan lagi adalah dalam masalah dasar akidah.
c. Berkomunikasi kepada Setiap Bangsa dengan Bahasa Mereka
Di antara petunjuk dari al Quran dalam masalah dakwah adalah bahwa berkomunikasi dengan setiap kaum harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa yang mereka pahami, tidak dengan bahasa yang aing bagi mereka. Sebagaimana firman Allah,
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka….”(Q.S Ibrahim: 4)
Telah kami jelaskan dalam tulisan kami sebelumnya bahwa kami memahami (bahasa kaum) dalam ayat ini dengan pengertian yang lebih dalam. Tidak sekedar menyampaikan kepada orang inggris dengan bahasa inggris, orang rusia dengan bahasa rusia, dan kepada orang cina dengan bahasa cina. Akan tetapi, lebih daripada ini bahwa setiap kaum memiliki bahasa komunikasi tersendiri, yaitu bahasa berkebudayaan bukan bahasa Badui, bahasa orang-orang Barat bukan bahasa orang-orang timur, dan bahasa mereka yang sudah sampai ke bulan bukan bahasa mereka yang hidup di hutan belantara.
Demikian juga harus menyampaikan dakwah kepada setiap kaum sesuai dengan kapasitas dan level mereka, dengan cara yang pas bagi mereka dan dengan bahasa yang mampu dicerna oleh rasio mereka. Janganlah anda berkomunikasi kepada kaum dengan bahasa kaum lain.
Hal ini seperti dikatakan oleh sayyidina Ali r.a. “berbicaralah kepada manusia dengan sesuatu yang mereka ketahui, tinggalkanlah sesuatu yang mereka tentang. Adakah kamu senang berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Jika kamu berbicara dengan kaum suatupembicaraan yang tidak sampai kepada akal mereka, maka bagi sebagian mereka adalah fitnah!”
Diriwayatkan oleh secara marfu’, “Aku diperintahkan untuk berkomunikasi dengan manusia sesuai dengan kapasitas akal mereka.”
d. Berdalil yang Baik dengan Menggunakan Ayat-ayat al Quran
Termasuk yang harus diperhatikan oleh seorang dai adalah kehati-hatian dan kemantapan dalam berdalail dan berargumentasi yang baik dengan menggunakan al Quran dan ayat-ayatnya sesuai dengan aturannya, baik dari segi hukum, pengetahuan, maupun pemikiran. Jika ia mampu berargumentasi yang baik dengan al Quran dan peletakannya sesuai dengan tempatnya, maka hilanglah keraguan, terputuslah setiap alasan, dan diamlah setiap lawan. Karena, tidak ada dalil setelah al Quran dan tidak ada pembicaraan setelah kalam Allah, firman Allah,
“….Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan-(nya) daripada Alah?” (Q.S. An Nisa: 87)
“….Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (Q.S. An Nisa; 122)
“apakah hukum jahiliayh yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakh yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Q.S Al Maidah: 50)
Untuk ini, seorang mukmin tidak mempunyai dalil di depan dalil al Quran yang jelas kecuali ia katakan, “kami percaya dan membenarkan atau kami mendengar dan kami ta’at”, sebagaimana firman Allah,
“dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S al Ahzab: 36)
Seorang laki-laki masuk menemui Khalifah al Makmun, ia berjalan di antara manusia. Ia menyuruh mereka berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran, tanpa diperintah oleh sang Khalifah, Lalu, Khalifah al Makmun berkata padanya, “Mengapa kau memerintah dan melarang, sedangkan Allah telah menjadikan hal itu kepada kita? Dan, kita termasuk orang-orang yang difirmankan Allah,
“ (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S al Hajj: 41)
Laki-laki itu pun menjawab, “Baginda benar wahai Amirul mukminin. Baginda sebagaimana engkau telah memposisikan dirimu sebagai sultan dan pemimpin. Sedangkan, kami adalah para penolongmu dan pembantumu. Tiada yang mengingkari hal itu kecuali orang yang bodoh dengan al Quran dan hadits Rasulullah. Allah berfirman,
“dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S at Taubah: 71)
Dan Rasulullah bersabda: “seorang mukmin bagi seorang mukmin lainnya adalah bagaikan bangunan yang saling memperkuat satu dengan lainnya.”
Khalifah al Makmun takjub dengan perkataannya. Lalu ia menggembirakannya seraya berkata, “Sepertimu boleh memerintahkan kebaikan, teruskanlah apa yang telah kaulakukan dengan urusan kami dan pendapat kami.”
Demikianlah ketika seorang laki-laki telah berargumentasi secara baik dengan al Quran dan Sunnah, maka terputuslah argumentasi sang Khalifah. Dan ia tidak menemukan setelah itu, pernyataan seorang laki-laki terhadap sesuatu di mana ia ada di dalamnya.
Berbalik dengan itu, datang seorang penasihat kepada al Makmun dan menasihatinya dengan perkataan kasar. Lalu, al Makmun berkata, “Hai orang laki-laki! Berlakulah yang ramah, sesungguhnya Allah telah mengutus orang yang lebih baik darimu kepada orang yang lebih jahat dariku.” Dan al Makmun menyuruhnya untuk bertindak ramah,” Nabi Musa dan Nabi Harun diutus menghadapi Fir’aun, lalu Allah mewasiatkan kepada mereka berdua dengan firman-Nya,
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Q.S Thaha: 44)
Di sini posisi al Makmun lebih kuat, karena ia mengambil dalil al Quran. Dengan demikian maka orang laki-laki tersebut tidak mendapatkan jawaban bagi pertanyaannya.
Hendaklah seorang muslim berusaha untuk memelihara kondisi ini untuk berargumentasi dengan yang disepakati, bukan dengan yang masih diperselisihkan. Karena, dalil yang diambil dari sesuatu yang masih belum pasti, akan menjatuhkan pendapatnya.
Ketika berbicara tentang kekomprehensifan al Quran-misalnya- sebagian orang berargumentasi dengan firman Allah,
“….Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al Kitab…” (Q.S al An’aam: 38)
Adapun kata “kitab” dalam ayat tersebut ada kemungkinan bermakna al Quran, maka argumentasi tersebut benar. Juga ada kemungkinan bermakna lauh mahfudz, satu tempat di mana Allah telah menentukan semua taqdir makhluk, sebagaimana firman-Nya,
“….Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (lauh mahfudz).” (Q.S Yasin: 12)
“….Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Allah).” (Q.S al Ahzab: 6)
Yang pertama di sini berargumentasi akan kekomprehensifan al Quran dengan firman Allah,
“….Dan Kami turunkan kepadamu al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.S an Nahl: 89)
Yang sangat jelas menunjukkan apa yang dimaksud. Yang semisal dengan itu adalah akhir surat Yusuf,
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Q.S. Yusuf: 111)
Demikian juga seorang dai menghindari argumentasi dengan sesuatu yang tidak ada dalilnya. Contoh untuk hal itu adalah sebagian orang berargumentasi bahwa di antara buah dari ketakwaan kepada Allah adalah Dia akan mengajarinya sesuatu yang belum ia ketahui, dengan dalil firman Allah,
“….dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarimu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S Al Baqarah: 282)
Yang benar ayat ini tidak menunjukkan akan hal tersebut, karena ayat tersebut bukan merupakan perintah dan jawaban. Akan tetapi, bisa jadi benar kalau redaksinya adalah wat taqullah yu’allikumullah. Adapun ayat atau paragraf ayat tersebut mengandung perintah bertakwa kepada Allah, sebagaimana ia merupakan ketentuan Al Quran ketika mengkomparatifkan perintah dan larangan dengan takwa. Kemudian, setelah itu Allah berfirman, wa yu’allikumullah, yaitu beberapa perintah dan hukum. Ia menerangkan kalimat yang berdiri sendiri, sebagaimana firman Allah dalam ayat lain,
“….Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat…” (Q.S an Nisa: 176)
Adapun argumentasi terhadap pernyataan tersebut, seharusnya mengambil dalil firman Allah,
“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Q.S al Anfal: 29)
Maksudnya adalah cahaya (nuur) yang dengan cahaya tersebut kamu sekalian dapat membedakan antara yang hak dan yang batil.
Misalnya juga firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman (kepada Para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S al Hadid: 28)
Bahkan, ia bisa berargumentasi dengan secara umum dari firman Allah,
“….Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (Q.S ath Thalaq: 2)
Karena ia meliputi jalan keluar (solusi) dari beberapa syubhat dan yang menyebabkan syubhat.
Comments
Post a Comment